Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Badai di Tanah Perkemahan
1
Suka
346
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Cepat, lari! Segera menuju tenda masing-masing,” kata Bu Amina, salah satu pembina pramuka SMP Tirta Jaya kepada anak didiknya.

Meski lelah masih mendera usai kegiatan penjelajahan, seluruh murid anggota pramuka dari SMP tersebut tetap menurut. Mereka berdesakkan di tengah lautan murid-murid dari sekolah lain. Derap kaki bertempo cepat semakin terdengar bergemuruh, seakan berlomba dengan sambaran guntur dan kilat yang melesat di langit mendung.

Aroma tanah basah segera menyeruak, karena deras hujan yang berjatuhan. Lapangan tempat seluruh peserta Jambore Ranting Tingkat kecamatan itu berupacara, kini berubah becek dan licin. Bendera lambang masing-masing gugus depan tampak bergoyang-goyang dikibarkan angin yang mulai berembus kencang. Tenda-tenda yang menghampar sepanjang mata memandang telah kuyup, begitu pun insan-insan yang berlarian.

“Aw,” pekik Ellina, salah satu anak didik Bu Amina.

Melihat sang sahabat terjatuh, Agni menghentikan larinya. Segera mengulurkan tangan, kemudian membantu Ellina berdiri.

“Kamu gak papa, kan?” tanyanya.

Ellina pun menggeleng, setelahnya meneruskan berlari mengekori teman-temannya.

“Segera masuk ke Tenda!” instruksi Bu Amina dan Bu Heni, saat tiba di depan tenda gudep Teratai dari SMP Tirta Jaya.

“Segera ganti seragam kalian, lalu jauhkan seluruh atribut berbahan logam, besi, dan sebagainya. Matikan hape kalian juga,” lanjut Bu Amina sembari memeriksa kehadiran anak didiknya, lalu memastikan tidak ada yang tertinggal.

“Iya, Bu,” timpal siswi dalam tenda serempak.

Kedua pembina itu pun segera masuk, merapatkan muka tenda, lantas meraih tas dan mengambil pakaian ganti masing-masing.

“Elina, kamu liat handuk kecilku, nggak?” tanya Agni sambil merogoh tasnya, mencari-cari benda yang dimaksudnya.

Ellina, teman sebangku sekaligus sahabat dekat Agni pun menoleh sejenak. Menghentikan pergerakan tangannya yang tengah mengambil pakaian. Bukannya tadi pagi di jemur, di tambang yang di luar?”

Agni menepuk jidat, “Yassalam, kok bisa lupa. Keujanan, dong.”

“Udah, pake punyaku aja.” Ellina memberikan handuk kecilnya sementara untuk dirinya ada mantel mandi.

Agni pun menerimanya sambil mengucapkan terima kasih, lantas segera mengambil pakaian. Mereka semua mengganti baju di tenda secara bergantian, mengesampingkan rasa malu meski pun tidak terbiasa berbaur seperti itu. Bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan untuk bergantian pergi ke kamar mandi yang terbatas dan letaknya cukup jauh itu. Salah-salah badan mereka malah kembali basah.

Belasan menit berlalu, usai membereskan kembali barang-barang. Mereka duduk melingkar, di tengahnya diletakkan camilan yang mereka kumpulkan. Tak pandang siapa pemiliknya, pokoknya saling berbagi saja. Satu makan semua anggota pun turut mencicipinya, itu yang diajarkan pembina mereka.

“Nah, Anak-anak. Gimana, nih kesan-kesan kegiatan penjelajahan tadi?” tanya Bu Heni sambil membuka bungkus roti.

“Seru banget, Bu,” jawab seluruh anggota serentak.

“Meski pun cape, tapi rasanya kebayar sama petualangan dan pengalaman yang didapetin,” tambah Agni segera.

Netra semua orang di sana tersedot ke arah Agni diwarnai senyum yang mengembang di wajah masing-masing.

“Coba ceritain, Ni?” pinta Bu Amina sambil melahap roti tawarnya dan mengulas senyum simpul.

Teman-teman Agni pun turut mendengarkan sembari menyantap berbagai camilan berbeda. 

“Pokoknya luar biasa, mulai dari pos satu yang cuma memecahkan teka-teki, sampe melintasi rintangan di lumpur sawah, berendem melintasi kali,” Agni menjelaskan dengan antusias, “terus ada 1 hal unik yang paling aku suka, pas mecahin kode morse sama smaphoore yang diintruksikan panitia di salah satu pos sambil berlomba dengan waktu supaya cepet sampe di pos terakhir,” dia tersenyum lebar, sejenak memandang teman-teman dan pembinanya, “Asli, itu tuh macu adrenalin banget.”

“Nah, bener itu, Bu. Dan kami ngerasa pertemanan kita pas menjelajah kerasa deket dan saling solid banget.” Ellina menambahkan, sambil menyelipkan anak rambut ke telinga.

Sejenak obrolan mereka terhenti, pengumuman tentang pembatalan agenda lomba selanjutnya pun terdengar mengalun melalui sepiker.

“Yah, kalo aja nggak ujan gede gini, ya.” Seorang siswi menyayangkan, pasalnya perlombaan selanjutnya adalah pentas seni yang dirinya ditunjuk sebagai perwakilan.

“Iya, padahal, kan, hiburan banget. Buat ngeredain lelah di badan gitu.” Agni menyetujui sambil meraih selembar roti tawar, lalu melahapnya.

Tiba-tiba guntur menggelegar beruntun, membuat beberapa siswi Gudep Teratai menjerit dan terlonjak.

“Istighfar, Anak-anak. Jangan berteriak!” larang Bu Amina sambil merapatkan jaketnya.

Bukannya tenang, jeritan teman-teman Agni malah semakin menjadi. Seiring goyangan tenda yang semakin terasa. Saking kencangnya angin di luar.

“Bu, kami takut!” pekik beberapa siswi disertai isak tangis ketakutan.

“Tenang anak-anak!” Bu Amina menasihati, lalu merapalkan doa sambil mendekap 4 orang siswi yang merapat ke arahnya.

“Gimana, ini, Bu? Hujan makin besar, sepertinya di luar ada badai,” tambah Ellina sambil berpegangan dengan Agni.

Bu Amina menyapukan tatapan pada anak didiknya, lalu melihat sekeliling tenda yang semakin diterjang angin. Bahkan patok besi yang menjadi tumpuan setiap tali fondasinya saja mulai bergoyang-goyang. Dia tampak berpikir sejenak.

“Kalian segera ambil payung masing-masing. Pake tas kalian, kita cari perlindungan!”

Seluruh siswi pun segera menurut, sibuk memakai tas punggung masing-masing dan segera membuka ikatan payung.

“Jangan pake payung, gak papa kehujanan juga. Di luar bahaya.” Bu Heni memperingati.

Petir kembali melesat, hingga langit di luar tampak terang sekilas, lalu redup kembali.

“Pokoknya jangan sampe kita terpisah, ikuti terus Ibu dan Bu Amina.” Tambahnya sambil mengenakan tas.

Bu Amina dan Bu Heni pun keluar, diikuti siswi-siswi yang saling beruntun.

Di luar langit tampak semakin muram, awan-awan bergulung tampak merapat ke suatu arah. Hujan terus menderas, gemuruh angin semakin mendesak telinga, embusan kasarnya menerbangkan benda-benda ringan dan menggoyangkan setiap yang dilewatinya. Canda tawa di bumi perkemahan berganti isak tangis dan diselimuti ketakutan. Peserta jambore dari sekolah lain pun berlarian, wajah-wajah mereka tampak dirundung kepanikan.

“Ya Tuhan, selamatkan kami!” Bu Amina menengadah sejenak sambil melangkah.

Sementara Agni menyadari ketidak hadiran sahabatnya, dia pun segera berbalik arah.

“Ell?” panggil remaja itu saat tiba di luar tenda milik sekolahnya, tetapi yang dipanggil tak merespons. Suaranya tak cukup mampu bersaing dengan derau hujan.

Dia semakin khawatir, takut sesuatu terjadi pada Ellina.

Gimana kalo asmanya kambuh? Batin Agni sambil masuk ke tenda. Netra remaja itu membola seketika, saat didapatinya Ellina tergempor di alas spons dan tampak kesakitan.

“Kamu kenapa, El?” Agni memburu ke arah sahabatnya.

“Kakiku,” pekik Ellina sambil memegangi kaki kirinya “Argh,” rintihnya sambil terpejam, “Kakiku kram, Ni.”

Agni seketika teringat Ibunya yang sering kram saat mencuci atau udara dingin, sehingga dia tahu apa tindakan yang harus dilakukannya. Remaja itu segera mengambil kayu putih dari saku tas, menuangkan ke telapak tangan, lantas mengusapkannya ke seluruh telapak kaki kiri Ellina.

“Lurusin, El!” titahnya.

“Sakit, Ni.”

“Pelan-pelan aja, biar cepet melerai urat-uratnya.”

Ellina pun menurut. Sementara Agni segera mengusapkan kembali kayu putih dan mengurut telapak kaki Ellina dengan sangat pelan. Tiba-tiba bagian sudut kanan tali fondasi tenda terlepas dari patoknya. Hingga mereka terkesiap.

“Agni, gimana ini. Tenda kita mau roboh.”

“Kakimu udah bisa digerakin, kan?” Agni membantu Ellina berdiri.

Ellina pun mengangguk, “Kita harus keluar sekarang, Ni.”

Tanpa menimpali, Agni pun berjalan sambil menggandeng bahu Ellina yang masih tertatih. Mereka berjalan perlahan sambil merapalkan doa, berharap Tuhan menyelamatkan nyawa dari badai yang tengah melanda. Tenda-tenda yang tadinya berjejer rapi, kini banyak yang teronggok. Reruntuhan tiang-tiang bendera pun berserakan, kedua remaja itu berusaha berbaur dengan siapa saja yang berlarian. Guyuran air langit yang seakan ditumpahkan dalam debit tinggi memandikan seluruh yang ditimpanya, hingga mengurangi jarak pandang mereka. Pun raungan guntur semakin memekakkan indra pendengaran.

“Kita harus ke mana, Ni?” Ellina berusaha menyeret kakinya dalam genangan air yang sesungguhnya masih sakit, tetapi tak dirasa. Keselamatan nyawa dia dan sahabatnya lebih penting sekarang.

Agni tak menimpali, selain tidak terlalu memperhatikan perkataan Ellina yang teredam derau hujan dan desir angin. Dia lebih fokus berpikir kemungkinan keberadaan teman-temannya yang lain.

Wajah Agni tampak pasi, bibirnya bergetar, bobot di tas punggungnya semakin bertambah. Dia pikir itu juga yang dirasakan sang sahabat.

“El, lebih baik kita tinggalin tas di sini,” teriak Agni, suaranya berusaha menandingi gemuruh di sekitar.

Sejenak Ellina mengernyit, belum mengerti sebab saran sahabatnya itu.

Seolah memahami makna tatapan Ellina, Agni pun segera menambahkan.

“Kita harus cepet nyari perlindungan, El. Abaikan barang-barang kita. Biar langkah kita lebih cepet.”

Seketika Ellina tertegun, tatapannya berubah sendu. “Gara-gara aku, kita jadi terpisah sama rombongan.” Dia menggigit bibir, tampak sekali merasa bersalah.

Agni meraih tangan Ellina, menggenggamnya semakin erat. “Kalo aku gak misahin diri, mungkin gak bakal terpisah dari mereka. Tapi, aku gak bisa ninggalin kamu terjebak sendirian di sana.” Agni menatap Ellina dengan sorot meyakinkan, “sekarang, bukan saatnya nyalah-nyalahin. Penting kita harus bisa nyelametin diri, Ellina,” tambahnya sambil terus berpikir.

Beberapa saat Ellina tertegun, ada rasa hangat yang menjalari hatinya. Berbanding terbalik dengan gigil yang menyerang tubuhnya.

“Sekarang kita harus ke mana? Temen-temen di mana?”

Agni masih berpikir sambil terus melangkah.

Kilat kembali melesat membelah langit. “Ikut, aku!” Agni mempercepat langkah, dia tak yakin atas dugaannya, tetapi dia harus cepat mengambil keputusan. Sebelum sesuatu hal buruk menimpa.

Kedua remaja itu menepis segala rasa takutnya, menebas segala pikiran buruk di kepala. Entah mendapat keberanian dari mana, mereka itu terus berjalan tergesa-gesa menembus badai demi mencari perlindungan.

“Ya Rabb, terima kasih telah kau lindungi anak didik kami,” kata Bu Amina saat Agni dan Ellina tiba di posko keamanan.

Kedua remaja itu tampak terengah-engah, sembari menghambur ke pelukan Bu Amina. Teman-teman satu sekolah mereka pun turut menyambut dengan limpahan ucapan syukur tiada terkira.

“Maafin kami udah bikin ibu khawatir,” lirih Agni sambil melepas dekapan.

“Gara-gara nyelametin aku, Agni jadi ikut terpisah,” tambah Ellina, “ini salahku, Bu.” Dia pun melepas tautan tangannya.

“Sudah,” Bu Heni menghampiri sambil mengusap lembut pundak Agni dan Ellina, “kalian nggak salah, ibu malah bangga sama kalian. Terutama kamu, Agni. Keadaan genting tak menjadikan keegoisan menguasai dirimu. Kamu berani mengambil risiko demi menyelamatkan temanmu. Berani mengalahkan ketakutan demi membantunya.”

Tasikmalaya, 10 Oktober 2020

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
Badai di Tanah Perkemahan
Karang Bala
Cerpen
Last Sunday
Varenyni
Novel
Bronze
Rama's Story : Krisna - Pandawa Pertama
Cancan Ramadhan
Cerpen
Bronze
Pangeran Elvandar
Kemal Ahmed
Novel
Bronze
THE M2
Sweet September
Flash
Bronze
Kuncup Mawar
mary dice
Flash
Goat
Rena Miya
Flash
Bronze
Orca
Faisal Susandi
Flash
Pertunjukan Malam
Lebah Bergantung
Flash
Bronze
Gandewa
Ravistara
Novel
Bronze
Subhaanalloohi (Sutasoma)
Hermawan
Novel
Gold
Dari Gestapu ke Reformasi
Mizan Publishing
Novel
Sang Petarung
Zulfan Fauzi
Novel
Mockingbird
Madina_hld
Cerpen
Cyber Security
Vitri Dwi Mantik
Rekomendasi
Cerpen
Badai di Tanah Perkemahan
Karang Bala
Novel
My Beloved Best Friend
Karang Bala
Novel
Harmonisasi Rasa
Karang Bala
Cerpen
Hantu di Rumah Baru
Karang Bala