Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nama lahir ia Satria, tapi ia suka dipanggil orang s’bagai Ria. Ya, ia pengen amat jadi wanita. Semenjak bocah, gemulainya lawan-lawan wanita dan mukanya ia rawat bahkan poles sedemikian rupa supaya manis bak gula.
Pas tumbuh rambut-rambut dalam celana, Satria mulai tanya-tanya diri, “Saya ini pria atau wanita?” Sebab alat kencingnya konti, tapi berahi buat wanita rasa-rasanya sirna, entah sungkan ada semenjak bocah, entah semenjak jadi manusia, entah belum jatuh tempo dewasa.
Dan dewasa kini, tanya-tanya diri sendiri belum jua punya jawab. Kepala Satria pening ulang-ulang. Tiada juga ia terka sejak mula hidup bakal gini-gini amat. Ia pengen punya rasa entot wanita, ia pengen punya bocah; tambah-tambah, ia pengen rasa cinta macam orang-orang yang tengah-tengah hidupnya bikin keluarga. Tapi apa daya, setitik berahi buat wanita pun sungkan ada, apalagi harap cinta. Ya, akhir-akhirnya ia sedikit yakin bahwa rasa itu sungkan ada, bukan musnah. Tiada sekali pernah gundukan dada dan selangkangan wanita bikin ia pengen wanita sampai pening isi kepala.
Sempat-sempat, ia baca-baca dari lama segala ilmu yang bicara tentang ‘hilang rasa pada wanita’ agar bisa ia tahu musababnya, lewat ilmu-ilmu yang kata istilahnya ia pahami terbata-bata, ia sedikit paham nasib manusia macamnya; ada ilmu-ilmu orang pintar bilang manusia jantan nir-rasa pada betina adalah lumrah, sebab itu kejadian semenjak kandungan mama, bukan salah si manusia. Tapi ada ilmu-ilmu orang pintar bilang nir-rasa manusia jantan pada manusia betina dibikin-bikin, barangkali trauma bocah atau pengaruh sebaya.
Ia bingung, mana pula harus dipercaya ilmu-ilmu itu? Duh, ilmu-ilmu malah bikin kepala Satria makin sakit saja. Kata hatinya ulang-ulang, “Ilmu-ilmu kini beda ilmu-ilmu dulu,” pikirnya, “Orang pintar kini suka-suka, bikin ilmu jadi senjata, manusia mau apa, ilmu bilang itu. Bagus memang, nasib orang-orang macam ia punya bahan pembelaan, tapi ilmu-ilmu jadinya macam lonte saja.”
Tambah-tambah, kepala rasa-rasanya bakal pecah sedetik lagi bila ingat-ingat soal Tuhan, soalnya ia punya sedikit-sedikit iman, jadinya batin kadung dipilin rasa salah pada agama saban-saban. Ia pengen jadi manusia jantan umum, tapi lagi-lagi, apa daya cuma jadi manusia biasa, hasrat pengen konti laki, tapi agama bilang harus dada wanita. Ia pun suka tanya-tanya dalam dada, “O, Tuhan, mana jawab bisa saya percaya?”
Bingung-bingung ini bukan tiada sebab; beda dirinya ini bikin banyak sudah kejadian derita dalam pendek hidup Satria.
Pas bocah, belum banyak terasa derita itu, di rumah mama sayang-sayang saja, apa rasa ingin, mama taruh di muka. Di luar rumah, senang-senang saja dengan banyak kawan baik yang umumnya wanita. Satria mahir betul main-main boneka dengan kawan-kawan wanita sebaya. Tapi pas remaja, tempo mama balik surga, dan ia patut hidup dua-dua sama papa jahat, yang lakukan Satria bak anak buangan orang.
Papanya suka pukul hari-hari, kata salah, bibir pecah; tingkah salah, bengkak mata. Sekali pernah, ia cuma lupa pulang mandi sore, tapi papa pukul ia macam binatang. Ditampar rupa bantal jemur lantas diinjak-injak rupa puntung sigaret. Sudah begitu, derita rumah makin-makin, makan susah, rumah ada-adanya, dan papa pun mabuk hari-hari. Sedih.
Tambah-tambah, pas remaja, banyak kawan laki sapa ia ‘Si Banci’, tiada saja soal gemulainya yang lawan-lawan wanita, tapi pun cara bicara sampai baju-baju sesak ikat badan ia, juga geraknya yang lamban bak kura-kura. Lagipula ia suka ikut-ikutan kawan-kawan wanita ke sana-sini. Demikian hasilnya kini, sedikit saja kawan pria yang ia punya.
Banyak jadi, itu bikin ia suka nangis sendiri-sendiri dalam gelap-pengap kamar.
Dalam dada, Satria pengen ikut-ikutan main bola kaki sama kawan laki di lapang tanah. Tapi sedikit saja kawan laki yang mau terima ia. Dekat sedikit saja, kawan laki pasti omong, “Kenapa pula dekat-dekat kami kau ini? Mau jadikan kami ini banci, kah?”
Satria sering jawab, “Tidak. Saya pengen main-main saja sama-sama kalian-kalian.”
“Tak kekurangan orang kami. Tiada butuh kau kami. Jauh-jauh! Tak pengen kami jadi banci macam kau!” Biasanya begitu kawan-kawan laki omong ke ia.
Tiada di kata-kata saja sikap jahat kawan-kawan. Saban-saban, ada saja jahat mereka. Pas SMP, ada kawan taruh berak sapi di dalam tas sekolah ia, sampai-sampai harus Satria buang tas yang dulu mama beli di pasar hasil tabung tahun-tahun. Lalu ada kawan lain yang sampai tinju-tinju muka Satria hanya karena benci lihat Satria gerak gemulai amat. Habis tinju, kawan itu omong lagi, “Aku benci kau, Banci!”
Tiada henti di kawan-kawan saja derita Satria. Pas mau dewasa, ada pula orang dekat rumah yang omong lantas Satria dengar sembunyi-sembunyi, “Ayah-ibu Satria itu dikutuk moyang hingga bocahnya bisa jadi banci.” Sakit amat dada Satria dengar itu sampai ia pengen matikan diri di belakang rumah pakai tali ikat sapi.
Tapi untung, ada Tante Cu, adik mama yang tinggal dekat rumah. Pas Tante Cu hendak masuk dapur, tertengok dia bahwa Satria lagi ikat tali di pohon nangka belanda belakang rumah. Kaget lantas panik, Tante Cu lari cepat-cepat dekat Satria lantas marah-marah penuh air mata. Lantas Satria pun nangis-nangis sama Tante Cu.
Lewat waktu sedikit, Satria cerita semua ke Tante Cu, yang Satria sudah sayang bak mama sendiri. Lagipula Tante Cu pun bantu banyak ke ia. Makan sering ia di rumah Tante Cu. Sekolah saja Tante Cu beli semua barang-barang lengkap.
Awal-awal, malu-malu, tapi sebab ia percaya amat ke Tante Cu, ujung-ujung Satria cerita ke Tante Cu. Ia buka omong begini, “Saya, banyak orang ejek, Tante Cu.”
“Ejek apa-apa?”
“Ejek saya macam banci.”
“Benar, tiada, kau ini banci, Satria?”
“Saya bingung-bingung dari lama.”
“Jawab saja tanya saya!” Tante Cu tinggi suara.
Satria belum punya jawab, tunggu-tunggu tiada. Lama-lama, sonder kata, Satria geleng kepala.
Tante Cu buang napas panjang amat. “Kau ini banci atau tiada?” Tambah tinggi itu suara.
“Gemulai saya bak wanita. Wajar saja bila sebut orang saya ini macam banci.”
“Satria,” Omong Tante Cu, sebut nama kemenakan penuh belai, lantas buang napas ulang, panjang amat ulang. “Memang tiada elok seorang laki gemulainya bak wanita, tapi tak artinya laki gemulai pasti banci. Pantas jadi banci bukan manusia macam kau, tapi manusia tak berdikari. Orang-orang macam itu, pilih tangis kamar daripada maju bela diri.”
Dengar itu, kepala pun dada lantas mata Satria ujuk-ujuk benderang. Air mata tunda bentar. Ia pikir-pikir omong Tante Cu. Cercah harap nongol tiba-tiba buat tatap masa depan.
Lihat kemenakan banyak pikir sonder kata, Tante Cu omong ulang, “Kau sudah kasih izin orang lain masuk dalam kepala kau, bagaimana rasa-rasanya? Rasanya tiada baik, benar?”
“Benar,” pendek saja jawab Satria.
“Pas makan susah, adakah tiada bantu mereka ke kau?”
Satria geleng kepala saja.
“Demikian. Tiada baik pikir omong orang sampai ratap tangis sendiri lantas ingin matikan diri! Dasarnya, tiada guna pikir omong orang, susah-susahkan diri saja. Tak tentu hidupmu benar dipikir mereka.”
“Apa harus saya buat, Tante Cu?”
“Tahu sendiri apa baik kau lakukan. Jadi diri sediri-dirimu saja! Jangan sungkan omong orang. Ingat! Tiada guna! Tak tentu juga kau dipikir sedemikian rupa. Benci saja orang-orang itu!”
Bagian Satria buang napas amat panjang lantas geleng kepala pun senyum dikit-dikit. Gembira ia sebentar lantas galau sebentar lantas bimbang lama-lama. Kepala pening lama-lama, takut amat Tante Cu akan benci bila tahu ia bukan saja gemulai bak wanita, tapi ia amat suka pada laki.
*
Semenjak hari Satria tangis-tangis bareng Tante Cu, ada ilham datang ujuk-ujuk bikin kuat. Satria mulai terima diri dan sedikit saja nangis-nangis karena omong orang. Tapi, belum juga ada pria yang berani ia dekati.
Dan segala macam pergantian hidup Satria mula-mula pas akhir tahun di SMA. Pas itu, ada Kepala Sekolah yang namanya Engku Din. Engku Din ini tampang garang amat, punya kumis tebal amat, perut buncit amat, dan dikit lagi pasti pensiun, tua-tua keladi orang bilang.
Oleh karena Satria punya banyak bakat dalam pelajaran, suatu hari Engku Din panggil Satria ke ruang pribadi. Awal-awal Engku Din bilang bahwa Satria bakal ia usul biar punya beasiswa agar dapat ikut perguruan tinggi di Provinsi. Satria senang amat, ia dapat lanjut sekolah, dapat sekalian pisah dari papa yang macam setan.
Omong-omong awal, Satria duduk seberangan dengan Engku Din, hadap-hadapan. Lambat laun, Engku Din bangkit lantas duduk di sisi Satria. Mulai ini, agak merinding bulu roma si Satria, ia jaga jarak. Engku Din dekati terus. Baru pas Satria ada di ujung bangku, Engku Din mulai pegang paha. Satria beku bak patung. Ingin teriak tapi tenggorokan bak dicekik entah apa. Badan Satria dingin tiba-tiba, tapi banyak keringat keluar juga tiba-tiba. “O, Tuhan, tolong saya!” Kata Satria dalam dada.
Waktu lewat banyak, tangan Engku Din naik dikit-dikit ke atas paha, dan cepat amat konti Satria udah keluar celana.
Jadilah itu.
Pulang rumah, Satria nangis lagi. Ia rasa badannya kotor amat, tapi ia juga senang dengan apa yang Engku Din bikin ke ia. Ia benci, tapi ia pengen ulang. Ia rasa dosa, tapi rasanya macam surga dunia.
Dari sini, malah Satria yang ulang-ulang kasih isyarat biar Engku Din panggil ulang ke ruang pribadi kepala sekolah. Tapi, tiada kunjung kejadian apa yang Satria pengen.
Dekat Satria lulus, Engku Din sakit lantas mati. Janji beasiswa urung kejadian. Mimpi Satria temui akhir tiada senang. Satria jadi pesakitan sendirian lepas itu. Dua tahun lama-lama Satria tinggal saja dalam rumah. Tiada bisa ia kerja macam laki lain yang pergi tangkap ikan atau masuk hutan. Ia benar-benar jadi perempuan. Dua tahun itu, ulang-ulang papanya marah lantas pukul, tapi Satria urung kerja kotor. Tiada sudi ia tangkap ikan atau masuk hutan, tiada ingin kulitnya kena bakar matahari. Jadinya ia pilih tinggal sama-sama Tante Cu, dan dua tahun itu ia cuma bantu-bantu Tante Cu. Saban-saban jual-jual di pasar, saban-saban ikut petik sayur, saban-saban apa saja kerja wanita ia bikin asal bukan kerja kotor.
Masa-masa Satria nganggur serta berseatap di rumah Tante Cu, datang saat belasan mahasiswa tiba dari kota buat bikin KKN. Oleh karena rumah Tante Cu sedikit layak, dua pria tinggal di situ. Satu pria, gagah amat, Satria suka dan sebut ia Si Gagah. Satu pria dikit gemulai, Satria benci si gemulai dan sebut ia Si Banci.
Awal-awal, Satria tidur sendirian di bangku panjang di dalam dapur. Lama-lama, mulai akrab sama dua mahasiswa, Satria boleh tidur bareng mereka dua.
Malam pertama, aman-aman. Malam kedua, Satria rasa ada tangan raba-raba paha. Malam ketiga, Satria tahu Si Gagah ternyata tukang raba. Hari keempat, Satria cipok Si Gagah itu. Jadilah itu.
Dua minggu lewat habis cipok Si Gagah, Satria mulai pakai gincu, ia mulai dandan-dandan depan cermin; baju makin ketat, dan gemulainya lebih-lebih jauh dari wanita. Dan makin benci pula Satria sama kawan Si Gagah yang juga gemulai. Dalam dada, ada cemburu sebab Si Gagah genit juga sama Si Banci.
Minggu ketiga, Tante Cu pergok Satria peluk-pelukan sama Si Gagah dalam kamar. Tante Cu marah. Hampir-hampir Tante Cu usir Si Gagah dari desa. Tapi karena Satria mohon-mohon tambah nangis-nangis, Tante Cu luluh. Asal Satria pulang rumah papa sampai dua mahasiswa itu balik kota.
Pendek cerita, tiba saat para mahasiswa pulang kota, dan masa-masa ini Satria patah hati. Ia nangis sendiri berhari-hari karena rindu pada kekasih hati.
Lewat waktu banyak, kira-kira setahun dua, Satria tinggal ulang di rumah Tante Cu. Masalah baru, Tante Cu mulai curiga pada ia, sebab banyak pria Si Satria ajak masuk kamar. Satu waktu, Tante Cu panggil Satria doa lalu tanya-tanya kelakuan Satria. Satria bantah. Ia bilang ia suka wanita sampai-sampai ia janji akan nikah pada waktunya.
Detik itu, Satria bingung ulang-ulang, saban-saban ia tengok kawan-kawan cumbu wanita-wanita lantas menikah dengan pujaan dada, ia pun iri sendiri-sendiri. Kenapa pula, sungkan ada, sedikit rasa, ingin entot wanita dalam dada atau kepala. Ingin tobat, tapi apa daya, banyak dosa, banyak maksiat, bikin surga rasanya ada di mana-mana.
Dunia jalan seperti biasa sampai satu waktu, desa Satria jadi tempat wisata. Dari dulu, pantai desa ia memang indah amat. Sudah banyak orang kota datang hibur diri. Dan waktu Satria umur dua delapan, mulai pula pelancong internasional tiba. Banyak amat orang putih di mana-mana bikin Kaisar Kabupaten, Provinsi, dan Negara taruh hati di desa Satria. Ujung-ujungnya, banyak amat gedung mereka bikin. Nelayan dapat suruh jualan buah tangan, perempuan jadi kerja di penginapan, mudi-mudi yang dulu cita-cita jadi petani sekarang semua ingin jual diri, pokok-pokoknya semua orang desa harus jadi budak orang kulit putih.
Desa Satria ramai bukan main dalam hitung bulan, karena demikian muda-mudi dapat suruh ikut kursus bahasa internasional. Hampir seluruh muda-mudi dapat suruh nginggris biar bisa omong sama orang putih. Lambat laun, Satria bisa nginggris. Dan hampir kayak banyak lain, bila kuasai dikit, petantang-petenteng bak profesor. Sampai-sampai ia malu pakai bahasa sendiri, lebih suka bahasa orang. Katanya ulang-ulang kepada orang desa, “I am not like bahasa Orang Kampung. It’s no cool. I am like speak like white.”
Oleh karena bisa omong nginggris dikit-dikit, semua orang desa ia anggap anjing-anjing bodoh. Suka amat ia hina orang mulai itu. Ke mana saja ia, dengan macam-macam orang, Satria omong nginggris. Dan ini bikin silau orang-orang desa. Mereka anggap Satria si manusia jenius, jadinya Satria makin bisa buka sayap. Rasa rendah diri terganti rasa tinggi hati. Semua manusia desa kena hina Satria.
Lama-lama, bukan saja desa Satria saja yang dibikin rusak wisata, hampir seluruh kabupaten berubah jadi Amerika. Tanah yang dulu ingin dibikin gereja, ahli tugas jadi tempat pesta orang putih.
Wisata bikin banyak berkah, banyak dosa; bikin seratus kesempatan, ribuan kerugian. Cari perawan di desa sudah macam cari setitik butir gula di Gurun Sahara. Hitung satu dua tahun saja banyak amat ikut beda.
Umur tiga puluh pas, rambut Satria panjang amat. Bahkan-bahkan, ia berani-berani saja di muka orang bungkus selangkangan dengan rok. Kadang-kadang juga pakai sepatu tinggi wanita, gincu hari-hari ia pakai, aroma badannya bikin satu provinsi adem, wangi sewangi-wanginya. Dan orang-orang ia larang panggil ia “Satria”, wajib “Ria”.
Satria juga tiada lagi tinggal di rumah Tante Cu. Banyak duit bikin ia pilih tinggal sendiri. Semenjak banyak orang putih, ia saban-saban jadi tukang alih bahasa, saban-saban jadi teman minum, tapi seringnya jadi lonte laki. Kerja jadi lonte laki itu bikin ia banyak amat punya duit.
Pepatah bilang “banyak duit bikin songong” dan “punya sayap bikin lupa darat” benar kejadian pada Satria. Ia songong bukan kaleng-kaleng, sampai-sampai ia tiada lagi datang lihat Tante Cu di rumah. Lantaran sibuk ngentot laki, hampir setahun ia tiada jumpa Tante Cu.
Sekian kali Tante Cu datang kunjung ia ke rumah baru ia, tiada pula Satria di sana. Sekali-sekali ia memang tiada di rumah, sekali-sekali ia memang tolak jumpa Tante Cu. Satria rasa ia tiada lagi saudara sama Tante Cu, bak tiada kenal saja di masa lampau. Rasa sayang sama Tante Cu rasa-rasanya hilang di dada Satria.
Sebab mula ia rasa sungkan temu sama Tante Cu pas Tante Cu tegur ia bahwa dandan bak wanita bukan hendak Tuhan. Sejak tersebut, Satria rasa-rasanya muak lihat muka Tante Cu yang katanya, “Suka-suka atur hidup orang.”
Satria putus hubung sama keluarga-keluarga. Pas umur tiga satu, pas papa ia mati pun, Satria sonder datang ke makam. Sekali saja ia muncul di rumah papa ia. Hari pertama saja. Lepas itu, sampai papa ia masuk tanah, tiada seujung hidung di sekitar rumah. Ia sibuk saja ngentot sama pria-pria putih.
Begitu durhaka ia tapi ia masih titip uang buat Tante Cu tiap bulan. Satria ingat juga jasa-jasa si bibi yang dulu banyak bantu. Kasih uang saja cukup kata ia, tiada perlu baku lihat muka.
Satu hari, di teras rumah baru, Satria lagi tidurin pala di paha laki bule yang sudah tiga bulan ia entot. Lagi sayang-sayangan mereka, Tante Cu tiba-tiba muncul. Tante Cu datang langsung muka merah. Marah.
Satria paham. Ia lantas bimbing si pacar laki itu masuk dalam rumah.
Lepas itu, Tante Cu Cuma liat sebadan-badan Satria yang lagi pakai baju ketat amat. Pantat-pantatnya nongol ke mana-mana. Lantas Tante Cu geleng-geleng ‘pala saja. Sedikit saat, sonder sekata keluar dari mulut dua-dua.
“Sudah jadi binatang kau ini, Nak!” Omong Tante Cu sonder duduk, berdiri sedekap tangan.
Satria duduk saja, nunduk diam.
“Satria kini beda amat sama Satria dulu .”
Satria bisu-bisu saja.
Terus-terusnya, Tante Cu kasih nasihat banyak tentang surga neraka. Nama Tuhan ulang-ulang Tante Cu bilang.
Itu bikin kuping Satria panas. Menit-menit lewat, Satria lantas bentak, “Sudah, Tante Cu! Bungkus saja omong kosong Tuhan itu dalam gereja! Saya ini bukan bocah tukang nangis lagi. Saya ini manusia dewasa. Baik-baiknya Tante Cu pulang terus khotbah Tuhan di kamar saja! Orang macam Tante Cu yang mau mati begini yang sebenarnya paling butuh khotbah Tuhan! Khotbah Tuhan itu bukan untuk saya!”
Detik itu, mata Tante Cu jadi mata air. Lantas balik badan, pun pergi sonder balik muka lagi.
Satria bengong di muka rumah lihat Tante Baik yang dulu banyak bantu ia nangis macam itu.
Satria langsung duduk begitu Tante Cu hilang dari pandang. Rasa salah muncul banyak dalam dada.
Detik yang mirip, muncul laki bule dari dalam rumah. Lantas Satria langsung peluk itu laki terus nangis di dada laki-laki kekar itu. Satria benar-benar jadi wanita itu malam. Nangis sampai batuk-batuk ia. Suara, gerak badan, sampai nangis pun gemulai amat. Itu laki pun elus-elus saja kepala Satria sampai Satria tenang. Mereka dua cipokan. Lantas seterusnya masuk rumah, masuk kamar, dan jadilah itu.
Tengah-tengah kegiatan, tiba-tiba pacar bule Satria omong nginggris, “Kau kawin saja dengan saya. Ikut saya ke Jerman saja.”
Satria angguk-angguk ‘pala, senyum dikit, terus cipok itu laki.
Habis kegiatan, Satria keluar kamar, kongko di teras ulang, sigaret menyala, terus isi kapala banyak pikir soal Tante Cu dan rasa salah. Napas kuat ulang-ulang sengaja keluar dari mulut ia. Ia bingung ulang-ulang sama hidup. Ia gembira bukan kaleng-kaleng dapat suruh ikut laki ke Jerman, tapi ada pula rasa kurang enak soal nikah sama laki dan sungkan juga ia tinggal lama di negeri orang. Ia gembira dan takut sekalian rasa.
Ini kali ia mulai lagi pikir soal Tuhan. Padahal semenjak sejahtera punya uang banyak, Satria jarang bingung-bingung sama diri sendiri. Tapi apa pun rasa-rasa itu, rasa ingin ikut laki kuat amat.
Jadilah, satu bulan lewat, Satria sudah di Jerman. Tahun-tahun awal ia tinggal di Jerman, ia bahagia amat. Sampai-sampai ia lupa sudah sama kampung orang tua. Songong ia pun bukan kaleng-kaleng. Pas di Jerman, rasa jadi orang Jerman, ia rasa-rasanya lupa bahasa negara sendiri.
Parah-parahnya, di semua jejaring sosial, ia hina-hina negara lahir lantas banding-bandingkan Jerman sama negara lahir. Pokoknya negara lahir itu macam tai, Jerman macam surga.
Malang Satria, pas lima tahun kawin. Si laki dapat tahu selingkuh sama wanita. Satria yang kini jadi macam tai. Tiada harga lagi di mata si laki. Satria dapat buang begitu saja.
Satu tahun lewat ia macam gembel saja. Hidup ia dibantu sama orang satu negara lahir. Untung saja, ada saja yang mau bantu padahal Satria sudah hina-hina negara lahir.
Banyak sesal di dada Satria, tapi apa daya bila punya kewarganegaraan modal selangkangan; habis isi, batok dibuang.
Begitu siksa hidup Satria tiada bikin punah seluruh rasa songong. Ia sukar pulang lagi ke negara lahir yang sudah ia hina-hina, Satria akhir-akhirnya jual diri di negeri orang.
Ujung cerita, resmi sudah ia punya gelar: “Banci Internasional.”
Selesai.