Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Ayunda dan Semestanya
1
Suka
5,317
Dibaca

Malang, di suatu sore yang hujan

Mimpi Ayunda banyak.

Saking banyaknya, ia tulis di buku agenda kecil yang sekaligus jadi buku harian serta tumpahan ide-idenya. Mimpinya banyak, tapi sederhana. Kebanyakan orang yang tak sengaja membacanya akan tertawa karena daftar mimpinya yang polos dan agak naif.

Hari itu salah satu daftar mimpinya berhasil ia coret. Wajah Ayunda sumringah, senyumnya merekah, sampai capek pipi kiri dan kanannya. Hari itu Ayunda menikah.

Ayunda menikah dengan laki-laki yang mewah, bukan karena harta atau rupa gantengnya, tapi karena laki-laki itu memang idamannya. Sifat, karakter, pembawaan diri, pemikiran, hampir kesemuanya adalah kemewahan bagi Ayunda. Laki-laki itu belum kaya hartanya, karena memang laki-lakinya sedang dalam fase perjuangan meskipun terbilang sukses untuk rintisan usahanya.

Laki-lakinya yang mewah itu, adalah idaman Ayunda sejak lama yang ia simpan rapi di tiap doanya. Sejak lama meskipun Ayunda pernah berpikir bahwa cintanya sepihak, ternyata dibalas dan berujung pada lamaran laki-lakinya.

Kini Ayunda bisa mulai mencoret satu-satu mimpi sederhananya.

*

“Apa sih itu?” tanya lelakinya di suatu malam yang dingin tak berbintang.

Kala itu mereka sedang duduk di halaman rumah kontrakan mereka yang kecil, sebulan setelah pernikahan mereka. Itu hampir menjadi ritual mereka, duduk di halaman sambil berbincang tentang apa saja selepas Isya. Ayunda duduk dengan membawa buku agendanya, benda yang ditanyakan lelakinya. Di meja kecil antara mereka duduk, terhidang kopi hitam milik lelakinya yang dibuat oleh lelakinya sendiri, saat Ayunda sedang asyik membuat jajanan kentang goreng yang saat ini terhidang di samping gelas kopi itu.

Ayunda menunjukkan tulisan di agendanya. Lelakinya tertawa, renyah sekali di telinga Ayunda.

“Daftar keinginan bersama s.u.a.m.i … ” lelakinya membaca judul tulisan Ayunda, setengah mengeja. Tulisan kata ‘suami’ sedikit berbeda, seakan kata itu baru ditulis belakangan.

Ayunda tertawa bangga. “Iya, daftarnya nggak susah kok, ini coba baca.”

Ayunda menunjuk satu baris dari daftarnya. Suaminya kembali tertawa, kali ini sambil mengelus kepala Ayunda penuh sayang.

Tangan kanan Ayunda yang memegang pena dengan sigap mencoret dua baris dari daftar di agendanya.

Menunjukkan daftar keinginan

Kepala diusap penuh kasih sayang

*

Perjalanan pernikahan Ayunda dan lelakinya menyenangkan. Tahun kelima pernikahan dan mereka hampir bisa melewati semua rintangan yang menerpa mereka. Di buku agendanya kini lelakinya ikut menulis daftar baru, impian-impian kecil mereka.

Satu-satu daftar keinginan Ayunda tercoret. Kebanyakan memang berisi impian pernikahan yang manis, yang sejak lama ingin dilakukan Ayunda bersama lelakinya. Daftar keinginan itu membuat semuanya lebih berwarna.

Orang-orang menyebutnya fase bulan madu, di mana konflik pernikahan sesungguhnya belum mengguncang mereka. Semuanya terasa baik. Hubungan dengan kedua keluarga lancar, pekerjaan lelakinya bebas hambatan, dan Ayunda mulai menggeluti hobi lamanya, membuat kue.

Ayunda amat bahagia. Nampaknya lelakinya juga. Kenangan mereka tumbuh, seperti pohon beringin yang besar, punya sulur-sulur yang bercabang, amat teduh untuk bersandar. Saat hujan, mereka bisa berteduh di bawah dedaunannya yang rimbun, saat panas dedaunan lebat itu juga menyambut mereka penuh sukacita.

Hal-hal sederhana menjadi kemewahan, hadiah kecil, kecupan hangat, serta senyum menghiasi rumah mereka yang mungil. Obrolan Ayunda dan lelakinya hampir tak pernah habis, salah satu bahan bakar api unggun yang menerangi dan menghangatkan keduanya.

Kemudian, seperti istilah bahwa kehidupan seperti sebuah kotak cokelat dengan ragam kepahitan dan manis di tiap batangnya, deru angin kehidupan menerpa Ayunda dan lelakinya.

Itu bulan September, lima bulan setelah ulang tahun Ayunda dan dua bulan juga setelah mereka memutuskan untuk mulai mempunyai buah hati. Manusia kecil yang nantinya dibesarkan dengan mimpi dan harapan Ayunda serta lelakinya, manusia kecil yang nanti dipanggil versi mini dari Ayunda atau lelakinya.

Setelah sebulan kabar gembira kehamilan Ayunda, lelakinya bangkrut. Usahanya ditipu, hutang mereka bertumpuk. Cicilan rumah yang perlu dibayar tiap bulan, kebutuhan sehari-hari, Ayunda yang hamil mau tak mau mulai bekerja. Ia mulai berjualan kue, tahu bahwa lelakinya sama tertekannya.

Namun trimester pertama kehamilan tak mudah. Ayunda lelah dan makin sensitif. Lelakinya buntu, memasang tembok tinggi asing yang amat kokoh. Pernikahan mereka yang sebelumnya mengalir dengan arusnya yang tenang, kini tertambat batu besar yang ternyata telaah membuat sebuah bendungan yang bila rusak menghancurkan sekitarnya.

Ayunda bersabar. Senyum lelakinya hilang, lebih banyak diam di kamar dan menjauh saat Ayunda mencoba mendekat, sekadar berbincang. Tembok kokoh lelakinya terasa makin tebal dan Ayunda merasa semakin rapuh. Ia tak kenal lagi lelakinya.

Laki-laki yang biasa menimpali tiap ucapannya, tawanya yang renyah, senyumnya yang menyejukkan ketika dipandang mata. Lelakinya yang turut menorehkan tinta di daftar impian di buku agenda Ayunda.

Lelakinya mulai jarang pulang ke rumah. Pulang larut malam, saat air mata Ayunda kering di bantalnya. Ayunda tetap bertahan, dengan mual dan perasaannya yang membuatnya seakan berjalan di atas benang tipis yang siap putus kapan saja. Namun Ayunda tahu, ia dan janinnya masih butuh makan. Ini bukan lagi tentang dirinya, namun juga tentang manusia kecil dengan cita-cita yang menyertainya, di tubuh Ayunda. Manusia kecil yang dulu sebelum menikah, ia yakin tak menginginkannya.

Lalu benang tipis kesabaran Ayunda putus.

Pembeli yang memesan kuenya kabur, modal Ayunda sia-sia dan kepala Ayunda serasa akan meledak. Lelakinya yang baru pulang siang itu, entah dari mana dengan wajah penuh keringat dan nampak letih, jadi sasaran ledakan emosi Ayunda.

Ayunda muntahkan semuanya. Kemarahannya, kekecewaannya, kesedihannya, kesakitannya, bahkan juga tentang bayi yang dikandungnya — yang ia tuduhkan pada lelakinya bahwa Ayunda sama sekali tak pernah ingin hamil. Semuanya adalah ide lelakinya, suaminya, yang mengecewakan, yang memasang tembok begitu tinggi seakan tak peduli pada Ayunda-nya, istrinya. Bahwa mungkin lebih baik Ayunda dan bayinya mati saja, lelakinya pun tak akan lagi peduli. Lelakinya sudah terlalu asing dan Ayunda merasa sendirian.

Daftar impian Ayunda hanya jadi tulisan penuh omong kosong.

Begitu amarahnya selesai dan Ayunda mengunci diri di kamar seharian, rasa bersalah menggerogotinya. Seperti belatung yang menggerogoti luka busuk yang terlambat disembuhkan, begitu gatal, nyeri dan menjijikkan. Ayunda jijik dengan dirinya sendiri, yang bisa berkata begitu kasar saat emosinya menguasai. Jijik karena ia berkata bahwa bayinya pantas mati.

*

Delapan bulan umur kandungan Ayunda. Perutnya makin besar, jalannya sulit dan tidurnya kurang. Ayunda duduk di halaman rumah dengan kebunnya yang asri, sedikit mengaduh karena punggungnya sakit dan kakinya membengkak.

Lelakinya masuk ke halaman rumah, sehabis lari pagi. Lesung di pipi kanannya samar terlihat saat matanya bertatapan dengan Ayunda. Lelakinya tertawa pelan saat Ayunda hanya tersenyum sekenanya, lebih terganggu dengan pegal di punggungnya daripada senang dengan kedatangan suaminya.

“Ini, jus alpukat tanpa gula pakai susu cokelat. Bener kan?”

Lelakinya meletakkan jus alpukat di meja dekat Ayunda, menusuk tutupnya dengan sedotan agar Ayunda bisa langsung meminumnya. Ayunda berkedip, mengiyakan, tak berselera menanggapi. Ayunda mengambil jus alpukat itu dan meminumnya.

Lelakinya menatap kaki bengkak Ayunda. “Tadi malem kamu nggak bisa tidur ya? Maaf ya, aku tidur lebih dulu.”

“Iya,” Ayunda bergerak sedikit di kursinya, mencoba merubah posisi punggung yang kurang nyaman. “Hari ini pertemuanmu sama Pak Radit, kemarin juga habis ngurus soal konveksi pabrik S, wajar kok kalau kamu pulas banget tidurnya.”

Lelakinya berjongkok di depan Ayunda, meraih kaki kanan Ayunda pelan dan memijatnya lembut. Tak banyak kata pagi itu, Ayunda lebih memilih menikmati just alpukat serta pijatan lelakinya yang terasa nyaman.

Kurang lebih tujuh bulan lalu pertengkaran mereka, seminggu Ayunda bersedih di kamarnya, lalu akhirnya lelakinya mendatanginya. Meminta maaf. Permintaan maaf tulus dengan satu tangkai bunga mawar merah yang hampir layu karena Ayunda agak terlalu lama keluar dari kamar, bimbang apakah ia masih mau mendengarkan lelakinya.

Penuh tangisan malam itu, kebanyakan berasal dari lelakinya yang merasa tak berdaya dan tak berguna, meminta maaf bahwa Ayunda adalah hal terindah di hidupnya. Ayunda adalah semesta lelakinya, di mana dunia lelakinya berpusat yang selalu ingin ia bahagiakan. Lelakinya hanya terlalu tertekan, sampai lupa bahwa ia memiliki Ayunda serta manusia kecil yang bergantung padanya. Lelakinya merasa khilaf, merasa telah mengkhianati janji pernikahan mereka, bahwa susah senang mereka hadapi bersama.

Begitulah, ternyata sesederhana itu amarah Ayunda hilang. Kerinduan Ayunda akan lelakinya lebih besar dibanding amarah ataupun kekecewaannya pada lelakinya. Lalu seperti biasa, kehidupan terus berjalan.

Ayunda masih tetap berjualan kue, sedang lelakinya tetap gigih mencari nafkah. Tak mudah, namun kali ini mereka saling bicara. Betapapun sulit dan pahitnya, Ayunda adalah rumah bagi lelakinya, begitu juga lelakinya adalah tempat pulang Ayunda. Kehamilan Ayunda terus bertambah umurnya, makin besar. Usaha lelakinya terus berjalan, pelan, namun memperlihatkan hasil. Saat perut Ayunda terlalu besar untuknya bisa berdiri terlalu lama, lelakinya sudah mampu membiayai dan melunasi hutang-hutang mereka.

Hidup kembali terasa ringan. Lelakinya kembali hadir, lebih hangat dan ceria. Kehamilan Ayunda disambut bahagia oleh orang tua mereka. Ayunda jadi pusat perhatian, agar manusia yang dikandungnya sehat. Lelakinya adalah pusat semestanya.

Ayunda dan lelakinya hanya perlu menghitung hari lahirnya putra mereka.

*

Cerah sekali pagi itu, langit biru tanpa awan, hanya saja angin berhembus cukup kencang. Di Senin pagi yang sibuk, bebarengan dengan keberangkatan orang-orang pekerja dan anak sekolah, tepat hampir pukul tujuh pagi, Ayunda diboyong ke rumah sakit.

“Kontraksi, pembukaan,” sebut Ayunda di tengah kesakitannya.

Lelakinya amat sibuk, menyalakan mobil, mengantarkan Ayunda ke rumah sakit, tergopoh-gopoh memanggil dokter, perawat atau siapapun yang bisa menangani Ayunda saat itu juga. Itu kali pertama sang lelaki melihat wajah pucat dan kesakitan Ayunda. Ayunda tak berkata apa-apa, hanya rintihan kecil, mungkin terlalu payah untuk bicara.

Hari yang cerah untuk menyambut keluarga baru, kata orang-orang.

Lahir hari Senin tanggal 4 bulan 4, tanggal kelahiran yang bagus, kata orang-orang.

Anak pertama laki-laki, pasti membanggakan dan ganteng seperti rupa bapak dan ibunya, kata orang-orang.

Malam tanggal 4, bulan 4 yang tanggalnya kata orang-orang bagus, sang lelaki jatuh pingsan.

*

Enam bulan lalu, tanggal 4 bulan 4 yang bagus itu, Ayunda berhasil melahirkan bayi laki-lakinya. Namun ternyata, sang bayi meninggal karena tersedak air ketuban. Ayunda merasa semestanya yang ia bawa selama sembilan bulan, yang selalu melekat padanya bahkan saat lelakinya pergi di awal-awal kehamilan, yang bisa ia rasakan tendangan kecilnya di tiap malam, semestanya yang membuat kakinya bengkak dan susah tidur, diambil darinya begitu saja. Bahkan sebelum ia bisa memberikan air kehidupan yang tumpah ruah di dadanya, menunggu untuk disedot bayi malang itu.

Hidupnya hampa. Seakan sesuatu benar-benar direbut dari dirinya, sesuatu yang amat berharga dan Ayunda rela tukar nyawa dengannya. Apalah arti seorang ibu tanpa anaknya? Ratapan sekencang apapun, air mata sebanyak apapun, tak bisa mengembalikan bayinya. Putra kecilnya yang lucu, yang nampak biru tanpa napas itu. Putra yang benar ganteng rupanya, perpaduan Ayunda dan lelakinya.

Enam bulan itu Ayunda menangis, dengan dan tanpa air mata. Menyalahkan semuanya. Dirinya sendiri, dokter, perawat, satpam, orang tuanya, terutama suaminya. Suaminya yang dulu meyakinkannya untuk punya anak, anak yang ternyata terenggut begitu saja setelah Ayunda mampu membuka hatinya. Anak yang diambil begitu saja, tanpa sempat tidur kekenyangan karena minum ASI-nya.

Senyum dan sinar di mata Ayunda hilang. Air matanya sudah kering, terlalu banyak menangis menguras keran air matanya. Ayunda tak sama lagi. Badannya kurus kering, nafsu makannya hampir hilang, Ayunda tak pernah lagi ikut duduk di halaman depan rumah bersama lelakinya.

Lelakinya, yang juga merasa pedih karena kematian putra mereka, benar-benar berusaha. Sang lelaki tak pernah pulang terlalu malam, selama enam bulan selepas Isya sang lelaki pasti sudah ada di rumah. Memasakkan makan malam, memesan makanan online atau membeli makanan di warung, menjadi alarm bagi Ayunda untuk makan.

Lelakinya yang bangun pagi, membersihkan rumah, menyiapkan sarapan sebelum pamit untuk kerja. Siang pukul satu, sang lelaki akan menyempatkan pulang, mengingatkan Ayunda makan, mengecup keningnya atau menyempatkan diri untuk menyisir rambut Ayunda penuh kasih sayang.

Tiap hari sang lelaki akan berusaha mengajak Ayunda berbincang, tentang apa saja seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Mengajak Ayunda tertawa, membelikan mainan seperti puzzle, UNO atau monopoli. Membelikan Ayunda buket bunga, berusaha mewujudkan daftar impian di buku agenda Ayunda. Namun Ayunda bergeming, ia lebih mirip mayat hidup yang diberi makanan manusia yang bernapas sebisanya.

Suatu malam sebelum tidur di atas ranjang, sang lelaki mulai bercerita seperti malam-malam selama enam bulan terakhir.

“Seperti yang pernah kita bahas kalau kenyataan itu lebih aneh dari fiksi, nah temen kerjaku si Pak Rio ini aneh banget. Mungkin bisa dibilang memang agak sakit secara mental. Kadang dia bisa jadi orang yang paling peduli, simpatik yang nggak tega ngebunuh semut sekalipun, tapi kadang dia juga bisa tega, nggak peduli anak istrinya di rumah, dia main judi, main perempuan, sampai aku pernah ngelerai dia waktu mau hajar pengamen gara-gara tersinggung … ”

“Sayang … ”

Sang lelaki terdiam. Ceritanya terhenti. Ini kali pertama dalam enam bulan terakhir Ayunda memanggilnya ‘Sayang’, panggilan yang mereka tetapkan sejak awal hubungan mereka — bahkan sebelum menikah. Enam bulan terakhir Ayunda hampir tak pernah memanggilnya, lebih sering langsung menepuk pundaknya pelan atau lebih memilih memanggil nama depannya lirih. Enam bulan juga Ayunda hanya akan diam saat sang lelaki bercerita sampai nanti lampu dimatikan dan mereka berangkat tidur.

“Apa aku boleh pergi travelling sendiri?”

Sang lelaki menatap Ayunda, seakan takjub bahwa istrinya bisa bicara. Lebih takjub lagi karena kalimat yang diutarakannya justru permintaan untuk solo travelling.

“Mungkin aku butuh waktu sendiri. Udah lama aku nggak bepergian, siapa tahu aku bisa lebih baik setelah pulang travelling.”

“Iya, memang udah lama kita nggak kemana-mana … ”

Sang lelaki menatap mata Ayunda dalam, ada yang berbeda dari mata istrinya malam itu. Itu bukan lagi sinar mata orang yang kehilangan minat hidup, ada sebuah sinar kecil yang amat samar dapat ditangkap sang lelaki.

“Kita pergi bareng ya? Aku nggak mau kamu sendirian.”

Ayunda menggeleng, amat tegas mengejutkan sang lelaki.

“Cuma dua hari, satu malam. Aku mau pergi sendiri.”

Sang lelaki menatap Ayunda, mencari-cari. Itu sebuah kesungguhan.

*

Semesta Ayunda terus berjalan, terhitung hari, bulan, tahun. Tiap malam ia dan lelakinya kembali duduk di teras halaman rumah mereka yang kini ditumbuhi pohon kelor yang rimbun daunnya. Pohon itu ditanam lelakinya setahun lalu, dari batangnya yang kurus yang dia ambil dari rumah orang tuanya.

Senyum Ayunda telah kembali, merekah terus bersama dengan tawa lelakinya. Tiga tahun yang lalu, setelah Ayunda pergi travelling sendiri, setelah kematian putra mereka, Ayunda kembali menjadi dirinya.

Ayunda bercerita, dua bulan setelah perjalanannya, travelling itu mengembalikan jiwanya. Ia bertemu dengan orang-orang, mengisi jiwanya dengan cerita-cerita mereka. Ayunda pergi ke panti jompo, menjadi relawan selama dua hari. Menyaksikan manusia-manusia di lembar lapuk mereka, rapuh, kebanyakan kesepian.

Ada yang punya banyak anak dan cucu, ada yang sebatang kara, ada yang punya banyak harta, ada juga yang miskin dan bergantung pada santunan. Kemewahan mereka adalah jika dikunjungi oleh sanak saudara, diajak berbincang, atau sekadar ditemani minum teh di halaman panti. Namun pesan mereka terdengar sama, nikmati waktu yang ada. Entah bersama anak, atau hanya dengan pasangannya. Waktu terlalu berharga dan terlalu cepat berlalu. Kesedihan, ratapan, dan keraguan hanya membuang-buang waktu yang berharga itu.

*

“Apa harapan yang kamu inginkan, yang kamu tahu nggak mungkin bisa terjadi?”

Lelakinya mengerutkan kening, berpikir.

“Memang ada?”

Ayunda mengangkat bahu. “Siapa tahu ada. Misalnya lebih memilih cinta pertamamu itu, yang sempat datang waktu nikahan kita.”

Lelakinya tertawa, lalu diam sejenak.

“Ada”

“Apa?”

“Menemukanmu lebih awal”

“Gombal!”

Ayunda dan lelakinya tertawa.

*

Usia lelakinya minggu ini akan genap enam puluh dua tahun, di bulan Januari di musim hujan yang dingin di kota sejuk itu. Ayunda menepuk pelan paha lelakinya di ruang tunggu rumah sakit yang lengang, menenangkannya.

Mereka duduk di depan ruangan dengan papan nama bertuliskan ‘Neurolog’, menunggu hasil pemeriksaan sang lelaki. Lelakinya gelisah, menggenggam telapak tangan Ayunda, terasa dingin dan berkeringat.

Nama lelakinya dipanggil, mereka berdua berdiri dan masuk. Genggaman lelakinya terasa lebih erat.

Alzheimer adalah penyakit otak yang menyebabkan penurunan daya ingat, menurunnya kemampuan berpikir dan berbicara, serta perubahan perilaku. Penderita Alzheimer akan sering melupakan banyak hal, dari hal-hal kecil seperti memori jangka pendek yang nantinya juga bisa melupakan kenangan jangka panjang.

Cara bicara dokter saraf itu terdengar lebih mirip robot daripada manusia, dan terngiang-ngiang di kepala Ayunda bahkan sampai mereka tiba di rumah. Ayunda memperhatikan lelakinya, yang berekspresi kosong sejak di rumah sakit. Lelakinya belum mengucap satu kata pun, hingga malam hari, saat mereka biasanya duduk di teras rumah.

Malam itu lelakinya lebih memilih duduk di ruang tamu, mengacuhkan kopi hitam yang dibuat Ayunda di meja. Tatapannya kosong. Ayunda duduk di sebelah lelakinya, memperhatikannya, diam tanpa bicara.

Semenit, dua menit, bahkan sampai sepuluh menit.

Tiba-tiba lelakinya menangis.

Ayunda membiarkan emosi lelakinya tumpah. Lelakinya yang lembut, yang santun kata serta jiwanya. Ayunda tahu tangisannya tentang apa, tentu saja. Ayunda adalah pusat semesta lelakinya.

“Aku bisa terima kalau aku lupa hal-hal kecil, lupa tentang film yang baru kutonton, lupa tentang kacamata yang baru aku pakai, atau bahkan lupa tentang masa kecilku dulu. Tapi … kalau aku lupa segalanya tentang kamu, gimana aku bisa hidup? Kamu pasti akan sedih lihat aku lupa kamu, hal-hal kecil tentang kamu, daftar-daftar impianmu, hal yang sudah kita lakukan bersama. Awal pertemuan kita, pernikahan, kehamilanmu, rasa-rasa sakitmu, malam-malam kita berdua. Aku … ”

Tangis lelakinya makin kencang dan Ayunda mendengarkannya. Ia menepuk pundak lelakinya lembut. Dengan tangan yang lain ia usap punggung tangan lelakinya yang keriput, tangan yang telah sering tergenggam di waktu-waktu sebelumnya. Mereka tak lagi muda, senja mereka mulai tiba.

Saat tangis suaminya mereda, Ayunda berbisik di telinga suaminya,

“Kalau kamu lupa, aku akan jadi mesin waktumu, alarm pengingatmu dan buku agenda itu akan jadi histori kecil kita.”

Januari, 2023

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Cerita yang manis dan mengharukan.
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Bronze
Tuan yang Abadi dalam Intuisi
Nada Khalisha I.
Cerpen
Ayunda dan Semestanya
Ani Hamida
Novel
MAWAR
siti rahmah
Novel
Bronze
Stuck On You
Venny Lestari
Flash
Gula
Nurmala Manurung
Cerpen
Bronze
PERPISAHAN YANG TAK MAMPU DI HADAPI
agus tardi rohenda
Novel
Bronze
Forget Me Not
Muala
Novel
After Meet Sunrise
Siti Shella Sari
Novel
Bronze
With You ( Kiran & Rangga )
siti qomariyah
Novel
Gold
Dear Nathan
Coconut Books
Novel
Gold
WRITE ME HIS STORY
Mizan Publishing
Novel
SENJU33MAXX
SENJU33
Flash
Bronze
Di Ujung Ranting
Yasin Yusuf
Novel
Bronze
Make Me Go
anisa nabila putri
Novel
Bronze
Altar & Altarik
Reza Lestari
Rekomendasi
Cerpen
Ayunda dan Semestanya
Ani Hamida
Cerpen
MAWAR-MAWAR
Ani Hamida
Cerpen
Museum Memori Mbah Min
Ani Hamida
Cerpen
NEGERI YANG PENDUDUKNYA GUNDUL
Ani Hamida
Cerpen
SURYA TAK MAU JADI MALIN
Ani Hamida
Cerpen
SOP AYAM AYAH
Ani Hamida
Cerpen
CALON MANTU
Ani Hamida