Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tegaskan lagi bahwa ayahku bukan pembunuh. Setiap waktu dan setiap hari, orang - orang mengatakan bahwa ayahku adalah pembunuh banyak orang, ayahku adalah orang yang keji, mereka mengatakannya seakan ayahku seperti psikopat, seakan ayahku yang merencanakan pembunuhan tanpa merasa bersalah. “Hahaha, Sungguh ironis, bagaimana orang - orang menyembunyikan kebusukannya dengan membunuh ayahku berserta keluarga indahnya.”
Akan aku ceritakan sedikit tentang diriku, aku bukan siapa-siapa, aku orang yang hidup tidak dengan ketercukupan, melainkan aku hidup dengan segala kekurangan, tidak semua aku bisa dapatkan, aku hidup seperti pohon mati yang tumbuh di tanah yang subur. Meski aku hidup dengan kekurangan tapi aku bukan orang yang tidak bisa berbuat apa - apa, aku hanya dibuat tidak bisa mendapatkan semuanya.
Di rumah, tempat di mana aku merasakan keindahan semuanya sangat tenang di sini, tidak ada yang mewah, tidak ada yang berlebih - lebihan di sini, semuanya sangat sederhana, dan semua kesederhanaan itu harus dinikmati dan dilalui bersama. Yaaa, begitu yang ayahku ciptakan, begitulah yang ayahku ajarkan kepadaku.
Mungkin tidak semua kesederhanaan ini benar - benar aku nikmati, munafik bagiku jika tidak menginginkan juga sedikit ketercukupan, karena aku mulai dewasa, umurku sudah 17 tahun, umur di mana rasa ingin segalanya mulai membara. Di saat rasa menginginkan itu datang, aku hanya bisa mengajak ayahku berbincang, aku hanya bisa bertanya kepada ayah.
“Ayah... Kenapa ayah tidak bisa membuat aku, ibu, dan adik, hidup dengan ketercukupan, mengapa kami juga harus ikut ayah untuk merawat jagung yang ayah tanam di gunung yang indah ini”
“Kenapa juga harus di gunung ayah?, apa tidak ada tempat lain dan perkerjaan lain yang bisa ayah lakukan dan ayah bisa dapatkan?”
Yaa pertanyaan itu aku lontarkan di saat aku duduk berdua di gunung setelah memupuk jagung satu hektare. Aku hanya ingin tahu jawaban kenapa hidup sederhana ini yang aku dapatkan, mungkin setelah mendengar jawaban aku bisa tahu apa yang harus aku perbuat, atau aku tahu yang sebenarnya. Lalu dengan suara dan nada yang halus, ayahku menjawab.
“naakk, walaupun ayah menghidupi kalian dengan menanam jagung di gunung, ayah rasa ini sudah cukup bagi kalian, kalian tidak harus hidup dengan ketercukupan, cukup seperti ini, sederhana saja”
“ayah juga tidak ingin kamu seperti mereka, hidup dengan sangat berkecukupan, hidup dengan semua yang bisa didapatkan, tapi mereka selalu hidup dengan ketidakpuasan. Rakus”
“Karena kerakusan merekalah ayah tidak diberikan tempat, ayah tidak mendapatkan tempat di kota, mereka yang membuat ayah harus hidup dengan apa yang kamu lakukan sekarang di gunung “
Sepertinya aku sudah mendapatkan jawabannya, ayahku bukan tidak bisa membuat keluarganya hidup enak, tapi ayahku seperti sedang dibunuh, yang pada intinya ayahku sedang berjuang untuk mencari dan memanfaatkan dari sisa - sisa yang terbuang.
Di musim hujan ini jagungku tumbuh dengan subur. hanya sekedar melihat daunnya yang hijau cukup membuat ayahku tenang dan bahagia, dia selalu bersemangat menyambut lerai hujan yang turun untuk menyiram tanaman jagungnya, tidak ada pinta lain yang bergema di dalam hatinya selain air mata Tuhan yang turun menyirami bumi.
***
Pada suatu hari, hujan turun dengan deras, langit seperti melepas duka yang terlalu lama dipendam. Lima hari lima malam tanpa jeda, bumi diguyur air tanpa ampun. Namun, ini bukan hujan yang ayah harapkan, ini bukan hujan yang menyuburkan, tapi hujan yang membawa bencana pembunuhan. Ketika butir-butirnya jatuh di atas ladang, wajah ayah berubah antara bahagia yang risau, wajahnya mulai samar-samar takut, dan cemas yang menyelinap diam-diam. Sebab ia tahu, air itu bukan lagi berkah untuk jagungnya, tapi kutukan yang kelak membuat ladangnya jadi alasan, dan namanya jadi tertuduh.
Setelah itu penindasan pun mulai terjadi, sebab bencana yang membunuh banyak orang mulai datang, orang – orang kota mulai menuduh ayahku adalah wabah, ayahku yang membunuh mereka. Mereka menuduh ayahku seakan mereka adalah manusia suci yang tidak ikut menyebabkan pembunuhan itu terjadi, dengan tidak berdosanya mereka membunuh ayahku lalu menyiksanya di dalam kematian.
Mereka tidak pernah benar-benar melihat ke dalam diri mereka sendiri bahwa jalan-jalan beton yang mereka bangun telah menutup aliran air. Mereka lupa bahwa rumah-rumah megah yang berdiri angkuh itu dibangun di atas penderitaan yang mereka sulap dengan kemewahan. Mereka hanya ingin kenyamanan, tanpa peduli pada keseimbangan. Lalu saat bencana datang, mereka tunjukkan jari mereka ke arah orang seperti ayahku yang hanya bercocok tanam dengan tangan sendiri, di tanah yang bahkan mereka anggap tak berguna. Kesalahan mereka sendiri tak pernah diakui, karena lebih mudah menciptakan kambing hitam dari pada menghadapi cermin.
Sungguh keji, ayahku yang hanya hidup dari apa yang mereka buang, harus mereka tindas. Mereka menghukumnya tanpa memikirkan kesusahan yang sesungguhnya mereka ciptakan sendiri. Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa segala yang mereka tanam keserakahan, pengabaian, dan kerakusan itulah yang kini mereka petik sebagai bencana.
Sekarang pertanyaannya adalah siapa yang pembunuh?, ayahku yang membunuh mereka?, atau mereka yang membunuh ayahku?, atau mereka sedang membunuh dirinya sendiri?, atau mungkin, ayahku dan mereka sedang saling membunuh?.
Namun pada akhirnya, tetap ayahkulah yang dipilih sebagai kambing hitam dari luka yang tak pernah mereka akui. Tetap ayahkulah yang dipaksa menjadi tersangka dalam cerita yang mereka ciptakan sendiri, naskah murahan dengan aktor utama yang tak pernah diberi dialog. Tidak ada ruang untuk pembelaan, tidak ada panggung untuk menjelaskan. Ayahku diam, bukan karena kalah, tapi karena ia tahu melawan sistem adalah seperti menjerit dalam laut, tak akan pernah terdengar, hanya menenggelamkan diri lebih dalam. Baginya, suara adalah sebilah pisau yang akan menikam balik ke dada sendiri. Karena itu, ia memilih membisu.
“Melawan adalah bentuk paling sunyi dari upaya membunuh diri sendiri.”
Dan dari sunyi itulah, ayah membungkus luka-luka dengan pasrah. Ia berjalan dalam dunia yang tak memberinya nama, kecuali nama indah: “pembunuh berencana.” Padahal yang ia tanam adalah jagung, bukan duka. Yang ia tabur adalah kerja, bukan kehancuran. Tapi dunia telah lama menolak mendengar kebenaran yang lahir dari peluh dan kesederhanaan. Mereka hanya mau cerita yang bisa menyelamatkan wajah mereka sendiri. Maka ayahku harus dikorbankan, bukan karena ia bersalah, tapi karena ia menikmati indahnya menjadi pelaku dalam korban.
Tak seorang pun layak dihujani cela hanya karena rezekinya tumbuh di tempat yang tak kita mengerti. Pekerjaan bukan dosa, meski tak menguntungkanmu. Sebab tak semua kerugian datang dari kesalahan, dan tak semua yang merugikanmu patut dipersalahkan. Kita hanya lupa: dunia tak berputar pada poros diri sendiri.