Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku termenung di kursi dipan. Membiarkan gorden tertutup rapat tanpa cahaya lampu, sehingga rumah ini gelap meskipun matahari sudah terbit sedari tadi.
Aku terduduk membisu, dengan pikiran kosong dan tatapan sayu. Tak kuhiraukan apapun di sekelilingku meskipun kini aku mendengar suara seseorang mengetuk pintu—dan berakhir membuka pintu sendiri karena aku hanya diam.
"Sea ..., Sarapan yuk, nak!" Mbak Noni, seorang wanita paruh baya yang sangat kukenali berjalan mendekat.
Dan aku tetap mematung tanpa menghiraukan kehadiran tetanggaku itu.
"Ayo, sedikit aja gak papa, yang penting kamu makan." Aku tak berpaling sedikit pun, tetap menatap kosong lurus ke depan. Sudah dua hari ini aku tak makan sesuap nasi pun. Dan sayangnya aku masih bernapas, meskipun dalam lubuk hatiku berharap malaikat maut siap menjemputku sekarang juga. Agar aku bisa menyusul ayah, yang sudah bahagia karena berkumpul lagi dengan ibu.
Ketika Mbak Noni menyodorkan sesendok makanan kedepan mulutku, aku meliriknya malas. Namun hanya sedetik, karena setelah tahu apa yang di bawa Mbak Noni aku langsung menepis kasar tangannya yang masih terulur, membuat sesendok bubur ayam itu jatuh dan tercecer di lantai.
Aku bangkit dari dudukku dengan gerakan gusar. Mataku menatap tajam Mbak Noni yang baru saja berteriak kaget. Dan dengan tatapan nanar, kupandangi semangkuk bubur ayam di genggamannya.
"Pergi!" Aku berucap lirih namun penuh penekanan, Mbak Noni tergagap mencari kain lap, berusaha membersihkan lantai yang kotor.
"Pergi dari sini! Aku bilang pergi!" Sekarang aku berteriak keras sembari menendang kursi kayu di depanku, Mbak Noni spontan berdiri meraih lenganku.
"Tenang Sea ..., mbak cuma mau kamu makan nak. Mau ya? Sedikit saja ...."
Jantungku berdegup semakin kencang. Bayangan kejadian dua hari lalu kembali terlintas di pikiranku, membuatku semakin tak kuasa mengontrol emosi.
"Nggak ada yang perlu aku makan! Pergi! Aku nggak butuh siapapun! Aku cuma mau ayah! Biarin aku mati sekalian, biar aku bisa bareng ayah lagi!" Dan air mata yang sempat mengering, kini kembali mengalir dengan deras. Tubuhku melemas dan terduduk begitu saja di lantai, tersendat-sendat menahan isakan. Mbak Noni dengan mata berembun perlahan mendekatiku.
"Sea ..., ayah kamu akan sedih jika kamu seperti ini. Tubuh kamu perlu energi, kamu harus makan. Sedikit saja, mbak mohon."
PRANG!!
Mataku berkilat nyalang namun dengan tubuh bergetar, melihat mangkuk bubur ayam yang baru saja ku lempar dan pecah, membuat isinya tercecer di lantai.
Seporsi bubur ayam yang berceceran.
"BUANG!! AKU NGGAK MAU LIAT ITU!!" Sesaat setelahnya aku berlari ke kamarku, mengunci pintunya dan meringkuk di pojokan. Tersedu sedan menyadari semua yang telah hilang dariku.
Belum reda isakanku, terdengar suara klakson yang berbunyi bersahutan. Terdengar biasa karena rumahku yang dekat jalan raya, namun sekarang suara itu tidak lagi menjadi hal biasa bagiku. Suara itu sangat menyeramkan, seakan sebuah alarm merah yang membuatku teringat semuanya. Aku semakin erat memeluk diri sendiri, menutup telingaku yang berdenging, seakan banyak bisikan mengerikan menghujamiku.
"Ayah ..., Maafin Sea, maafin Sea."
Seporsi bubur ayam di pagi itu, bubur ayam yang seharusnya masih menjadi makanan favoritku, sebelum kejadian hari itu datang.
Kejadian yang kini kembali berputar ulang di ingatanku.
"Ayah, ayo beli bubur ayam! Kan sekarang ultah Sea ke 15." Hari itu, tepatnya dua hari yang lalu adalah ulang tahunku yang ke limabelas. Dan seperti tahun-tahun kemarin, kami merayakannya dengan jalan-jalan keliling alun-alun dan dimulai dengan sarapan bubur ayam kesukaanku.
"Bisa di tunda dulu nggak, nak? Kepala ayah sakit."
"Iiihh ayah! Kan Ayah udah janji, massa Ayah ingkari. Ayolah ..., sebentar doang, deh. beli bubur terus pulang, Jalan-jalannya skip dulu."
Ayah, seperti biasanya. Selalu tersenyum lembut dan berakhir mengangguk jika sudah melihat putri tersayangnya ini merengut kesal. Ayah bangkit dari tidurnya dan terlihat memegangi kepalanya sejenak, namun aku tak memikirkan hal apapun yang lainnya. Hari ini aku ultah, aku sangat happy dan aku bisa membeli apapun yang ku mau jika jadi untuk jalan-jalan nanti.
Aku berjalan cepat dengan semangat, sedangkan Ayahku tersengal mengikuti langkahku.
Bubur ayam itu berada di seberang jalan besar, dan aku ingin ikut menyeberang. Namun ayah melarangku, dia selalu menganggapku anak kecil, padahal umurku sudah 15 tahun. Jadi berakhirlah aku hanya menunggu di tepi jalan, menatap Ayah di kejauhan, sembari tidak sabar membayangkan seporsi bubur ayam kesukaanku itu.
Tak lama aku melihat Ayah melambai dengan seporsi bubur ayam di kantong plastik yang di bawanya.
Aku tersenyum riang dan melambaikan tangan, menyuruh ayah cepat untuk menyeberang. Ayah segera menyeberang, namun tak tau kenapa ayah tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
"Ayah, cepet kesini iihh!" Aku sedikit kesal berteriak memanggilnya, dan belum sempat aku mencerna apa yang sebenarnya terjadi tiba-tiba suara klakson mobil terdengar kencang memekakkan telinga, bersahutan dengan kendaraan lain.
TIIIN! TIIIN! TIINN!
"AYAAAAH!" Dan tanpa bisa dicegah, mobil itu menabrak dengan kencang tubuh ayahku yang tidak sempat menghindari mara bahaya yang mendatanginya.
Membuat kantong berisi bubur ayam itu terlempar, dengan isinya yang jatuh berceceran tepat di depan kakiku.
Dan aku masih mematung, terpaku.
Tenggorokanku tercekat. Pagi itu aku tidak menyadarinya, jika ayah berhenti berjalan karena memegangi kepalanya yang kembali sakit.
Aku menatap kejauhan yang mulai ramai orang.
Mendekati tubuh Ayahku yang bersimbah darah, tidak bergerak lagi.
Masih terbayang di pelupuk mataku senyuman ayah yang selalu menyambut hari-hariku. Tak peduli apapun kesakitannya, ia pasti akan tersenyum kepadaku setiap waktu.
Anak macam apa aku ini?
Ayah sakit, dan aku tetap memaksanya menuruti keinginanku?
Hanya demi makanan kesukaanku.
Andai aku tak memaksa Ayah membelikanku bubur ayam, Ayah pasti masih berada di sisiku sekarang.
Andai aku menjadi anak yang baik, pasti aku tetap memiliki ayah yang begitu menyayangiku.
Sejahat itu diriku dengan ayah sendiri?
Hari itu ultahku yang ke limabelas dan aku menerima kado terburuk seumur hidup.
Ayah ..., Maafkan Sea.
***
Suara klakson masih terdengar, padahal aku berusaha serapat mungkin menutup kedua telingaku. Suaranya terdengar keras dan saling bersahutan, seakan kompak berkerja sama untuk mengingatkanku akan kejadian itu.
TIIN! TIIN!
Suara klakson bersahutan. Sebelum terdengar suara tabrakan kencang ..., BRAK!
"DIAMLAH!! "
PRANG! Kulempar gelas yang berada di meja sampingku, sampai pecah berkeping-keping.
Aku mohon, berhenti.
Aku sakit, aku sendirian dan aku tak mau mengingat semuanya.
Tolong hentikan! bunyi klakson itu selalu mengingatkanku akan kejadian itu. Mengingatkanku kalau ayah sudah tiada, malaikat tercintaku sudah meninggalkanku untuk selamanya.
"Gimana Sea, mbak?"
"Tetap nggak mau makan, padahal aku udah bawain bubur ayam, yang katanya makanan kesukaannya, tetep nolak dan tadi malah buburnya dilempar. Aku takut anak itu kenapa-napa."
Dan apakah ketika seperti ini indra pendengarku justru semakin tajam—sampai obrolan Mbak Noni dengan tetangga di ruang tengah masih dapat terdengar di telingaku yang kututup rapat.
Tanganku tergerak mengambil sekeping pecahan gelas. Dan dengan kesadaran penuh, kugoreskan pecahan beling itu ke lenganku. Menikmati perihnya, seakan ini adalah bentuk keadilan akan penyesalanku terhadap ayahku sendiri.
Aku kembali meringkuk dengan tubuh bergetar. Suara percakapan Mbak Noni dan tetangga kembali terngiang di telinga.
Tidakkah mereka tau bubur ayam sekarang menjadi barang yang menakutkan bagiku? karena dengan melihatnya cukup membuatku tersadar kembali, akan betapa jahatnya aku sebagai seorang anak.
Andai aku jadi anak yang baik, dan memilih merawat Ayahku daripada memaksanya membeli bubur ayam, pasti dia tidak akan mati tertabrak mobil. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa memakannya jika karena seporsi bubur ayamlah yang membuat ayahku pergi—menyusul ibu yang telah lama dahulu pergi.
Kugenggam pecahan beling itu erat-erat. Membiarkan tetesan darah mulai membasahi lantai, dengan harapan ingatan akan semua ini dapat lenyap sejenak.
Seporsi bubur ayam, dan suara klakson yang bersahutan.
Kedua hal itu, sangat ingin ku hindari sekarang.
Namun perasaanku sendiri yang tak bisa kuhindari.
Perasaan bersalah, dan penyesalan atas kepergian Ayah.
"Ayah ..., Maafkan Sea."