Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap kali melihat sungai keruh, berarus deras, berpusar-pusar, aku terkenang pada ayah di seberang sungai. Ayah bersama beberapa penebang pohon, teman-teman kerja Ayah. Hanya saja tak sama keadaan ayah dengan mereka.
Ayah sekarat. Telentang di tandu buatan dadakan. Digeletak di rerumput. Basah oleh rintik hujan. Kain melilit beberapa anggota tubuh dan kepala Ayah untuk menghentikan pendarahan. Daun-daun lebar disulap menjadi payung Ayah seadanya.
Teman-teman Ayah masih mencari cara bagaimana menyeberangkan Ayah. Ayah masih tak sadar dan makin mengkhawatirkan akan bertahan hidup. Ayah akan lama diseberangkan jika menunggu sungai tenang. Sampai kapan menunggu tak pasti?
Di hulu, mendung masih menunjukkan hujan. Maka aliran sungai pun akan terus berarus deras, keruh, dengan pusaran-pusaran yang mematikan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Rakit dan tali penyeberangan yang melintang di antara tepian sungai, sudah terseret arus. Tak bisa mereka menyeberang.
Tak bisa aku berbuat apa-apa. Aku terduduk di rumput berlumpur. Menangis. Ibu juga menangis. Mondar-mandir di hadapanku.
"Ya, Rabbiii, ya Tuhankuuu. Bagaimana ini? Neupeuseulamat (selamatkan), Suamiku. Mudahkan kami bawanya ke puskesmas. Tak bisa menunggu begini."
Selendangnya sudah jatuh ke pundak dan melilit leher. Sarung yang dikenakan Ibu, sebagaimana kebiasaan perempuan paruh baya di sini, juga basah dan terkena lumpur. Sendalnya sudah putus, terperosok lumpur saat kami berlari dari rumah ke tepi sungai usai mendengar Ayah kecelakaan di lokasi penebangan.
Ini menyedihkan sekali, Tuhan. Ayah sudah sekarat, lalu kini sulit dibawa ke puskesmas. Hari juga sudah sore. Aku menangis tersedu-sedu. Berdoa dalam hati jangan mengambil Ayah kami. Ada dua adik dan aku masih SMP. Kami butuh Ayah.
Ayah sesekali mengajak aku ke lokasi penebangan. Kami naik rakit untuk menyeberang menuju ke dalam hutan. Aku membawa ketapel mencari burung-burung di sela pohon-pohon tinggi yang sudah puluhan tahun hidup. Ayah dan teman-teman kerjanya hanya mencari pohon besar.
Tebang pohon sebenarnya ilegal. Begitu kata Pemerintah. Tebang pohon, efek yang tampak akan menyebabkan banjir dan longsor. Tapi Ayah dan beberapa teman masih bergelut dengan tebang kayu. Ini mata pencaharian pemukiman kampung kami ketika kebun belum panen.
Tak ada penghasilan kampung kami selain dari kebun, hutan, sungai, dan ternak. Hasil semua itu, seminggu sekali diturunkan ke kota untuk dijual ke pasar, sekaligus beli kebutuhan untuk seminggu kemudian sebelum turun ke kota lagi.
Kami sudah diberi penyuluhan oleh dinas-dinas yang kini jadi pemilik hutan itu [dulu leluhur kami yang punya]. Mereka membawa ceramah soal sadar lingkungan. Pemuka adat, kepala kampung, pemuda, tetua, diundang semua. Meminta untuk menyadari bahaya pembalakan liar, dihidang aturan dan hukuman buat pelaku, dan meminta kami ikut menjaga dan mengawasi hutan lindung tanpa memberi solusi bagaimana kami penuhi kebutuhan hidup.
Acara sosialisasi berjalan lancar. Kami senang. Bukan karena mendapat ceramah itu. Senang karena mendapat uang saku dan dan uang transport sehabis penyuluhan.
Penyuluhan hanya suluh yang padam di kemudian hari. Sampai kini pembalakan liar masih terjadi. Kami pelakunya. Bukan dengan kebanggaan dan niat dendam kami lakukan. Kami melakukan sesuai kebutuhan dan secukupnya. Itu kebijakan awalnya antar-tetua dan kampung kami.
Kenyataan kemudian, kebijakan itu tergilas oleh kebutuhan dan keserakahan. Ketika lebaran, ketika tahun ajaran baru, ketika kebutuhan mendesak, ketika hiburan dan kemudahan dibutuhkan di tengah dunia yang melelahkan ini, maka warga menempuh tebang pohon. Apalagi ada tawaran dari perusahaan, pengepul, pemodal, kontraktor yang meminta kayu.
Kebijakan mengelola pemanfaatan hutan, tertebang tergeletak mati. Semua ingin mendapat keuntungan dan hendak memenuhi kebutuhan hidup yang tak pernah cukup-cukup. Dulu kampung kami tak ada pengeluaran untuk listrik, pulsa, pendidikan, iuran ini itu, kredit motor, kulkas, televisi, dan banyak lagi. Hidup zaman kini banyak dituntut untuk dipenuhi. Sementara untuk mendapat semua itu harus mencari uang. Sumber uang kami kebun, sungai, hutan, dan ternak.
Lalu zaman tak lagi memudahkan kami mencari uang. Kebun mudah terserang hama, pupuk dan obat-obatan mahal, harga jual panen yang rendah, ternak kadang mendadak mati, semua keadaan dari berbagai sudut menyulitkan kami. Lalu kami lari ke hutan agar bisa bernafas kembali.
Pembalak liar ini macam-macam. Ada hanya warga kampung karena terdesak kebutuhan, ada karena terorganisir dan dibeking oleh aparat, ada karena permintaan oleh pihak-pihak yang terlibat pembangunan. Kayu merbau kami sangat laris permintaan. Apalagi pascabencana.
Kayunya biasa digunakan dalam konstruksi berat seperti balok, tiang dan bantalan di bangunan rumah maupun jembatan. Karena kekuatan dan keawetannya, kayu merbau juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket, papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan lain-lain.
Aku tidak bangga menceritakan semua ini. Ini adalah ironi hidup. Lingkaran setan yang terus berkelindan. Karena hukum yang serasa tak berpihak kepada kami; kebutuhan hidup yang menindih kami; kecurangan yang dipertontonkan pelaku lain dalam pembalakan liar dan keserakahan demi keuntungan besar, kami tak tahan untuk tak ikut menebang.
Jadilah dua sisi hidup bergulir; demi mewujudkan kenyamanan dan keamanan papan sebagian manusia lain, membawa korban sebagian manusia lain. Lalu banjir dan longsor saban tahun terjadi. Kami sudah terbiasa menerima ancaman musibah itu sebagaimana biasanya kami menerima pergantian musim. Kami menghadapi resiko itu.
Kami menghadapi semua, termasuk menghadapi polisi hutan, bahkan TNI pun kadang sesekali ikut dikerahkan. Kami bermain-main kucing-kucingan dengan aparat. Kadang sebagian bisa dijadikan teman. Kami berbagi pendapatan sehingga mendapat beking. Maka pembalakan liar sampai kini tak pernah mati. Mungkin sampai hutan habis dan bencana maha besar menghentikan semua. Jika itu terjadi, silakan timpakan kesalahan itu ke kami orang kecil.
Aku tak bisa menyalahkan lagi siapa-siapa. Termasuk ketika Ayah mati saat diseberangkan. Ayah diseberangkan dengan tali direntangkan di antara tepian sungai. Sampai di hadapanku telah menjadi mayat.
Aku pasrah. Hidup pun berubah. Ibu jualan sayur di pasar kota. Dua adikku lebih banyak diasuh lingkungan; televisi yang tak ramah, permainan gadget, dan bau asap ganja. Aku dimasukkan pesantren terpadu. Pesantren gratis buat anak yatim. Kami hidup dalam keyatiman.
Lalu kami dituntut menjadi anak shaleh tanpa bisa berbuat apa-apa untuk keshalehan sosial. Pulang ke kampung aku menemukan masih ada pembalakan liar. Aku tak bisa menjalani diri sebagai penebang kayu. Teringat Ayah di seberang sungai.
Aku pergi ke kota. Hidup di kota benar-benar terasingkan. Tak ada kerja yang manusiawi. Yatim sungguh yatim diri. Ini negeri meyatimkanku dari apa yang harusnya kumiliki.
Hidup memisahkan aku dari kasih sayang, dari kenyamananan, dan kemudahan hidup. Seperti sungai deras ini yang memisahkan aku dari Ayah. Sungai kepentingan dan keserakahan manusia yang terus berarus deras, menyekat dan memutus kekerabatan dan kekeluargaan. Yatim manusia. Yatim sungguh yatim diri. Ini negeri meyatimkanku dari apa yang harusnya kumiliki.
Ayah masih selalu kulihat di seberang setiap sungai keruh berarus deras, dan berpusar-pusar di kepalaku. Ayah semoga kau tenang di sana. Menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya. Mengampuni segala dosamu, dosa kita. Tak ada benar-benar salahmu atas apa yang terlanjur dan terpaksa kamu lakukan demi nafkahi keluarga hingga kau harus mati dilibas secabang pohon yang sedang ditumbangkan.
Kau, kita adalah korban ketidakberdayaan tuntutan hidup yang diatur manusia berkuasa dan serakah. Aku pun bersiap diri menerima menjadi korban. Hidup yatim tanpa kasih, tanpa pekerjaan layak untuk memenuhi tuntutan jiwa raga yang menghimpit.***