Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Minggu Pertama
Hari itu langit tampak seperti kanvas kosong. Awan-awan berarak malas, dan angin hanya sesekali menyentuh dedaunan. Di ujung desa Lambu yang lengang, berdirilah sebuah rumah kayu sederhana, dikelilingi semak dan rumput liar. Di halaman rumah itu tumbuh satu-satunya pohon mangga tua yang batangnya sudah retak-retak, daunnya pun tidak terlalu lebat. Katanya, pohon itu tidak pernah berbuah sejak belasan tahun lalu.
Ali duduk bersila di bawah pohon itu, mengenakan kaos bergambar dinosaurus dan celana pendek hijau. Tangannya memegang mobil-mobilan kecil yang sudah aus rodanya. Tapi matanya tak pernah benar-benar melihat mainannya. Tatapannya tertuju ke jalan tanah yang mengarah ke luar desa—jalan yang katanya bisa membawa orang pulang.
"Ali, ayo makan dulu, Nak." Suara lembut ibunya, Bu Siti, terdengar dari dapur kecil rumah mereka.
“Nanti, Bu. Kalau Ayah datang, aku ajak makan bareng,” jawab Ali tanpa berpaling.
Bu Siti terdiam sejenak di ambang pintu. Ia menatap punggung kecil anaknya, yang masih menanti dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Sejenak, matanya basah, tapi ia cepat-cepat menyekanya dengan ujung kerudung.
Ayah Ali, Pak Damar, sudah pergi sejak Ali masih dalam kandungan. Kata orang, beliau merantau ke kota untuk mencari kerja. Tapi sejak kepergiannya, tak ada kabar, tak ada surat, tak ada telepon. Desa kecil ini memang tak punya kantor pos, apalagi sinyal telepon yang stabil. Tapi Bu Siti tetap percaya suaminya pergi karena ingin memberi kehidupan lebih baik untuk mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu mulai pudar bagi sebagian orang—tetangga, teman, bahkan bagi Bu Siti sendiri. Hanya satu orang yang masih menyimpannya utuh: Ali.
“Ayahku bilang akan pulang kalau mangganya berbunga,” kata Ali suatu hari pada teman-teman sekelasnya. Anak-anak lain tertawa keras.
“Mana bisa! Itu pohon kutukan! Nggak pernah berbunga dari dulu!” kata Jali, anak tetangga sebelah yang terkenal usil.
“Tapi bisa aja tahun ini,” sahut Ali, tetap tenang.
Bagi Ali, menunggu bukan hal yang menyiksa. Justru itulah momen terbaiknya setiap minggu. Ia akan duduk sejak pagi, kadang membawa bekal roti, kadang hanya air putih dalam botol plastik. Ia akan menatap jalan sampai sore, sambil membayangkan seperti apa wajah ayahnya. Ia tak pernah benar-benar tahu. Satu-satunya benda yang menghubungkannya dengan sosok ayah hanyalah sebuah foto kecil, lusuh, yang diselipkan ibunya di balik cermin.
Di foto itu, seorang lelaki muda berdiri tegap dengan senyum tipis, mengenakan kemeja batik. Di belakangnya, terlihat samar pohon mangga yang sama.
“Itu waktu kami baru pindah ke rumah ini,” kata Bu Siti suatu malam, saat Ali minta diceritakan tentang ayahnya. “Ayahmu suka duduk di bawah pohon itu, baca buku sambil minum kopi.”
Ali selalu menyimpan cerita-cerita kecil tentang ayahnya seperti harta karun. Ia membayangkan suatu hari akan duduk bersama di bawah pohon itu, membicarakan dinosaurus, mobil-mobilan, atau apa pun yang disukai anak dan ayah.
Hari Minggu pertama Ali duduk menunggu adalah awal musim kemarau. Matahari mulai terik, tapi ia tak peduli. Beberapa tetangga memperhatikan dari kejauhan, bisik-bisik sambil menyapu halaman atau menjemur pakaian.
“Anak itu masih percaya ayahnya bakal pulang?” kata salah satu ibu-ibu sambil menggeleng.
“Kasihan. Ibunya juga terlalu membiarkan,” jawab yang lain.
Bu Siti mendengar semuanya. Tapi ia memilih diam. Kadang ia ingin menarik Ali masuk, memeluknya dan berkata, “Ayahmu mungkin tak akan kembali.” Tapi setiap kali hendak mengucapkannya, matanya bertemu dengan tatapan penuh harap anak itu—tatapan yang mengingatkannya pada masa ketika ia juga pernah percaya.
Waktu berjalan pelan hari itu. Bayangan pohon bergeser sedikit demi sedikit, mengikuti putaran matahari. Jam menunjukkan pukul lima sore. Ali masih menunggu.
Akhirnya, ketika langit mulai berubah jingga, ia berdiri pelan, menepuk celananya yang kotor oleh tanah.
“Besok Minggu lagi,” katanya pada dirinya sendiri. Ia memandang batang pohon mangga itu dan tersenyum kecil. “Kita tunggu sama-sama ya.”
Lalu ia berjalan masuk ke rumah, disambut aroma nasi goreng buatan ibu. Meski sedikit kecewa, ia tidak sedih. Karena bagi Ali, hari Minggu bukan tentang datangnya Ayah, tapi tentang keyakinan bahwa Ayah akan datang. Entah kapan.
Bab 2 – Bisik-Bisik Tetangga
Minggu kedua datang, dan Ali kembali duduk di bawah pohon mangga. Wajahnya teduh, tak ada rasa jenuh meskipun tak satu pun tanda-tanda kedatangan ayahnya terlihat. Ia membawa payung kecil berwarna biru, karena hari itu mendung menggantung seperti janji yang belum ditepati.
Dari balik pagar bambu tetangga sebelah, dua ibu-ibu menatap sambil menggiling cabe di atas cobek batu.
“Masih aja itu anak duduk-duduk di situ. Tiap Minggu, loh!” bisik Bu Ida, setengah kagum, setengah iba.
“Kasihan. Udah ditinggal ayahnya, masih juga nunggu. Padahal siapa tahu ayahnya udah… ya, gitu deh,” sahut Bu Mirna, menyelesaikan kalimatnya dengan kedipan mata yang dalam.
“Harusnya Siti tegas. Anak kecil jangan dikasih harapan kosong,” lanjut Bu Ida.
Mereka tidak bermaksud jahat. Di desa kecil seperti Lambu, kabar dan komentar memang lebih cepat menyebar dari angin. Sayangnya, kadang-kadang mereka lupa bahwa kata-kata yang diucapkan diam-diam pun bisa terdengar sampai ke hati.
Di dapur rumah kayunya, Siti memotong-motong wortel untuk sop. Ia mendengar suara lirih dari balik pagar, tapi tak menanggapi. Yang ia pikirkan hanyalah Ali—anak yang begitu keras kepala menjaga harapan, bahkan ketika semua orang mulai meremehkannya.
Tiba-tiba terdengar suara keributan dari halaman. Tawa bocah-bocah menggema, lalu disusul teriakan.
“Ali duduk sama pohon mati! Ali duduk sama pohon mati!” seru Jali dan dua temannya, menunjuk sambil tertawa.
Ali mendongak. Matanya tajam menatap mereka, tapi ia tidak marah.
“Ini bukan pohon mati,” katanya tenang. “Ini pohon sabar.”
Jali terdiam sejenak. Mungkin ia tak mengerti maksudnya, mungkin juga tersentuh. Tapi karena gengsi, ia hanya menjulurkan lidah lalu lari sambil tertawa lagi.
Ali menghela napas. Ia tidak benci mereka. Ia hanya tidak ingin diganggu saat sedang menunggu.
Siti menyaksikan dari balik jendela. Hatinya teriris. Ia tahu anaknya punya hati yang kuat, tapi ia juga tahu: harapan bisa menjadi pedang bermata dua.
Malamnya, setelah makan malam sederhana, Siti duduk di samping tempat tidur Ali. Lampu temaram menyinari wajah anak itu yang masih memandangi langit-langit, seolah mencari bintang berbentuk ayah.
“Ali,” kata Siti lembut, “Ibu boleh tanya sesuatu?”
Ali mengangguk.
“Kalau suatu hari Ayah nggak datang, apa kamu akan marah?”
Ali diam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar, “Aku nggak akan marah, Bu. Tapi aku tahu Ayah pasti akan datang.”
Siti mengangguk, menahan air mata.
“Kamu percaya sekali, ya?”
Ali menoleh dan tersenyum kecil. “Kalau nggak ada yang percaya, nanti Ayah nyasar.”
Jawaban itu sederhana, tapi menggetarkan dada Siti. Ia membelai rambut anaknya, lalu mematikan lampu.
Di luar, pohon mangga bergoyang pelan, seolah mendengarkan seluruh percakapan yang terjadi di rumah kecil itu. Tak ada bintang malam itu, hanya mendung tipis yang menyelubungi langit. Tapi di dalam hati Ali, langitnya tetap cerah.
Dan begitu hari Minggu berakhir, Ali menandai satu coretan kecil di dinding kayu dekat jendela. Satu garis tipis untuk satu minggu yang sudah ia lewati menunggu ayahnya pulang. Dua garis kini berjejer.
Dan minggu depan, ia tahu, akan ada garis ketiga.
Bab 3 – Surat dari Masa Lalu
Hari Minggu ketiga datang dengan gerimis kecil sejak pagi. Udara lembap, dan tanah di bawah pohon mangga menjadi agak becek. Tapi itu tidak menghentikan langkah kecil Ali. Ia tetap duduk di sana, mengenakan jas hujan berwarna kuning yang kebesaran dan sandal jepit yang sudah menipis.
Ia tidak membawa bekal hari itu, hanya sebuah buku tulis yang sudah mulai sobek di tepinya. Di dalamnya, ia menggambar sosok laki-laki tinggi memakai topi dan membawa tas besar. Gambar yang ia beri judul: “Ayah Pulang”.
Dari balik jendela, Siti menatap anaknya dengan diam. Di tangan Siti ada sebuah kotak kayu tua yang berdebu, baru saja ia keluarkan dari lemari yang selama ini tak pernah disentuh. Hari sebelumnya, ia memberanikan diri membongkar barang-barang lama di ruang tengah. Bukan karena ingin membuang kenangan, tapi karena ingin menjawab satu pertanyaan: apakah ia masih punya alasan untuk berharap?
Kotak itu berisi tumpukan dokumen, buku tabungan, dan… sebuah amplop cokelat lusuh yang tersembunyi di bawah semua kertas.
Dengan jantung berdegup, Siti membuka amplop itu. Di dalamnya, satu lembar surat yang telah menguning.
Untuk Siti dan Ali anakku,
“Maaf aku tak bisa pulang secepat yang kita harapkan. Aku dapat pekerjaan di kota, tapi semuanya tidak seperti yang kubayangkan. Aku malu pulang dengan tangan kosong. Tapi setiap malam aku membayangkan rumah kita, dan pohon mangga itu. Aku ingin suatu hari duduk lagi di bawahnya, bersama kalian.”
Tunggu aku sebentar lagi. – Damar
Air mata Siti mengalir perlahan. Surat itu bertanggal dua bulan setelah Damar berangkat—berarti, ia memang sempat mengirim surat. Tapi entah kenapa, surat itu baru sampai setelah bertahun-tahun, diselipkan diam-diam oleh kurir pos tua ke dalam tumpukan majalah di depan rumah yang tak pernah diperiksa lagi.
Siti menatap keluar jendela, ke arah pohon mangga yang kini diguyur hujan. Ali tetap duduk tenang, memeluk buku tulisnya. Seketika, Siti merasa seperti seseorang yang baru saja dibangunkan dari tidur panjang. Harapan yang ia kira mati, ternyata hanya tertidur.
Ia membuka pintu perlahan, membawa surat itu di genggaman. Langkahnya ragu, namun pasti. Saat ia mendekat, Ali menoleh dan tersenyum.
“Bu, lihat! Daunnya nambah. Tadi nggak sebanyak ini,” katanya sambil menunjuk ke atas.
Siti mendongak. Memang benar, beberapa daun muda tumbuh di ujung ranting. Segar dan cerah, seperti kehidupan yang baru mulai.
Siti duduk di samping anaknya, menyerahkan surat itu tanpa berkata-kata.
Ali membacanya pelan. Lalu menatap ibunya. “Ini dari Ayah?”
Siti mengangguk, matanya tak bisa menyembunyikan emosi.
Ali menggenggam surat itu erat. “Berarti Ayah beneran mau pulang.”
“Ya,” jawab Siti pelan. “Ayah memang ingin pulang.”
Ali tersenyum lebar. Ia lalu memandangi pohon mangga itu dengan tatapan berbeda. Kali ini bukan hanya tatapan penuh harap, tapi juga keyakinan yang semakin kuat.
Di atas sana, awan mulai menipis. Matahari perlahan menyelinap dari balik kelabu. Dan di pucuk tertinggi pohon mangga, tak ada yang menyadari—satu tunas bunga kecil mulai mengintip dunia.
Bab 4 – Tunas yang Tumbuh Diam-Diam
Hari-hari setelah penemuan surat itu membawa perubahan kecil di rumah Siti dan Ali. Siti yang dulu hanya diam setiap kali Ali bercerita tentang ayahnya, kini mulai ikut duduk di bawah pohon mangga setiap Minggu. Tidak lama, kadang hanya lima belas menit, kadang setengah jam, tapi kehadirannya cukup membuat Ali merasa bahwa ia tak lagi menunggu sendirian.
Pohon mangga itu pun seakan merasakan perubahan suasana. Daun-daunnya mulai bertambah banyak, dan ranting yang dulunya kering kini tampak lebih kuat. Namun, perubahan terbesar terjadi di ujung tertinggi, di cabang yang selama ini jarang diperhatikan: sebutir tunas kecil berwarna hijau keemasan muncul diam-diam. Tidak ada yang menyadarinya. Bahkan Ali pun belum melihatnya.
Hari Minggu keempat, Ali membawa tangga kecil dari bambu, hasil buatan Pak Tono tetangga mereka. Ia ingin menggantungkan lonceng kecil di salah satu cabang, katanya supaya ayahnya tahu rumah itu masih hidup, masih menunggu. Ketika ia naik dan sampai di tengah-tengah batang, matanya tiba-tiba membelalak.
“Bu!” serunya dari atas. “Lihat ini! Ada tunas!”
Siti yang sedang menyapu halaman menengadah. “Tunas?”
“Iya, Bu! Tunas pohon mangga!” Ali menunjuk penuh semangat.
Siti segera mendekat, menengadah untuk melihat lebih jelas. Memang tidak besar—hanya seukuran kancing baju. Tapi warnanya segar, dan di sekitar tunas itu, ada bintik-bintik lain yang tampak seperti calon bunga.
Ali turun dari tangga dengan wajah berseri.
“Ayah pasti udah dekat, Bu. Kan Ayah bilang, dia pulang kalau pohonnya berbunga.”
Siti mengangguk perlahan, mencoba menenangkan hatinya sendiri yang berdebar. Ia tidak ingin terlalu berharap, tapi melihat wajah Ali, ia tak kuasa untuk tidak percaya juga.
Kabar tentang tunas pohon mangga itu menyebar cepat ke seluruh desa. Pak RT sendiri datang melihat, lalu mengelus janggutnya sambil berkata, “Ajaib, ya. Saya ingat pohon ini dari saya masih muda. Nggak pernah berbunga. Mungkin ini waktunya.”
“Waktunya apa, Pak?” tanya Ali.
Pak RT tersenyum. “Waktunya menepati janji, mungkin.”
Hari-hari berikutnya, warga desa mulai memperhatikan pohon mangga itu. Ada yang datang diam-diam untuk melihat tunasnya. Anak-anak berhenti mengejek Ali, bahkan beberapa dari mereka ikut duduk di bawah pohon setiap sore, mendengarkan cerita Ali tentang ayahnya.
Jali, yang dulu sering mengejek, kini duduk di sebelah Ali dan bertanya sungguh-sungguh, “Kalau Ayahmu pulang, kamu mau bilang apa pertama kali?”
Ali berpikir sejenak, lalu menjawab, “Mau bilang: ‘Aku masih nunggu, Yah.’”
Jawaban itu membuat Jali diam. Ia menunduk, lalu bergumam, “Aku juga kangen ayahku. Tapi dia nggak pernah janji pulang.”
Ali menepuk bahu Jali. “Kalau kamu percaya, siapa tahu ada pohon lain yang bisa jadi penanda.”
Jali menatap Ali, lalu menoleh ke arah pohon kelapa di rumahnya. Ia tersenyum kecil.
Dan di bawah pohon mangga itu, setiap Minggu kini terasa seperti perayaan kecil. Bukan karena ayah sudah datang, tapi karena harapan mulai menular. Di desa kecil itu, satu tunas kecil mengubah cara orang melihat janji, sabar, dan cinta.
Bab 5 – Telepon yang Tak Terjawab
Seminggu setelah tunas pertama muncul, pohon mangga tua itu mulai menunjukkan tanda-tanda luar biasa. Tunas-tunas baru bermunculan hampir setiap hari, dan satu di antaranya mulai mengembang menjadi kuncup bunga mangga. Warga desa mulai menyebutnya sebagai pohon harapan, dan bahkan ada yang percaya pohon itu membawa keberuntungan.
Namun, di balik semua kegembiraan itu, Siti mulai merasa gelisah.
Malam itu, setelah Ali tertidur, Siti duduk di dapur sendirian. Surat dari Damar ia buka kembali. Di bagian bawah amplop, ia baru sadar ada secarik kertas kecil lain yang terselip—tertulis dengan tinta yang hampir pudar:
Nomor baru: 0822-xxx-xxxx
"Kalau ada kabar, hubungi ke sini. Kalau aku belum sempat jawab… tunggulah. Aku pasti kembali."
Siti menatap angka-angka itu dengan jantung berdegup. Ia belum pernah mencoba menelepon nomor itu. Mungkin karena takut. Takut mendengar suara orang asing. Takut dijawab oleh sunyi. Tapi malam itu, sesuatu mendorongnya.
Ia mengambil ponsel tuanya yang sering hanya dipakai untuk menghubungi tetangga. Ditariknya napas panjang, lalu jari-jarinya mulai menekan nomor itu, satu per satu.
Tuuut… tuuut…
Suara nada sambung terdengar. Sekali… dua kali… tiga kali…
Lalu—terputus.
Tak ada suara. Tak ada jawaban. Siti menatap layar ponselnya yang kembali ke layar awal. Hatinya campur aduk antara kecewa dan lega. Setidaknya ia sudah mencoba.
Keesokan harinya, ia tak memberitahu Ali soal itu. Ia hanya duduk bersama anaknya di bawah pohon mangga, seperti biasa, dan menatap bunga kecil yang mulai membuka.
“Bu, Ayah pasti lihat bunga ini dari jauh, kan?” tanya Ali.
“Mungkin. Dan mungkin, Ayah sedang cari jalan pulang,” jawab Siti pelan.
Ali tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah gambar baru. Kali ini ia menggambar dirinya, ibunya, dan sosok lelaki yang lebih tinggi berdiri di bawah pohon yang sedang berbunga lebat.
“Ini kita nanti, Bu. Kalau Ayah pulang pas mangganya penuh bunga,” katanya.
Siti menatap gambar itu, lalu mengangguk. “Amin, Nak.”
Tapi malam berikutnya, rasa gelisah itu kembali. Ia mencoba nomor yang sama sekali lagi.
Tuuut… tuuut… tuuut…
Kali ini, sambungan terangkat. Tapi bukan suara yang ia kenal.
“Hallo?”
Suaranya berat. Laki-laki, tapi bukan Damar.
Siti tercekat. “Maaf… ini nomor Damar?”
Sunyi. Lalu suara itu menjawab pelan.
“Damar? Ini… ini nomornya dulu. Tapi dia udah lama nggak di sini.”
Siti menguatkan dirinya. “Apa… Anda tahu dia ke mana? Dia suami saya.”
“Maaf, Bu. Saya cuma teman kosnya. Dulu dia tinggal di sini, tapi udah pindah dua tahun lalu. Saya nggak tahu ke mana. Dia jarang cerita…”
Klik.
Sambungan terputus. Siti menatap ponsel itu seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting—atau mungkin, seperti baru saja kehilangan harapan.
Tapi sebelum air matanya sempat jatuh, terdengar suara kecil dari balik pintu kamar.
“Bu?”
Ali berdiri di sana, mengusap matanya yang mengantuk. “Bu, Ibu nangis?”
Siti tersenyum cepat dan menyeka wajahnya. “Enggak, sayang. Ibu cuma kangen.”
Ali berjalan mendekat dan memeluk ibunya.
“Nggak apa-apa, Bu. Kalau Ayah nyasar, kita kasih tanda besar. Biar kelihatan dari mana-mana,” katanya sambil menunjuk ke gambar pohon mangga yang sedang berbunga.
Dan malam itu, Siti tak lagi merasa sendiri. Karena ternyata, dalam dunia anak-anak, harapan tidak mati meski jawaban belum datang.
Bab 6 – Bunga Pertama Jatuh
Hari Minggu ketujuh. Langit cerah tanpa awan. Seperti biasa, Ali sudah duduk lebih pagi di bawah pohon mangga, kini ditemani bangku kayu kecil yang dibuat oleh Pak Tono khusus untuknya. Ia mengenakan kemeja putih yang sudah mulai kekecilan, tapi tetap rapi. Di pangkuannya, gambar-gambar yang ia buat selama ini berjejer: ayah, ibu, pohon, dan rumah.
Pohon mangga itu kini tak hanya bertunas—ia berbunga.
Belasan bunga kecil mekar di antara ranting-rantingnya. Warnanya putih kekuningan, harum samar tercium setiap kali angin lewat. Bunga-bunga itu menjadi bukti bahwa pohon tua itu belum menyerah. Seperti Ali.
Beberapa warga desa datang pagi itu, bukan untuk mengejek, tapi untuk memberi semangat.
“Wah, ini pohon udah puluhan tahun baru sekarang berbunga. Luar biasa, ya, Ali,” kata Bu Ida sambil membawa seikat pisang dari kebunnya.
Ali mengangguk sopan. “Iya, Bu. Ini karena Ayah mau pulang.”
Siti duduk di teras sambil mengamati interaksi itu. Kini Ali tak lagi sendiri. Harapannya diam-diam menghidupkan seluruh desa. Tak ada lagi tawa ejekan. Hanya tanya dan takjub.
Saat siang menjelang, angin tiba-tiba bertiup cukup kencang. Daun-daun bergoyang, bunga-bunga kecil berguncang. Dan satu kelopak bunga mangga pertama jatuh, melayang pelan dan mendarat tepat di pangkuan Ali.
Ali mematung.
Lalu ia memungut bunga itu dengan hati-hati, memandangi bentuknya yang kecil, rapuh, tapi sempurna. Ia berdiri, lalu berjalan cepat ke arah rumah.
“Bu! Ini dia! Bunga pertama jatuh!”
Siti terdiam sejenak. Ia menatap kelopak itu, lalu menatap mata anaknya yang berbinar.
“Ini artinya… Ayah sudah dekat,” kata Ali, yakin. “Bunganya bilang gitu.”
Siti tersenyum, lalu membuka kotak kecil dari kain yang selama ini ia simpan untuk perhiasan pernikahannya. Ia meletakkan bunga itu di dalamnya, seolah itu adalah harta paling berharga.
“Kalau ini bunga pertama,” kata Siti, “berarti akan ada yang kedua, ketiga… dan nanti buah.”
Ali mengangguk. “Dan nanti Ayah bisa petik sendiri mangganya.”
Hari itu, Ali membuat satu gambar lagi. Gambar itu berbeda dari sebelumnya. Kali ini, ia menggambar bunga jatuh dari langit, dan ayahnya datang memungutnya. Di sudut gambar, tertulis dengan huruf besar:
“TANDA PULANG.”
Malamnya, ketika Ali tertidur lelap, Siti duduk di beranda. Ia kembali memikirkan nomor telepon itu, surat itu, dan semua hari-hari sunyi yang pernah ia lalui. Tapi kini, di tengah ketidakpastian, ada sesuatu yang berubah.
Bukan karena ia yakin Damar pasti kembali. Tapi karena ia tahu: anaknya sudah menumbuhkan sesuatu yang lebih kuat dari rindu—keyakinan.
Dan terkadang, satu bunga jatuh bisa jadi pesan dari langit: bahwa sesuatu yang ditunggu… sedang mencari jalan pulang.
Bab 7 – Tamu Tak Diundang
Seminggu setelah bunga pertama jatuh, pohon mangga itu semakin dipenuhi dengan bunga yang merekah. Warga desa mulai berdatangan lebih sering, tak hanya untuk melihat keajaiban yang terjadi, tetapi juga untuk berbicara dengan Ali, yang semakin dikenal sebagai "anak yang menunggu ayahnya."
Pada suatu sore yang cerah, ketika angin berhembus pelan dan burung-burung terbang rendah, sebuah mobil hitam tiba-tiba berhenti di depan rumah Siti. Mobil itu tampak baru, berkilat di bawah sinar matahari. Ali yang sedang bermain di halaman mendekat dengan rasa penasaran.
Seorang pria keluar dari dalam mobil. Berpakaian rapi, dengan jas gelap dan dasi. Ia memegang sebuah koper besar dan tampak sedikit bingung ketika melihat rumah kecil yang sederhana itu. Ali melihat pria itu dengan penuh perhatian, mencocokkan wajahnya dengan bayangan ayah yang selalu ia harapkan.
"Siapa itu, Bu?" tanya Ali, merangkak mendekat kepada Siti yang sedang menyapu di teras.
Siti menoleh, terkejut melihat pria itu. "Entahlah, sayang. Mungkin orang yang salah alamat."
Pria itu berjalan ke arah mereka. Siti berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ali masih memandang pria itu dengan mata penuh harap, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang merasa bahwa ini adalah orang yang selama ini ia tunggu.
"Selamat sore," pria itu menyapa dengan suara berat, namun lembut. "Maaf mengganggu. Apakah ini rumah Siti?"
Siti mengangguk ragu. "Iya, ini rumah saya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya... saya teman suami Anda. Damar." Pria itu sedikit terhenti, menunggu reaksi.
Siti terdiam. Semua di sekelilingnya seakan berhenti bergerak. Hatinya berdegup lebih cepat. Ali yang masih berdiri di sampingnya mulai menatap pria itu dengan penuh minat. Ia menunggu jawaban, tetapi mulutnya terasa kering.
"Saya... saya tahu suami Anda sudah lama pergi. Saya juga ikut merantau bersama dia. Tapi ada yang perlu saya sampaikan." Pria itu berhenti sejenak, menghela napas. "Damar... dia..."
Siti menatap pria itu dengan penuh harapan, menunggu kata-kata berikutnya.
"Dia... sudah tidak ada lagi, Bu," pria itu akhirnya berkata dengan perlahan, suaranya penuh kesedihan.
Ali yang mendengarnya hanya terdiam. Ia memandang pria itu, kemudian menatap ibunya, yang wajahnya kini memucat. Siti merasa dunia seperti runtuh seketika. Suara pria itu menjadi samar, sementara pandangannya terfokus pada wajah Ali yang tampaknya belum mengerti sepenuhnya.
"Jadi… Ayah… sudah tidak ada?" tanya Ali pelan.
Siti menggenggam tangan Ali, berusaha menenangkan dirinya. "Iya, sayang. Ayah sudah tidak ada. Tapi Ayah tetap akan selalu ada di hati kita."
Ali menunduk, mulutnya terkatup rapat. Ia tidak menangis, hanya diam, seolah sedang mencerna kenyataan baru itu. Siti merasa seolah seluruh kekuatan tubuhnya lenyap. Kakinya lemas, namun ia mencoba tetap berdiri kokoh untuk Ali.
Pria itu menunduk, merasa tidak enak dengan suasana yang tiba-tiba berubah berat. "Saya… saya hanya ingin menyampaikan ini karena Damar sudah lama meninggalkan pesan untuk Anda, Siti. Ia ingin Anda tahu, bahwa ia mencintai Anda dan Ali, dan akan selalu mencintai kalian."
Siti tidak mampu menjawab. Ia hanya memandang pria itu, dan untuk sesaat, hatinya terasa kosong.
Pria itu kemudian mengangguk, berbalik, dan berjalan menuju mobilnya tanpa berkata lebih banyak. Siti tidak melihat lagi mobil itu pergi, karena ia sudah terlalu terfokus pada Ali yang kini duduk di bawah pohon mangga. Ali menatap bunga yang mulai berguguran satu per satu dari cabangnya.
Siti berjalan mendekat, duduk di samping Ali. Mereka berdua hanya duduk dalam diam, mendengarkan suara alam sekitar yang seakan berusaha menenangkan hati yang sedang terluka. Pohon mangga itu tetap berdiri kokoh, dengan bunga-bunga yang terus jatuh, satu per satu.
Ali akhirnya berbicara, suaranya tenang, meski ada gemetar di balik kata-katanya. "Bu, Ayah sudah nggak ada, ya? Tapi pohon ini masih ada. Jadi… kita masih punya harapan, kan?"
Siti menarik napas dalam-dalam dan mengelus kepala Ali dengan lembut. "Iya, Nak. Kita masih punya harapan, dan kita masih punya satu sama lain."
Pohon mangga itu mungkin tidak akan pernah berbunga lagi seperti ini. Tapi di bawahnya, dua hati tetap tumbuh bersama—satu yang mengingat, dan satu yang menunggu. Meski tak ada yang pasti, harapan tetap ada di setiap kelopak bunga yang jatuh, di setiap musim yang berganti.
Bab 8 – Harapan yang Tak Pernah Mati
Waktu berlalu, dan pohon mangga itu tetap berdiri tegak di halaman rumah Siti. Bunga-bunganya telah jatuh, satu per satu, namun keajaiban yang mereka bawa tidak pernah benar-benar menghilang. Pohon itu masih hidup, dan setiap hari, Siti dan Ali mendapati bahwa harapan mereka terus tumbuh, meskipun bentuknya kini berbeda.
Ali mulai lebih sering menggambar lagi. Gambar-gambar itu masih penuh dengan tokoh-tokoh yang penuh harapan: dirinya, ibunya, dan pohon mangga yang selalu hadir di tengah-tengahnya. Namun kali ini, gambarnya tidak hanya menggambarkan kerinduan, tetapi juga keteguhan hati. Bagi Ali, pohon mangga itu adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang lebih kuat daripada waktu dan jarak.
Pada suatu sore yang hangat, ketika langit mulai berwarna jingga, Ali duduk di bawah pohon mangga, ditemani oleh gambar-gambar yang ia buat. Siti duduk di sampingnya, menyulam kain, namun matanya sering melirik ke arah Ali. Mereka sudah berdua, sudah cukup untuk saling menguatkan, meski rindu pada Damar tak pernah benar-benar pergi.
Tiba-tiba, ponsel Siti berdering. Ia terkejut melihat nomor yang muncul di layar—nomor yang sudah lama ia simpan dengan harapan tak pernah menghubungi. Nomor Damar.
Siti merasa dunia seakan berhenti berputar. Tangan kirinya memegang ponsel, namun jari-jarinya terasa kaku. Ali melihat wajah ibunya yang berubah pucat dan penuh tanya.
“Bu… itu Ayah, kan?” tanya Ali, mata penuh harap.
Siti terdiam sejenak. Kemudian ia mengangkat telepon dengan hati berdebar. “Hallo?”
Ada beberapa detik hening di ujung telepon. Lalu terdengar suara yang ia kenal, meskipun sedikit lebih berat dan penuh rasa penyesalan.
"Siti… ini Damar. Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Siti menahan napas. Suara itu menggetarkan hatinya, membuatnya teringat kembali pada hari-hari ketika Damar masih ada—ketika mereka bersama, penuh harapan dan impian. Tapi kini, begitu banyak waktu telah berlalu, dan semuanya telah berubah.
“Damar…” Siti mulai berkata dengan suara serak. “Kamu… kemana saja? Kenapa tidak ada kabar? Ali sudah menunggu, aku sudah menunggu…”
"Aku… aku salah, Siti. Aku harusnya lebih sering memberi kabar. Tapi, ada banyak hal yang terjadi. Aku..." suara Damar terhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak bisa pulang dulu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu ingat kalian berdua. Selalu."
Siti merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Rasa rindu, kesedihan, dan juga pertanyaan yang masih tak terjawab. Namun, ia menahan semua itu, tak ingin membebani Damar yang sepertinya masih terperangkap dalam kehidupan yang tak pasti.
“Aku nggak tahu apakah kamu akan kembali, Damar. Tapi aku tahu satu hal… pohon mangga itu masih hidup. Ali… Ali masih menunggu.”
Terdengar keheningan sejenak dari ujung telepon.
“Aku… Aku ingin pulang, Siti. Tapi aku nggak tahu kapan. Aku hanya bisa berharap, semoga suatu saat nanti kita bisa bersama lagi. Aku sayang kalian.”
Damar mengakhiri percakapan itu dengan kalimat yang penuh emosi. Siti menundukkan kepala, menahan air matanya. Suara Damar masih menggema dalam pikirannya—kata-kata yang begitu sulit untuk dipahami, namun penuh dengan rasa penyesalan.
Ali yang mendengar percakapan itu, berlari mendekat. Ia mengambil tangan ibunya, memandangnya dengan mata penuh harapan. “Jadi, Ayah akan pulang, Bu?”
Siti menatap Ali, menyeka air matanya yang jatuh dengan lembut. “Kita tidak tahu, sayang. Tapi kita harus tetap percaya.”
Ali tersenyum, meskipun ia tahu tak ada kepastian. "Biar pohon mangga yang menunggu, Bu. Ayah pasti kembali, kan? Karena pohon itu nggak pernah berhenti berbunga."
Siti mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan banyak pertanyaan. Namun, seperti pohon mangga yang tak pernah berhenti memberi bunga, harapan mereka pun terus tumbuh, meski dalam keheningan dan ketidakpastian.
Hari itu berakhir dengan senja yang indah, dengan Ali dan Siti duduk bersama di bawah pohon mangga yang telah memberi banyak cerita—cerita tentang cinta, rindu, dan harapan yang tak pernah mati.
Dan meskipun ayah belum pulang, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari jarak dan waktu. Pohon itu masih berdiri tegak, dan harapan mereka tetap hidup, berakar kuat di tanah yang sama.