Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Konon katanya, ada satu zaman di peradaban manusia, di mana semua rumah tidak berpintu.
Berawal dari suatu desa primitif tempat pertama kali manusia mengenal dan membangun rumah.
Tadinya, mereka tinggal di goa. Namun, karena ketersediaan goa alami terbatas, dan goa buatan membutuhkan banyak material juga proses panjang, beberapa keluarga terpaksa harus tinggal bersama.
Mulanya, semua berjalan damai. Masalah muncul saat jumlah mereka bertambah banyak setiap tahun. Berbagai konflik mulai pecah membuat suasana kurang kondusif.
...
Suatu hari saat sedang berburu, beberapa pria secara kebetulan menciptakan struktur berbentuk kubus untuk perlindungan dari badai yang datang mendadak. Sebab badai semakin ganas, mereka tidak sempat menyelesaikannya, dan menyisakan satu sisi bangunan terbuka.
Pengerjaannya hanya beberapa hari saja. Tidak sampai berbulan-bulan seperti goa. Karena dibangun begitu cepat, mereka tidak ingat betul campuran bahan apa saja yang dipakai. Yang pasti, dinding-dinding itu berdiri kokoh di pinggir lapangan dekat sungai besar.
Mereka pun bersorak-sorai sebab berhasil berlindung dari badai.
...
Hari ke tiga usai badai tenang, mereka menemukan banyak jejak singa di hulu sungai. Dengan jumlah sebanyak itu, mustahil mengalahkannya dan membawa pulang buruan, bahkan jika berhasil melawan.
Tak habis akal, mereka mencoba berulang kali membangun satu dinding yang mampu menutup sisi bangunan yang terbuka. Dan ... voilaaah! Berhasil!
Setelah berjibaku dengan semua bahan yang mereka temukan dari sekitar sungai, hutan dan lapangan luas, dinding ke empat pun berhasil dibuat. Empat dinding kokoh itu sudah pasti terjamin aman dari serangan kawanan singa, bahkan dari hewan buas mana pun.
Tapi, mereka pun bingung. Bagaimana cara masuk dan keluarnya?
"Dari atas saja kita bongkar," salah satu dari mereka memberi ide.
Mereka semua langsung saling mengangguk setuju.
"Tapi, bagaimana kalau hujan badai datang?'
Suara mengeluh terdengar serempak.
Sedang asyik berdiskusi, suara suling tanda bahaya terdengar di kejauhan. Dua orang yang bertugas memantau hewan buas meniupnya dari atas pohon pos penjagaan. Tak lama sekawanan singa dari kejauhan terlihat berlari dengan kecepatan penuh. Di depan, sang pimpinan singa bahkan berlari lebih cepat lagi.
Mereka kocar-kacir bingung mencari tempat perlindungan. Sampai salah satunya tidak sengaja menabrak dinding dan tubuhnya masuk ke dalam kubus. Mereka yang tersisa pun heran. Tubuh temannya menembus dinding.
Bukan hanya itu, tapi juga segala benda yang melekat dan yang ia bawa.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka semua melakukan hal yang sama. Menabrak dan menembus dinding. Meringkuk bersama di salah satu sudut sambil berharap kubus itu dapat mengelabui penciuman tajam kawanan predator.
Tak lama, suara benda menabrak dinding terdengar dari luar. Dinding ikut bergetar namun tetap kokoh.
"DUGH!!! BUK!!!"
Berkali-kali sampai puluhan menit.
Kemudian, hening menyergap.
Salah satu dari mereka tanpa komando mengeluarkan kepala dari dinding.
Dan ... voilaah!!!
Beberapa singa tergeletak mati dengan kepala bersimbah berdarah. Sementara yang lain sudah pergi menjauh ketakutan.
Ia pun bersorak-sorai mengajak temannya yang lain untuk melihat keajaiban itu. Bukan hanya mendapatkan tempat perlindungan, tapi sekaligus juga persediaan makanan sampai beberapa hari.
Kabar pun merebak bagai angin topan sampai ke seluruh goa yang ada di hutan tempat mereka tinggal dan hutan-hutan lainnya.
Dalam hitungan minggu, goa pun ditinggalkan dan mereka beralih tinggal di bangunan kubus ajaib.
...
Beberapa tahun berikutnya ....
Bangunan kubus yang akhirnya mereka sebut rumah, banyak dibangun di sana-sini.
Sayangnya, walau sudah beberapa kali diperingatkan, tetap saja ada orang yang asal lewat dari dinding orang lain. Ada yang tidak sengaja, ada juga yang sengaja.
Untuk masuk ke dalam rumah pun jadi tidak praktis. Harus mengetuk bagian dinding tertentu sebagai tanda tempat aman untuk masuk. Alhasil, sering kali terjadi tabrakan tidak hanya antar penghuni rumah tapi juga dengan orang lain. Belum lagi bertabrakan dengan benda-benda yang ada di dalamnya.
Beberapa jalan keluar sudah coba diterapkan. Salah satu yang paling terbaru yaitu membuat peta posisi barang-barang dirumah. Diikuti dengan peraturan baru agar tidak sembarangan mengatur ulang posisi tersebut.
Awalnya berjalan lancar. Peta isi rumah sangat membantu para penghuni. Lama kelamaan, peta itu dijadikan alat untuk memamerkan segala kemewahan yang ada di rumah mereka masing-masing.
...
Sampai suatu ketika ada kasus yang sangat mencengangkan. Puncak dari segala kasus kejahatan yang menghebohkan seluruh hutan. Sepasang bayi kembar laki-laki dan perempuan hilang dari rumah mereka.
Kali ini, bukan hanya barang-barang sepele sampai barang mewah, tapi juga sepasang bayi kembar.
Sementara para penjaga melacak si penculik, para warga berbondong-bondong mengatur dan melaporkan posisi baru isi rumah mereka. Setiap sisi dinding diberi pembatas kuat. Untuk bisa masuk dan keluar disisakanlah seperempat dinding kosong.
Agar tetap aman, mereka memasang ganjalan yang bisa digeser sehinggaa hanya orang yang diizinkan saja yang bisa masuk.
Berbarengan dengan itu, desas-desus merebak. Bahwa peta isi rumah yang sering mereka sombongkan adalah penyebab utama kejahatan terjadi. Panik dan takut merajalela.
Berbondong-bondonglah mereka mendatangi balai pemimpin untuk menuntut agar peraturan peta isis rumah segera dicabut.
Mereka berdalih, isi rumah adalah hak pribadi dan privasi pemilik rumah.
Akibat tekanan yang semakin besar, peraturan pun dicabut. Warga berbondong-bondong lagi mengatur kembali posisi rumah mereka. Kali ini tanpa harus melapor, dan tentu saja tidak ada lagi yang berani memamerkan rumahnya secara sembarangan.
Hanya segelintir orang yang dindingnya luar biasa kokoh yang masih berani berpamer-pamer ria. Yang disombongkan bukan hanya isi rumah, tapi juga ketangguhan dinding mereka.
Alat dan benda pengaman dinding pun laris-manis. Tukang besi, tukang kayu, dan tukang batu, bersaing sengit membuat pengamanan dinding paling kuat.
Alhasil, dinding yang konon bisa ditembus manusia perlahan ditinggalkan. Digantikan oleh dinding yang lebih kuat dan aman.
...
Peraturan baru akhirnya dibuat oleh pemimpin.
Bahwasanya, setiap rumah harus memiliki dinding khusus keluar dan masuk yang sah. Di mana jika masuk dan keluar bukan dari sisi dinding itu, maka akan dicurigai sebagai suatu tindak kejahatan. Kecuali, bagi pemilik rumah.
Agar tidak merugikan orang lain, maka sisi dinding itu haruslah diberi tanda yang bisa terlihat dari luar mau pun dari dalam rumah.
Berbondong-bondonglah lagi mereka menandai sisi dinding. Bervariasi bentuk tanda itu hingga menyebabkan banyak kerugian bagi orang lain, yang kadang kurang pas dengan ukuran tubuhnya.
Setelah perdebatan panjang, disertai berbagai kritik tentang privasi dan kebebasan hak pemilik rumah, pemimpin pun menetapkan satu syarat ukuran standar. Berasal dari hitungan rata-rata tinggi besar badan warga. Agar lebih aman tentram, bahan dan para pembuat tanda juga harus sesuai standar yang ditentukan.
Tidak bisa kurang dari standard. Bisa lebih tapi harus melalui diskusi dan persetujuan pemimpin.
Agar standarnya stabil dan bisa menyesuaikan keadaan warga, dikumpulkanlah utusan dari warga dan perwakilan dari pemimpin untuk mendiskusikannya di waktu-waktu tertentu.
Nama tanda sisi dinding pun akhirnya juga diganti dengan yang lebih familiar agar tidak membingungkan.
Pintu.
Tidak hanya nama, kini dinding yang konon bisa ditembus manusia itu pun seutuhnya lenyap terlupakan begitu saja. Ironisnya, itu terjadi bersamaan dengan meningkatnya standard kehidupan warga.
Termasuk juga karena meningkatnya standar keamanan hidup mereka.
***