Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Avocado Party
0
Suka
831
Dibaca

“Dapur, alpukat, dan aku. Itu gak bisa dipisah!”

Puta sesungguhnya tak terlalu membutuhkan kontrakan untuk mempermudah aksesnya pergi ke sekolah. Rumahnya cuma berjarak lima kilometer dan transportasi yang tersedia pun sangat mendukung. Namun, hanya dengan sebuah kalimat, “Kebetulan dapur di kontrakan saya lengkap sih, Put,” dia menerima tawaran sang guru pembina klub masak.

Hidup masih belum lengkap tanpa dapur. Dapurku, hidupku. Di mana ada dapur, di situ ada Puta. Apabila Puta kelak belum menikah di usia tiga puluh, semua orang pasti tak akan terkejut apabila ternyata di sisi lain dia memiliki tempat makan dengan dapur yang begitu lengkap.

Karena dapur adalah yang nomor satu baginya, tetapi tidak dengan apa yang dia hasilkan dari kesibukannya berjam-jam berada di tempat itu.

“Emang masih rame buah alpukat, ya belakangan ini?”

“Kamu agaknya suka buah alpukat, ya?”

“Stok alpukatmu banyak banget sih?’

Sampai, “Kamu bisa gak sih berhenti masak alpukat!”

Itulah, Puta, si laki-laki alpukat.

Entah karena para penghuni Lantai Dua Halimunte adalah para pecinta keluarga cemara atau semacamnya, tetapi semua hal yang mereka lakukan dikontrakkan secara alami telah dibagi menjadi tugas-tugas layaknya sebuah keluarga. Terdapat jadwal bagi masing-masing untuk menyapu, membuang sampah, mengantar dan mengambil baju cucian, serta tentu saja… memasak.

“Bisa gak sih kita ubah jadwal masaknya? Si cowok alpukat itu gak usah kebagian jadwal masak gak apa-apa, aku yang dapat jatah masak dua kali gak apa-apa deh …,” dan meskipun keluhan itu keluar berulang kali, Puta tak pernah mendengarkan.

Lantas, ketika jadwal benar-benar diubah tanpa persetujuan darinya, dia tetap bersikeras untuk memasak. Puta entah mengapa selalu dengan ajaibnya sudah ada di dapur, atau sudah selesai dengan hidangan alpukatnya, tiap kali orang lain hendak memasak. Bahkan ketika semua orang sudah melihat sendiri dan memastikan Puta meninggalkan kontrakan setelah selesai menggunakan dapur, lalu mereka berniat menyampingkan hasil hidangan untuk kemudian hendak memasak makanan lain, Puta tiba-tiba sudah muncul di depan meja makan—alias tepat di depan hidangan alpukatnya yang lama-lama terlihat mengerikan.

“Kalian bakal habisin itu, kan?” katanya dengan senyum lebar cerianya yang sama sekali tak membuat penghuni lain di kontrakan ikut bahagia, justru tersiksa batin dan hati.

“Bahkan namanya aja Alka Puta, kalo diotak-atik dikit bakal jadi kata alpukat! Buruan kasih tahu dong, sisi mananya sih dari cowok itu yang gak ada alpukat-alpukatnya? Muak aku!”

Memang, mau berapa kali para penghuni Lantai Dua Halimunte memprotes masakan Puta, bahkan ketika mereka melakukan itu depannya langsung, Puta tak pernah benar-benar menggubris, justru tertawa lebar seolah barusan hanyalah gurauan semata dan dia akan melanjutkan memasakan olahan lain alpukat di jadwal memasak berikutnya.

Sampai suatu malam, dia tiba-tiba tidak tertawa. “Puta, beneran, kali ini masakan alpukatmu enak semua, banget malahan. Kenapa gak nyoba jualan bareng Kak Sena di lantai satu?” katanya, kemudian kembali bercanda seperti biasa, “Daripada lu cekokin ke kita mulu… mau muntah tahu, aku rasanya.”

Puta tak sengaja—atau mungkin sengaja—menjatuhkan sendok dan garpunya, membentur lantai, menimbulkan bunyi menggema yang membuat seisi ruang makan mendadak sunyi. Dia meraih dua benda itu, meletakan kembali di meja, lalu beranjak pergi, “Sial, lupa banget aku ada tugas, udah mepet.”

Untuk pertama kalinya, pada makan malam di jadwal memasaknya sendiri, Puta tak menghabiskan isi piringnya. Dia pergi ke kamar. Mengunci pintu, kemudian asal duduk menghadap pintu, membelakangi seisi ruangan. Seperti hari-hari ketika dia menyembunyikan Bentlea—dan dia tak ingin mengingat tentang itu sama sekali.

Seluruh tubuhnya terasa tak nyaman.

Puta selalu tertawa riang ketika orang berkata, “Kamu suka banget sama alpukat, ya? Emang pecinta alpukat sih!” Namun, tanpa orang-orang itu sadari, Puta tak pernah mengatakan iya.

Puta merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling membenci alpukat di dunia ini. Namun, dia tak pernah bisa berhenti melepaskan tangannya dari alpukat, apa pun yang terjadi.

“Puta, kamu ingat, kata-kata pertamamu waktu kecil dulu bukan ayah ataupun mama, tapi alpukat …walau waktu itu kamu gak jelas banget sih ngucapinnya.”

Alpukat adalah barang paling familiar di hidup Puta, dia sudah melihatnya sejak lahir. Ayahnya memiliki perkebunan dengan berbagai tanaman. Dia mengelola seluruh penjualan dan hanya memberikan salah satu kepada sang istri, yaitu alpukat.

Bukan bisnis yang besar, tetapi agak kurang tepat juga bila disebut usaha kecil.

Ayahnya jarang sekali pulang. Sementara ibunya berada di rumah untuk menjalankan sebuah toko sekaligus kantor distributor alpukat di depan rumah sambil merawat dua putranya, Puta dan Bentlea.

Ketika sepupunya yang sudah kuliah mampir ke rumah saat liburan dan bercanda, “Wanita tuh makhluk yang mengerikan, kamu tahu,” Puta seharusnya mengingatnya baik-baik—walau dia yang pada saat itu baru saja lulus TK, belum benar-benar memahami maksud kalimat tersebut.

Ketika sekarang memikirkannya lagi, Puta paham maksudnya. Ibunya terobsesi dengan ayahnya—perhatian, pujian, senyuman, dan cinta.

Ayahnya tak pernah memantau langsung perkembangan bisnis alpukat, hanya menerima laporan tiap akhir pekan. Semua baik-baik saja ketika pelanggan banyak berdatangan dan truk pengangkut alpukat mondar-mandir setiap hari.

Puta dan Bentlea kecil bahagia oleh ibunya yang pandai dalam merawat mereka. Mainan apa pun yang mereka inginkan selalu bisa didapat lantaran pemasukan dari bisnis alpukat cukup besar.

Puta juga sangat senang ketika sesekali alpukat di toko diberikan kepada mereka. “Biar sehat, ya, sekalian biar pas target minggu ini,” kata ibunya.

Semuanya tak ada yang salah, hingga target mingguan makin sulit untuk dicapai dan alpukat yang harus dimakan Puta makin banyak. Puta mengeluh kekeyangan dan mulai mual, kemudian alpukat yang telah dijus itu dimasukkan ke dalam botol minum Bentlea yang lucu, oleh ibu mereka, yang biasanya diisi susu. Sementara Puta memandang si adik yang mulai meminumnya dengan senyuman lebar.

Kini, bukan hanya Puta yang harus menghabiskan alpukat.

Sampai titik ketika kebencian Puta kepada alpukat memuncak, dia merebut jus buah alpukat di botol lucu adiknya—ketika ibunya baru saja memberikan itu kemudian beranjak pergi. “Jangan diminum!” katanya, kemudian Puta langsung menghabiskan tanpa sisa, meski perutnya begitu sakit.

Puta tak benar-benar paham apa yang dilakukannya, tetapi dia merasakan ada yang tak beres seiring porsi alpukat yang diberikan kepada mereka terus bertambah. Intinya—bagi bocah itu—Bentlea tak boleh meminum alpukat.

Tiap kali ibunya bertanya, Puta akan menjawab bahwa semua jus alpukat yang diberikan, telah habis.

“Adik, masuklah!” Puta mendorong tubuh mungil Bentlea, ke dalam lemari kecil yang kosong karena sebagian baju-baju mereka dibuang oleh Puta ke gudang. “Masuklah!”

“Bentlea!”

Tepat saat suara ibu mereka terdengar dan Puta berhasil menutup pintu lemari dengan sempurna seakan-akan tak terjadi apa pun, anak lelaki itu berbalik dan tersenyum.

“Bentlea di mana?”

“Masih tidur sepertinya.” Dia kemudian menunjuk dua gelas di tangan ibunya. berisi jus alpukat. “Itu buat aku dan Bentlea? Sini, Bunda. Punya Bentela nanti akan kukasihkan.”

Setiap kali ibunya datang membawa jus alpukat, Puta akan menyembunyikan Bentlea di berbagai tempat. Tak peduli apa saja yang menjadi lokasi persembunyian. Adik kecilnya itu tak boleh melihat alpukat, barang setitik pun.

Keinginan Puta untuk menyembunyikan adiknya dari alpukat, makin menggebu. Kepalanya yang pusing tiap kali rasa buah yang tak berubah itu harus melewati lidah untuk sekian kali setiap hari, mulai membuat pikirannya terasa kosong.

Sampai pada suatu momen, gelas yang yang diberikan oleh ibunya agar diminum oleh Puta, justru lepas dari genggaman anak lelaki itu. Terjun bebas.

Menghantam lantai.

Retak

Berserakan.

Cairan coklat berceceran, genangan makin membesar di lantai, menyentuh kakinya perlahan.

Jus… ALPUKAT!

“Puta!”

Malam itu adalah puncaknya. Senyuman lebar ceria di wajah sumringah Puta, akhirnya hilang. Laki-laki yang telah tumbuh hampir menyamai tinggi ibunya, perlahan mengangkat kepala dan menatap wanita itu.

Mukanya tanpa ekspresi.

Matanya kosong.

“Mengapa Bunda… menyiksaku?” katanya, dengan suara datar.

“Apa maksudmu, Nak?”

“Semua jus alpukat itu…,” suaranya hampir habis, seperti tak sanggup hanya untuk mengucapkan buah paling memuakkan di sepanjang hidupnya.

“Itu biar kamu—”

“Sehat?” Akhirnya lelaki itu tersenyum kembali, tetapi bukan dengan ceria seperti biasa, justru sebaliknya. “Alasan itu lagi…”

“Bunda sayang sama kamu.”

“Kasih sayang macam apa itu?” dia berteriak. “Tanpa aku bilang apa pun, Bunda udah paham kalau yang dibahas adalah alpukat. Bunda sebenarnya selama ini tahu kan, apa sebenarnya yang Bunda lakukan?” Dia menggeleng pelan, suaranya makin lirih. “Jadi, aku gak mau dengar kalimat bodoh macam itu.”

Puta memandang ibunya, tatapan kosong di matanya malah terasa begitu intens. “Buat apa sebenarnya semua ini? Ayah? Lupain aja bisa gak sih pria itu?”

“Tapi, Bunda mencintainya ….”

Puta tertawa.

Sebuah tawa yang sama sekali tidak lucu.

Suaranya masih bercampur gelagak, “Dia nyakitin Bunda setengah mati, sampai Bunda begitu menginginkannya, kan? Sama kayak apa yang Bunda lakukan ke aku!”

Dia tertawa lagi. “Kayaknya aku tahu kenapa Bunda terobsesi sama Ayah.”

Puta berhenti tetawa, melepaskan napas berat yang tertahan. “Demi seluruh alam semesta, ngapain Bunda masih ngejar-ngejar Ayah? Engga… yang lebih penting, sejak awal, kenapa Bunda nikahin Ayah dan membuat kami jadi harus ngerasain ini semua?”

Dia berkata miris, “Berusaha memberikan kesenangan kepada jiwamu yang menyedihkan itu memang boleh-boleh saja, tapi jangan korbankan kami!”

Suaranya menggema di tengah gulita malam nan dingin. Satu detik kesunyian, menusuk setiap bagian dari mereka. tak membiarkan setitik kebahagiaan.

“Kumohon… berhenti, Bunda,” di sela semua luapan amarah gila itu, dia memelas.

Puta perlahan geram kembali, perubahan tekanan bicaranya begitu drastis. “Buat apa sesungguhnya semua ini? Bunda mau menunggu pria itu? Bunda masih berharap ke pria itu?”

Lelaki itu selangkah mendekat. “Bunda… dia, Ayah… enggak dan gak bakal pernah… tulus mencintai Bunda!”

“Abang!” Bentlea menggertak.

Ibunya menunduk. Malam yang mencekam terasa makin dingin. Deru angin lebih kencang dari biasanya. Puta tak tahu bagaimana wajah ibunya, tak mau tahu bahkan.

“Apa Bunda tahu seberapa benci aku sama alpukat?”

“Tapi kamu makan semua alpukat itu setiap hari….” katanya, bahkan Puta tak menemukan setitik penyesalan, hanya nada-nada suara yang membuatnya teringat kepada pria yang sialnya harus dia panggil dengan sebutan Ayah.

“Aku sangat membencinya sampai-sampai aku begitu jatuh cinta…. yang sesungguhnya bukanlah cinta sama sekali.” Puta tertawa kembali. Lirih, tetapi kian jelas bahwa lelaki itu makin hilang entah ke mana. “Agaknya otakku sekarang bergerak berlawanan arah jarum jam… karena Bunda.” Dua kata terakhirnya, terdengar seperti luapan besar dari akumulasi tuduhan kesalahan yang menghantui semenjak lelaki itu begitu belia.

Untuk pertama kalinya, ibu mereka meneteskan air mata.

Bentlea menampar kakaknya. “Cukup.”

Sejak itu, ibunya tak berani membawa-bawa alpukat lagi di depan Puta. Sesekali Bentlea masih diberi, walau diam-diam. Bila boleh jujur, segala macam olahan alpukat ibunya, sangat enak, bagi Bentlea yang selama ini hanya mengonsumsi di taraf normal berkat kakaknya.

“Bang, kamu tahu kenapa Bunda terus ngasih aku alpukat, karena Bunda tahunya aku suka alpukat …,” walau itu tak sepenuhnya salah pula—Bentlea tidak menanggung obsesi seperti kakaknya. “Itu satu-satunya yang masih bisa Bunda lakukan. Aku cuma bisa berlagak seolah-olah itu benar.”

Sepanjang kehidupannya, ibu mereka hanya memikirkan untuk mendapatkan perhatian, perhatian, dan perhatian dari pria itu. Dia tak menyisakan waktu, untuk sekadar memahami anak-anaknya.

“Terbuka sedikit ke Bunda kenapa sih Bang?”

“Kayak lu sudi buat terbuka ke Bunda aja.” Puta berlalu pergi.

Bentlea memandang kakaknya itu dengan nanar. Dia tahu, Puta memang benar.

Kemudian, Puta berbalik, sudah kembali ke wajah sumringah dan senyuman lebarnya itu. “Bentlea malam ini mau pie alpukat? Abang bikinin yang banyak, ya?”

“Walaupun aku nolak, Abang pasti tetep bikinin…” Dia mendengus, bukan hanya para penghuni kost Lúantai Dua Halimunte, adik kandungnya sendiri pun kewalahan dengan kebiasaan Puta yang satu ini.

Kakaknya itu langsung melesat ke dapur.

“Seorang ibu dan putranya yang sama-sama melakukan pengorbanan bodoh.” Bentlea memandang kusen pintu kosong, empat terakhir kakaknya terlihat. “Abang… kamu sama sekali gak ngasih contoh yang baik buat adikmu ini.”

Puta, hanya berakhir menjadi orang yang sama-sama menyedihkannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
Alang
Republika Penerbit
Novel
It's Okay, I'm Thirty 30
Ndiejpank
Cerpen
Avocado Party
Adinda Amalia
Novel
Kelabu
Dalavunii
Novel
Bronze
LOVE, ANDRA
Embun Pagi Hari
Flash
Terlanjur #02
Tanti Ardiana
Novel
Bronze
Something with you
nazar aulia hidayah
Novel
Our Galaxy
Pyoo
Novel
Gold
Dear Prudence
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
BENGAWAN
Herman Sim
Novel
Stigma
Nita Simamora
Novel
Kisah Ini Belum Usai
Ni Luh Putu Anggreni
Novel
Bronze
Renjana (1998)
Riska Gustania
Cerpen
Bronze
TUAN CHAIRIL
Sri Wintala Achmad
Novel
Bronze
THE SLICES OF HEART (Iris-Irisan Hati).
Bhina Wiriadinata
Rekomendasi
Cerpen
Avocado Party
Adinda Amalia
Cerpen
Delution Memories
Adinda Amalia
Novel
Orca and The Flower Ice
Adinda Amalia
Novel
Tuan Lori
Adinda Amalia
Cerpen
Bombastik
Adinda Amalia
Novel
X Class 007
Adinda Amalia
Cerpen
For Clover
Adinda Amalia
Cerpen
Re-decade
Adinda Amalia
Cerpen
Sakurawisher
Adinda Amalia
Cerpen
Restate
Adinda Amalia
Cerpen
Tanah Para Manusia
Adinda Amalia
Novel
Sinkronisasi Jiwa
Adinda Amalia
Flash
Apel untuk Doktor
Adinda Amalia
Cerpen
Bumiputera
Adinda Amalia
Cerpen
Outlook
Adinda Amalia