Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Auditor dari Akhirat
3
Suka
3,305
Dibaca

 

“Tiiiiiiiiiit.”

Seiring datarnya alat monitor jantung, roh Jujur Setiawan keluar dari badan. Rohnya melayang menyaksikan istri dan anaknya tersedu menangisi jasadnya dari sisi ranjang. 

         “Mas Jujur!!”

         “Ayaahhh!”

Roh Jujur tak kuasa terbang mendekat, kekuatan tak terlihat membuat rohnya terus menjauh, menembus langit-langit rumah sakit, menembus langit di angkasa, lalu datang cahaya yang membutakan mata. GELAP!

***

“JUJUR SETIAWAN!” suara keras dan jelas tapi tidak memekakkan sekitar, seakan diucapkan khusus untuk gendang telinganya saja. Jujur mengerjap bangun, tak ada siapa-siapa di situ. Ia melihat keadaan sekitar, sebuah aula super besar dengan nuansa putih bersih. Tak jelas seluas apa ruangan ini, karena sejauh pandangan matanya hanya ada putih. Jujur menatap lantai yang sama putih bersihnya dengan dinding ruangan.

“MENINGGAL KARENA SERANGAN JANTUNG DI USIA 50 TAHUN,” suara tanpa wujud berlanjut, mengingatkan Jujur akan kenyataan menyakitkan, bahwa ia sudah mati.

“Saudara Jujur, Anda sudah siap?” intonasi suara melembut dibarengi dengan munculnya sosok lelaki berwibawa dengan kemeja kerja, tak ubahnya di kantornya dulu di bagian audit keuangan negara.

“Siap apa ya, Pak?” Jujur belum lepas dari kekagetannya melihat lelaki ini muncul tiba-tiba.

“Siap untuk diperiksa hidup Anda selama di dunia.”

Jujur memegang erat lengan kursi. Badannya bergetar. Menatap takut campur tak yakin ke sosok berwibawa di hadapannya. Kalau benar ini akhirat, sosok di depannya tak memperlihatkan tanda-tanda seorang malaikat, orang ini tak bersayap, bahkan memakai kemeja tak ubahnya pegawai kantor di dunia.

“Tidak usah heran, malaikat yang bertanya di akhirat memang disesuaikan dengan keadaan si mati, biar tidak terlalu kaget menghadapi audit dari kami.”

Ya, positif, ini malaikat! Orang, eh malaikat ini jelas bisa membaca isi pikiranku.

“Audit?” Jujur memastikan kalau ia tak salah dengar.

“Ya, kehidupan Anda di dunia akan kami audit, karena kami adalah auditor akhirat, dari BPK.”

“Tuan Malaikat dari BPK juga?”

“Kalau Anda dari Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan kami dari Badan Pemeriksa Keimanan.”

***

         Peluh sebesar jagung keluar dari kening Jujur. Sebagai auditor, ia yang biasanya mengaudit kini malah akan diaudit. Bagaimana pula kriteria audit keimanan ini? Ia benar-benar takut.

         “Kriteria penilaian kami sederhana, melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di setiap aspek kehidupan.”

         Peluh Jujur kini sudah membasahi sekujur tubuh.

         “Saat proses audit berlangsung, mulut Anda akan terkunci, Anda tak punya hak jawab. Kami punya cctv di semesta, setiap pertanyaan akan dijawab dengan tayangan rekaman Anda saat kejadian. Jangan khawatir soal keadilian, karena cctv kami melihat sampai ke hati. Niat Anda akan terbaca terang benderang.”

         Jujur kembali banjir keringat, teringat segala cela yang dia lakukan dari balik pintu tertutup, mengira tak ada yang menyaksikan, tak ada tanggung jawab yang menyusul. Sebentar lagi dia akan melihat wujud nyata dari arti, ‘Tuhan itu Maha Melihat’.

***

Ruangan gelap seketika, bahkan Jujur tak bisa melihat tangannya sendiri. Tiba-tiba di hadapannya muncul ‘film’ dirinya dari mulai usia akil baligh, saat dosa mulai diperhitungkan. 

Film yang terasa nyata, entah berapa dimensi, ia merasa ada di tengah-tengah peristiwa tanpa bisa ikut campur. Bisa merasakan dengan segala indera, tapi tak bisa menyentuh tiap manusia yang ada di situ. Tayangan film itu diiringi suara malaikat sebagai narator.

“Jujur Setiawan, dalam nama Anda tersimpan doa orangtua. Mereka ingin Anda jadi orang yang jujur dan setia, kualitas langka dari manusia. Umur 12 tahun adalah dosa pertama Anda sebagai manusia, saat Anda mulai melakukan kebohongan.”

Jujur melihat tayangan dirinya sendiri saat SMP, saat mencontek waktu ulangan matematika. Duh, kalau yang begini saja jadi masalah bagaimana dengan dosa-dosaku yang lain, yang lebih besar? Jujur menyaksikan dengan tegang. 

 “Tetapi ajaran orangtua dan guru mengaji membuat Anda merasa sangat bersalah. Membuat Anda mengaku salah walaupun tidak ada manusia yang tahu perbuatan Anda waktu itu.”

Di layar raksasa tampil Jujur remaja yang duduk tertunduk di depan guru matematika.

“Maaf Bu, nilai ini tidak saya dapatkan dengan jujur.” 

Jujur ingat sekarang, Bu Erlin, guru matematikanya merasa kagum dengan kejujurannya. Bukannya memberi hukuman, gurunya tersebut malah memberinya les matematika secara gratis. Akhirnya, pelajaran matematika yang tadinya ditakuti Jujur malah menjadi pelajaran favoritnya.

“Angka itu tidak pernah berbohong, selalu jujur seperti namamu, manusialah yang membuatnya bisa berbohong,” itulah petuah Bu Erlin yang selalu dia ingat.

***

“Sekarang kita memasuki umur Anda memasuki 21 tahun, awal masa kerja Anda di BPK, Badan Pemeriksa Keuangan. Anda yang bersahabat dengan angka sejak SMP bisa lulus dari STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dengan nilai cemerlang. Sebagai auditor muda, Anda sangat dipercaya oleh atasan Anda waktu itu.”

Terlihat layar menampilkan ia duduk di ruangan Pak Binsar, auditor utama yang mengawasi kinerjanya secara khusus.

“Jujur, agaknya sudah menjadi takdir kamu masuk ke BPK ya, agar nama kamu bisa mencerminkan kualitas pegawai di sini. Ini adalah tempat paling gampang untuk tersesat, cuma punya dua pilihan, menjadi setan atau malaikat.

Di film itu pun tampillah montase masa kerja Jujur di BPK yang penuh warna. Ada beberapa godaan dan arahan dari lembaga negara yang mau diaudit, tapi Jujur tetap bertahan untuk jujur. Ia masih ingat pesan Bu Erlin dan Pak Binsar. Hitungan angka akan selalu jujur jika manusianya punya integritas.

***

Film kehidupannya fast forward secara cepat, saat ia kembali berada di ruang kerja Pak Binsar. Bedanya, ini adalah saat Pak Binsar menjelang memasuki masa pensiun.

“Kamu masih muda, tolong jangan lepaskan kejujuran dari dirimu, saya mengajukan pada pimpinan agar Kamu jadi auditor utama menggantikan saya,” Pak Binsar memandang dirinya dengan penuh harapan.

         Waktu itu Jujur mengangguk mantap, ia menjadikan Pak Binsar sebagai teladan. Kejujuran Pak Binsar jelas terlihat, dibandingkan auditor utama yang lain, bisa dibilang hidup Pak Binsar yang paling biasa-biasa saja. Ya, Pak Binsar pernah bilang sambil bercanda, kalau mau jadi malaikat harus siap untuk hidup ‘melarat’.

***

Film dirinya terus berlanjut, membuat Jujur semakin takut, karena dia tahu pasti peristiwa apa yang menunggu di depan. Saat posisi Jujur Setiawan semakin tinggi.

Benar kata pepatah, ‘semakin tinggi pohon, semakin keras juga anginnya’. Semakin tinggi posisi Jujur, semakin keras juga godaan yang didapatkannya. Waktu itu Jujur sudah menikah dan punya anak satu. Jujur bisa menahan nafsu dirinya pribadi saat dihadapkan dengan godaan uang. Tapi, rengekan anak dan istri adalah jenis ujian yang lebih susah dihadapi.

“Pak Bondan itu tiap tahun bolak-balik liburan ke luar negeri loh sama keluarganya. Padahal posisinya di kantor kan tinggian kamu, Mas?”

“Pa, mobil kita kok nggak nambah-nambah sih, si Kevin aja udah punya tiga. Aku lihat sendiri waktu main ke rumahnya.”

Jujur bergetar melihat tayangan dirinya yang akhirnya tergoda. Celah keluarga inilah yang dijadikan strategi bagi para penyuap. Mereka tidak menyerahkan uang secara langsung, tapi dibungkus dengan mulus dalam bentuk paket liburan sekeluarga ataupun paket pembelian kendaraan. Betapa bangganya istri dan anak Jujur, setiap tahun menampilkan gambar liburan yang instragamable. Mulai dari Disneyand hingga Iceland, dari Patung Liberty hingga Sidney. Mobil pun bertambah, hingga Jujur harus memperluas garasi di rumahnya

Durasi film kehidupannya terus berjalan, membuat Jujur semakin malu. Memasuki usia pertengahan 40-an Jujur seolah semakin dekat dengan agama. Setiap uang suap selalu dia sisihkan sebagian untuk panti asuhan. Setiap pergi liburan selalu diiringi ibadah umroh di tahun yang sama.

“Anda mengira malaikat pencatat bisa Anda bohongi, cctv kami tidak hanya mencatat perbuatan, tapi juga mencatat niat di dalam hati Anda.”

Jujur hanya bisa menangis tersedu, berharap waktu bisa diulang kembali. Berharap ia tidak mengkhianati kejujuran angka dengan mengutak-ngatiknya sesuai pesanan.

***

“Meski dari luar hidup kamu tampak berkecukupan, hati kamu sangat kurang siraman rohani, kering kerontang. Akhirnya di saat seperti itulah hidup Anda di dunia berakhir.”

Layar gelap, tapi tidak menunjukkan tulisan ‘Tamat’ atau ‘The End’. Film kehidupannya malah dimulai lagi dari awal.

“Di sini bukan tempat keputusan, hanya tempat perenungan. Film kehidupan Anda di dunia akan terus-menerus Anda saksikan, hingga hari pengadilan datang. Selamat menikMATI.”

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Novel
Bronze
Di Bawah Langit Granada
Noficha Priyamsari
Cerpen
Auditor dari Akhirat
hidayatullah
Novel
Bronze
Bidadari Bertasbih
Imajinasiku
Novel
Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa
Mahabb Adib-Abdillah
Flash
Bronze
Ada Anak Bertanya Pada Ibunya
Ari S. Effendy
Novel
Gold
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (Republish)
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Mencari Tuhan Sepanjang Zaman
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Empat Puluh Rumah
De Lilah
Novel
Gold
Merajut Rahmat Cinta
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Cinta Bersemi Dalam Do'a
Nelly Nurul Awaliyah
Novel
Gold
Mediating Islam (Indonesian Edition)
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
romantisme pergerakan
Didin Emfahrudin
Novel
Bronze
Hujan Tanpa Awan
Jea
Novel
Gold
HIJRAH CINTA
Falcon Publishing
Novel
Gold
Hidup Itu harus Pintar Ngegas Ngerem
Noura Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Auditor dari Akhirat
hidayatullah
Skrip Film
Pesugihan Putih
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Bos 100 Dolar
hidayatullah
Novel
Bronze
Catatan Harian Para Pembohong
hidayatullah
Flash
Tokek
hidayatullah
Flash
Antagonis Menggugat
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Pencuci Profesional
hidayatullah
Cerpen
Saksi Siksa Siska
hidayatullah
Skrip Film
Tutorial Patah Hati
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Selebritas RT Sebelas
hidayatullah
Cerpen
Memulung Murung
hidayatullah
Novel
Sajadah di Pagar Rumah
hidayatullah