Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tak pernah tahu bagaimana bentuk langit, seperti apa rupa awan, atau bagaimana senyum Ibu ketika sedang bahagia. Tapi aku tahu, suara tawa Ibu itu seperti angin sore yang lembut... dan langkah kakinya seperti irama yang menenangkan.
Duniaku tak penuh warna, setidaknya bukan seperti yang teman-temanku ceritakan. Aku mengenali dunia lewat suara, bau, dan getar—semuanya tersimpan rapi di benakku seperti peta rahasia. Lemari, meja, jendela, pintu... semua punya suara dan tempat yang tetap. Aku tahu kapan Ibu sedang sedih hanya dari desah napasnya. Aku tahu kapan hari cerah dari suara burung yang ramai di luar. Aku tahu saat malam datang karena udara jadi dingin dan hening.
Mereka bilang, aku berbeda. Tapi aku tak terlalu peduli. Ibu bilang, Atan adalah anak yang spesial. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi selama Ibu tersenyum saat mengatakannya... aku percaya itu hal yang baik.
Tapi akhirnya aku penasaran,karena aku dengar, teman-temanku suka banyak warna: merah, biru, kuning, hijau. Tapi... warna itu apa, ya?
Mungkin Ibu tahu. Jadi, aku pun bertanya padanya.
"Ibu, warna itu apa?"
Tak ada jawaban yang kudengar. Hanya langkah kaki yang menjauh—pelan—disertai isakan kecil yang tak asing. Suara itu... suara Ibu.
"Ibu mau ke mana? Kenapa menangis?"
Aku berjalan pelan ke arah suara itu, mengandalkan telingaku yang jauh lebih peka daripada mataku.
Setiap suara kecil, desah napas, bahkan getaran langkah Ibu... semua telah kuhapal.
"Ibu nangis?"
"Enggak, sayang. Ibu nggak nangis. Tadi pertanyaannya apa, hmm?"
"Ibu beneran nggak nangis?"
"Iya, sayang. Tadi mau nanya apa?"
"Teman-teman aku bilang mereka suka warna merah, biru, kuning, hijau. Tapi warna itu apa, Bu?"
Ibu menghela napas. Pelan, tapi aku tahu. Tangannya mengusap kepalaku dengan lembut—seperti sedang menenangkan sesuatu yang jauh di dalam hatinya. Ada jeda... panjang... seperti Ibu sedang merangkai kalimat dari serpih-serpih perasaan yang rawan retak.
"Jadi gini, sayang... Warna itu seperti perasaan. Kalau Atan marah, perasaan Atan warnanya merah. Kalau Atan senang, warnanya kuning. Gitu."
Aku diam, mencoba memahami.
Mungkinkah semua perasaan itu... punya warna?
"Heeeee... berarti teman Atan yang suka merah itu suka marah-marah, ya, Bu?"
Ibu terkekeh—tawa kecil, terdengar agak berat, tapi tetap hangat.
"Ya nggak gitu juga, sayang. Merah bisa punya arti lain," jawab Ibu.
"Humm, gitu ya, Ibu..."
Aku mengangguk pelan—berpura-pura paham, walau dalam benakku, warna masih belum punya bentuk. Tapi suara Ibu cukup... untuk membuatku merasa aman.
"Sudah ya, sekarang ayo tidur. Sudah jam sembilan malam," ucap Ibu, menggandeng tanganku.
"Yahhh, Ibu... Aku belum ngantuk."
"Anak Ibu nggak boleh tidur larut malam. Kan udah janji mau nurut terus sama Ibu," katanya sambil membelai kepalaku.
Sentuhannya hangat—sehangat pelukan matahari.
"Aku janji... biar Ibu nggak nangis. Tapi tadi Ibu nangis," bisikku, mencoba meraba wajahnya.
"Ibu nggak nangis, sayang. Sekarang tidur, ya."
"Ibu janji... jangan nangis lagi. Atan sayang Ibu," ucapku sebelum larut dalam pelukan mimpi.
---
Pagi menjelang. Aku bangun dari tidurku. Biasanya, Ibu sudah ada di kamar—menyapaku dengan suara ceria dan penuh pujian.
"Anak manis Ibu... mata Atan seperti kelereng dalam air, pipi Atan kayak bakpao, gigi Atan berbaris rapi... hihi, Ibu lucu,"kataku menirukan gaya bicaranya.
Tapi pagi ini... berbeda.Tak ada suara. Tak ada sapaan. Hening. Seperti ada ruang kosong yang tak bisa kuisi.
Aku berdiri di samping tempat tidur, bernyanyi pelan:
“Maju tiga langkah, ada lemari. Dua langkah ke kanan, ada jendela. Di samping jendela, ada mejaku. Tiga langkah ke kiri... itulah pintu.”
Itulah peta duniaku. Nyanyian itu bukan sekadar lagu—ia adalah petunjuk arah, satu-satunya yang membuatku merasa tak tersesat.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki Ibu terdengar.
"Atan, ayo mandi, sayang," katanya, lalu membawaku ke kamar mandi seperti biasa.
"Atan, hari ini Tante mau datang. Atan inget Tante Eza, kan?"
"Ah iya! Tante yang suka kasih Atan es krim, kan?"
"Iyappp. Atan masih inget Tante Eza."
"Iya dong, Ibu!"
Seusai dimandikan, Ibu memilihkan baju terbaik untukku.
"Gemesnya anak Ibu," ujarnya lembut.
Tak lama, bel rumah berbunyi. Ibu mendudukanku di kasur.
"Mungkin itu Tante Eza. Ibu buka dulu, ya."
"Iyaa, Ibu."
Ibu keluar. Kudengar suara Ibu dan Tante Eza bersahutan, tapi... nadanya berat. Seperti ada sesuatu yang disimpan.
"Gimana kabarmu, Dek?"
"Aku baik, Mbak. Mbak gimana? Mas Raka ke mana? Kok Mbak sendirian?"
"Haduh, kayak nggak tahu Mas-mu itu aja."
"Masuk dulu, Mbak. Nggak enak ngobrol di pintu. Atan juga udah nungguin dari tadi."
"Ah... i-iya, Dek."
Nada Tante terdengar ragu. Ada getar yang tidak biasa—sedih?
Aku berjalan pelan ke arah pintu kamar. Ingin mengintip. Tapi langkah Ibu lebih dulu mendekat.
"Bentar, Mbak. Aku ambilin minum dulu. Sekalian aku panggil Atan."
Aku buru-buru kembali ke kasur.
"Atan, ayo keluar. Tante udah datang," ajak Ibu, menggandengku.
"Mbak, ini minumnya. Atan, salim ke Tante dulu, ya."
"Iya, Ibu."
Tanganku terulur, mencoba menyentuh... tapi kosong. Tak ada apa pun.
Hampa.
"Mbak, kok Atan dicuekin? Dia udah ngulurin tangan, loh."
"Dek... sadar, Dek."
"Maksud Mbak apa? Itu Atan, kasihan... udah mau salim, tapi Mbak cuekin."
"Dek, sadar... Anakmu udah meninggal."
Kalimat itu... menghantam.
Dan saat itu pula, aku merasa ada yang menyentuh tanganku. Tapi sentuhan itu... tak bisa kugenggam. Seperti bayangan. Seperti kabut.
"Tante, Atan di sini. Atan nggak ke mana-mana. Iya, kan Bu?"
"M-Mbak... jangan ngomong gitu. Kasihan Atan. Dia dengar. Dia sedih."
"Dek, Mbak tahu ini berat. Tapi kalau kamu nggak ngelepasin Atan, dia nggak akan bisa tenang."
Ibu menangis. Aku tahu. Aku dengar.
Aku meraba tempat duduk Ibu, mencari tangannya.
"Ibu... Atan di sini. Atan udah janji nemenin Ibu. Ibu jangan nangis..."
"Mbak... Atan masih di sini. D-dia nggak ke mana-mana, Mbak..."
Langkah kaki mendekat. Pasti Tante.
"Ibu jangan nangis. Atan nggak ke mana-mana... Atan temenin Ibu..."
"Relain Atan, Dek. Biar dia tenang. Mbak ke sini buat jemput kamu. Kamu tinggal dulu sama Mbak, ya. Biar nggak keinget Atan terus."
"Aku nggak bisa ninggalin Atan, Mbak... Dia takut gelap. Dia pasti kasian kalau sendirian..."
"Dek, kalau kamu kasihan... lepasin dia. Biar dia pergi dengan tenang."
Langkah mereka perlahan menjauh.
"Ibu jangan ke mana-mana... Atan nggak mau sendiri..."
Aku mengikuti suara itu. Tapi langkah itu... makin jauh. Seperti menghilang dalam lorong waktu yang tak bisa kujelajahi.
"Mbak... A-Atan nggak mau ditinggal..."
"Jalan terus, Dek. Jangan lihat ke belakang."
"Ibu! Tunggu Atan! Jangan ke mana-mana!"
Aku berlari. Terus.
Tapi tak bisa. Dinding di mana-mana. Suara menghilang. Aku kehilangan arah.
"Ibu... Ibu ke mana? Atan takut... Ibu!"
Aku terus berlari—panik, tersesat. Kiri, kanan, belakang... kosong.
Tak ada pintu. Tak ada ibu.
Hanya dinding.
"Ibu... Ibu ninggalin Atan..."
Aku meringkuk. Memeluk lututku sendiri.
Dalam gelap.
Dalam sunyi.
Dalam dunia yang tak lagi hangat.
Sendiri.