Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Aster
0
Suka
5,311
Dibaca

Bau antibiotik memenuhi seluruh penjuru lorong rumah sakit tidak terkecuali lorong klinik Dermatologi/psikiatri. Ruang tunggu pasien yang tidak ramai adalah hal yang membahagiakan bagi para dokter dan perawat, hanya ada satu pasien untuk psikiatri di jam pagi ini. Ia terlihat meremas ujung syal hitam yang membalut leher hingga menutupi sebagian wajahnya, cukup dingin memang, tapi anehkan dia memakai pakaian hangat di dalam ruangan dengan penghangat ruangan.

Poni hitam yang menutupi kening dan kacamata bulat sedikit berembun membuat matanya tidak terlihat jelas. 

“Kau butuh tisu?”

Ia melihat uluran tangan memberikan tisu. “Oh, thank you,” ucapnya, “tapi, untuk apa?” gumamnya.

Jelas itu terdengar di telinganya, “kacamatamu berembun,” jelasnya sembari memberi isyarat di kedua matanya.

“Ya, itu sudah hilang.”

Shit!  makinya dalam hati.

“Apa kau, dokter Jeni?”

“Ya.”

“Kau yang akan menggantikan, Dokter Chris?”

“Ya,” jawabnya dengan tersenyum, “Kau, Aster. Pasien yang dibicarakan, Chris?”

Aster bisa melihat raut wajah kaget dari wanita berambut wolf cut yang dikuncir sebagian, tapi kenapa dia tidak memakai jas dokter atau tanda pengenal, apa karena dia hanya dokter pengganti?

“Aster, come on. Kau bisa langsung konsultasi, karena tidak banyak pasien hari ini. Apa karena bukan, Chris, yang bertugas atau mereka enggan bertemu dokter semanis aku?”

“Khm.”

“Oh, sorry. Beberapa pasien di klinik ku bilang kalau aku sangat manis.”

Aster sama sekali tidak menanggapi ocehan Jeni yang membukakan pintu dokter, seorang perawat memberi bagan konsultasi milik Aster sebelumnya.

“Duduklah, kau bisa rileks saat aku yang bertugas.”

Aster memilih duduk di sofa panjang menghadap pot bunga Aster berwarna putih, wangi aroma therapy yang memenuhi ruangan membuat Aster memilin syalnya.

“Kau tidak kepanasan?”

“Em?” 

“Bukankah pakaianmu berlebihan? Cuaca memang dingin tapi.”

“Tidak. Terimakasih.”

Jeni kembali pada bagan tersebut, ia mematikan pengharum ruangan dan mengganti dengan lilin beraroma vanila. 

“Kau pernah lihat bunga vanila?”

Aster menggeleng.

“Bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini? Terakhir kali kau dapat resep anxiolytics. Bagaimana, kau bisa tidur dengan nyenyak?”

“Ya. Rasanya kecemasanku berkurang.”

“Bagus. Janji temu untuk konsultasi juga mulai berjarak, apa ada yang membuatmu takut akhir-akhir ini?”

“Tidak. Kurasa baik-baik saja?”

“Pekerjaan, apa ada yang mengganggu?”

“Ya.”

“Takut?”

“Ya, aku takut mengacaukan debut pertamaku sebagai pelukis.”

“Kenapa?”

“Karena, penyakitku.”

“Kau sakit? Dimana?” tanya Jeni sembari memegang tanganku.

“Maksudku.”

"Skizofrenia? Apa itu penyakit?” Jeni terlihat memikir dengan berkerut, “menurutku bukan. Itu hanya perasaan lain yang sangat berlebihan.”

Aster menatap Jeni tidak paham, bagaimana dia menganggap Anxiety-nya bukan sebuah penyakit. Apakah dia betul-betul seorang dokter psikiatri?

“Jadi, kapan pameranmu?”

“Lusa.”

“Oke, aku hanya meresepkan seperti yang diresepkan sebelumnya dan kau harus berpikir positif tentang dirimu sendiri, aku bukan berkata sebagai dokter psikiatri tapi, sebagai teman. Ya, teman. Kau mau bertemankan?”

Aster hanya meraih kertas kecil dari tangan Jeni tanpa memperdulikan Jeni yang terus-terusan bertanya tentang dirinya menjadi teman. Berisik, dia lebih berisik dari Chris, kenapa harus dia yang menggantikannya? Apa tidak ada yang lebih tenang.

Aster duduk di depan apotek rumah sakit dengan memakai earphone, ia membuka syal dan membiarkan angin musim dingin menerpanya. Sebetulnya, sangat panas memakai baju hangat serta syal rajut di ruangan tertutup seperti ini. Tetapi, ia tidak ingin menunjukan wajah takut dan cemas nya kepada dokter psikiatri, itu akan menambah nilai untuk kunjungan dan obat di kemudian hari.

“Hem, kau terlihat lebih baik begini?” ujar seseorang yang telah berdiri dihadapannya.

Ah, sial. Dia lagi.

“Aster Huggie, obat anda,” panggil apoteker.

“Ya.”

Namun, Jeni lebih dulu mengambilnya. “kau bisa meminum obat ini saat cemas atau ketika hendak tidur.”

“Terimakasih.”

“Yes, Aster, Hug me.”

“Eh?”

“Aster Huggie. Aster,” ia menunjuk Aster lalu merentangkan kedua tangannya, “Hug.”

Aster tidak peduli.

*_____*

Kerlip lampu menyoroti jalan taman dari gedung serbaguna, malam menambah suasana taman tersebut tampak indah. Cukup banyak pengunjung pameran yang dilakukan malam hari, mereka para orang tua dengan pasangan mereka dan segelintir anak muda yang berminat pada lukisannya. Jeni tersenyum begitu matanya menemukan sosok yang ditujunya, sang seniman yang dengan gaya casualnya menyambut para pengunjung. 

Senyum yang tidak pernah luntur dengan brosur dan sedikit basa-basi membuatnya terlihat sempurna dengan hoodie putih berpadu blazer abu dan rok selutut ditambah kaos kaki putih sebetisnya. Apa Aster memang semenarik ini? Chris sendiri mengakui kalau melihatnya ingin melindungi sebab ia seperti bunga di tengah panas terik.

Jeni menggelengkan kepalanya tertawa sendiri mengingat semua perkataan Chris, ia memasuki barisan.

Thank You, telah hadir di pameran pertamaku. Ku harap kau menikmatinya,” ucap Aster sembari menjabat tangan pengunjung di hadapannya.

“Kita berjabat tangan.” 

Aster terhenyak begitu tahu jeni yang ada di hadapannya, begitu ingin melepas tangannya jeni segera menggenggamnya dan memasukannya kedalam saku parka.

“Kau bisa jadi guide-ku,” bisiknya, “ayo!” 

Aster tidak dapat menolak terlebih tangannya digenggam erat dalam saku parka Jeni.

flower? This aster, aster, aster.”

Aster menghela nafas, lalu menunjuk lukisan hitam putih dengan berbagai bunga. “Cosmos, daisy, krisantium and aster.”

“Semua terlihat sama, apa bedanya?”

Aster mengeluarkan ponselnya lalu menunjukan sebuah foto kepada Jeni, “lihatlah, yang berwarna ungu ini bunga Cosmos kelopaknya lebih lebar, ini daisy kelopaknya lebih kecil, panjang dan terpisah, ini krisan merah, ia terlalu mewah dan di tengah adalah Asteria, kelopaknya kecil lebih.” Aster menoleh ke arah Jeni yang tidak memperhatikan foto melainkan dirinya, dengan kesal Aster melepas genggaman tangan Jeni lalu beranjak darinya.

Jeni mengulum senyum mengikuti langkah pelan Aster dari belakang, memperhatikan setiap kakinya bergerak seperti detak jantungnya yang memburu kini suara langkah di depannya seperti seirama dengan pusat kehidupannya.

“Kenapa bunga Aster itu tumbuh diantara mereka?”

Aster menoleh sambil membetulkan kacamatanya ia tersenyum miris, “karena sebelum bunganya tumbuh, seringkali dianggap pohon liar merusak tanaman lain.”

“Tapi, dia indah begitu berbunga. Mereka bisa menunggunya sampai bunganya muncul.”

“Siapa yang menunggu rumput liar begitu lama?”

“Aku.”

“..., wajar, kau tidak tahu apapun tentang bunga.”

Jeni menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Jangan asal bicara.”

Jeni berjalan sejajar dengan Aster. “kenapa pameran dibuka malam hari?”

“Hanya lebih tenang.”

“Tidak. London tidak pernah tenang.”

“Ya. Karena orang berisik sepertimu,” Aster meninggalkan Jeni di lorong.

*____*

Aster membersihkan barang-barang di ruang tamu, beberapa buket bunga, hadiah dari teman dan pengunjung lainnya pameran kemarin. Ia menatap dengan mata lelah dan tidak ada tenaga untuk membersihkan semuanya, terlebih ia juga harus menemui pembeli dari lukisannya.

Aster menghempaskan tubuhnya di sofa. apa lebih baik aku tidur lagi? Apa aku harus bergerak merapikannya? Apa aku harus membiarkannya saja?, matanya yang terpejam segera terbuka karena mendengar suara bel dari depan rumahnya.

Kesal, ia berjalan malas dan membuka pintu.

“Waah. Kau tampak kelelahan? Aku datang tepat waktu, kan?” 

“Jen!”

Jeni menerobos masuk lalu terhenyak, “hah, apa kau belum membuka semua hadiah dan buket bunga ini dibiarkan begitu saja?” Jeni mulai meraih buket bunga dan membawanya ke meja dapur.

“Jen, stop. Aku akan membersihkannya nanti, jadi.”

“Kau sudah minum obat? Apa kemarin kau bisa tidur? Dimana obatnya?”

“Aku akan minum.”

“Duduk.”

Aster menurut.

Good girl, minum obatmu lalu tidurlah. Apa kau ada rencana hari ini?”

“Jam 5 sore, aku harus menemui pembeli lukisanku dan memberi tanda tangan.”

“okay, tidurlah.”

Jeni benar, aku bisa tidur kembali.

*____*

Aster menoleh ke arah trotoar yang ramai, pukul 5 sore memang cukup ramai orang berlalu lalang pulang kerja. Ia melihat Jeni yang bersandar pada mobilnya sembari menyeruput minuman yang dibelinya. 

Apa aku keterlaluan membiarkannya di luar di cuaca dingin? Pikir Aster yang terus memperhatikan Jeni. Tiba-tiba ia melambaikan tangan dan itu membuat Aster tersenyum.

“Halo, Aster Hugie?”

“Oh, yes. Tuan Rudolf, bagaimana perjalananmu kemari?”

“Sangat lancar. Kau sendiri, apa cukup lama menungguku?”

“Ah, tidak, tidak. Aku baru beberapa menit yang lalu.”

“Bisakah kita langsung bertransaksi?”

“Ya.”

Tuan Rudolf memberinya selembar cek dengan tanda tangan di atasnya, “jadi, dimana lukisannya?”

“Akan ku bawakan ke mobilmu, Tuan.”

“Oh, baiklah.”

Aster segera berlari kecil menuju mobil Jeni dan segera membawa lukisan yang telah dibungkus rapi menuju mobil jeep Tuan Rudolf.

“Ah, aku sungguh terharu denganmu. Seniman sendiri yang membawanya.”

“Aku lebih suka seperti ini, semacam menjaga anak bayi.”

“Ya, betul. Seniman selalu menganggap karyanya seperti anak.”

“Sekali lagi terimakasih, Tuan Rudolf.”

Tuan Rudolf menjabat tangan Aster dan segera menyalakan mesin mobil. Aster melihat kearah Jeni diseberang yang terus menatapnya, ia berpikir untuk lari tanpa memperdulikan Jeni yang menunggunya.

Ya, ia harus lari darinya.

Aster segera lari bersamaan dengan bus yang melaju pelan di jalan raya.

“Aster!”

Sialnya, Jeni berlari lebih cepat hingga dengan mudah ia tertangkap.

where are you doing, hah?”

Aster mencoba melepaskan cengkraman Jeni di bahunya. “jangan dekati aku.”

Why?”

“...”

“Karena kau pasien psikiatri dan pernah di rawat?”

Aster menggeleng.

“Kau takut? Kau malu padaku?”

No!”

“Lalu?”

“Aku takut bergantung padamu dan tidak membiarkanmu bebas, aku bahkan bisa menyakitimu.”

“Tidak masalah. Kau bisa begitu, aku akan tetap bersamamu.”

Aster berjongkok memeluk lutut, rambut hitamnya yang sedikit ikal membuat seluruh wajahnya tertutup. Jeni menepuk pundaknya dengan pelan.

“Ayo, pulang.”

*____*

Suasana kampus begitu ramai, bagi Aster semua sama saja ramai atau tidak ia mengunci diri di studio lukis selama berjam-jam setelah kelas selesai. Namun, hari ini ia terjebak di kantin kampus bersama senior kelas seni. Beberapa kali ia menolak ajakannya untuk makan bersama karena tidak menyukai kedekatannya dengan orang-orang disekitarnya.

Takut melukai mereka adalah kecemasan terbesar yang dimiliki Aster dalam bersosialisasi.

“Kau akan mentraktir kita, kan?”

"Em, aku akan memberikan kartu atm ku tapi, aku tidam bisa ikut.”

“Wah, kau sungguh kaya ya?”

“Tidak juga.”

“Kenapa? Apa kau anti sosial atau semacamnya?”

“Itu.” Rasanya tenggorokannya tercekat hingga sulit bernapas, ia menenggak air lalu berdiri, “ini kartuku, belilah apapun yang kau mau.”

“Lihat, dia sombong sekali. Kau meledek seniormu?” salah seorang senior menarik ransel milik Aster.

“Apa kau merasa seperti itu? Atau kau iri karena aku lebih dulu menggelar pameran?”

Shit!”

Aster terjatuh setelah mendapat bogem dari seniornya, ia memegang pipi dan hidungnya yang terasa perih hingga kepalanya merasakan pusing, tetapi kesulitan bernapas mengalihkan rasa sakit membuat Aster meringkuk di atas lantai mencoba mencuri oksigen yang sulit di dapatkannya.

“Aster, kau kenapa?”

Aster hanya menatap teman yang menanyakan sambil menunjuk tas ransel.

“Hei, hubungi kerabatnya. Sepertinya dia kena serangan panik.”

Temannya membuka ransel dan menemukan secarik kertas.

“Jeni?”

Jeni, pikirnya.

 *____*

Aster mengapit lukisan berukuran 3×6 diantara tangannya, ia meletakan di bawah kursi tunggu tepat di depan ruang psikiatri. Matanya terus mencari seseorang lalu ia menelpon dan tidak ada jawaban sama sekali.

“Aster, kenapa kau disini?”

“Oh, Suster Viola. Aku mencari Dokter jeni.”

“Dokter Jeni?” herannya, “apa ini?” tanyanya sembari menarik kotak kayu tersebut.

“Ini untuk Dokter Jeni.”

“Tapi.”

Aster terdiam sebentar. Memang setelah dirinya mengalami panik di kampus ia sama sekali tidak pernah bertemu Jeni, bahkan Jeni seperti mengabaikannya. Telepon dan pesan sama sekali tidak ada respon.

Suster Viola menuntun Aster menuju bangsal. “mari kita cari Dokter Jeni nanti, oke. Sekarang waktunya kau minum obat.”

Aster menghempas tangan suster Viola dengan kasar, matanya menyalak melihat ke sekitar kamar dengan 4 bangsal tersusun, di antara para pasien gangguan jiwa yang menatapnya ia mulai berpikir kalau suster Viola menganggapnya gila.

“Kau berpikir aku gila, kan?”

“Tidak, kau hanya sedikit sakit.”

“Aku tidak gila. Aku kemari hanya mencari, Jeni! Jeni! Jeni!”

“Aster, tenanglah. Tenang. Dokter Chris, kemarilah,” teriak Suster Viola sembari memegangi tubuh ringkih Aster.

Aster yang terus berteriak dan memberontak membuat Suster Viola kewalahan, hingga Dokter Chris segera menyuntikan penenang ke tubuhnya.

“Apa dia mencari Jeni lagi?”

"Ya, Dok. Setelah dia sadar kalau sebelumnya hanya khayalannya kini, ia berimajinasi tentang dokter Jeni yang merawatnya.”

“Okay, bawa ke ruang isolasi kita akan lihat perkembangannya.”

“Baik Dok.”

Dokter Chris menghela napas berat sambil meraih lukisan tersebut, ia membawanya ke ruangannya.

Ia menatap lama lukisan wajah hitam putih yang sangat halus, rambut wolf cut yang dikuncir sebagian, anting kecil serta tahi lalat dibawah mata kirinya. Imajinasi atau khayalan Aster yang terlampau sempurna hingga wajah yang dilukisnya begitu indah.

Namun, itu luka bagi Dokter Chris yang berperan sebagai dokter untuk Aster. Dokter Chris menutup lukisan tersebut dan menuju meja resepsionis, beberapa perawat yang shift malam masih berkeliling hanya ada Robert yang mengawasi cctv ruang isolasi.

“Em, Dok. Nona Aster, sejak 2 jam terakhir hanya duduk menatap jendela dan enggan untuk makan.”

“Aku akan ke sana.”

Dokter Chris segera menuju ruang isolasi. Ia melihat punggung Aster yang sedikit membungkuk, nampan berisi makan malam yang sama sekali tidak tersentuh. Chris mendekatinya dengan roti kacang di dalam kantong jas dokternya.

“Aster, kau tidak tidur?”

“Apa ini sudah malam?”

Dokter Chris duduk disampingnya.

“Aku mencium aroma gurih dan manis.”

“Benarkah?” Dokter Chris sumringah.

“Em, roti kacang?”

Dokter Chris mengeluarkan roti dari saku jasnya, ia memberikan pada Aster.

“Kau sangat baik, Chris.”

“Kau tahu aku?”

“Ya, dokterku,” jawabnya dengan berbisik.

“Lalu?” tanya Dokter Chris lirih.

Aster menatap Dokter Chris yang matanya berkaca-kaca. “apa sebelumnya kita dekat?”

“Em,” Dokter Chris mengangguk.

“Tidak, aku selalu sendiri.” Aster meraih tisu dan membersihkan jemarinya. “Dokter Chris, bisakah aku tidur sekarang.”

“Oke.”

*____*

Ruang terapi dengan segala fasilitas serta banyak pasien yang asik bermain tenis meja, Robert sebagai ketua perawat jelas menjadi wasit dan sesekali memerhatikan Aster yang bercengkrama dengan beberapa pasien sebayanya.

Wajahnya kembali cerah setelah setahun ia melewati perawatan di rumah sakit kejiwaan, kini ia tidak lagi berkhayal tentang teman imajinasinya. Aster juga sadar kalau Jeni hanya khayalan yang dibawanya ke dunia nyata.

Robert teringat pertama kali Aster datang ke rumah sakit jiwa bersama Dokter Chris, mengingat Dokter Chris adalah dokter terbaik dan favorit para pasien. Wajahnya saat itu tidak menunjukkan harapan hidup, sayu, lesu dan sesekali menangis di ruangannya, Aster sendiri tidak bisa membedakan Chris dalam dunia khayalannya dan dunia nyata.

Yang ia tahu, Chris hanya seorang dokter psikiatri. 

Berawal dari Aster yang selalu gagal setiap kompetisi melukis, lukisan yang selalu ditolak oleh kurator dan ia tertinggal jauh dari teman-temannya yang telah menggelar pameran tunggal mereka. Aster yang terpuruk mulai berhalusinasi tentang dirinya yang pelukis terkenal dan teman khayalan yang mulai muncul.

Chris menyadari kondisinya saat Aster bertanya tentang Joseph.

“Chris, dimana Joseph?”

“Siapa dia?”

“Dia tinggal disini. Temanku, dia yang membantuku melukis selama ini.”

“Aster, kau.”

“No, aku harus mencarinya,” Aster yang segera keluar rumah tanpa peduli alas kaki, ia berteriak berkeliling seakan Joseph benar-benar ada.

“Aster, apakah Joseph hanya datang saat aku tidak di rumah?”

“Ya. Dia tidak menyukaimu.”

Chris memeluk Aster.

Hari ini, Aster mendapat uji coba satu hari untuk melakukan aktifitas di rumah. Jelas, hal tersebut membuat Aster sedikit gelisah bahkan saat ini ia duduk berhadapan dengan Dokter Will.

“Bagaimana keadaanmu, Aster?”

“Baik.”

“Apa kau merasa gelisah?”

“Ya. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku kembali ke rumah itu membuatku takut.”

“Apa yang kau takutkan?”

“Kembali seperti sebelumnya.”

“Hem, bukankah kau percaya dengan dirimu?”

Aster mengangguk. “aku bahkan percaya dapat menggelar pameran dalam waktu dekat.”

“Bagus. Lalu, apa kau masih bingung dengan, Chris?”

“Tidak.”

“Bagus, nikmati tidur malam mu di rumah, oke?”

“Ya.”

Aster menenteng goodie bag berukuran besar dan ponsel di tangan kanannya, ia menyipitkan mata begitu terkena cahaya matahari. Area parkir rumah sakit yang tidak terlalu luas membuatnya melangkah ringan menuju mobil putih yang terparkir dan seseorang melambai ke arahnya.

 “Bagaimana perasaanmu keluar dari rumah sakit?”

“Senang. Ku harap tidak kembali ke sana.”

“Ya.”

“Tapi, kenapa kau menjemputku? Kau harus bekerja, Chris.”

“Aku mengambil cuti.”

“Untuk ku?”

Chris mengangguk. Ia memakaikan sabuk pengaman milik Aster dan segera melajukan mobil, keluar dari parkiran rumah sakit.

Aster melihat ramainya jalan raya dari balik kaca mobil, ia melihat galeri dekat dengan kampusnya saat lampu lalu lintas berwarna merah Aster menghela napas.

"Apa kau bosan?"

Aster menggeleng. "Mengingat diriku adalah pelukis gagal, malah berkhayal pelukis terkenal. Ketika, Pak Robert, bercerita kalau dia yang membeli lukisan dan beberapa staf rumah sakit, aku sangat malu."

"Kau tidak gagal, hanya belum memulai debut saja."

"Aku akan berhenti melukis."

Chriss menatap Aster.

"Aku akan mulai bekerja di perkebunan bunga Ibuku. Sepertinya, itu lebih cocok denganku."

"Oke. Apapun yang terbaik untukmu."

*___*

Aster duduk di emperan toko bunga milik ibunya, segelas kopi menemaninya menikmati lalu lalang manusia dengan langkah yang terburu-buru. Jejeran bunga Aster membuatnya memotret mereka.

“Halo, apakah ada bunga Asteria?”

Aster menoleh ke asal suara.

“Aku butuh bunga Aster untuk karya seniku, jadi butuh sampel.”

“Kau bisa memilihnya. Ini jenis Asteria.”

“Oke.”

Aster mempersilahkan pelanggannya masuk untuk melihat bunga lainnya. Ibunya yang sedang mengeluarkan bunga tulip dari sebuah box melihat Aster yang membungkus buket bunga Aster, ia mendekatinya.

“Kau butuh bantuan?”

“Tidak, Mom.”

Ibunya beralih kepada pelanggan perempuan dengan potongan rambut wolf cut, celana dan hoodie yang membuatnya terlihat sangat santai.

“Apa kau pelukis?”

“Oh ya.”

“Anakku juga seorang pelukis, meski sekarang tidak lagi melukis.”

Ia berkerut seakan menanyakan kenapa, dia terlihat baik-baik saja, maksudnya tidak cacat. “Ah, maaf. Aku seperti lancang.”

“Tidak. Dia tidak dalam keadaan yang baik.”

“Oh.”

Aster memberikan sebuket bunga aster tersebut lalu menerima uang pembayarannya.

“Apa kau mau datang ke galeriku? Aku membutuhkan modelnya untuk memegang bunga, itu kalau kau bersedia.”

Aster melihat Ibunya yang mengangguk untuk ikut dengan wanita tersebut.

“Bisa ku tahu namamu?” tanyanya.

“Aster.”

“Kau bisa memanggilku, Sheren.”

“Ya,” Aster melihat studio yang cukup luas, beberapa lukisan yang telah siap dalam tahap pengeringan. Ia berdiri di dekat jendela menunggu Sheren yang sedang bersiap dengan peralatannya.

“Apa kau juga suka melukis?”

“Tidak.”

“Benarkah? Lalu, apa kesukaanmu?”

“Bunga, itu saja.”

“Bunga dan … kau melukis mereka.”

Aster terdiam melirik Sheren lalu meraih bunga Aster beberapa. “apa aku harus berpose disini? Kurasa ini sangat cocok untuk membuat sketsa.”

“Jangan menyerah untuk menggelar pameran, suatu hari kau akan membuat mahakarya.”

Aster menghela napas. Entah yang keberapa ratus kalinya ia mendengar semua orang di bidang ini mengatakan hal sama setiap kali bertemu, apa hanya itu yang bisa mereka katakan?

Aster meletakan bunga tersebut. “apa kau hanya akan bicara?”

“Cobalah pegang kuas ini.”

Aster mendesah kesal lalu meraih kuas tersebut, “Kau puas? Tapi, bukan masalah ini. Kau tidak akan paham dan kau hanya orang baru yang mampir ke toko bungaku.”

“Aster, aku dulu juga pelukis gagal.”

“Aku bukan hanya gagal untuk melukis tapi juga gagal menjalani hidupku. Apa kau bisa menyamakan hidupku denganmu? Kau siapa?” Aster melangkah pergi meninggalkan studio Sheren dengan amarah yang menggumpal di dadanya, langkah yang panjang tanpa tahu harus kemana saat ini, ia berdiri di tengah trotoar melihat gedung-gedung yang menjulang tapi semua tampak samar dalam lensa matanya.

Tepukan lembut membuatnya menoleh. Tepat di belakangnya seseorang tersenyum lalu menggandeng lengannya menyebrangi jalan. Ia tidak percaya siapa yang dilihatnya, senyum yang ringan serta harum yang dapat ia rasa.

“Apa aku terlalu lama pergi?”

Aster mengangguk.

“Mau ikut denganku? Hem, apa kau marah sekarang?”

Aster menggeleng.

“Manusia memang suka menghakimi, ya? Tanpa tahu apa yang kita rasakan. Benarkan, Aster?”

Lagi Aster mengangguk.

“Bahkan, mereka tidak pernah percaya apa yang kau ceritakan, mereka bilang kau hanya berhalusinasi. Apa berisik sekali disini?” tangannya menyentuh ubun-ubun Aster.

Tiba-tiba Aster memeluknya erat. “Jeni, aku suka perasaan ini.”

“Hem.”

Terpaan angin, suara kendaraan, burung yang sangat dekat dengan dirinya dan angin yang terasa lebih kencang membuat Aster memeluk dirinya sendiri, bergumam bahkan ia mulai melangkah seperti mengikuti seseorang yang menuntunnya.

Suara dentuman menggegerkan pejalan kaki yang melihat seseorang terjun dari atap gedung, suara nyaring dari semua teriakan manusia yang berada disana membawa polantas mendekat ke area tersebut.

Seorang Wanita bunuh diri dengan melompat dari gedung techno galeri menjadi trending di sns. 

Dokter Chris menghentikan aktivitasnya saat mendengar kabar kekasihnya, ia berlari dengan pikiran kosong tanpa peduli beberapa dokter menahan dirinya. Ia melihat ambulan yang berhenti di depan gedung UGD menurunkan pasien yang telah ditutupi kain putih.

“Aster,” teriaknya.

Langkahnya gontai melihat gelang manik putih di pergelangan tangan kecil yang telah lunglai. Ia memeluk tubuh tersebut sambil mengguncang tubuh yang sudah tidak merespon apapun.

*__*

“Apa menurutmu, Dokter Chris, akan baik-baik saja?”

“Ya. Dia berolahraga, mencoba melupakan kejadian tersebut. Hah… ku harap dia lekas kembali bekerja.”

“Memang apa yang terjadi dengannya?”

“Dokter Will, bilang dia dalam masa Prolonged grief disorder.” 

“Gangguan kesedihan yang berkepanjangan setelah kematian orang yang dicintai.”

Mereka menghentikan pembicaraannya dan melihat seseorang dengan baju Dokter keluar dari ruang staf, wajah yang bersih dan permen lolipop di mulutnya membuat mereka terhenyak.

“Dokter Chris?”

Chris menoleh sambil meraih bagan diagnosa di meja ketua perawat. “Why?”

“Kau akan bekerja?”

“Tidak, aku akan bermain dengan, Robert. Ah, itu dia. Robert, apa kau siap bertanding tenis meja denganku?” ia berjalan ke arah Robert yang mengacungkan jempol menuju ruang terapi.

“Tidak semua manusia dapat pulih dengan cepatkan?”

“Ya.”

Chris rasa juga seperti itu. Tidak semua manusia pulih dengan cepat dari depresi atau keadaan yang membuatnya terpuruk. Bukan hal mudah menganggap setiap peristiwa menjadi komedi dan mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut, hanya saja peristiwa lebih sering meninggalkan luka yang sulit diobati.

Aster, kau juga.

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Aster
Alpri prastuti
Novel
Syak Puan
Widiyati Puspita Sari
Novel
Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan
Goebahan R
Flash
Bronze
Aku Memang Monyet
Silvarani
Novel
EPILOG: Abhakalan
Manusia Purba
Novel
DIARY MILIK QIAN
Safinatun naja
Novel
cinta sejati
yopi
Flash
The Path to Become a Novelist
El Psycho
Novel
Bronze
Don't Call Me Angel
Annisa Syakirah
Novel
SENJA
Luthfia Izza Nafara
Novel
Gold
SHADOW
Falcon Publishing
Novel
KKN
ine dwi syamsudin
Novel
Bronze
ALDRICK.
N. Sabrina Putri
Flash
TAK PERNAH SELESAI
Ocha
Flash
Bronze
Pelecehan Verbal
Gia Oro
Rekomendasi
Cerpen
Aster
Alpri prastuti
Cerpen
Name
Alpri prastuti
Novel
NONE the red wol
Alpri prastuti
Cerpen
Bronze
Kita butuh jeda bukan luka.
Alpri prastuti
Novel
Recall
Alpri prastuti