Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah benar-benar mengerti. Mengapa cinta selalu tidak pernah berpihak pada kebahagiaan yang selayaknya? Sebuah pertanyaan usang yang terus menggerogoti benakku setiap kali senja berganti, setiap kali harapan yang baru saja kutata runtuh menimpa bumi. Apakah benar, bagi kami yang terperangkap dalam status "tidak berhak memiliki apa-apa", cinta sejati hanyalah fatamorgana yang takkan pernah bisa diraih? Sebuah janji manis yang tak pernah ditepati oleh takdir itu sendiri, memudar bagai jejak embun di pagi hari.
Waktu terus merangkak, tanpa ampun, memporak-porandakan kisah-kisah yang tak pernah dianggap kasih oleh kekasih. Setiap detiknya adalah palu godam yang memecah serpihan hati yang baru saja mencoba pulih, kini hancur lebur tak bersisa. "Ahh, sial!" celutukku, menghela napas panjang, sembari tersenyum kecut, nyaris mengejek diri sendiri. Senyuman itu terlukis di bibirku, namun mataku memancarkan kekesalan yang mendalam terhadap segala persoalan dalam hidup ini, yang seolah-olah memang ditakdirkan untuk selalu tidak berpihak. Seakan ada konspirasi semesta untuk menjaga jarakku dari segala bentuk kedamaian, dari setiap rona bahagia yang menghampiri. Hidup ini bagai panggung sandiwara, di mana aku selalu memerankan tokoh yang kalah, yang terpinggirkan, yang hatinya tak pernah utuh.
Lalu, apa yang disebut kelayakan itu? Mengapa beberapa orang begitu mudah mendapatkan, seolah takdir berlutut di kakinya, sementara yang lain, seperti aku, terus-menerus terlempar dari lingkaran kebahagiaan, terhempas ombak kekecewaan yang tak berkesudahan? Lagi-lagi, ini soal beruntung dan tidak beruntung, bukan? Sebuah dadu yang dilempar, dan aku selalu mendapatkan sisi yang salah, sisi yang buram, yang tak pernah membawa pada kemenangan. Atau, jangan-jangan, semua yang dianggap sebagai kasih sayang adalah segala yang berbentuk bukan kepastian? Sebuah ilusi yang indah, namun rapuh, yang akan pecah berkeping-keping saat digenggam terlalu erat, menyisakan remahan pedih di telapak tangan. Aku mencari makna, mencari pegangan, namun hanya menemukan kehampaan yang samar, bersembunyi di balik senyum-senyum palsu dan janji-janji yang menguap.
Pikiranku melayang, terjebak dalam lingkaran pertanyaan tanpa jawaban, ketika mataku menangkap sosoknya. Dia, yang selalu tampak tenang, seolah tak terjamah oleh riuhnya pikiran, oleh badai kekecewaan yang tak pernah reda di hatiku. "Engkau memang selalu memilih, tapi kenapa pilihanmu selalu salah? Katanya kamu pilih-pilih," gumamku dalam hati, sebuah bisikan penuh ironi yang nyaris tak terdengar. Bisikan itu tertuju pada laki-laki mungil yang sedang menikmati kopi hitamnya, mengepulkan asap tipis yang menyebar di udara, menari-nari di sela cahaya senja yang menyusup masuk. Ia duduk di atas kasur di kamar kecilnya, kamar yang seolah menjadi saksi bisu dari setiap keputusannya, dari setiap kerinduannya akan pulang kampung. Selama ia berada di sini, di rumah gubuk derita yang dingin dan asing ini, kamar ini menjadi satu-satunya tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa topeng, tanpa tuntutan, tanpa beban ekspektasi dunia. Sebuah kapsul waktu, menyimpan tawa dan tangis, diam-diam memahami setiap helaan napasnya.
Rambutnya acak-acakan, kemeja lusuhnya terlihat lecek seolah baru saja digunakan selama berhari-hari, menyimpan jejak keringat dan lelah. Mataku menelusuri lengannya, melihat urat-urat di tangan sebesar kabel colokan di depan asbak kayu jati tua itu. Sebuah asbak yang mungkin telah menyaksikan lebih banyak kisah pahit, lebih banyak hembusan asap kesendirian, daripada yang bisa kubayangkan. Aku bertanya-tanya, apakah setiap gurat urat itu menyimpan cerita, sebuah perjalanan yang tak pernah ia bagikan? Tubuhnya memang kurus, bukan tipe ideal yang sering digambarkan dalam novel romantis atau iklan televisi. "Hehehe, badanku memang ukuran standarnya selalu begitu," sering ia berujar, dengan tawa renyah yang kontras dengan postur ringkihnya, yang seolah ingin menipu dunia bahwa ia baik-baik saja. "Kata orang, makan yang banyak biar gemuk. Bagiku, makan banyak tidak menghasilkan badanku menjadi besar sebesar harapanmu, atau perut yang buncit oleh lemak daging." Suara tawanya selalu memiliki nada melankolis, seolah ia telah berdamai dengan kenyataan tubuhnya yang tak pernah "ideal" di mata orang lain, sebuah penerimaan pahit yang patut diacungi jempol.
Tapi di balik semua itu, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik, sebuah ketenangan yang menipu, seperti danau yang tenang namun menyimpan kedalaman tak terduga. Aku sering bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia pikirkan di balik sorot matanya yang kadang kosong, kadang penuh makna itu? Apakah ia juga membawa beban kekecewaan yang sama denganku? Apakah hatinya juga dilanda badai yang tak kunjung usai? Atau ia telah menemukan kedamaian dalam ketidakpastian itu sendiri, merangkul setiap luka sebagai bagian dari perjalanannya? Mungkin, di sanalah letak kebijaksanaannya, yang tak pernah ia pamerkan.
Aku hanya bisa mengamati. Mengamati bagaimana ia menyeruput kopinya perlahan, seolah setiap tegukan adalah sebuah ritual hening. Matanya menerawang ke luar jendela kamar yang kecil, melihat rimbunnya dedaunan yang bergoyang ditiup angin, seolah berbisik rahasia. Mungkin ia sedang mengenang. Mengenang tawa ibu di dapur yang hangat, aroma masakan kampung yang selalu mengundang rindu, atau mungkin wajah seseorang yang kini jauh, yang pernah mengisi relung hatinya, namun kini hanya menjadi bayangan. Seseorang yang mungkin telah memilih jalan lain, sama seperti pilihan-pilihan yang selalu ia buat, dan selalu berujung pada sesuatu yang tidak ia harapkan. Sebuah takdir yang terus berulang, lingkaran yang tak putus-putus.
Bagiku, dia adalah representasi dari semua kebingungan ini. Sebuah cermin yang memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucap, kegelisahan yang tak terlukiskan. Kami berdua, dengan cara kami sendiri, adalah asing. Asing bagi standar kebahagiaan umum, asing bagi definisi cinta yang sempurna yang selalu digaung-gaungkan. Kami adalah narasi yang belum selesai, melayang di antara harapan dan kekecewaan, di antara datang dan pergi, di antara ada dan tiada. Dan mungkin, justru di sanalah letak keindahan pahitnya. Dalam keasingan itu, kami menemukan diri kami sendiri, terlepas dari segala ekspektasi yang membelenggu, dari segala tuntutan dunia yang menguras energi. Kami menemukan sebuah ruang hening, di mana kami bisa menjadi diri sendiri, tanpa perlu berpura-pura.
Udara semakin dingin, menyusup melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, membelai kulit dengan sentuhan lembut namun menusuk. Aku masih di sini, termangu, mencari makna di balik setiap hembusan napas, di balik setiap detik yang berlalu, yang seolah berpacu tak sabar. Mengapa harus ada perpisahan jika pada akhirnya akan kembali bertemu, hanya untuk berpisah lagi? Mengapa harus ada cinta jika ujungnya hanya luka yang menganga, tak kunjung sembuh? Mungkin, pada akhirnya, jawaban atas semua pertanyaan ini tidak penting. Yang penting adalah bagaimana kita menjalani setiap "keasingan" ini, bagaimana kita menemukan kekuatan untuk tersenyum, bahkan ketika hati terasa remuk, hancur berkeping-keping. Dan bagaimana, setelah semua itu, kita masih bisa berharap, meskipun hanya sedikit, meskipun harapan itu sehalus benang. Sebuah harapan kecil yang menerangi gelapnya malam, memberiku alasan untuk terus melangkah, untuk terus merasa. Karena bahkan dalam keasingan, ada sebuah melodi, sebuah irama yang hanya bisa dipahami oleh jiwa-jiwa yang sama-sama terluka. Sebuah lagu tentang penerimaan, tentang keberanian untuk tetap hidup, meski tanpa kepastian. Dan di mata laki-laki mungil itu, aku melihat pantulan diriku sendiri, sama-sama asing, sama-sama mencari rumah.