Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Asap dan Kopi
0
Suka
47
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Alarm berbunyi untuk ketiga kalinya. Jam menunjukkan pukul 06.17 pagi, dan mata Dion masih menatap langit-langit kamar dengan kosong. Ia tahu harus bangun. Harus mandi. Harus sarapan—meski hanya roti tawar basi dan kopi hitam instan—lalu harus buru-buru ke kantor sebelum bosnya mengirim pesan bertanya “Kamu di mana?”

Tapi tubuhnya berat. Bukan karena kantuk. Bukan karena lelah fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam—yang tak terlihat tapi terasa seperti karung pasir di dada. Dion menamai perasaan itu "asap." Ia tak tahu dari mana datangnya, tapi tiap pagi asap itu makin tebal. Menyesakkan.

Setelah akhirnya duduk dan memaksakan diri bergerak, Dion beranjak ke kamar mandi. Wajahnya di cermin tampak tua. Bukan tua secara usia—usia Dion baru tiga puluh dua. Tapi matanya... kosong. Seperti tak ada yang menyala di dalam.

“Cepat, Dion,” katanya pada bayangan dirinya. “Kamu harus kerja. Harus bertahan.”

Ia mengenakan kemeja biru polos, celana bahan abu-abu, dan sepatu kulit yang sol-nya mulai menganga. Mobil tuanya, Honda Jazz 2008 yang penuh tempelan stiker seminar, menyambutnya dengan suara mesin batuk. Jalanan Jakarta macet seperti biasa. Seperti neraka yang tak berubah.

Sesampainya di kantor, Dion langsung menyalakan komputer. Email menumpuk. Target belum tercapai. Klien kecewa. Manajer marah. Tim pasif. Semuanya terasa runtuh. Tapi Dion diam. Tak mengeluh. Tak bicara.

Sudah satu tahun ia seperti ini. Hidup tanpa gairah. Kerja tanpa arah. Tapi tetap datang. Karena katanya, hidup harus berjalan. Karena katanya, menyerah bukan pilihan. Tapi di dalam dirinya, Dion tahu: Ia sedang tidak hidup. Ia hanya menunda mati.

Suatu malam, Dion pulang lebih larut dari biasanya. Hujan deras. Banjir di beberapa titik. Ia terpaksa memarkir mobil dan jalan kaki menyusuri gang sempit. Di tengah langkahnya yang kacau, ia melihat cahaya dari sebuah rumah kecil. Ada papan kayu tergantung di depan pagar, tulisannya:

“Warung Kopi dan Buku - Malam adalah Waktu untuk Pulang”

Entah kenapa, langkah Dion melambat. Ia mendekat. Warung itu terbuka. Hanya ada dua meja kecil, rak buku bekas, dan aroma kopi yang entah mengapa begitu menenangkan.

“Mas mau kopi?” tanya seorang pria tua dari balik meja kayu. Suaranya lembut. Tak mendesak. Hangat.

Dion mengangguk. Duduk. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia menarik napas panjang—dan rasanya seperti napas sungguhan. Bukan sekadar oksigen masuk dan keluar. Tapi seperti ada sesuatu yang perlahan meresap kembali: kesadaran bahwa ia masih ada.

“Malam-malam begini biasanya yang datang orang-orang lelah,” kata pria tua itu sambil menyeduh kopi. “Bukan cari kopi, tapi cari pulang.”

“Pulang ke mana?” tanya Dion pelan.

“Ke diri sendiri,” jawab pria itu sambil tersenyum.

Kopi yang disuguhkan pria tua itu terasa pahit, tapi jujur. Tak ada gula, tak ada susu. Tapi entah mengapa, Dion merasa tak perlu mengeluh. Rasanya seperti kejujuran pertama yang ia telan setelah sekian lama berpura-pura baik-baik saja.

"Namaku Pak Darsa," ujar si pria sambil menuang air ke teko kecil dari logam yang tampak tua. "Warung ini bukan hanya tempat minum kopi. Kadang, tempat orang berteduh dari hidup."

Dion tak langsung menjawab. Ia hanya memandangi buku-buku yang berjajar di rak tua di pojok ruangan. Semuanya buku bekas. Beberapa lusuh. Tapi tertata rapi. Seperti seseorang benar-benar peduli padanya.

"Apa semua orang boleh baca?" tanya Dion pelan.

"Silakan. Tapi kalau menemukan satu yang menyentuhmu, jangan kembalikan. Itu milikmu."

Dion mengangguk, walau ia tak tahu harus mencari apa. Tangannya menjelajah rak dan akhirnya berhenti pada satu buku kecil bersampul cokelat. Tak ada judul di sampulnya. Di halaman pertama hanya tertulis satu kalimat:

"Kau bisa terus berjalan, tapi sampai kapan kau sanggup tanpa arah?"

Sesuatu di dalam diri Dion mengencang. Ia duduk kembali. Tak membaca lanjutannya. Ia hanya menggenggam buku itu. Seperti seseorang baru saja menepuk bahunya di kegelapan.

Hari-hari setelahnya, Dion kembali ke warung itu. Tak setiap malam. Tapi cukup sering untuk membuatnya mulai merasa kehilangan jika tak ke sana. Ia tak banyak bicara. Pak Darsa pun tak banyak bertanya. Mereka hanya berbagi ruang, kopi, dan keheningan yang tak menghakimi.

Suatu malam, Dion membuka isi hatinya untuk pertama kali.

"Aku rasa aku benci pekerjaanku," katanya sambil menatap meja. "Tiap pagi rasanya seperti melawan sesuatu. Tapi aku bahkan tak tahu apa yang kulawan."

Pak Darsa mengangguk pelan. "Mungkin kamu tidak melawan apa-apa. Mungkin kamu hanya berusaha menahan diri sendiri untuk tidak runtuh."

"Kalau begitu, kenapa aku masih jalan terus?"

"Karena kamu belum menyerah," jawab Pak Darsa. "Dan itu bukan hal kecil."

Dion diam. Kali ini bukan karena tak tahu harus bicara apa, tapi karena merasa kalimat itu menenangkan. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa lemah karena merasa lelah. Ia hanya merasa... manusiawi.

Suatu hari, Dion masuk kantor lebih awal dari biasanya. Rekannya, Lisa, sempat kaget.

“Tumben jam segini udah duduk di meja,” godanya.

Dion hanya tersenyum. Ada hal kecil yang berubah dalam dirinya. Ia masih belum menyukai pekerjaannya. Tapi setidaknya hari itu ia tidak membenci dirinya sendiri karena harus menjalaninya.

Ia mulai membuat kebiasaan kecil. Tiba lima belas menit lebih awal. Membaca satu halaman dari buku-buku di warung Pak Darsa sebelum tidur. Menulis satu paragraf setiap malam tentang perasaannya—tak peduli seburuk apa isinya.

Dan yang paling mengejutkan, ia mulai merasa napasnya lebih ringan saat bangun pagi. Asap itu masih ada. Tapi kini ada celah kecil yang mulai terbuka. Celah tempat cahaya bisa masuk.

Malam itu, Dion kembali ke warung kopi dan melihat ada seseorang lain duduk di meja. Seorang perempuan muda dengan wajah letih dan jaket kantor. Matanya sembab. Ia tampak baru saja menangis.

Pak Darsa sedang menyeduh kopi untuknya. Saat melihat Dion datang, ia hanya memberi anggukan kecil. Dion duduk di pojok dan mengambil bukunya. Tapi malam itu ia tidak membaca. Ia hanya memandangi perempuan itu diam-diam, dan merasa seperti melihat cermin.

“Malam-malam begini biasanya yang datang orang-orang lelah,” kata Pak Darsa, seperti dulu.

Perempuan itu mengangguk pelan. “Aku cuma pengen diem.”

“Silakan. Tempat ini memang dibuat untuk itu.”

Malam itu, Dion tidak langsung pulang. Ia duduk cukup lama di pojok warung sambil sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang masih diam, memeluk dirinya sendiri. Ia tampak seperti Dion, beberapa minggu lalu: rapuh, tapi tetap berusaha utuh di permukaan.

“Namamu siapa?” tanya Dion akhirnya, suaranya hati-hati.

Perempuan itu menoleh. Matanya masih merah tapi ada sedikit kejutan karena seseorang bicara padanya.

“Reyna,” jawabnya pelan.

“Dion,” balas Dion, mengangguk singkat. Lalu tak ada kata lagi. Diam kembali turun di antara mereka. Tapi kali ini bukan diam yang canggung. Lebih seperti kehadiran yang saling mengerti. Tak perlu dijelaskan.

Beberapa menit kemudian, Reyna berkata, “Aku udah kerja lima tahun di tempat yang bikin aku ngerasa nggak cukup, apa pun yang kulakuin. Aku capek.”

Dion mengangguk. “Aku juga pernah ngerasa gitu. Atau... mungkin masih.”

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

Dion menatap kopi yang tinggal separuh di cangkirnya. “Aku juga nggak. Tapi waktu itu, aku duduk di sini, dan ada orang tua gila yang nyodorin aku buku kosong.”

Pak Darsa tertawa pelan dari balik mejanya. “Hei, aku denger itu.”

Mereka semua tertawa kecil. Tawa yang tak sepenuhnya lepas, tapi cukup untuk membuat ruang menjadi hangat. Sejak malam itu, Reyna jadi sering datang ke warung itu juga. Tidak selalu bersamaan dengan Dion, tapi kadang mereka bertemu, saling menyapa, berbagi diam, lalu pulang masing-masing.

Perlahan, Dion mulai melakukan hal-hal yang dulu terasa mustahil.

Ia mulai berbicara lebih banyak di kantor—bukan untuk basa-basi, tapi mengutarakan ide-ide yang selama ini ia pendam karena takut ditertawakan. Suatu kali, saat rapat, ia menyanggah manajer secara sopan tapi tegas. Ajaibnya, manajernya tidak marah. Justru bertanya lebih jauh. Rekan-rekannya menoleh dengan ekspresi baru: hormat.

Di rumah, Dion mulai membereskan kamar. Lemari yang penuh pakaian yang tak pernah dipakai. Laci yang menyimpan kabel-kabel rusak, dan catatan-catatan masa lalu. Ia mulai memilah. Membuang. Melepas.

Dan yang paling penting, ia mulai menulis lagi. Ia menemukan buku catatan yang dulu ia beli dengan niat jadi penulis. Kini, halaman-halamannya mulai terisi. Bukan dengan cerita fiksi, tapi dengan dirinya sendiri. Semua hal yang dulu ia sembunyikan, kini ia tuangkan. Kadang marah. Kadang sedih. Tapi selalu jujur.

Suatu malam, Pak Darsa bertanya, “Kamu tahu kenapa aku namai tempat ini ‘Warung Kopi dan Buku’?”

Dion menggeleng.

“Karena dua hal itu tak pernah memaksa siapa pun. Kopi tidak menuntut disukai. Buku tidak marah jika tidak dibaca. Tapi keduanya selalu hadir, kapan pun kau butuh. Seperti teman yang baik.”

Dion menunduk. Lalu mengangguk pelan. “Aku pikir... tempat ini nyelametin aku.”

Pak Darsa tersenyum. “Kamu yang nyelametin dirimu sendiri. Aku cuma nyediain kursi buat kamu duduk sebentar.”

Suatu hari, Reyna datang dengan mata berbinar.

“Aku resign,” katanya, seperti anak kecil yang baru lulus ujian.

Dion terkejut. “Serius?”

Reyna mengangguk. “Aku belum tahu mau ngapain, tapi... aku tahu aku nggak bisa terus di tempat yang ngebunuh aku pelan-pelan.”

Dion tersenyum. “Aku senang kamu berani.”

“Kamu kapan nyusul?” tanya Reyna, setengah bercanda.

Dion terdiam. Ia belum tahu jawabannya. Tapi malam itu, saat ia menulis di bukunya, ia menuliskan satu kalimat besar:

"Aku tidak mau hanya bertahan hidup. Aku ingin hidup."

Malam itu, warung kopi tampak berbeda. Tak ada pelanggan lain. Hujan turun perlahan, dan udara membawa wangi tanah basah. Dion duduk lebih lama dari biasanya, memandangi halaman buku catatannya.

Pak Darsa menghampirinya dengan dua cangkir kopi.

“Satu untukmu. Satu lagi, untuk keputusan yang akan kamu buat nanti,” katanya, seperti tahu isi hati Dion.

Dion tertawa kecil. “Kayaknya saya belum tahu keputusan apa yang mau saya buat.”

“Belum tahu bukan berarti nggak ada,” ujar Pak Darsa. “Kadang jawaban baru muncul setelah kamu berhenti mencari, dan mulai mendengarkan.”

Hari itu seperti hari biasa. Langit mendung, suara klakson bersahutan, dan lift kantor Dion seperti biasa berhenti di setiap lantai. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—tenang, seperti seseorang yang tahu ke mana ia akan pergi, bahkan jika orang lain tak mengerti.

Duduk di meja kerjanya, Dion menatap layar komputer. Email menumpuk. Deadline mendesak. Tapi hari itu, semuanya terasa... tidak mengancam. Karena Dion tahu, ini bukan lagi hidup yang harus ditaklukkan, melainkan disadari.

Ia mengetik satu email. Singkat, padat, dan penuh kejujuran.

“Dengan segala hormat, saya mengajukan pengunduran diri terhitung akhir bulan ini. Terima kasih atas kesempatan dan perjalanan selama ini.”

Begitu email terkirim, dadanya terasa ringan. Seperti seseorang baru saja membuka jendela yang selama ini terkunci rapat. Angin masuk. Cahaya ikut menyusul.

Malamnya, Dion kembali ke warung kopi. Reyna sudah duduk lebih dulu di sana, menyusuri halaman buku tua. Ketika melihat Dion datang, ia tersenyum—dan kali ini senyum itu tidak lagi menyembunyikan luka.

“Aku resign,” kata Dion tanpa banyak basa-basi.

Reyna menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa kecil. “Akhirnya.”

Pak Darsa keluar membawa tiga cangkir kopi.

“Kamu tahu, aku pernah punya mimpi waktu muda,” katanya. “Pengen buka toko buku kecil di gunung. Tapi waktu itu aku terlalu sibuk jadi orang ‘berhasil’. Sampai akhirnya sadar, aku kehilangan diriku di tengah semua itu.”

Dion dan Reyna diam mendengarkan.

“Jadi aku bangun warung ini. Kecil, aneh, nggak jelas. Tapi tempat ini bukan soal bisnis. Ini soal pulang.”

Dion mengangguk. Ia tahu. Ia paham sepenuhnya.

Beberapa minggu setelah hari itu, Dion mulai bangun pagi tanpa asap. Ia tak lagi buru-buru, tapi tetap bangun dengan semangat. Bukan karena ada target yang harus dicapai, tapi karena hari itu adalah ruang baru. Tempat baru untuk mengenal dirinya sendiri.

Ia mulai menulis lebih serius. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain. Ia membuka blog kecil yang ia beri nama “Langkah Pelan”—tempat ia menulis tentang rasa lelah, kehilangan arah, dan keberanian untuk mulai ulang. Tak ada iklan. Tak ada promosi. Tapi pembacanya mulai bertambah. Komentar berdatangan. Orang-orang asing yang menulis:

“Terima kasih. Saya merasa tidak sendiri.”

“Tulisan ini seperti saya beberapa tahun lalu.”

“Saya juga sedang mencari pulang.”

Dion tak pernah membalas semuanya. Tapi ia membaca satu per satu, dan setiap komentar menjadi bukti bahwa luka yang dibagikan dengan jujur bisa menjadi jembatan untuk orang lain.

Suatu malam, ia duduk di warung Pak Darsa sendirian. Reyna sedang pergi ke luar kota, mengikuti pelatihan untuk membuka usaha kecilnya sendiri. Pak Darsa sedang di dalam, menyiapkan air.

Dion membuka buku yang dulu diberi Pak Darsa. Sampul cokelat itu mulai lusuh, tapi isinya masih sama. Di halaman pertama tetap tertulis:

“Kau bisa terus berjalan, tapi sampai kapan kau sanggup tanpa arah?”

Tapi kini, di bawahnya, Dion menambahkan satu kalimat dengan pulpen hitam:

“Aku sudah menemukan arahnya. Dan aku sedang menuju ke sana.”

Hujan turun lagi malam itu. Tapi Dion tidak bergegas pulang. Ia duduk lama, menyeruput kopi pelan-pelan, memandangi jalan kecil yang basah, dan membiarkan dirinya benar-benar hadir. Tak ada notifikasi. Tak ada target. Hanya dirinya sendiri, dan malam yang ramah.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Dion berkata dalam hati, penuh keyakinan:

“Aku tidak lagi hanya bertahan hidup. Aku sedang hidup.”

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Asap dan Kopi
Penulis N
Cerpen
Kehilangan Diri
Fata Raya
Flash
Kesunyian mawar merah
sk_26
Cerpen
Bronze
Akshara
Riyan Iyan
Cerpen
Senyum Syukur
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Bronze
Bunga Busuk yang Mekar di Bibirmu
Titin Widyawati
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Flash
Bronze
Sang Penulis
AndikaP
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Novel
Kamus Keluarga Gatotkaca
saachii
Cerpen
Hadiah Dari Nirwana
Sucayono
Cerpen
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Bronze
(this pain wouldn't be for) EVERMORE
Firlia Prames Widari
Cerpen
Bronze
Pendakian yang Tak Terlihat
SILVIA INDONESIA
Rekomendasi
Cerpen
Asap dan Kopi
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N
Cerpen
Pencuri Waktu (I)
Penulis N
Novel
Kanvas Hati
Penulis N
Novel
Sah Iya, Cinta Nanti!
Penulis N
Flash
RITUAL MALAM TANPA AKHIR
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
Pembisik di Atap
Penulis N
Cerpen
Lentera Terakhir di Benteng Ujung Galuh
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
Senja & Luka
Penulis N
Cerpen
Tangan yang Tak Terlihat
Penulis N
Cerpen
Doa yang Lupa Kupanjatkan
Penulis N
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N