Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Asal Bapak Senang
4
Suka
3,155
Dibaca

"Kalian bagaimana sih? Kalian ini perempuan loh, masa jorok seperti ini," ucap Mr. P pada karyawannya yang tengah mengikutinya sidak di apotek miliknya.

"Sudah disapu belum?" tanyanya pada semua orang yang ada disitu. Lelaki berperawakan tinggi besar itu sampai mengintip celah kecil di bawah kulkas kemudian mengambil sapu untuk membuktikannya.

"Sudah Pak. Semua sudah disapu," ucap salah satu dari kami. Divisi kami yang biasa disebut instalasi farmasi atau lebih singkatnya apotek, kesemua anggotanya adalah wanita.

"Apanya yang disapu? Ini masih kotor." Mr. P langsung mengulurkan sapu ke dalam celah kecil di bawah kulkas, dan jreng ... jreng ada sedikit debu yang keluar dari tempat persembunyiannya yang paling aman itu.

"Lain kali harus disapu ya, jorok sekali kalian ini," titah Mr. P. Sepertinya bukan hanya kami yang kesal jika inspeksi mendadak, tapi juga para debu itu, karena mereka selalu ketahuan dimanapun mereka menyembunyikan diri.

Setelah itu Mr. P langsung membuka pintu kulkas. Sebagai info, kami mempunyai dua kulkas, besar dan kecil yang kesemuanya difungsikan untuk menyimpan obat. Obat injeksi ataupun obat dalam bentuk tertentu yang memang memerlukan suhu khusus supaya tetap stabil dan terjaga kualitasnya dalam penyimpanan.

Namun pelaksanaannya, kulkas besar sudah bisa menampung penuh obat-obatan kami sehingga kulkas kecil hanya sebagian saja yang digunakan, itupun jika kulkas besar tidak bisa menampungnya. Entah dulu siapa yang mulai, akhirnya banyak diantara kami yang menyimpan minuman dan makanan di kulkas kecil. Mulai camilan sampai makanan berat.

"Apa ini?" ucapnya mengambil gelas kaca kecil yang ada di pintu kulkas. "Saya tidak perbolehkan menaruh gelas yang terbuka seperti ini disini ya!" ucapnya keras.

"Ini lagi!" ucap Mr. P sambil menunjuk sebuah bungkusan. "Segala keripik dan camilan dibiarkan terbuka tanpa ditali. Ampun dah, masa lebih rapi kulkas saya di rumah," ungkapnya yang menurut kami sangat hiperbola.

"Di kulkas hanya boleh ada tempat minum kalian dalam bentuk tumbler yang ada tutupnya. Karena akan mudah dimasukin kuman kalau seperti ini tempat minumnya. Lalu ini makanan kayak gini dijadikan satu ya! Jangan satu disana satu disini, tercecer di mana-mana. Kalian tidak jijik memakannya?" lanjutnya.

"Ya ampun, Pak. kami lebih takut lapar daripada jijik," pekikku dalam hati. Karena jika pasien yang mengambil obat sudah membludak di depan, kami akan merasa sangat sungkan untuk wara wiri sekedar membeli makan ataupun berlama-lama makan di kantin. Jadilah kulkas itu tempat gudang makanan kami yang tercinta. Penyelamat kami disaat lapar mendera.

Bagaimana caranya? Saat kami wara wiri menyiapkan obat pasien, tidak lupa kami mampir kesana sekedar mengambil beberapa untuk mengganjal perut sebelum kami bisa membuka bekal makanan kami.

Pasien itu, begitu melihat kami, mereka akan merangsek maju dan menanyakan apakah obat mereka sudah selesai. Kami jadi bingung menjawabnya. Yang sana bertanya sudah dijawab kemudian ganti yang disini.

Nasib bekerja di pelayanan, ya. Karena Mr. P tidak menyediakan karyawan khusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Dan kami juga tidak boleh menempel kertas-kertas pemberitahuan karena menambah buruk pemandangan yang sudah ada. Mengganggu estetika, katanya. Menyebalkan sekali, ya?

"Oh iya. Ada laporan katanya brankas rusak. Benar?"

"Ya, Pak," jawab kami bersamaan. Sudah seperti paduan suara TK saja.

"Kalian ini cewek-cewek loh! Saya pekerjakan kalian disini karena menurut saya kalian lebih bertanggungjawab daripada laki-laki, lebih care, lebih bisa hati-hati, tidak berantakan." Mr. P berjalan menuju depan ke bagian kasir diikuti para anak buahnya yang selalu mengikuti kemanapun, sudah macam pengawal saja.

"Ya ampun. Itu brankas barang mahal dan keras. Bagaimana bisa rusak oleh kalian yang harusnya lemah lembut merawatnya," ucapan sarkasnya mulai muncul. Bahkan ia sampai menggeleng-gelengkan kepalanya. Lelaki tinggi besar di depanku ini memang selalu begitu kalau sedang mengomel. Bisa mengucapkan alasan A-Z untuk memperdalam rasa bersalah kami.

Setelah Mr. P sampai di depan brankas, lelaki itu langsung jongkok sambil memeriksa barang kesayangannya itu. Aku menyebutnya begitu, karena setiap saat ia selalu menekankan betapa mahalnya harga brankas sehingga kami harus menjaganya.

"Nih, kalau kena kaki kalian, pasti kaki kalian yang kalah. Kalaupun kalian yang menendang, saya yakin kalian yang akan kesakitan. Saya masih tidak habis pikir bagaimana bisa kalian merusaknya," sindiran halusnya mulai menggema.

"Yang rusak apanya, Ef?"

"Putarannya, Pak," jawabku lugas tanpa ingin menambahi begini begitu.

"Iya, putarannya kenapa?" Mr. Patrick menelisik jawabanku.

"Ya tidak bisa digunakan, Pak," jawabku kukuh tanpa ingin menjelaskan.

"Kamu ini ditanya tidak jelas," ia kesal dengan jawabanku. "Bi, kamu kesini Bi. Periksa ini," titahnya pada sang asisten, lelaki plontos berkulit sawo matang dengan tinggi hanya sebatas telinganya.

Ya, aku kan bukan ahli per-brankasan. Apakah aku salah menjawab sesuai apa yang tidak berfungsi. Kalau secara mendetail tentu saja aku tak tahu. Aku tak sepintar itu kawan.

Lelaki bernama Bilal itu maju, kemudian berjongkok di depan brankas seperti yang dilakukan Mr. Patrick setelah sang bos memilih duduk di sebuah kursi yang ada di samping Bilal.

"Memang kalian apakan putarannya?" tanya Bilal tanpa sekalipun melihat kami. Matanya hanya mengawasi kotak besi mahal yang ada di depannya itu.

"Ya diputar biasa, Bi. Pertanyaanmu aneh," kesalku. Ini bos sama anak buah sama saja. Terkadang menanyakan hal yang menurutku tidak membantu jalannya perbaikan. Malah seperti sedang interogasi penjahat saja. Apa? Kenapa? Bagaimana?

"Kalau diputar biasa kan tidak mungkin rusak Ef," sungguh ucapannya sangat halus, namun terdengar mengesalkan bagiku. Bilal seperti orang yang bertutur lemah lembut dan sabar pada kami, padahal kalau kami meminta bantuannya langsung sudah pasti bisa tahun depan baru dilaksanakan. Lelaki plontos ini hanya menurut pada sang bos saja.

"Periksa saja dulu, Bi. Kenapa malah tanya ini itu," ucapku yang diiyakan yang lain. Hati kami benar-benar sudah panas mendengar kuliah pagi tujuh menit plus plus yang tiada habisnya.

"Sini minta passwordnya?" Aku menyebutkan beberapa angka padanya. Bilal mencoba memutarnya dan bisa, kemudian kembali dikunci dan dibuka menggunakan password lagi, ternyata bisa.

"Nih, tidak ada yang rusak. Semua normal, masih bisa digunakan," ucapnya yang membuat kami terkejut.

"Aduhh, Ef. Kamu membuat saya panik saja. Emang dasar kalian saja yang belum terbiasa memakai brankas kayaknya," ucapan Mr. P kali ini ada benarnya. Namun aku sudah terlanjur illfeel dengan Bilal.

"Iya. Makanya aku tidak langsung datang pas kemarin kamu panggil aku. Soalnya tidak mungkin ini brankas rusak," ucapnya lirih di dekatku dengan senyum mengejek.

Belum cukup sampai disana, Mr. Patrick melanjutkan petualangannya untuk masuk ke dalam gudang.

"Ini apa? Segala kayak gini ada disini?" ucapnya mengomentari tumpukan mukena lengkap dengan sajadah dan alat make up seadanya serta jangan lupakan cermin kecil yang nyempil di antara rak obat-obatan yang kebetulan belum terisi.

"Mukena pak, buat sholat," jawabku sekenanya.

"Saya tahu. Kenapa ada disini? Sudah saya bilang kan, sholat itu di mushola, kenapa malah suka tempat sempit seperti ini?" Nah kan, sudah mengomel lagi.

"Biar cepat, Pak. Karena kalau pasien banyak, terkadang ke mushola pun ngantri sudah begitu tumpukan resep sudah menggunung. Jadi kami tidak melupakan kewajiban kami dua-duanya. Kepada Tuhan dan kepada Bapak eh rumah sakit maksudnya." Haduhhh...jadi asal ngomong kan kalau tertantang.

"Saya tidak mengiyakan jawaban kamu ya. Saya hanya menganggapnya masuk akal jika berada pada kondisi pasien ramai dan membludak. Tapi jika sepi kalian wajib ke mushola." Mr. Patrick memberi peringatan karyawannya.

"Iya, Pak." Kembali kami yang bagaikan paduan suara ini mengucapkan kata "iya" yang entah sudah berapa kali kami ulang.

Perjalanan berikutnya, alhamdulillah sudah selesai. Karena ruangan kami hanya itu-itu saja.

Tanpa kami sadari beliau ini melewati kamar mandi dan akhirnya mampirlah kesana. Bukan untuk mencoba atau mengeluarkan sesuatu yang beliau tahan ya.

Ya, ampun sepertinya ini masih berlanjut. Beliau nampak celingukan memperhatikan setiap detail kamar mandi kami.

"Ini, setiap hari dibersihkan?" tanya Mr. Patrick pada siapa saja yang ada di sekitarnya. Jemarinya bergerak-gerak membersihkan warna coklat yang menempel pada ubin dinding kamar mandi.

Padahal kami saja tidak terlalu memperhatikannya. Namun bos satu ini memang luar biasa.

"Saya, Pak. Kadang juga Mbak Nana," jawab gadis polos bernama Mia yang belum setahun ini bekerja disini. Gadis asli Padang dengan kulit putih dan wajah mirip orang cina karena bermata sipit ini cengengesan atau lebih tepatnya mencoba menguatkan diri sebelum mendapat petuah dari sang bos.

"Coba saya lihat kamu cara membersihkan ubinnya bagaimana?" tanya Mr. P yang berhasil membuat Mia melongo.

"Dipraktekkan, Pak?" Mia yang masih melongo bertanya tanpa sadar.

"Ya iyalah, Mi. Kalau kamu cuma ngomong itu namanya teori bukan praktek, atuh" ucapnya ketus dengan logat khas sunda.

"Tapi kan saya sudah praktek tadi pagi Pak. Masa praktek lagi?" sanggah Mia yang masih tetap bertahan dan tidak mau mengulangi.

"Saya cuma mau melihat cara kamu membersihkan, itu saja bukan harus di praktekan semuanya."

Ya ampun, tepok pantat dah. Setelah lelah memperjuangkan nasibnya Mia akhirnya menyerah. Gadis Padang itu lalu mengambil sikat lantai dan di depan kami semua, dia mempraktekan pekerjaan yang dilakukannya setiap pagi. Membersihkan kamar mandi dengan menyikat ubin.

Gosok sana gosok sini. Berulang-ulang namun seperti rekonstruksi kebersihan saja. Hanya Mia yang menjadi bintangnya, sedangkan kami hanya melihat sambil memandang aneh Mr. P.

"Nih kalau gosoknya kayak gitu, ya pantesan aja nodanya tidak hilang, lihat ini masih banyak yang tertinggal," ucap Pak Bos dengan jemarinya yang masih menggosok ubin dinding di sebelahnya. "Itu gosoknya pakai tenaga, Mi. Bukan pakai perasaan."

"Saya juga begitu gosoknya, Pak. Kan ini tadi cuma pura-pura makanya saya pelan-pelan." Mia rupanya masih mempunyai kekuatan untuk beralasan. "Kalau saya gosoknya pakai perasaan nanti malah takut semua, karena sikat saya jalan sendiri."

"Kamu ini bisa saja, Mi." Akhirnya Mr. Patrick terdiam. "Nih saya contohin," ucapnya yang kemudian jongkok dan mengambil sikat lantai dari tangan karyawannya itu. "Nyikatnya yang keras ya, jangan lemas. Lihat ini." tanpa canggung lelaki yang berperawakan tinggi itu memberi contoh pada anak buahnya. Aku sampai ternganga dibuatnya.

"Bisa kinclong, Pak?" tanya ku penasaran. Dia menggosok dengan kekuatan penuh dan meyakinkan, bahkan lebih kuat daripada bagian kebersihan kami yang laki-laki.

"Pasti kalian tidak percaya kalau kamar mandi Pak Patrick lebih kinclong daripada pipi kalian kan?" Dengan senyum merekah dan seakan bangga, sang istri dari Mr. P menyahut, tanpa ada yang menyadari kapan wanita berprofesi dokter itu mulai berada disana.

"Benar, Bu?" Secara bersamaan kami mengatakannya. Dan setelahnya kami saling menatap penuh arti.

"Tentu saja, sampai bisa buat ngaca loh saking licinnya," ungkap istri Mr. P yang bernama Dokter Nian itu.

Kami kembali dibuat menganga. Kemudian sang istri bercerita, jika di rumah Mr. Patrick tidak mengizinkan ART nya untuk membersihkan toilet di dalam kamarnya. Karena setiap hari ia yang akan membersihkannya. Ia merasa bahwa pekerjaan sang ART membersihkan kamar mandinya kurang bersih.

Kemudian masuk ke ruang utama di bagian apotek tentu saja adalah ruang racik yang digunakan untuk mengerjakan resep. Kembali disana banyak sekali celah-celah kecil tersembunyi yang menurutnya masih kotor dan tidak maksimal membersihkannya.

Dan petuahnya pun keluar lagi. "Ini, seperti ini harus dibersihkan ini. Kalau lama-lama dibiarkan akan menggunung dan mengganggu pemandangan," ucapnya seraya memasukkan satu jarinya, menjangkau lubang kecil dibawah rak obat.

"Kalian juga jangan naik-naik ke lemari ini. Kan itu ada tongkatnya untuk menjangkau obat yang tinggi. Saya sering melihat kalian naik-naik sini dari CCTV. Saya saja yang laki-laki suka ngeri melihatnya, bagaimana kalau kalian jatuh? Nanti saya lagi yang disalahkan. Padahal saya tidak pernah menyuruh kalian untuk naik kesana," tunjuk Mr. Patrick dengan dagunya.

"Iya, Pak."

"Kalian dari tadi hanya menjawab iya-iya saja, sebenarnya mengerti tidak apa yang saya maksudkan?" Senyum samarnya membuat kami semakin kesal.

"Ya, tahu Pak."

"Jangan jawab iya-iya saja. Jawab yang lainnya,"

Kami saling pandang satu sama lain. Diotak kami muncul pemikiran yang sama. Jika didebat akan bertambah panjang. Tapi jika tidak didebat dan mengambil jawaban paling aman selalu diomeli. Benar-benar simalakama.

Ya itulah contoh kecil, sibuknya Direktur Rumah Sakit tempatku bekerja. Kami biasa memanggilnya Mr. P. Singkatan dari Mr. Patrick, seorang Cina Sunda yang gantengnya tak seberapa namun cerewetnya luar biasa.

Beliau ini seorang atasan yang serba bisa kalau bahasa gaulnya smart. Jadi kalau ingin mendebat kebijakan ataupun peraturannya, kita sebagai karyawan harus benar-benar mempunyai otak dengan teknologi mutakhir yang mampu bertahan dan melawan habis-habisan.

Oh, iya. Namaku Efliya, biasa dipanggil Ef karena itu lebih simpel dan tidak menghabiskan tenaga. Aku bekerja di instalasi farmasi di sebuah rumah sakit swasta milik Mr. Patrick.

Pernah dulu waktu masih mendapat jadwal dinas malam, aku yang aslinya petakilan namun terbungkus wajah polos sedikit berulah.

Kalau kami warga apotek dinas malam, tidak akan pernah dibiarkan berada sendirian di ruangan kami. Karena apotek dan rumah sakit berada di gedung berbeda yang menyatu. Bisa dibayangkan jadi kalau malam ya sepi, karena tidak akan ada orang masuk apotek jika tidak membeli obat.

Jadi kalau sudah sepi, kami harus pindah dari ruangan kami ke ruangan kasir rumah sakit. Disana ada bed susun tempat kami istirahat jika tidak ada pasien.

Nah, Mr. P itu kan bos aktif. Percayakah kalian jika ia selalu sidak (inspeksi mendadak) jika malam hari. Jadi sekiranya jam 11 an ia selalu keluar dari rumahnya yang kebetulan berada di belakang rumah sakit.

Apakah yang dilakukannya? Mulai dari mengintip instalasi farmasi, apakah kami sudah pindah. Terkadang jika ada pasien laki-laki, dimana posisinya hanya sendiri, pak bos selalu menemani sampai selesai. Disinilah sisi positif beliau yang sangat aku acungi jempol.

Kemudian setelah itu dia menuju ruangan rekam medis, mengobrol sebentar barulah menuju ke kasir. Nah, disinilah terkadang pak bos parkir lumayan lama. Apalagi kalau kasir yang jaga malam Mbak Tiara. Gadis putih dan cantik asli Kebumen, yang tutur katanya halus dan murah senyum. Sudah dipastikan bukan lumayan lagi tapi lama. Ada saja yang ia tanyakan untuk membuatnya berlama-lama berada disana.

Aku sendiri juga bahagia jika kebagian dinas malam dengan Mbak Tiara. Karena aku pasti bisa kabur lebih dulu untuk tidur. Aku sudah berpesan ini itu pada Mbak Tiara, barangkali saja Mr. P bertanya tentang tugasku. Jadi biar Mbak Tiara saja yang menjelaskannya. Aku? Aman menarik selimut hingga kepala dan mendengarkan saja obrolan mereka. Maaf aku tidak menguping, tapi karena letak bed kami tepat di belakang kasir tanpa sekat, jadi ya begitulah.

Setelah itu, Mr. Patrick menuju rawat inap, memeriksa satu persatu kebersihan kamar mandi pasien. Bisa dibayangkan jika pasien rawat inap penuh. Sudah otomatis ia akan turun dari lantai dua, menjelang matahari terbit. Itu terjadi setiap hari kecuali hari Minggu. Mengesankan ya.

Dulu sekali, pada waktu hari pertama bekerja dengan diintip 24 jam oleh alat kebanggaan Direktur yang baru. Beliau memasang kamera pengintip itu di titik-tirik strategis dimana tempat kami bersendau gurau dan sekedar melepas lelah saat malam hari. Curang bukan? Alasannya karena beliau membuat peraturan baru. Tidak boleh tidur sama sekali saat sedang jaga malam. Katanya 'Kalian kesini untuk bekerja bukan tidur. Kalau mau tidur ya di rumah'.

Dan ada juga hal lain yang menginspirasinya. Ketika beliau pergi ke saudaranya di luar kota. Karena ada sesuatu hal yang mengharuskannya pergi ke rumah sakit saat dini hari jam 2 pagi. Beliau terkesima dengan sambutan penghuni rumah sakit yang didatanginya. Mereka sangat ramah dan masih segar. Tidak ada yang kelihatan mengantuk. Bahkan make up pun masih on. Nah, beliau ingin menerapkannya di rumah sakit miliknya ini.

Mana bisa? Kami tentu mementingkan keselamatan pasien daripada sekedar memoles wajah kami. Jika hanya merapikan diri tentu kami selalu melakukannya. Tapi kalau make up yang on, itu bukan kami.

Ungkapan pak bos tentang kami kesini untuk bekerja itu memang benar. Namun kami hanya manusia, memiliki rasa lelah dan lemah hingga terkadang tanpa sadar apalagi ketika kondisi sepi tentu saja kami tidak bisa menahan diri untuk tidak menguap kemudian meletakkan kepala kami dan akhirnya tertidur tanpa sadar. Tahu-tahu sudah pagi dan seperti tidak terjadi apa-apa.

Dan tidak berakhir sampai disitu. CCTV membawa warna berbeda pada rapat akhir bulan yang wajib kami ikuti, sebelum kami menerima pembayaran gaji.

Proses penerimaannya selalu diawali dari rapat yang membahas ini itu tentang remeh temeh dari ujung timur sampai ujung barat rumah sakit. Dan tidak lupa menayangkan rekaman CCTV dari hal salah yang sepele sampai yang paling berat. Dan tahukah kalian bagaikan seorang artis, tentu saja wajahku adalah salah satu diantara beberapa yang lain yang muncul di layar monitor yang dipasang sedemikian rupa hingga sampai karyawan yang duduk paling belakang pun dapat melihatnya dengan jelas. Aku sedang tertidur diatas meja dengan mulut terbuka dan cairan yang meluber ke mana-mana. Untung saja CCTV ini hanya menampilkan gambar saja, kalau sampai suara bisa kabur semua anggota rapatnya.

Tidak hanya sampai disitu. Kebetulan di rumah sakit tempatku bekerja ini banyak sekali karyawannya yang dari luar kota bahkan luar propinsi. Ada dari Medan, Lampung sampai dari Nusa Tenggara Timur.

Nah, pada saat itu banyak yang masih awam tentang CCTV termasuk teman-teman dari bagian timur Indonesia ini.

Jika lampu mati CCTV tetap dapat merekam meskipun dalam gelap. Itu yang tidak mereka sadari. Sehingga mereka yang dipekerjakan di bagian laundry dengan santainya mandi langsung dari kran yang tersorot kamera CCTV. Mereka berani karena merasa sudah mematikan lampu sehingga menganggap tidak akan terlihat di kamera. Untung saja karyawan yg biasa memeriksa bagian rekaman CCTV adalah laki-laki.

Namun seperti biasa, kembali menjadi huru hara saat rapat akhir bulan tiba.

Pernah juga suatu waktu, kami yang menjabat Supervisor selalu melaporkan RAB dan SP (Surat Pesanan) untuk minggu depan. Namun disini uniknya, segala sesuatu yang berhubungan dengan dua hal itu diperiksa secara mendetail satu persatu. Dan parahnya, Mr. Patrick tidak menentukan jam berapa tepatnya ia siap memeriksa. Sehingga kami sering pulang larut malam hanya menunggu diperiksa.

Singkat cerita, tiada hari tanpa sedetikpun tidak membicarakan bos luar biasa macam Mr. Patrick.

Dia yang juga berprofesi dokter seperti sang istri adalah seorang PNS yang rela pensiun dini demi fokus hanya mengurusi rumah sakit. Luar biasa dedikasinya ya. Meskipun ini rumah sakit miliknya, namun ia nampak profesional. Tidak nge-bos dan mau bercapek-capek ria hanya untuk memberi contoh pada karyawannya.

Beliau juga keras dan disiplin terhadap siapa saja, termasuk anak-anaknya. Jadi tidak ada pembedaan antara karyawannya maupun keluarga jika masalah pekerjaan.

Pada akhirnya meski sekeras dan semenyebalkan apapun, beliau adalah direktur terbaik kami. Hanya ia bos lekaki yang terkadang ikut mencampuri urusan pribadi kami hanya karena beliau merasa dititipi oleh orang tua kami disini.

Hal yang menyedihkan di dunia ini adalah perpisahan. Tepat 7 tahun mengabdi disana, karena satu dan lain hal membuatku harus rela mengundurkan diri.

Dengan berat hati dan walaupun sebenarnya juga ditolak berkali-kali karena alasan yang menurut Mr. Patrick tidak tepat, akhirnya aku diizinkan untuk mengundurkan diri dengan alasan orang tua.

Berbagai nasihat beliau wejangkan padaku. Dari A-Z, dari urusan pekerjaan yang baru sampai dengan masalah jodoh. Sampai terakhir mengatakan, jika aku berubah pikiran rumah sakit masih akan dengan senang hati menerimaku.

Sepertinya tidak, Mr. Patrick terlalu hectic untuk seorang bos. Membuatku tidak nyaman, dan terkesan mendetail untuk segala sesuatu.

Pada akhirnya selalu ada sisi positif yang bisa diambil dari setiap pengalaman hidup yang dilalui. Ambillah baiknya dan buanglah buruknya. Belajar lebih lagi untuk hidup disiplin. Itu pesan untukku sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Sama-sama Kak Farida 🙌🙏🏻
@arinirifatia : Hahaha... Iya kak.. Saya juga merasa seperti itu selama menjadi karyawannya. Saya sangka semua hanya ada di dalam novel, ternyata di kehidupan nyata saya mengalaminya. Btw makasih ya kak sudah mampir 😍
Bapaknya perfeksionis... jangan-jangan melankolis 🙈
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Asal Bapak Senang
dwi faridawati
Flash
Sulitnya Mencintai Tuan
Fazil Abdullah
Komik
Cumimi - Dunia Sotong
Adhy Musaad
Cerpen
Tujuh Belasan di Desa Dukun
Rafael Yanuar
Komik
Sebutir Manusia
Sukriyadi
Cerpen
Bronze
Agen konyol
Noboti
Cerpen
Tetangga Selebrita
Hilmiatu Zahra
Flash
Bronze
Cerita dari huruf 'T'
penulis kacangan
Flash
Bronze
Pocong lupa jati diri
penulis kacangan
Flash
PENYAKIT ANEH
D. Rasidi
Flash
Buka Puasa Yang Membagongkan
Sandra Arq
Cerpen
Bronze
Bujang Gulali: Sahabat Sayang, Sahabat Malang
Supriyatin Yuningsih
Cerpen
Semesta Ngehe!
E. N. Mahera
Komik
Magang Di Tempat Supervillains
Kyriepoda
Flash
Bronze
Demit Go Away!
Bronzeapple
Rekomendasi
Cerpen
Asal Bapak Senang
dwi faridawati