Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
ARUNIKA
6
Suka
2,607
Dibaca

Angin bertiup kencang dari ujung selatan pusat kota. Hamparan laut membentang mempertunjukan lembaran biru yang menyerupai lukisan cakrawala seniman. Rumah-rumah anyaman bertengger malu di kejauhan, seolah kehadirannya ingin bersembunyi dibalik keramaian dunia. Burung camar beterbangan diatas taman, diiringi tawa anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki, beban dan luka.

Diatas sebongkah batu karang, seorang perempuan duduk terdiam menatap kosong pemandangan dihadapannya. Namanya Arunika. Perempuan yang baru menginjak kepala tiga, dengan tubuh tegap dan rambut panjang yang diikat bak ekor kuda, terlihat murung sedari tadi. Kemeja linen longgar dan celana bahan yang ia pakai sedikit terlihat kusut, sama seperti pikirannya yang sedang beradu suara dengan dentuman ombak di lautan.

Arunika memilih untuk menghabiskan jatah liburannya ke sebuah pantai. Baginya, pantai merupakan tempat ternyaman untuk melepaskan semua penat dan keluh kesah yang ia hadapi. Disanalah, segala luka bisa lepas sementara. Segala perih bisa reda meski tak sepenuhnya sirna. Meskipun ia tahu, bahwa apa yang ia lakukan tidak akan pernah bisa menyelesaikan semua hiruk pikuk di perkotaan. Akan tetapi, ia butuh energi lebih supaya dirinya bisa bangun lebih kuat lagi.

Sebab, dalam beberapa bulan terakhir, Arunika sering merasa sesak. Awalnya ia pikir hanya sakit biasa, akan tetapi setelah diperiksa, ia sedikit mengalami masalah kesehatan terhada mentalnya.

Dokter menyerankan untuk tidak terlalu memikirkan semuanya sendirian, “Kalo kamu sudah mulai merasa capek, jangan dipaksakan dulu untuk bekerja terlalu ektrem, ya. Sesekali coba kamu kasih waktu untuk diri kamu sendiri. Supaya kamu tidak merasa banyak beban di kepala.”

Arunika hanya mengangguk. Meskipun setelahnya, tetap saja pikirannya penuh setiap malam. Selepas kerja, ia langsung merebahkan badan di kamarnya dan memutar lagu sambil menscroll sosmed. Tak lupa, ia juga menangis di tengah malam memikirkan semua ucapan baik tentang pekerjaan, cinta, keluarga, pasangan, keuangan hingga apapun yang ia derita ia keluarkan dalam tweetnya di X.

“Nika, kamu udah mau tiga puluh tahun loh, kapan mau nikah?” celetuk temannya suatu hari

“Ah siapa yang mau juga sama cewe tomboy kayak dia,” ungkap temannya lagi

“Hidup lo kerja mulu, Nik. Ga punya temen ya?” suatu hari saat merayakan ulang tahun kantornya

“Kamu kalo kayak gini terus, aku ga sanggup ya. Kita putus,” ucap mantannya dua tahun lalu

Dan pertanyaan-pertanyaan serta ejekan lain yang lebih menyakitkan.

Tapi setiapkali ucapan itu dilontarkan, Arunika selalu membalasnya dengan senyuman penuh keramahan. Meski setelahnya, ia menyimpan semuanya dalam hatinya dan menuangkannya dalam gelap malam yang tak pernah sepi.

**

Sebenarnya, Arunika bukan orang yang mudah tumbang. Ia tumbuh dalam kehidupan yang mengajarkannya untuk menjadi seorang perempuan yang tidak manja. Sejak kecil, ia sudah aktif mengikuti komunikas karate. Ditambah, setiap pulang sekolah ia juga harus belajar tambahan di lembaga bimbingan belajar dekat rumahnya. Ayahnya seorang tukang mebel. Sedangkan Ibunya merupakan seorang guru. Ketegasan dan kedisiplinan muncul dari sosok Ayahnya yang tak perah mengenal kata menyerah. Pun dengan sifat rajin dan baik hati yang menular dari karakter Ibunya.

Meskipun sejak SD hingga SMA, Arunika sering dibuli dengan perawakannya yang kurus, kulitnya cokelat legam, tomboy, anak yang kaku karena lebih memilih membaca buku daripada nongkrong bersama teman-temannya. Akan tetapi itu semua ia hadapi dengan dukungan kedua orang tuanya.

“Nama doang bagus. Yah, muka nya item,” ledek teman sekelasnya.

“Cewe kok ikut karate. Sana masak-masakan aja”

“Percuma pinter kalo gak ada yang suka mah,”

Setiap kata-kata itu dilontarkan, Arunika hanya diam. Ibunya bilang, bahwa ia tidak boleh membalas ucapan buruk dengan tindakan burk juga. Alhasil, ia hanya menyimpannya dibawah selimut tipis dengan air mata di setiap malam.

Dihadapan orang lain, Arunika adalah sosok yang selalu dianggap tegar dan tahan banting. Meskipun ia tahu, bahwa ia adalah manusia paling lemah jika sendirian. Semua ucapan yang menancap ke hatinya, ia simpan dalam-dalam dan menjadikannya sebagai bahan bakar untuk belajar lebih giat, lebih keras, lebih sungguh-sungguh.

Ia tahu, satu-satunya jalan keluar adalah menjadi orang yang tak bisa diremehkan.

**

Tapi semuanya berubah disaat kedua orang tuanya dan adiknya meninggal dalam suatu kecelakaan. Saat itu, keluarganya sedang menikmati liburan ke sebuah pantai. Dalam perjalanan itu, Arunika sempat menghabiskan tawa bersama keluarganya. Namun selepas itu, sebuah truk besar menabrak mobil keluarganya hingga hancur.

Diantara mereka berempat, hanya Arunika yang selamat. Beruntung, ia terselamatkan meski harus mengalami benturan dikepala nya. Meskipun demikian, ia harus menerima fakta menyedihkan bahwa keluarganya sudah pergi meninggalkannya.

Saat itu, ia baru menginjakan kaki di semester satu. Dengan penuh amarah, dendam dan kebencian, Arunika tumbuh menjadi anak yang tempramen. Kejadian menyakitkan itu membuatkan menjadi sosok yang pedendam. Ia lebih memilih untuk tinggal sendirian daripada harus hidup bersama pamannya yang seorang guru agama.

Selepas kejadian itu, Arunika kembali hidup dengan persona dirinya yang sangat jauh dengan dirinya dahulu. Ia mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang untuk meredakan rasa kepedihannya. Setiap minggu ia juga pergi sendiri ke bar untuk meneguk sebotol alkohol yang ia pesan dengan gaji sampingannya sebagai seorang akuntan. Beberapa kali ia coba menjalin hubungan kasih dengan lelaki yang ia anggap sebagai ayahnya. Akan tetapi, tak lama setelahnya, ia mendapati pacarna sedang berhubungan badan dengan wanita lain. Sehingga membuat dirinya semakin menjadi sosok yang penuh kebencian.

Meskipun demikian, Arunika masih memegang teguh kecintaannya terhadap dunia pendidikan. Ajaran kedua orang tuanya membuat dirinya gemar membaca dan belajar. Di sela-sela kesibukannya daam berkuliah, ia masih menyempatkan waktu untuk pergi perpustakaan untuk membaca buku-buku yang ia pinjam. Ia juga sangat aktif dan telaten dalam mengikuti perlombaan-perlombaan. Alhasil, di hari kelulusannya, Arunika mendapat gelar Mahasiswa Berprestasi.

Karena usahanya yang giat dan penuh ambisi, Kini, Arunika diangkat menjadi seorang manajer keuangan disebuah perusahaan periklanan ternama. Ia pernah memimpin kampanye besar-besaran untuk merek internasional, mendapatkan penghargaan nasional, dan menjadi mentor bagi banyak karyawan muda. Sehingga, namanya dikenal sebagai sosok yang ceria, energik, penuh ambisi, dan berprestasi.

Namun di balik semua itu, Arunika masih menyimpan versi kecil dirinya yang dulu. Yang merasa bahwa dunia tidak pernah adil kepadanya. Yang merasa tidak pernah dihargai jika tidak memiliki prestasi. Yang merasa bahwa semua pencapaiannya itu tidak cukup untuk menutup luka-luka lama.

Pernah suatu malam setelah dirinya diangkat menjadi manajer keuangan di kantornya. Ia duduk di dalam taksi online, dan menangis diam-diam di kursi belakang. Ada perasaan bangga yang melintas dalam dirinya atas pencapaian hidupnya tapi disaat yang bersamaan ia malah merasa sangat kosong. Ia berhasil. Tapi... untuk siapa?

**

Di pantai inilah, untuk kali keduanya setelah sekian puluh tahun, Arunika mencoba duduk diam. Pantai ini merupakan pantai pertama yang ia temui bersama keluarganya. Akan tetapi, disinilah rekam memori buruknya berawal.

“Bisa gak aku menerima semua ini dengan tenang?” bisiknya lirih.

Langit mulai berubah warna. Senja melukis cakrawala dengan semburat jingga yang cantik. Arunika menunduk, mengambil batu kecil, lalu melemparkannya ke laut.

“Apakah aku benar-benar bahagia?” tanyanya pelan.

Ia kembali mengulangi. “Apakah aku sudah bisa menerima semuanya.”

Tak ada jawaban. Hanya debur ombak yang menjilat pantai seolah hendak menjilat luka-lukanya.

**

Esok paginya, Arunika bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menyusuri pasar tradisional kecil di dekat penginapan, membeli kopi saset dan pisang goreng, lalu duduk di warung bambu milik Bu Tati, seorang janda paruh baya yang ramah.

“Sendirian, Mbak?” tanya Bu Tati.

Arunika mengangguk. “Iya, Bu. Lagi menjauh dari keramaian,”

Bu Tati tertawa. “Kadang yang ramai bukan sekitar, tapi pikiran kita sendiri, loh.”

Kalimat itu membuat Arunika terdiam.

Hari itu, ia berjalan tanpa tujuan. Menyapa anak-anak kecil yang bermain layang-layang, berbincang dengan nelayan, dan mencatat setiap percakapan yang menyentuhnya di buku kecil yang selalu ia bawa. Ia menyadari bahwa hidup bukan soal membuktikan diri, melainkan soal penerimaan.

Dua minggu di pantai membuat Arunika seperti kembali ke titik nol. Ia mulai menyusun ulang makna hidup di kepalanya. Ia tak lagi ingin jadi ‘paling hebat’ atau ‘paling cepat’. Ia ingin jadi versi dirinya yang tenang, yang damai, yang tidak dikejar bayang-bayang masa lalu.

Ia menulis sebuah tulisan untuk dirinya sendiri

“Arunika Putri Edelwies, apa yang ingin kamu kejar dari semua ini? Bukankah kamu adalah anak periang yang selalu dibanggakan oleh kedua orang tua mu? Bukankah sejak kecil kamu adalah anak berprestasi? Mengapa kamu merasa belum puas dengan semua itu? Apa yang ingin kamu kejar? Apa yang ingin kamu buktikan? Jika ada orang yang menyakitimu, bukankah mereka juga merasakan hal yang serupa sehingga tak ada ruang pelampiasan selain kepada dirimu? Mengapa kau hiraukan semua ucapan sampah itu? Hey Arunika Putri Edelwies. Namamu sudah sangat cantik. Tuhan menciptakanmu dengan keindahan yang sama seperti hamparan pantai yang menyejukan. Mengapa kau harus minder dengan perawakan dirimu? Mengapa kau harus meragukan jalan yang telah tuhan rencanakan? Coba berikan sedikit ruang untuk dirimu memaafkan… untuk penerimaan… untuk penyembuhan… bahwa dirimu adalah makhluk terbaik yang telah Tuhan ciptakan

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Ular Tangga Pernikahan
Iena_Mansur
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Novel
Schemering Gray
Yulita Chintya S
Novel
Gold
SHADOW
Falcon Publishing
Novel
Bronze
Mahar Untuk Deevika
Imajinasiku
Skrip Film
ALPHA CHAPTER ONE
Delta
Cerpen
Bronze
Temu Sahabat Kecil Lewat Layar Gengam
Lilis Alfina Suryaningsih
Skrip Film
Jobless (Script Flm)
Writer In Box
Flash
KARAM
Rolly Roudell
Flash
Di Tepi Jurang
Jasma Ryadi
Novel
Study(ing) Love
ceciliafs
Novel
My Cold Crush
Zuharaa
Novel
PATRICIA MUDA
Ardhi Widjaya
Cerpen
Dor!
Zaki S. Piere
Cerpen
Blank Page
Andini Lestari
Rekomendasi
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Cerpen
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
Siapa Peduli
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Cerpen
Tia Monica Manis Sekali
Rizki Mubarok
Cerpen
Selepas Ayah Berpulang
Rizki Mubarok
Cerpen
CIBIRU
Rizki Mubarok
Cerpen
Cerita yang Tak Pernah Selesai
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
Surga Para Raja
Rizki Mubarok
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Cerpen
Katanya sih Cinta
Rizki Mubarok
Cerpen
Biru Akan Selamanya Tetap Biru
Rizki Mubarok
Cerpen
Bronze
Segelas Matcha di Siang Hari
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok