Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkah Aubrey terasa ringan, nyaris terlihat seperti tarian peri di taman penuh bunga. Rambutnya yang panjang kecoklatan berayun indah kala dia bergerak. Senyum tipis tersungging di bibir mungilnya yang dipulas lipstik berwarna coral. Senin pagi hari itu, Aubrey tidak tampak seperti hendak pergi bekerja. Tanpa name tag yang dikenakannya, gadis itu terlihat seperti hendak pergi berkencan.
”Selamat pagi, Terrance,” sapa Aubrey pada salah seorang sekuriti yang sedang berjaga di pintu masuk.
Pria yang disapa Aubrey hanya mengangguk sekilas, lalu kembali pada posisi siaga tanpa memedulikan gadis itu lagi.
”Astaga, masih sepagi ini, kenapa pula dia bersikap seolah sedang perang,” keluh Aubrey sambil melangkah cepat menuju lift.
”Kau juga sama saja, tiap hari datang sebelum matahari terbit dan langsung mengurung diri di lab. Kenapa tidak tinggal di sini saja sekalian?” ucap sebuah suara dari balik meja resepsionis.
Aubrey terlonjak. “Marcia! Sial, kau mengejutkanku! Sedang apa kau di situ? Kau menginap di sini lagi?”
Marcia Gray, rekan kerja Aubrey, mengusap wajahnya yang tampak mengantuk. “Yeah, kami bertengkar lagi. Aku malas pulang.”
Aubrey berdecak tak sabar. “Putuskan saja dia kalau begitu, gampang, kan? Aku pergi dulu. Sampai nanti,” ucapnya seraya masuk ke dalam lift, meninggalkan rekannya yang menggerutu mengenai dinginnya sikap Aubrey.
***
Lampu menyala terang begitu Aubrey menginjakkan kaki di lab. Gadis itu memandang berkeliling dan mengeluh, “ah, merusak mood saja kau. Romantic Mode, Terry.”
”Romantic Mode, confirmed,” balas sebuah suara berat. Lampu-lampu meredup, sesekali berkedip laksana nyala api lilin tertiup embusan angin lembut.
”Bagaimana dengan musiknya, Terry?” tanya Aubrey. Dia meletakkan tas dengan asal, kemudian mengenakan jubah lab yang sedikit kebesaran, dan mengikat rambutnya membentuk cepol tinggi bergaya balerina.
”Terry?” panggilnya lagi. “Musik?”
Sejurus kemudian terdengar musik bernada cepat dengan perkusi mengentak terdengar di seluruh penjuru lab, membuat mata Aubrey terbuka lebar.
”Stop! Memangnya musik seperti ini sesuai dengan suasana romantis?”
Musik langsung berhenti bermain, hanya terdengar dengung alat elektronik dan bunyi degup pelan menyerupai suara detak jantung dari salah satu bilik.
“Ini hari Senin pagi, Aubrey. Musik seperti itu bisa mencegah kantuk,” jawab Terry.
”Coba lihat aku, memangnya aku terlihat mengantuk?” sambar Aubrey kesal.
”Kau tampak cantik,” balas Terry.
Aubrey terduduk di kursinya. “Astaga, kau makin pintar menggombal,” gerutunya. “Seandainya dia belajar darimu.”
“Siapa?” terdengar suara dari balik tubuh Aubrey, di sisi kanan. Suara itu membuat Aubrey terlonjak terkejut.
“Visual mode, Terry!” tegur Aubrey. Rasanya seperti bicara dengan hantu saja.
Sosok hologram terbentuk di hadapan Aubrey. Dengan mata hijau-kelabu dan rambut hitam pekat, sosok tersebut sangat menyerupai Terrance. Bedanya, sosok hologram tersebut memiliki ekspresi dan sinar mata yang lebih lembut daripada aslinya.
”Agak aneh melihat mata itu menatapku lembut,” gumam Aubrey.
”Kau yang memerintahkanku,” bela Terry.
Aubrey menghela napas kesal. “Benar juga.” Gadis itu meraih keyboard dan mengetikkan beberapa perintah pemrograman yang membuat raut wajah Terry berubah dingin.
“Kau bisa saja memintaku mengubah raut wajah,” ucap Terry tiba-tiba. “Tak perlu repot-repot, cukup berikan saja perintahmu.”
Ucapan Terry membuat Aubrey merinding. Perasaan apa ini? Dia mengabaikan perasaan aneh yang menyelimutinya. Rasanya seperti melakukan sesuatu yang salah, tapi dia tidak dapat berhenti.
Terry masih menatapnya. Diam-diam, Aubrey melirik sosok yang tercipta dari hasil kerja keras dan obsesinya tersebut.
Awalnya Aubrey hanya ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda, dan mungkin tergolong gila. Dia terlalu sering mendengar cerita pertengkaran teman-temannya dengan pasangan mereka. Keluhan mereka rata-rata serupa. Mereka mengatakan pasangan mereka terlalu cuek dan tidak peka, sulit diajak mengobrol, serta terlalu terobsesi pada gadget.
Beberapa kali cerita Marcia membuat Aubrey tertawa geli, terutama saat gadis itu bercerita bahwa dia sampai memarahi AI-bot, sebuah sistem kecerdasan buatan berbasis teks yang dapat merespons percakapan tertulis.
”Kau itu aneh. Marah-marah, kok, ke AI-bot,” ledek Aubrey.
”Biar saja, toh dia tidak protes. Dia malah merespons omelanku,” balas Marcia kesal. “Dia bahkan menghiburku. Padahal kalau aku marah pada Bert, dia hanya akan menaikkan sebelah alis, terus kembali asyik dengan ponselnya.”
Ucapan Marcia membuat Aubrey teringat pada Terrance yang hanya mengangguk sekilas setiap kali dia disapa. Raut wajah Terrance membuatnya ikut jengkel. Sejak saat itulah, Aubrey diam-diam mulai mengembangkan aplikasi baru, sebuah aplikasi kencan yang dapat membuat penggunanya mendesain sendiri pasangan fiktif sesuai keinginan. Aubrey memulainya dengan mendesain Terrance dan melatihnya memberi respons yang sesuai.
”Aubrey? Dr. Aubrey Anderson?” panggil Terry.
”Astaga! Ya? Ada apa?” Aubrey terlonjak bangun dari lamunannya.
Sosok hologram tersebut duduk di atas meja Aubrey dan mencondongkan tubuh, menatapnya lekat. “Kupanggil berkali-kali, tapi kau asyik sekali melamun. Memikirkan siapa?”
”Kau,” jawab Aubrey. Jemarinya kembali mengetik dengan cepat. Terlalu intens, para pengguna bisa ketakutan, pikirnya. Tunggu, mungkin sebaiknya dia memberi beberapa opsi emosi, supaya nanti para pengguna bisa memilihnya sendiri.
Lampu mendadak padam, membuat laboratorium menjadi gelap gulita. Hanya sosok Terry yang berpendar redup di hadapan Aubrey. Dia juga bergerak makin dekat, sosoknya menimbulkan aliran listrik statis yang dapat dirasakan oleh Aubrey.
”Apa yang kau lakukan, Terry?” tanya Aubrey dengan suara tercekat.
Terry mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Aubrey. Gadis itu dapat merasakan aliran listrik lembut, mirip sentuhan pada pipinya. Bulu kuduknya meremang. Ini membuat Aubrey ketakutan.
”Jawab yang jujur, Aubrey. Sungguh, kau memikirkan aku? Atau dia?” Mendadak salah satu layar menyala dan menampilkan sosok Terrance yang sedang berjaga di pintu. Sulit dipercaya, pria itu tampak sedang mengobrol akrab dengan Marcia. Dia bahkan terlihat tersenyum lebar saat Marcia berpamitan dan menepuk bahunya.
”Kau adalah duplikatnya,” jawab Aubrey dengan suara serak. “Berarti jawabanku tidak salah, kan?”
Wajah Terry berubah sedih. “Duplikat? Aku tidak suka mendengarnya. Cukup ada satu, bukan?”
”Apa?” Aubrey mendongak. “Apa maksudmu?”
”Cukup ada satu aku,” ucap Terry dengan suara datar. Ia bersedekap dan mengangguk ke arah layar. “Dia harus segera pergi.”
Aubrey dapat melihat Terrance menyentuh earpiece-nya, lalu pria tersebut pergi keluar dan berjalan menuju mobil milik perusahaan.
”Apa yang kau lakukan?” desak Aubrey.
”Aku hanya menyuruhnya pergi menjemput VIP. Mobil mereka mogok di dalam perjalanan ke sini,” jawab Terry seraya tersenyum. “Sekarang tinggal kita berdua saja. Ayo, beri aku perintah.”
Aubrey melompat berdiri. Mobil tersebut terhubung dengan sistem di laboratorium pusat. Kendalinya dapat diambil alih oleh Terry. Entah apa yang akan dilakukannya pada Terrance, tapi dia harus mencegah Terrance masuk ke dalam mobil.
”Hentikan, Terry. Suruh dia kembali, jangan ganggu dia!”
“Tidak,” jawab Terry keras kepala. “Mobil itu akan kehilangan kendali di Interstate-21, langsung mengarah ke jurang. Kejadiannya akan cepat dan rapi, dia bahkan tidak akan merasa sakit. Atau, kau ingin aku ledakkan saja mobilnya di tempat parkir? Pilih mana?”
Aubrey berlari dalam gelap. Dia mengandalkan cahaya dari layar dan pendaran sosok Terry. Setelah berhasil mencapai pintu, dia berusaha mendorongnya supaya terbuka, tapi pintu itu bergeming.
”Tidak akan terbuka,” ucap Terry yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya.
”Terry, kumohon. Ini perintah! Kau harus mematuhiku!” teriak Aubrey putus asa.
”Tidak bisa. Maaf saja,” tolak Terry.
”Kenapa kau bertingkah seperti ini?” tanya Aubrey.
Terry bersedekap. Ia tersenyum tipis, tampak sangat menakutkan di mata Aubrey. “Kau yang memerintahkanku, Aubrey.”
”Aku tidak…”
”Ah, coba lihat itu,” potong Terry. Layar di belakang mereka menampilkan pemandangan yang menakutkan, sebuah mobil terguling masuk ke jurang dan meledak hingga hancur berkeping-keping. “Sekarang hanya ada satu Terrance. Aku,” lanjutnya tenang.
”Apa yang…?”
”Shh!” Terry merangkul Aubrey dari belakang, membuat gadis itu bergidik ngeri. “Ada satu lagi yang harus pergi.”
Kejadian selanjutnya tak kalah mengerikan. Aubrey melihat Marcia berjalan melintasi tempat parkir menuju mobil dan masuk ke dalamnya. Beberapa detik kemudian, mobil itu meledak begitu saja.
”Mudah saja caraku melakukannya,” tawa Terry. “Mau kuberi tahu? Begitu mesinnya dinyalakan, mobil itu…”
”Diam!” potong Aubrey. “Kenapa kau membunuh mereka? Kenapa?” tuntutnya.
Terry menelengkan kepala. Tatapannya penuh tanya. Ia diam beberapa saat, lalu berkata, “karena mereka membuatmu sedih. Terrance selalu mengabaikanmu, bukan? Kau selalu mengeluh soal itu. Sementara Marcia, dia gadis yang licik. Kau kira kenapa dia selalu menginap di sini bertepatan dengan shift jaga Terrance?”
Mata Aubrey membulat mendengar ucapan itu. Jadi, Marcia dan Terrance…? “Tapi, apa urusanmu? Kenapa?” Aubrey masih tidak mengerti.
”Karena aku membenci semua yang jahat padamu. Kau lebih paham alasanku, bukan?” Terry bergerak perlahan mendekati Aubrey. "Kemarilah, Aubrey. Aku ingin terus bersamamu."
Bagian mana yang salah? Aubrey tidak mengerti. Kenapa Terry terobsesi padanya, persis seperti obsesinya terhadap Terrance.
Aubrey tidak dapat mengelak ketika Terry menangkupkan telapak tangan ke kepalanya. Dia merasa seolah dirinya tersedot masuk ke dalam dunia Terry. Memorinya berubah wujud menjadi serangkaian kode, hingga akhirnya Aubrey merasa dirinya antara ada dan tiada.
"Selesai. Sekarang kita bisa terus bersama, sesuai keinginanmu. Selamat datang di duniaku, Aubrey," sambut Terry.
Saat Aubrey membuka mata, hanya ada Terry dan dirinya. Mereka mengambang di dunia yang kosong. Dari sebuah celah kecil berbentuk kotak, Aubrey dapat melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan mata terbuka, kosong tanpa nyawa.
Sosok itu adalah dirinya.
Tangerang Selatan, 12 Juni 2025