Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Impian di Bangunan Tua
Citra bukan sekadar pengusaha, ia adalah seorang visioner. Di usianya yang baru menginjak akhir dua puluhan, dengan gelar magister di bidang manajemen bisnis dan pengalaman magang di beberapa startup kopi terkemuka di Jakarta, ia memiliki satu ambisi besar: menciptakan sebuah coffee roastery butik paling inovatif di Makassar. Bukan kafe biasa, tapi sebuah tempat di mana seni kopi bertemu dengan sejarah, di mana setiap biji diolah dengan presisi seorang alkemis modern, dan setiap tegukan adalah sebuah pengalaman. Ia membayangkan sebuah ruang yang hangat, modern, namun tetap menghormati akar dan warisan kota pelabuhan ini.
Pencarian lokasinya adalah sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Ia telah menjelajahi setiap sudut kota, dari ruko-ruko modern yang steril hingga bangunan-bangunan tua yang rapuh. Namun, tak ada yang memanggil jiwanya sekuat sebuah bangunan kolonial Belanda tua di pusat kota, tepatnya di Jalan Riburane, dekat kawasan Pecinan yang ramai. Bangunan itu berdiri gagah namun usang, dengan fasad putih yang kusam dan jendela-jendela tinggi berbingkai kayu yang kini ditutupi debu tebal. Pintu utamanya, yang terbuat dari kayu jati kokoh, terasa berat dan seolah menyimpan ribuan cerita di baliknya.
Bangunan ini bukan sekadar properti; ia adalah sebuah artefak. Arsitekturnya unik, dengan langit-langit tinggi, lantai tegel motif vintage yang dingin, dan lorong-lorong panjang yang dipenuhi gema. Dulunya, menurut cerita para tetua di Pecinan, tempat ini adalah gudang rempah-rempah yang sangat aktif di era kolonial, pusat perdagangan komoditas berharga dari seluruh Nusantara. Bau cengkih, pala, merica, dan kopi pasti pernah memenuhi setiap sudutnya, bercampur dengan aroma keringat buruh dan desisan transaksi dagang. Sejarah yang kaya inilah yang menarik Citra, memberikan inspirasi bagi konsep kafe yang ia impikan: "Nusantara Roast & Rempah." Sebuah tempat yang akan merayakan kekayaan rasa dan warisan budaya.
Negosiasi sewa tidak mudah. Pemiliknya, seorang Tionghoa tua bernama Pak Lim, awalnya enggan menyewakan bangunan bersejarah ini kepada orang asing yang ingin mengubahnya. "Bangunan ini punya banyak cerita, Nona," katanya suatu sore, menyeruput teh melati. "Bukan sekadar dinding dan atap. Ada napas masa lalu di sini." Citra tersenyum, menganggapnya sebagai sentimen romantis. Ia menjelaskan visinya, berjanji akan menghormati arsitektur aslinya dan hanya menambahkan sentuhan modern yang minimalis. Akhirnya, setelah berminggu-minggu negosiasi yang alot, Pak Lim setuju, dengan syarat Citra harus "menjaga kehormatan bangunan ini."
Hari pertama renovasi dimulai dengan penuh semangat. Citra mengawasi sendiri setiap detail, dari pembersihan debu tebal yang menutupi setiap sudut hingga perbaikan atap yang bocor. Ia merekrut tukang-tukang lokal yang berpengalaman dalam menangani bangunan tua, memastikan setiap sentuhan restorasi dilakukan dengan hati-hati. Udara di dalam bangunan itu terasa lembap dan pengap, dipenuhi bau apak kayu tua dan lumut. Namun, bagi Citra, itu adalah bau sejarah, sebuah kanvas kosong yang siap ia isi dengan aroma kopi dan kehidupan baru.
Bagian yang paling ia nantikan adalah pemasangan alat roaster kopi barunya. Sebuah mesin raksasa dari Italia, berwarna stainless steel mengkilap, dengan tabung pemanas yang besar dan sistem pendingin canggih. Mesin itu tiba dengan truk besar dan harus dipasang dengan hati-hati di area belakang bangunan, yang akan ia jadikan dapur roastery utama. Suara mesin yang bising saat dihidupkan untuk pertama kalinya adalah musik bagi telinga Citra, sebuah melodi modern yang akan berpadu dengan bisikan sejarah.
Minggu-minggu pertama renovasi berjalan lancar. Aroma kayu segar dari perbaikan lantai ber...