Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Aroma Kayu
5
Suka
814
Dibaca

Aku pernah punya seorang gadis. Atau mungkin lebih tepat, dia yang pernah memiliki aku. Namanya tidak pernah kusebut dalam cerita ini. Mungkin karena dia tidak pernah benar-benar memberikannya kepadaku. Kami hanya saling mengenal sebatas kehadiran malam itu, sebuah fragmen dari waktu yang tidak ingin dipahami.

Perkenalan kami terjadi begitu saja. Sebuah malam di sudut kota, di sela tawa orang-orang yang terlalu keras dan musik yang terlalu pelan. Bar kecil yang nyaris tak memiliki papan nama, dindingnya diselimuti poster-poster tua, dan lantainya lengket oleh tumpahan malam-malam sebelumnya. Kami duduk bersebelahan di lantai karena semua kursi sudah penuh. Atau mungkin karena tidak ada satu pun dari kami yang ingin duduk terlalu tegak malam itu. Kami butuh sudut untuk melonggarkan napas.

Dia menawarkan seteguk dari sebotol raspberry wine yang sudah setengah kosong. Rasanya manis dan masam, seperti percakapan kami yang masih canggung namun terus mengalir. Kami bicara tentang musik. Lagu yang diputar saat itu, aku lupa apa judulnya, tapi kami sepakat itu tidak cocok dengan atmosfer bar yang murung. Entah mengapa, kami tertawa. Tawa yang tidak lama, tapi cukup untuk membiarkan rasa tenang merayap masuk.

Tak lama setelah itu, dia mengajakku ke kosnya. “Ada yang ingin kutunjukkan,” katanya sambil berdiri, menatapku dengan mata yang tak menunggu jawaban. Aku hanya mengangguk, setengah mabuk oleh buah merah itu, setengah lagi oleh sorot matanya yang menyimpan musim gugur.

Kos itu berada di lantai dua sebuah rumah tua. Tangga kayunya berderak pelan saat kami naik. Remang, sunyi, dan menguarkan aroma kayu yang menenangkan. Saat masuk, dia berkata dengan ringan, “Ini kayu jati. Bagus, kan?” sambil menatap lantai yang mengilap dalam cahaya lampu kuning temaram. Untuk sesaat aku merasa pernah ke sini. Bau lantai itu mengingatkanku pada kamar masa kecilku sebelum rumah itu direnovasi. Aneh, bagaimana aroma bisa menggerakkan memori yang terkubur begitu dalam.

Dia memintaku untuk tinggal. “Duduk saja di mana pun,” katanya sambil menyingkirkan beberapa buku dari permadani merah marun. Aku melihat sekeliling dan baru menyadari tidak ada kursi. Hanya ruangan kosong dengan karpet, beberapa tumpukan buku, dan angin malam yang menyelinap dari celah jendela. Sebuah lilin menyala di pojok ruangan. Dia tidak menyalakan kipas atau pendingin ruangan. Mungkin karena tidak suka suara mesin.

Aku duduk di permadani, menunggu waktuku, meneguk anggur dari botol yang dia bawa dari dapur. Dia mengingatkanku pada seseorang. Bukan wajahnya, tapi cara dia menyeka mulutnya setelah minum dari botol. Rapi, seperti sebuah upacara kecil. Setiap geraknya mengandung semacam keteraturan yang tidak dibuat-buat.

Kami berbincang, pelan, tanpa tergesa. Tentang bagaimana Shine On You Crazy Diamond terdengar seperti doa untuk orang yang sudah hilang. Tentang The Beatles yang katanya terlalu ceria untuk luka yang belum sembuh. Kami tak sepakat dalam banyak hal, tapi tetap bicara seolah malam itu tak akan habis. Aku mengamati gerak tangannya saat ia berbicara. Cara ia mengarahkan pandangannya ke sudut ruangan saat berpikir. Dia penuh dengan jeda yang tidak membuat jenuh.

Jam dua, dia bangkit dan berkata dengan suara pelan, “Aku harus kuliah pagi.” Lalu tertawa kecil, entah pada dirinya sendiri atau padaku yang hanya duduk diam dengan gelas di tangan. Tawa yang tidak keras, tapi cukup untuk menutup percakapan.

Aku bilang aku tidak kuliah. Tak ada jadwal. Aku bilang tidak ada yang menunggu. Itu bohong, tentu saja. Tapi kebohongan kecil itu terasa ringan di mulut, seperti udara malam yang kuhirup. Dia hanya mengangguk, tanpa bertanya lebih jauh. Lalu masuk ke kamarnya dan menutup pintu tanpa suara. Aku mendengar kayu jati itu berderak pelan saat dia melangkah pergi. Suaranya seperti napas seseorang yang ditahan, diam-diam menahan sesuatu yang tak terucap.

Aku menarik jaketku dan pelan-pelan merangkak ke kamar mandi. Lantainya dingin tapi bersih. Tidak ada banyak barang. Sebotol sabun, sebuah sikat gigi, dan handuk abu-abu tergantung di belakang pintu. Aku tidur di sana, dengan botol anggur yang belum habis dan pikiranku yang mulai kabur. Cahaya dari celah pintu kamar menyusup ke keramik. Aku membiarkannya menimpa wajahku, seperti lampu panggung bagi seseorang yang tak sedang tampil.

Ketika aku terbangun, dia sudah tidak ada. Sunyi. Meja kosong. Gelas kosong. Tidak ada aroma sarapan, tidak ada suara air mengalir. Dia hanya pergi, meninggalkan jejak hangat di udara yang perlahan mendingin, tapi tidak meninggalkan arah. Aku bangkit, duduk kembali di permadani, menyalakan sebatang rokok dari saku jaketku. Asapnya naik, rapuh, seperti sebuah janji yang tak pernah diucapkan. Rokok itu terbakar sedikit demi sedikit, meninggalkan abu dan ruang kosong yang terasa lebih nyata dari apa pun yang tertinggal.

Aku menatap jendela. Ada embun di sana, dan siluet pohon yang tampak seperti bayangan orang tua berdiri termenung. Dalam pantulan kaca, aku melihat diriku sendiri. Lelah, asing, tapi entah mengapa tidak ingin pergi. Seakan ruang itu menyimpan sesuatu dariku, atau sebaliknya.

Aku membuka pintu kamarnya. Tidak ada apa-apa. Tempat tidur rapi, seakan tidak pernah digunakan. Tidak ada foto, tidak ada catatan kecil, hanya satu buku catatan di laci yang isinya halaman kosong. Tidak ada jejak nyata bahwa dia pernah tinggal di sana. Kecuali aroma kayu itu yang masih menggantung, mengambang seperti sesuatu yang tertinggal namun tidak bisa disentuh.

Beberapa malam setelahnya, aku kembali ke bar tempat kami pertama kali bertemu. Duduk di sudut yang sama, dengan musik yang tetap terlalu pelan dan tawa yang masih terlalu keras. Aku memesan raspberry lagi, tapi rasanya berbeda, terasa kurang masam, atau mungkin terlalu manis. Tak ada lagi percakapan canggung, hanya sepi yang terus mengalir seperti botol yang perlahan kosong.

Seminggu kemudian, iseng aku lewat di depan kos itu. Jendelanya terbuka, tapi tak ada siapa-siapa di dalam. Permadani itu sudah tidak ada lagi. Lantai kayu jatinya yang telanjang tampak basah oleh sisa hujan semalam. Aroma tanah dan kayu basah menyatu di udara, menampar hidungku dengan lembut seperti kenangan yang enggan pergi.

Bukankah itu kayu jati yang bagus?

Ada sesuatu yang hilang malam itu. Tapi terlalu kecil untuk diberi nama, terlalu sunyi untuk dicari kembali. Mungkin bukan kehilangan. Mungkin hanya pergantian musim yang terlalu pelan untuk disadari. Tapi sejak itu, aku tak bisa tidur nyenyak tanpa mencium aroma kayu. Sebab dalam wangi itu, ada ruang yang kosong namun hangat. Ada suara tawa yang tidak keras tapi cukup. Dan ada seorang perempuan yang mungkin tidak pernah benar-benar ada.

Atau mungkin, aku saja yang terlalu ingin percaya bahwa ada yang tinggal.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Aroma Kayu
m aziz khulaimi hasni
Cerpen
Bronze
Bingkai Tak Berujung
Jasma Ryadi
Cerpen
Sibuk sedang Beristirahat
zain zuha
Cerpen
Lima Kelopak di Taman yang Layu Sebelum Mekar
Nuryanti
Cerpen
Bronze
Di Bawah Tebing Terjal Pemanjatan
Ismail Ari
Cerpen
Bronze
Andai Ayah Tak Begitu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Harta Karun Pembawa Malapetaka
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Sejenak Rindu Pada Sastrawan Hujan Bulan Juni
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Cahaya di Tengah Badai
Kinanti fujiyani
Cerpen
Ssstttt..Jangan Berisik!!!
Khairaniiii savira
Cerpen
Bronze
Bidadari yang Bergoyang
Yuisurma
Cerpen
Bronze
Uang-uang yang Tercecer di Jalan
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Harapan dari Sepiring Nasi
Saifoel Hakim
Cerpen
Bronze
Magdhalena dan Topengnya
ANINZIAH
Cerpen
Bronze
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Aroma Kayu
m aziz khulaimi hasni
Cerpen
Seorang Pria yang Terlupakan
m aziz khulaimi hasni