Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang ksatria mana yang melarikan diri dari perang? Seorang ksatria mana yang takut akan keberanian musuh hingga akhirnya bersembunyi di hutan belantara? Dengan kaki yang terseok, kupaksakan tubuh ini untuk terus berlari. Pedang yang melambangkan kehormatan para ksatria Armaghan kini tak ada harga dirinya lagi lantaran kubuat sebagai pengganti tongkat jalan.
Aku tidak peduli pada apapun kecuali nyawa yang bahkan tidak lebih berharga dari prajurit-prajurit lainnya—setidaknya mereka memiliki seseorang yang menangisi kematian mereka, sedangkan kematianku adalah hal yang paling dinantikan oleh kerajaan. Tak ada pilihan lain selain menangisi diriku sendiri yang bahkan tidak bisa berbuat apa-apa pada perintah Ayahanda.
“Argh!”
Aku merintih ketika rasa sakit itu menjalar lebih menyakitkan dari sebelumnya. Telapak kaki kanan yang semula bisa kulihat saat menundukkan kepala, kini hanya bisa terlihat saat aku membalikkan wajah.
Menahan kengerian itu, aku buru-buru mendekat ke sebuah pohon paling rindang dan merebahkan diri di sana. Ketika kerajaan tahu perihal kondisiku, mungkin saja kakiku langsung dipotong lalu aku akan dibuang dari Armaghan. Sejarah tentangku akan terhapus begitu saja dan aku menjadi pahlawan yang terlupakan. Aku segera menggeleng. Tidak ada gunanya memikirkan masa depan yang belum tentu akan terjadi. Saat ini, setidaknya aku masih belum mau mati. Kuangkat perlahan kaki kananku. Sial! Rasa sakitnya semakin tak tertahankan. Aku berteriak keras karena rasa sakit itu, mengundang beberapa makhluk di sekitar hutan yang penasaran.
“Siapa?”
“Manusia?”
Mereka saling berbisik namun enggan mendekat. Kurasa mereka terlalu takut dengan orang asing yang berteriak begitu kerasnya. Aku pun tidak peduli selama mereka tidak menggangguku. Saat ini yang harus kulakukan adalah menghentikan perdarahan pada betisku tanpa membuat pergeseran engsel pergelangan kakiku lebih buruk.
“Mengapa seorang ksatria bisa ada di tempat terpencil seperti ini?”
Pertanyaan dari suara seringan hempasan angin itu seakan merayu telingaku untuk menoleh padanya. Pada sosok yang bercahaya dengan rambut bergelombang menjuntai hingga betis, hampir menutupi seluruh tubuhnya. Ia mendekat kepadaku yang terpaku akan sosoknya yang mempesona.
“Oh! Sang Ksatria yang terluka.” Aku bisa menangkap keterkejutan dari nadanya bicara.
Ia bersimpuh untuk melihat luka di kakiku lebih dekat. “Itu terlihat menyakitkan. Apakah sesakit itu?”
Matanya yang sebersinar pualam zamrud menatap mataku, membuatku tergagap. Entah kemana perginya rasa sakit yang kurasakan sebelum bertemu dia. Untuk apa aku berteriak seheboh itu hanya karena luka sekecil ini?
“I-itu tidak seberapa….” Aku meringis mencoba mengumpulkan sisa-sisa jiwa kegagahan ksatriaku.
“Tapi darah terus mengalir keluar….” gumamnya.
Kuperhatikan kulitnya yang seputih susu, bulu mata peraknya yang lentik, hidungnya yang terpahat indah, hingga bibir penuhnya yang ranum. Rasanya enggan untuk melewatkan setiap detail dari parasnya itu. Jika dia adalah malaikat pencabut nyawa, aku rasa tidak masalah jika aku mati di tangannya. Toh kaki kananku sudah mati rasa. Hawa dingin kian menusuk kulitku. Akan indah rasanya jika pemandangan terakhir sebelum kematianku adalah dirinya. Aku menarik sudut bibirku membentuk senyuman, sementara suara seringan hempasan angin itu kian menjauh dari pendengaran. Penglihatanku mulai kabur, menyisakan cahaya putih yang perlahan menggelap.
“Manusia lemah.”
“Benar, ksatria lemah.”
Bisikan-bisikan itu membuyarkan ketenangan alam bawah sadarku. Perlahan aku membuka mata yang langsung diserbu oleh silaunya cahaya matahari. Memicingkan mata sejenak, kukira aku sudah di alam baka jika saja tak melihat dahan-dahan pohon berayun sejauh mata memandang. Kicauan burung dan gemericik air terdengar, rerumputan yang dirasa oleh indra membuatku tersadar. Aku masih hidup.
Kutegakkan bahu untuk beranjak dari pembaringan, membuat makhluk-makhluk hutan yang sedari tadi berbisik kucar-kacir menjauh dan bersembunyi di balik pepohonan. Kakiku sudah tak terasa sakit lagi. Sudah bisa kugerakkan dengan normal bak sebuah keajaiban. Perdarahannya pun sudah berhenti. Aku berdiri, berjalan sebentar untuk memastikan bahwa kakiku sudah benar-benar sembuh.
“Waahh!” Aku berseru.
Bukankah ini benar-benar keajaiban? Kakiku kembali seperti sedia kala. Rasanya bagaikan terbangun dari mimpi buruk.
Kususuri pandangan ke sekitar. Kurasa ini tempat yang berbeda dari tempat di mana aku tak sadarkan diri. Tempat ini jauh lebih terbuka dari sebelumnya, dengan rerumputan hijau menyelimuti tanah hutan serta pohon-pohon dengan batang yang tidak terlalu menjulang.
“Bagaimana aku bisa ada di sini?” gumamku yang lebih mirip seperti bisikan.
“Para Sattya itu yang membantuku untuk membawamu kesini.”
Mendengar jawaban dari suara yang familiar itu membuatku menoleh ke asal suara. Kudapati ia, wanita yang sebelumnya kulihat, tengah membelakangiku duduk di tepi hulu sungai. Aku menghampirinya.
Ia tampak sangat fokus pada apa yang sedang ia kerjakan. Aku yang penasaran mengintip dan terpaku ketika benar-benar melihat keajaiban itu dengan mata kepalaku sendiri. Ia menutup luka pada perut burung merpati yang ada di tangannya bagaikan menyulam sebuah sapu tangan. Luka itu perlahan tertutup setelah benang-benang perak dari tangannya selesai menjahit. Perlahan merpati yang semula lemas tak berdaya dengan darah di sekujur tubuhnya kembali berdiri.
Merpati itu berkicau antusias saat tubuhnya kembali putih bersih tanpa noda merah, lalu menunduk kepada sang wanita sesaat sebelum akhirnya terbang bebas. Saking terkejutnya, aku bahkan tidak bisa mencerna apakah aku masih di alam mimpi atau tidak setelah melihat dia, dengan tangan ajaibnya mampu menyembuhkan merpati yang hampir mati.
“Semakin lama, semakin banyak burung-burung yang terkena sasaran akibat peperangan itu,” ujarnya memperhatikan darah yang tertinggal di busur panah yang ia genggam.
“Apa Sang Ksatria tidak tahu?”
Ia menoleh padaku, bukan menuntut jawaban akan tetapi menuntut pembenaran.
Detik itu aku melupakan semua pertanyaan di kepalaku mengenai keanehan sejak aku bersembunyi di hutan Gunung Vechen, apa yang baru saja ia lakukan atau siapa dirinya. Bagaimana aku bisa tidak tahu, akulah yang memimpin pasukan itu untuk menyerang Negeri Urvarath atas perintah kerajaan. Akulah yang bertanggung jawab atas misi ekspansi militer ini demi kemakmuran masyarakat Armaghan. Namun, aku juga yang melarikan diri dari pasukanku dan bersembunyi di Gunung Vechen ketika melihat raut wajah Prajurit Urvarath yang bersiap membunuhku apa pun yang terjadi.
Meski tujuannya gagal, keberhasilannya mematahkan kakiku membuat nyaliku ciut. Padahal ia hanya prajurit biasa berpangkat rendah, mengapa ia tidak takut menghadapi Ksatria Armaghan yang telah menaklukkan ujung dunia timur? Apa yang membuatnya seberani itu untuk membunuhku? Bahkan aku yang seorang pemimpin pasukan ini lebih memilih lari untuk menyelamatkan nyawaku sendiri, daripada mati sia-sia melindungi kehormatan Armaghan dan pasukanku. Apalah artinya nyawa seekor burung jika aku saja tidak bisa menghargai nyawa prajurit-prajuritku?
“Urvarath adalah tanah yang dicintai Ibu Ghaia, jika Sang Ksatria tidak tahu.”
Aku tahu. Tentu saja aku tahu. Negeri Urvarath terkenal akan kesuburannya, berbagai variasi makhluk ciptaan-Nya yang bersembunyi di antara hutan dan pegunungan, serta energi spiritual melimpah yang dibutuhkan oleh penyihir manapun. Negeri itu bak diurus sendiri oleh tangan Dewi Bumi, seakan-akan Dewi Bumi telah menjamin kemakmuran mereka. Bagaimana mungkin kami bisa mengalahkan negeri yang menjadikan dewa-dewi sebagai pawangnya? Meski aku tidak percaya pada legenda dewa-dewi itu, kehadiran sosok di hadapanku adalah bukti nyata bahwa aku harus segera menyerah.
Namun aku terlalu takut untuk kembali. Melanjutkan pertarungan sampai tetes darah penghabisan atau menarik mundur pasukan sama-sama berarti bunuh diri. Pilihannya hanya dibunuh oleh musuh atau dipenggal oleh rajaku.
“Namun, meski Negeri Urvarath adalah negeri yang dicintai Ibu Ghaia, kami tidak bisa ikut campur atas pertarungan yang terjadi. Kami tidak mengenal norma-norma yang manusia anut karena sejatinya kami tidak merasakan perasaan seperti itu. Kami tidak menilai manusia atas sifat jahat atau baiknya mereka, melainkan tingkat vibrasi atas ambisi mereka. Kemenangan dan kekalahan adalah milik seseorang yang tidak menyerah. Para uskup memiliki keinginan kuat untuk melindungi tanah yang dicintai para Dewi, sedangkan Armaghan memiliki harga diri yang kuat akan kekuasaan yang mereka yakini. Entah siapa yang paling ambisius tentang itu, tampaknya takdir belum mau memutuskan. Namun karena Sang Ksatria di sini, apakah sebentar lagi kemenangan akan terungkap?”
“Jika aku menyerah, itu sama saja dengan kalah.” Mungkin itu maksud dari pernyataan Dewi barusan.
Aku menghela napas. Sejenak aku merasa lega jika mereka tidak ikut campur urusan kami. Kurebahkan diriku di rerumputan yang hangat. Aku tahu, cepat atau lambat aku harus kembali ke pasukanku, dan menyelesaikan peperangan yang sudah berlangsung sepanjang tahun ini. Namun, aku masih belum menemukan alasan mengapa aku harus menyerang Negeri Urvarath yang memiliki tempat seindah ini. Semakin memikirkannya semakin aku tidak ingin menyerangnya.
“Kau tanpa sadar telah ikut campur urusan kami,” ungkapku ketika sadar jika Dewi di hadapanku inilah yang membuatku semakin bimbang. Aku tidak diperbolehkan menyerah tetapi tidak juga diperbolehkan merusak tempat kesukaannya.
Dewi itu menyeringai, pikirnya aku tidak akan menyadari maksud terselubung itu.
“Apakah Sang Ksatria tahu kisah tiga dewi yang diyakini masyarakat Urvarath?” tanyanya.
Aku mengangguk. Sekilas aku tahu kisah itu, tentang tiga dewi bersaudara yang mengurus Negeri Urvarath. Dewi tertua adalah Dewi Hukum, yang mengatur karma atas perbuatan manusia, manusia yang memiliki ambisi besar maka harus menyerahkan pengorbanan yang besar pula. Itu merupakan timbal-balik yang pantas demi menjaga keseimbangan. Dewi itu sang penunggang Sattya berwujud singa. Dewi selanjutnya adalah Dewi Waktu, yang mengatur dimensi kehidupan sebelumnya, kehidupan saat ini, dan kehidupan di masa mendatang. Dewi itu sang penunggang Sattya berwujud serigala. Terakhir, Dewi—
“Akulah si bungsu, Dewi Kesuburan. Tidak seperti saudari-saudariku, aku bisa turun ke bumi sesuka hati, bermain bersama para Sattya dan memperhatikan manusia dari jauh. Menurut mereka aku sangat mirip dengan Ibu Ghaia yang terkasih. Aku memberikan kesuburan pada tanah mereka, memberikan hujan dan kehidupan baru bagi pasangan yang jatuh cinta. Itu satu-satunya perasaan yang bisa aku pahami, walaupun aku tidak pernah merasakannya.”
Penjelasannya membuatku terpaku. Meski aku sudah menyadari hal itu sejak awal, aku tidak menyangka ia akan mengungkapkannya sendiri, dan mengetahui jika dugaanku benar malah membuatku semakin merinding. Aku beranjak dari pembaringanku untuk berlutut di hadapannya, setidaknya aku harus memperlihatkan penghormatan kepada Dewi yang dianggap agung oleh masyarakat Urvarath. Namun, Dewi Kesuburan itu mendorong dadaku dengan kuat, menahanku agar tak beranjak dari pembaringan.
“Maaf Dewi tapi ….”
Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku. Degup di jantungku semakin cepat memasok darah hingga kepala. Wajahku memanas. Aku yakin warnanya juga sudah semerah tomat.
“Ah, maaf! Aku tahu Sang Ksatria ingin melakukan apa, dan aku tidak membutuhkan hal itu. Aku senang bisa berbincang banyak dengan manusia yang tidak takut akan keberadaanku.”
Sang Dewi beranjak menjauhiku. Ia membalikkan tubuhnya hingga yang bisa kulihat hanyalah rambut perak bergelombangnya yang tertiup angin. Dari rerumputan muncul bunga-bunga aster yang bermekaran. Para makhluk hutan yang ia sebut Sattya terkikik senang dari balik pepohonan, sibuk memetik bunga yang tiba-tiba merekah.
Langit perlahan berubah jingga seiring dengan matahari yang menyampaikan salam perpisahannya. Cahaya mentari menerpa Sang Dewi, mengubah warna perak di rambutnya menjadi keemasan. Aku mendekat.
“Ilyas,” ujarku tanpa sadar yang membuat Dewi Kesuburan itu menoleh menatapku.
Wajah itu kian menawan setelah diterpa cahaya keemasan dari sang mentari, membawaku terpikat hingga tanpa persetujuan-Nya meraih tangan suci Dewi Kesuburan untuk kukecup.
“Panggil aku Ilyas, Sang Dewi.”
Aku memberikan penghormatan tertinggi sebagai Ksatria Armaghan kepada Dewi milik musuh itu dengan menyerahkan tangan yang hanya pernah memegang pedang semasa aku hidup.
Para Sattya keluar dari tempat persembunyiannya sembari melantunkan simfoni indah yang baru pertama kali kudengar. Mereka memasangkan mahkota karangan bunga ke kepalaku.
“Masyarakat Urvarath menganggap Sattya adalah makhluk suci karena dari makhluk itulah kami mengangkat tunggangan kami. Ibu Ghaia menciptakan mereka bersamaan dengan penciptaan kami, sang manusia pertama. Lalu ketika kami bertiga lahir, manusia setelahnya terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang lebih lemah. Pada akhirnya mereka lah yang disebut manusia, sedangkan kami bertiga diangkat menjadi Dewi dan dibawa ke Langit Svarg. Namun kami masih memiliki hawa nafsu dan itu membuat kami menderita, sehingga Ibu Ghaia dan kami turun untuk mencari tunggangan. Mereka yang menjadi tunggangan kami harus menampung semua hawa nafsu itu, perasaan sedih, marah, atau dendam dilahap oleh mereka sehingga kami tidak perlu menderita dan dapat menyelesaikan tugas kami dengan baik.”
Aku mendengarkan dengan saksama, masih menebak-nebak maksud dirinya menceritakan semua hal itu. Jujur saja hal ini sangat sulit untuk kupercaya.
“Beberapa manusia memergoki kami yang tengah melakukan upacara pengangkatan itu, dan mereka lari terbirit-birit melihat sesuatu yang tidak wajar. Sebagian dari mereka memutuskan untuk menyangkal kehadiran kami, sebagian yang lain menerimanya dan membual kisah tentang kami, membuat negeri di mana kami dan para Sattya sangat dihormati dan diimani, Negeri Urvarath. Mereka yang menyebut diri mereka uskup membangun kekuasaan tertinggi melebihi para bangsawan dan keluarga kerajaan. Kuakui mereka cukup cerdik meski lebih lemah dari para Sattya. Lalu entah sejak kapan dunia permukaan kini seakan terpisah menjadi dua bagian. Para Sattya tanpa sadar selalu bersembunyi dari manusia dan para manusia enggan untuk menginjakkan kaki ke tempat Sattya tinggal.”
Dewi itu membawaku masuk kembali ke dalam hutan ketika langit sudah sepenuhnya gelap. Para Sattya masih melantunkan simfoni indah itu mengikuti langkah Sang Dewi pergi. Beberapa dari mereka mengeluarkan api biru dan terbang mengitari kami. Cahaya mereka bagaikan pernak-pernik lampu hias di ruang dansa istana.
“Aku berpikir bukankah dunia akan lebih indah jika manusia dan Sattya saling bekerja sama? Manusia akan membutuhkan Sattya untuk melindungi keselamatan mereka sementara itu Sattya dapat merasakan peradaban maju yang dibangun oleh manusia. Mereka bisa saling melengkapi seperti halnya aku dan tungganganku. Bukankah akan menyenangkan melihat mereka hidup saling bahu-membahu seperti itu? Aku akan sangat bahagia jika dunia itu terwujud.”
Binar mata Sang Dewi terpancar keindahan yang mengalahkan indahnya cahaya biru dari para Sattya. Ia tampak begitu antusias menceritakan dunia yang diimpikannya. Aku tersenyum melihatnya yang sangat anggun berputar mengelilingi tubuhku.
“Dan dunia itu hanya bisa terwujud jika Armaghan berhasil mengalahkan Urvarath dan mengambil alih tanah yang kau kasihi ini. Itu sebabnya kau datang padaku.”
Sang Dewi tersenyum lebar hingga barisan giginya terlihat, “benar, Ilyas,” akunya.
Jantungku berdesir mendengar Sang Dewi memanggil namaku untuk pertama kalinya. Cahaya-cahaya dari api biru serta lantunan simfoni dari para Sattya menambah aura romantisme di antara kami. Ia menggapai kedua tanganku yang kasar lalu menuntunku untuk berputar mengikuti irama musik.
“Aku pernah melihat manusia itu menari berpasangan. Kurang lebih seperti ini,” ujarnya.
Namun kurasa ada yang salah dari langkahnya sehingga aku memutar kendali untuk menuntunnya ke langkah yang benar. Beberapa kali ia menginjak sepatuku akan tetapi bukan rasa sakit yang kurasakan melainkan kebahagiaan yang sangat besar.
Aku meraih pinggangnya, lalu ia melingkarkan lengannya di leherku. Dengan begitu aku bisa lebih memperhatikan iris sehijau zamrud miliknya yang bulat, terbingkai oleh bulu mata peraknya yang lentik. Aku memelankan ritme tarianku agar bisa menikmati keindahan parasnya di bawah sinar rembulan, dikelilingi oleh cahaya Sattya.
Dalam hati aku bertekad untuk menang bagaimanapun caranya. Aku akan membangun negeri di mana para Sattya dan manusia hidup berdampingan, saling bahu-membahu, dan berbagi perasaan yang sama, seperti keinginan dewiku.
“Aku menyerahkannya kepadamu, Ilyas, sang ksatriaku.” Begitu ujarnya sebelum mengecup halus keningku.
Suaranya itu membuat saraf di otakku melemah, tanpa memikirkan apa pun aku berbisik, “Serahkan semuanya kepadaku, dewiku.”
Maka setelah malam itu, ketika Sang Dewi kembali ke Langit Svarg, sebelum matahari terbit, aku turun ke kaki Gunung Vechen untuk kembali bergabung bersama pasukanku.
“Bukankah itu Sang Ksatria??”
“Sang Ksatria masih hidup?!”
“Sang Ksatria!! Lambang kekuatan Armaghan!!”
Mereka yang melihatku turun dari lereng gunung berseru meneriakkan namaku. Semangat mereka kembali. Hanya dengan kehadiranku saja, mampu mengubah atmosfer di antara mereka yang semula penuh kepasrahan menjadi penuh keyakinan. Aku yang dilambangkan kekuatan oleh Kerajaan Armaghan menjelma sebagai harapan atas kemenangan yang kian jauh dari pandangan.
“JANGAN MENYERAH!!”
Aku berseru ketika sudah mengeluarkan pedang dari sakuku.
“Apa kalian lupa siapa kita?! SIAPA KITA??!!”
“KITA ARMAGHAN!! PASUKAN YANG TAK PERNAH KALAH DALAM PEPERANGAN!!”
Teriakanku membangkitkan semangat juang para prajurit yang semula luntur. Kini hanya ada seruan-seruan prajurit dan desingan pedang-pedang kami yang saling beradu.
“Tembus pertahanan mereka!” seruku.
Ketika pertahanan mereka terbuka lebar, aku dapat melihat wajah Raja Urvarath yang berubah pucat pasi. Aku bergerak cepat mendekatinya, menghalangi prajurit musuh yang ingin melindunginya. Ketika kami saling berhadapan, kulihat sekujur tubuhnya yang sudah gemetaran. Dengan ambisiku yang begitu besar, ini tampak mudah. Aku menyeringai. Tujuan seakan sudah di depan mata. Ketika aku mengangkat pedangku tinggi-tinggi, Raja itu malah menjatuhkan pedangnya, satu tangannya ia angkat memperlihatkan telapak tangan, sebelah tangannya yang lain mengibarkan sapu tangan putih tanda menyerah. Sontak semua prajuritnya menjatuhkan senjata mereka dan bersimpuh di hadapan kami.
Waktu seakan berjalan lambat dengan pedang yang masih menggantung di udara. Pikiranku diberatkan oleh dua pilihan: memenggal kepalanya saat itu juga atau memberi belas kasih kepadanya yang sudah mengaku kalah. Sekali lagi aku mengingat belas kasih dari dewiku yang menyelamatkanku diambang kematian sehingga aku menurunkan pedangku kemudian berbalik menatap para prajuritku yang masih menunggu perintah.
Aku mengepalkan tangan ke udara, sontak seruan atas kemenangan terdengar memekikkan telinga. Mereka tertawa lebar atas kemenangan yang sudah berkali-kali kami capai. Seakan semesta ikut merayakan pencapaian kami kali ini, kemenangan yang kami raih disambut oleh terbitnya sang surya.
Aku mendongak menatap langit fajar. Semoga dewiku mengetahui kabar ini di atas sana dan ikut bahagia. Namun, belum sempat beberapa jam berlalu dari kemenangan kami, aku mendengar hunusan pedang yang tertancap tepat di dadaku. Seketika aku ambruk, menatap genangan darah yang mengalir keluar dari tubuhku.
“Sampai kapanpun kami tidak akan menyerahkan tanah Urvarath yang suci ini kepada kalian para penjarah!”
Seruan dari Raja Urvarath itu membangkitkan kembali pertarungan yang sempat terhenti. Desingan pedang kembali terdengar, sedangkan aku hanya bisa menatap debu dari kaki-kaki mereka. Aku terbatuk. Apakah ambisiku kurang kuat dari ambisi mereka? Tidak. Aku tidak perlu menilainya. Aku hanya harus membuktikannya. Aku bisa merebut kembali kemenangan ini. Kami bisa melakukannya, karena … kami adalah Armaghan. Pasukan yang tak terkalahkan.
Aku mengatur napas agar lebih panjang. Kupaksakan diriku untuk bangkit. Aku tidak ingin menyerah untuk kedua kalinya. Dewi Kesuburan itu mengandalkanku. Hanya aku yang bisa mengubah tanah Urvarath menjadi seperti apa yang Sang Dewi mau. Sattya … dan manusia … harus hidup bersama.
Ketika aku sibuk akan pertahanan terakhirku, cahaya yang menyilaukan menerpa penglihatanku. Apakah matahari seterik ini? Tepat di depanku, seekor harimau putih mengaum, menghentikan pedang yang tengah beradu hingga menjadi sunyi. Pikiranku mulai kacau. Bahkan aku berhalusinasi tentang binatang buas.
Kurasakan tetesan demi tetesan air di wajahku. Kudengar seseorang yang terisak di dekatku. Aku menoleh ke asal suara itu dan mendapati binar pualam zamrud itu berlinang air mata. Binar dari sepasang mata yang kusukai. Aku tertawa getir.
“Kau berbohong kepadaku. Katanya Dewi tidak merasakan kesedihan,” ungkapku.
Ia menggeleng. “Aku tidak tahu. Ini pertama kalinya bagiku. Ksatriaku … mengapa kesedihan rasanya sesakit ini? Padahal dadamu yang terhunus pedang, tetapi mengapa dadaku yang merasakan sakitnya?”
Tangannya yang hangat membawaku ke pangkuannya. Ia memelukku seerat yang ia bisa. Aku memejamkan mataku merasakan kebahagiaan yang sangat mahal harganya. Tak kusangka kami bisa berada sedekat ini.
“Jangan menangis dulu, perang belum berakhir. Aku akan memastikan kemenangan itu, dan menciptakan dunia yang kau impikan.”
Tanganku bergerak untuk menghapus air matanya. Ia kembali menggeleng.
“Tidak!! Aku sudah tidak menginginkan hal itu lagi. Apa gunanya dunia itu tanpa kehadiranmu. Ilyas, ksatriaku … katakan apa yang kau butuhkan, aku akan memberikannya. Aku akan memberikan semuanya. Kekuatanku, hidupku, duniaku … aku akan menyerahkannya kepadamu.”
Tubuhnya semakin lama semakin bercahaya lalu berubah menjadi pecahan partikel-partikel kecil hingga suaranya terdengar samar. Rasa sakit yang kurasakan sebelumnya berangsur hilang.
“Dewi? Mengapa tubuhmu jadi seperti ini?” Aku bertanya panik. Apa yang sebenarnya dia lakukan?
“Ilyas ksatriaku, ternyata aku baru ingat. Perasaan ini, perasaan yang manusia sebut sebagai cinta, bukan? Perasaan yang selama ini terkurung pada tungganganku, kini kembali kepadaku. Ksatriaku … perasaan ini begitu menyakitkan, akan tetapi sangat membahagiakan di sisi yang lain. Aku kini mengerti mengapa perasaan ini sangat dilarang untuk kami, karena jika kami merasakannya, kami dapat mengorbankan apa pun demi orang yang sangat kami cintai.”
Pedang yang tertancap di dadaku hilang begitu saja, pendarahanku juga berhenti. Aku segera duduk sebelum lukaku benar-benar sembuh dan memeluk cahaya di hadapanku erat.
“Jangan! Jangan korbankan apa pun. Jangan korbankan dirimu, bagaimana jika Ibu Ghaia tahu jika kau melanggar batasan-Nya?!”
Dadaku mulai sesak. Bukan. Bukan karena luka hunusan pedang dari Raja Urvarath. Sakit itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sesak yang kurasakan ketika menduga apa yang akan terjadi pada dewiku ini.
“Ilyas, ksatriaku,” panggilnya dengan penuh kasih sayang.
Aku mulai terisak. “Jangan,” rintihku.
“Jaga Urvarath untukku. Aku … mencintaimu,” ujarnya sebelum benar-benar berubah menjadi butiran cayaha yang masuk ke dalam tubuhku.
“Dewi ….” Aku tergugu hingga matahari mencapai puncaknya.
Harimau putih itu menunduk kepadaku, memberikan penghormatan.
“I-itu … tunggangan Dewi Kesuburan!”
Seruan dari para prajurit Urvarath membuatku tersadar. Kini kami masih berada di tengah pertempuran. Namun yang kulihat selanjutnya adalah mereka yang bersujud di hadapanku, mengelu-elukan julukanku “Sang Ksatria yang Dikasihi Dewi Kesuburan” dan merintih memohon ampun.
Aku menatap tunggangan Dewi Kesuburan, Sattya yang berupa harimau putih.
“Kau tidak perlu menghormatilu juga,” ungkapku.
“Tidak. Saat ini kau adalah penguasa Urvarath sekaligus pelindung bangsa kami, Sattya. Di dalam dirimu tersemat kekuatan dewiku. Jadi, aku harus menghormatimu sebagai tuanku yang baru.”
Aku terdiam mendengar penjelasannya. Dunia yang diimpikan Sang Dewi akan segera terwujud tetapi aku kehilangan cahayaku dan saat itu juga ada lubang di hatiku yang tidak bisa disembuhkan oleh siapapun … sampai kapanpun.