Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sekali lagi aku ada di sini, tempat yang belakangan selalu kulihat ketika tidur. Awalnya kukira hal tersebut wajar, mimpikan sifatnya random, namun lama-kelamaan semua terasa janggal. Tell me! Jika ini hanya sekadar mimpi lalu kenapa semua tampak begitu nyata, aku bahkan dapat mendengar detak jantung dan suara napasku.
Namaku Qeiza dan selama 17 tahun hidup di dunia yang bernama bumi, ini adalah kali pertama aku mengalami hal ganjil tentang mimpi. Tempat yang kusinggahi juga membingungkan, bukan karena ada monster atau makhluk-makhluk mitologi menyeramkan di dalamnya.
Sungguh bukan itu yang membuatku kebingungan, tapi orang-orang dan semua tempat di sekitar tampak berwarna kelabu, tak ada warna lain. Bahkan matahari tidak terlihat di mana pun seolah-olah ia enggan untuk menyambangi tempat ini, meski begitu keadaan kota tidaklah gulita, entah dari mana mereka mendapat sumber penerangan.
Jika tidak salah ingat, aku mulai datang ke sini sejak sebulan terakhir, setidaknya sudah 3 kali aku datang ke sini, terhitung dengan sekarang. Dulu saat pertama kali mendapat mimpi ini, aku sangat panik karena tempatnya benar-benar asing, belum lagi hal yang membuatku ketakutan adalah tak ada seorang pun yang tahu tentang kota yang sedang kami pijaki. Aku tahu ini kota, karena tempatnya tidak tampak seperti hutan belantara.
Maka dikesempatan ke-2, aku memutuskan untuk bertanya lagi pada orang-orang disana tentang kota itu, tapi hasilnya tetap nihil. Yang lebih aneh lagi orang-orang di sana bahkan tidak pernah terlihat tersenyum. Wajah mereka selalu penuh dengan kesedihan, bahkan cara bicara mereka terdengar aneh sekali, seolah-olah mereka nyaris tak pernah mengeluarkan suara selama ini. Agak mengerikan mendengarnya, tapi aku selalu menampilkan senyum sebagai tanda kesopanan, atau setidaknya itulah yang kukira
Aku berkeliling dan menanyai setiap orang di sekitar tempat, yang akhirnya kuketahui semacam alun-alun kota. Anehnya tak ada satupun anak-anak di sini, hanya ada orang dewasa yang mungkin berusia sekitar 20 tahun keatas. Setelah banyaknya waktu yang kulalui untuk menjelajah, entah dari mana tiba-tiba saja ada yang menghantam kepalaku. Itu merupakan pukulan keras, sebab suara yang dikeluarkan sangatlah nyaring.
Hei siapapun itu, yang benar saja! Kepalaku sakit tahu, ya ya aku tahu ini mimpi tapi rasa sakitnya sungguhan nyata. Mimpi macam apa sih ini? Belum selesai mengomel, monolog kejengkelanku berakhir begitu saja seiring dengan warna hitam yang kian mendominasi kesadaran.
Sampai saat aku membuka mata, hal pertama yang terlihat adalah silaunya layar televisi, ah benar aku ingat, tak sengaja jatuh tertidur saat sedang menonton di ruang tengah. Yang tadi hanyalah mimpi- batinku sesaat setelah mengumpulkan sisa kesadaran yang sempat tercecer.
*
*
*
Di kunjungan kali ini, aku memutuskan untuk berhenti bersikap ¹denial. Berbeda dari kemarin yang mana aku hanya menanyakan tentang tempat yang sedang kupijaki, sekarang aku lebih ingin tahu seberapa berbeda kota di sini dengan bumi. Di mulailah penjelajahanku dari alun-alun kota, karena setiap kesini aku selalu muncul di sana.
Aku kemudian berjalan lurus menuju gerbang keluar, lalu belok ke kiri untuk bisa keluar dari sini, bagaimana aku bisa tahu? Nah kerennya, tempat ini punya semacam petunjuk jalan yang sebenarnya tertulis dalam bahasa yang aneh, namun entah bagaimana dapat kumengerti maksudnya. Baiklah tak usah dipikirkan, mari tetap berjalan saja sampai aku terbangun nanti.
Setelah berjalan lurus, kurang lebih 300 meter, di ujung jalan akhirnya terlihat ada sebuah taman yang berisi cukup banyak wahana permainan untuk anak kecil. Saat jarakku sudah dekat dengan taman tersebut, nyatanya dugaanku benar, jika di sana memang taman bermain untuk anak-anak. Tidak ada satu pun orang dewasa dan jika diperhatikan dengan saksama, nampaknya mereka berusia sekitar 5-9 tahunan.
Dengan total 17 orang anak, mereka tampak bermain seperti normalnya anak kecil, bergiliran untuk mencoba bermacam wahana yang ada, bahkan ada yang bermain kejar-kejaran. Awalnya memang tak ada yang aneh, hingga sejemang kemudian aku menyadari hal ganjil dari mereka, bukan... bukan karena tak adanya orang dewasa yang mendampingi. Melainkan tidak adanya canda serta tawa khas anak-anak, yang mana biasanya selalu terdengar jika sedang bermain. Mereka semua memasang wajah murung dan gelisah, kurang lebih sama seperti orang-orang dewasa yang kutemui tempo hari.
Nampaknya suka, cita dan tawa bahagia adalah hal asing di sini, sungguh miris melihatnya. Aku jadi merindukan sepupu jahilku yang baru berumur 8 tahun, si tengil itu pasti sedang kelahi dengan tetangga sebelah sekarang, maklum hal tersebut sudah jadi agenda hariannya. Eh ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal lain, sadarlah kau sedang ada di antah-berantah!
Karena tak ingin diliputi kekalutan, akhirnya aku mulai meniti lagi langkah yang sempat terhenti. Hingga kakiku sampai pada sebuah pertigaan, kelesah mulai menderapku. Setiap jalan pasti ada resikonya, pilih dengan tenang dan percayalah dengan instingmu -perkataan Eyang terbersit di tengah kegamangan, baiklah tak ada salahnya mencoba. Sepeminuman teh kemudian, akhirnya aku memutuskan untuk memilih kanan. Entahlah apa, tapi ada sesuatu yang memintaku untuk berjalan ke sana.
Tepat saat aku akan belok kanan, sekejap mata, aku malah tersentak bangun di atas kasur -benar di kamarku. Tidak ada hantaman keras seperti terakhir kali, tapi kepalaku sama sakitnya seperti saat itu. Sial, apa-apaan sih ini! Belum sempat umpatan lain terucap, aku seketika ingat jika tugas matematika yang diberikan Pak Budi belum selesai. Tsk, mana besok ada kuis Biologi. Sakit kepalaku malah semakin menjadi, alih-alih berkurang.
*
*
*
Di waktu berikutnya aku dibuat terheran-heran, sebab kemunculanku kali ini bukanlah lagi di alun-alun sana, melainkan di tempat terakhir sesaat sebelum aku kembali. Ya benar sekali, pertigaan dekat taman. Karena tak ingin menghabiskan waktu lebih lama, segara saja aku belok kanan seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya.
Di sepanjang jalan yang kulalui banyak toko-toko yang berjejer di bahu jalan, hanya pertokoan tak ada satupun rumah penduduk yang dapat kutemui. Dugaanku, tempat ini mungkin semacam pasar atau pusat perbelanjaan.
Tak jauh berbeda dengan di tempatku, para pedagang akan membuka gerai, lalu mulai menata setiap dagangan yang akan dijual. Barang yang dijajakan beragam dan tak jauh berbeda seperti di bumi, ada yang menjual pakaian, makanan, minuman, buah-buahan, barang-barang elektronik, bahkan warung makan sekalipun ada.
Tapi seperti yang pernah kubilang, semua hal di sini berwarna kelabu, jika dilihat-lihat tampaknya belum banyak orang yang datang ke tempat ini. Mungkin karena sekarang masih termasuk jam sibuk, entahlah.
Setelah kuperhatikan dengan saksama, ternyata semua orang yang ada di daerah pertokoan ini, lagi-lagi hanya menampilkan wajah ketakutan. Belum lagi, mereka berinteraksi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, entahlah bagaimana cara mereka berkomunikasi. Anehnya transaksi antara penjual dan pembeli tetap berjalan dengan baik.
Para konsumen tak menyerahkan uang, seperti halnya di bumi untuk pembayaran dari barang yang dibeli. Sebagai gantinya mereka memberi semacam batu berukuran 5-10 sentimeter, berbentuk oval. Nampaknya benda itu adalah mata uang disini, tak ada tulisan apapun di atasnya. Sungguhan hanya batu biasa. Dugaanku, mungkin yang dijadikan sebagai nilai tukarnya adalah ukuran dari si batu itu sendiri, semakin besar ukuran batu maka nominalnya pun semakin tinggi.
Tanpa sadar, aku berjalan sangat lambat karena memperhatikan kegiatan orang-orang sekitar. Hingga tak menyadari, jalanan yang tadinya lengang mulai terasa sesak, rupanya orang-orang mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Kesadaran menghantamku saat merasakan tubuh yang terombang-ambing saking sesaknya jalanan, hingga keseimbanganku hilang dan berakhir terjatuh.
Refleks mataku langsung terpejam, siap merasakan sakit akibat jatuh. Tapi rasa sakit itu tak kunjung datang, aku segera membuka mata dan yang kudapati adalah teras depan rumah, dengan latar langit jingga yang merona.
"Lah bangun juga, dari tadi kakak bangunin gak keusik. Ini baru mau disiram air, eh udah bangun duluan. Bentar lagi magrib, mandi sana! Abis itu ke ruang makan, dari siang kamu belum makan, Kei," gerutu Kak Upi dengan tangan yang memegang gayung berisi air.
Dia tak bercanda saat bilang akan menyiramku dengan air, apa senyenyak itu tidurku sampai tidak merespon saat diminta bangun? Padahal aku yakin 1000% jika cara yang Kak Upi pakai pasti tidak lembut sama sekali, buktinya pipiku terasa panas dan pedas saat ini. Dia pasti menggunakan kesempatan dalam kesempitan, benar-benar kejam, awas saja kuadukan Mama nanti. Nampaknya aku ketiduran, setelah lelah membersihkan halaman dengan Kak Upi siang tadi. Akhir-akhir ini si kantuk itu datang tak tahu tempat, aku bahkan selalu merasa lelah setiap bangun tidur, alih-alih merasa segar ataupun bugar.
*
*
*
Sejujurnya aku sudah tak aneh lagi saat melihat tempat suram di depan mataku, ya sekali lagi, aku kembali ke kota kelabu ini. Tampaknya aku terbangun di tengah pemukiman warga, sebab sekarang aku dikelilingi oleh bangunan yang mirip dengan rumah kampung dari Jawa Tengah. Tiang yang berjumlah kelipatan 4, rumah yang berbentuk persegi panjang dilengkapi dengan teras depan dan belakang, serta memiliki 2 lapis tiang untuk menyangga atap rumah.
Dari mana aku tahu? Tentu saja karena Eyang dari pihak Papa adalah orang sana, dan rumahnya sama percis seperti itu. Aku ingat sempat bertanya pada beliau karena penasaran dulu, tunggu! Aku tidak sedang ada di Jawa sana, kan?
Sebersit pemikiran itu segera kutepis begitu teringat jika hal tersebut hanyalah kekonyolan, mari berhenti untuk terlihat bodoh dengan melamun di tengah jalan begini. Ayo kita lihat tempat macam apa yang akan kukunjungi sekarang, maka aku mulai meniti langkah ke selatan. Tak ada alasan khusus, hanya mengikuti insting saja kemana kaki berjalan.
Seperti halnya perkampungan, tempat ini dipenuhi orang-orang dengan usia yang beragam, mulai dari kakek- nenek, bapak-ibu, pemuda-pemudi, anak-anak hingga bayi juga ada. Sungguh berbeda dengan tempat-tempat sebelumya.
Tapi tentu saja tak ada kata normal dari kota ini, orang-orang yang kutemui semuanya bersikap apatis terhadap sekitar. Seolah mereka hanyalah hidup seorang diri, bahkan tangis bayi yang sedang digendong pun tak membuat si ibu bergeming atau setidaknya melakukan gerakan berarti agar sang anak tenang. Wajah semua orang terlihat tertekuk ke dalam, muram sekali, anak-anak bahkan kebanyakan menangis, namun tak ada satupun yang peduli.
Aku ingin menghampiri mereka, namun saat aku akan beranjak, wajah orang-orang dewasa di sana seolah mengancamku untuk tidak ikut campur. Muka-muka pias itu terlihat menyeramkan, ingin menangis saja aku. Hei ditatap biasa saja sudah membuat jeri, apalagi dipelototi. Baiklah mari jalan saja, tak usah pedulikan.
Aku akhirnya kembali berjalan lurus, hingga kakiku berhenti saat melihat rumah berwarna cokelat dengan lampu yang menyala kekuningan, hei ini warna pertama yang kutemui di kota kelabu ini. Segeralah aku bergegas untuk ke rumah cokelat tersebut, siapa tahu orang di dalam adalah orang normal.
Dengan antusias, aku hanya butuh sepersekian detik untuk sampai di daun pintu. Tak ada bel di rumah ini, namun gagang pintunya berbentuk kepala singa, terbuat dari tembaga. Ini benar-benar mirip rumah jaman dulu, kuno sekali. Mungkin alih-alih mengetuknya dengan tangan, sebab pintu ini terbuat dari kayu jati yang kokoh, lebih baik kugunakan gagang tembaga ini saja.
Hei, siapa sangka ternyata bunyi yang dihasilkan dari benturan gagang pintu dan kayu dapat menghasilkan bunyi senyaring ini, tiga kali kuulangi ketukannya. Sampai yang ditunggu akhirnya keluar juga, benar, orang ini sungguh normal. Terlihat seperti manusia pada umumnya, dia seorang wanita yang mungkin sudah berusia akhir 40-an.
Sampai aku tak sengaja melihat jemari yang masih terangkat. Eh, kenapa aku jadi berwarna kelabu juga? Sejak kapan warnaku hilang? Apakah memang dari awal? Kenapa aku baru menyadarinya.
“Kenapa kamu main ke sini, Nduk?” tanyanya padaku dengan nada khawatir yang kentara.
“Saya tidak tahu, karena saat saya tidur, tiba-tiba saja saya sudah terbangun di sini, Bu. Bu apakah... apakah saya akan baik-baik saja? Wajah, bagaimana dengan ekspresi saya?” ujarku dengan kepanikan yang tak bisa ditutup-tutupi.
“Berapa kali kamu sudah datang kesini, ingatlah dengan benar, Nduk. Ini sangat penting,” imbuh si Ibu pemilik rumah, dia bahkan mengabaikan pertanyaanku.
“Saya, eh... saya rasa dengan yang ini adalah ke-5 kalinya, Bu,” jawabku setelah berpikir sejemang.
“Syukurlah belum ada 7 kali, ayo masuk, Nduk. Kamu harus pulang, di sini bukan tempat untuk orang yang hidup,” jelas beliau, sembari menyeretku untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Tentu saja aku tersentak kaget, hei apa katanya tadi? Bukan tempat bagi mereka yang hidup? Jadi tempat apa sebenarnya ini. Aku mengekorinya dalam diam, lebih tepatnya suaraku seolah tak mau keluar, akibat fakta yang baru saja diucapkannya barusan membuat pikiranku terguncang. Rasa takut dan kengerian langsung merajam tulang belakangku, dadaku sesak tapi air mata ini tak mau keluar.
“Nduk, dengarkan ibu. Setelah bangun nanti, segeralah tutup mata batinmu. Tolong, karena kamu sudah datang ke sini, bukan tak mungkin mereka akan menyeretmu ke ²Arkais lagi. Jadi menurut ya, Nduk,” tegasnya padaku yang masih terlihat kalut, ah akhirnya aku tahu nama tempat yang sudah beberapa kali ini kudatangi.
Tapi, mata batin? Sejak kapan aku memilikinya? Eh tunggu, bukankah dulu Bapak pernah bilang jika Eyang adalah salah satu orang terpilih. Jangan bilang hal ini ada kaitannya dengan Eyang, ya Tuhan, aku takut sekali. Aku hanya ingin pulang, masa bodoh dengan mata batin atau apapun itu.
Saat aku masih sibuk bermonolog ria, Ibu tadi perlahan menuntunku ke bagian tengah rumahnya. Beliau mendudukanku di tengah samak yang sudah dihiasi oleh berbagai sesajen, tunggu apakah memang normal ada sesajen di ruang tengah? Belum lagi aroma dupa yang menusuk penghidu siapapun, dalam radius kurang dari satu meter.
Belum sempat aku memproses semua yang baru saja kulihat, wanita paruh baya itu lantas duduk di hadapanku, berkomat-kamit entahlah apa, bahasanya tak kumengerti. Dan hal terakhir yang kuingat sebelum kegelapan mendominasi penglihatanku, adalah kalimat yang diucapkannya dengan nada getir dan menakutkan.
“Wangsulaken ingkang gesang! Tetepa terkurung lebet ketiadaan ingkang hampa, wahai jiwa ingkang sedih.³”
Catatan :
1. Penyangkalan/penolakan
2. Dari sebuah masa yang lebih awal, sesuatu yang memiliki ciri khas kuno/antik.
3. Kembalikan yang hidup! Tetaplah terkurung dalam ketiadaan yang hampa, wahai jiwa yang bersedih.