Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ardi Si Cadet yang Beruntung
1
Suka
94
Dibaca

Pelabuhan di sore hari adalah sebuah simfoni neraka industrial. Udara terasa berat, lengket oleh campuran bau solar dan karat. Bagi Cadet Ardi, udara itu terasa seperti keraguan yang bisa ia hirup, mengisi paru-parunya hingga sesak.

Di antara raksasa-raksasa baja yang merapat di dermaga, MV Samudera Perkasa tampak paling angkuh, lambungnya yang bersih dan menjulang seakan mengejek keberadaan Ardi yang serba kurang.

Ia adalah anomali. Seorang pemuda dari kaki gunung yang bermimpi tentang cakrawala, namun mabuk oleh deburan ombak pertama.

Teori pelayaran ia lahap habis, otaknya penuh dengan peta bintang dan perhitungan matematis, tetapi tubuhnya selalu mengkhianatinya. Kakinya tersandung pada tali yang paling jelas terlihat, tangannya gemetar saat memegang sextant, dan fisiknya selalu berada di urutan buncit saat latihan darurat. Ia adalah kumpulan prosedur yang berjalan, tanpa setetes pun insting laut di dalam darahnya.

Di anjungan, Kapten Bachtiar, seorang pria yang wajahnya seperti diukir dari kayu ulin oleh angin laut, baru saja menutup sambungan tablet satelitnya. Rahangnya mengeras. Di layar, data meteorologi BMKG menampilkan formasi awan siklonik yang berkembang dengan kecepatan abnormal di Laut Andaman. Di sebelahnya, jendela email dari kantor pusat masih terbuka, berisi perintah yang dingin dan tak terbantahkan.

“Badai kecil. Terobos saja. Kargo bernilai tinggi, klien tidak mau tahu ada penundaan.”

Bachtiar memandang ke arah geladak, matanya yang tajam menyapu para kru dan berhenti sejenak pada Ardi, yang sedang kikuk mencoba mengikat tali fender. Pria tua itu menghela napas.

Huff....

Di lautan, alam adalah satu-satunya tuhan. Tapi di dunia modern, ada tuhan lain yang bernama tenggat waktu dan margin keuntungan.

Dan di tengah pelayaran yang dipaksakan ini, ia harus membawa serta seorang cadet yang lebih terlihat seperti beban daripada aset.

"Ardi! Sekoci Alpha perlu diturunkan untuk transfer dokumen ke darat. Mualim I akan mengawasimu. Jangan buat masalah." Suara Kapten Bachtiar menggelegar, memotong lamunan cemas sang cadet.

"Siap, Capt!" jawab Ardi, jantungnya berdebar.

Jangan buat masalah. Tiga kata itu menjadi mantranya.

Sekoci Alpha tergantung di sisi kapal, dipegang oleh sistem davit modern. Tugasnya bukan hal rumit: mengoperasikan konsol hidrolik untuk menurunkan sekoci beberapa meter, tempat kru lain akan naik, sebelum menurunkannya sepenuhnya ke air. Mualim I memberinya instruksi singkat, matanya penuh waspada.

Ardi menarik tuas pelepas rem dengan gemetar. Seharusnya ditarik perlahan. Tapi sarafnya membuat gerakannya tersentak. Sekoci itu meluncur turun satu meter dengan tiba-tiba, membuat para kru di bawahnya terpekik kaget.

"Pelan-pelan, Cadet!" bentak Mualim I.

Panik, Ardi mencoba memperbaiki kesalahannya. Ia mendorong tuas lain, berpikir itu akan menstabilkan, namun malah sedikit melepas tegangan kabel.

Dalam sepersekian detik yang terasa abadi, pijakannya yang sudah goyah di tepi geladak hilang. Langit dan laut bertukar tempat. Teriakan Mualim I menjadi gema yang menjauh saat tubuhnya menghantam permukaan air yang keras dan dingin.

Byurr.. Tubuh Ardi terjatuh ke dalam air.

Kepanikan adalah reaksi pertama, insting primitif untuk meronta, mencari udara. Tapi laut menariknya ke bawah. Dingin merayap masuk ke dalam seragamnya, ke tulang-tulangnya. Paru-parunya menjerit meminta oksigen. Di ambang kehilangan kesadaran, dunia Ardi berubah.

Inikah akhir perjalananku?

Kegelapan biru di sekelilingnya bukan lagi ancaman, melainkan sebuah pelukan. Suara bising dunia atas meredup, digantikan oleh keheningan agung. Lalu, dari sudut matanya, ia melihatnya. Sosok perak ramping dengan sirip punggung berwarna jingga seperti langit senja.

Seekor lumba-lumba?

Makhluk itu tidak mendekat, hanya menatapnya. Dan saat mata mereka bertemu, sesuatu mengalir deras ke dalam benak Ardi. Bukan kata-kata. Bukan gambar.

Ia merasakan suhu arus di sekelilingnya, melihat jalur-jalur plankton sebagai garis-garis cahaya, merasakan kontur dasar laut di bawah sana seolah itu adalah kulitnya sendiri.

Apa ini? Apakah itu jenis ikan baru?

Baru kali ini rasanya aku nyaman berenang di laut. Sebelumnya, bagiku laut adalah ancaman.

Tapi, kenapa ini terasa terlalu nyaman?

Apakah laut sudah menerimaku?

Ardi yang setengah sadar mendapat ilham dari lautan.

Ia mengerti bahasa laut dalam sekejap—sebuah pemahaman murni dan instingtual. Itu adalah momen pencerahan yang ironisnya terjadi di ambang kematian.

Sebuah kekuatan kasar merenggutnya kembali ke dunia nyata. Kapten Bachtiar, dengan wajah marah dan napas terengah-engah, telah menariknya ke atas sekoci penyelamat.

Di ruang medis, Ardi terbangun dengan rasa asin di mulutnya dan perasaan aneh yang menjalari seluruh tubuhnya. Getaran samar mesin diesel V16 di perut kapal kini terasa seperti dengkuran seekor binatang raksasa yang bersahabat. Ia bisa membedakan suara ombak yang memukul haluan dengan yang memukul buritan.

Kapten Bachtiar berdiri di ambang pintu, seragamnya masih lembap.

"Kecelakaanmu adalah kelalaian final, Cadet Ardi. Saya tidak bisa menolerir risiko di tengah pelayaran genting seperti ini. Kau akan dikurung di kabin sampai kita tiba di pelabuhan terdekat. Dari sana, kau pulang." katanya, suaranya datar dan dingin.

Ardi ingin membela diri, menjelaskan tentang apa yang ia rasakan di bawah air, tapi bagaimana? Ia sendiri tidak mengerti. Maka ia hanya menunduk, menerima vonisnya.

Kapal pun mengangkat jangkar.

Badai datang lebih cepat dan lebih buas dari perkiraan siapa pun. MV Samudera Perkasa, sebuah kapal kargo modern sepanjang 200 meter, dilempar seperti mainan di bathtub.

Di anjungan yang canggih, suasana tegang. Layar ECDIS (Electronic Chart Display and Information System) berkedip-kedip, gambarnya terdistorsi oleh gangguan atmosfer. Radar menampilkan ‘hantu-hantu’ laut—gema palsu dari ombak raksasa yang membuatnya tak berguna. Teknologi senilai jutaan dolar itu lumpuh di hadapan amarah alam yang paling murka.

Kapten Bachtiar memegang kendali. Tangannya dengan mantap menggerakkan tuas pendorong dan joystick kemudi di konsol navigasi terintegrasi. Ia adalah seorang maestro, membaca setiap gerakan kapal, melawan setiap ombak dengan pengalaman puluhan tahun. Tapi badai ini berbeda. Polanya aneh, arusnya kacau, seakan memiliki niat jahat. Untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun karirnya, ia merasa lautan sedang aktif memburunya.

Di kabinnya, Ardi tidak bisa diam. 'Bisikan' itu kembali, seratus kali lebih kuat. Kepalanya dipenuhi oleh simfoni informasi. Ia bisa 'melihat' sebuah dinding air setinggi dua puluh meter terbentuk tiga mil di depan mereka.

Ia bisa 'merasakan' arus bawah yang berbahaya yang akan menarik kapal ke arah gugusan karang yang bahkan tidak tertera di peta digital. Gema sonar dari kawanannya, lumba-lumba senja itu memberinya pandangan 360 derajat di bawah air. Lautan sedang memberitahunya jalan keluar.

Semoga kapten percaya padaku.

Tidak tahan lagi, ia mendobrak keluar dari kabinnya dan berlari ke anjungan, mengabaikan panggilan marah dari para kru.

"KAPTEN! HALUAN KIRI SEPULUH DERAJAT! SEKARANG! ADA ARUS TARIK DI DEPAN!" Teriak Ardi tergesa-gesa.

Mualim I hendak meraih dan menyeretnya keluar. "Cadeta gila! Lancang kau!"

Tapi Kapten Bachtiar, yang baru saja merasakan getaran aneh di badan kapal yang tidak bisa ia jelaskan, menatap mata Ardi. Sebetulnya, dia ragu, tapi rasanya yang dikatakan Ardi sesuai perkiraannya.

Ia tidak melihat ketakutan atau kecerobohan. Ia melihat sebuah kepastian yang menakutkan, kepastian yang melampaui logika. Dalam sepersekian detik di mana intuisinya sebagai pelaut bertarung dengan akal sehatnya.

"KERJAKAN!" perintahnya kepada juru mudi yang terpaku di konsol.

Tuas kemudi digerakkan. Kapal raksasa itu miring tajam ke kiri. Tepat saat itu, sisi kanan mereka dihantam oleh kekuatan tak terlihat yang membuat baja berderit. Jika mereka tidak berbelok, kapal pasti sudah terbalik.

Keheningan melanda anjungan, hanya dipecah oleh deru badai. Semua mata tertuju pada Ardi.

"Belum selesai, akan datang lagi." bisik Ardi, matanya terpejam.

Apa yang terjadi selanjutnya akan menjadi legenda di antara para pelaut Samudera Perkasa. Selama berjam-jam, Cadet Ardi menjadi kompas hidup kapal itu. Ia tidak lagi berteriak, melainkan berbicara dengan nada tenang, seolah sedang membaca buku.

"Tiga derajat ke kanan, Kapten. Lewati punggung ombak ketiga. Di baliknya ada celah."

"Ada dinding laut di depan. Jangan dilawan. Ikuti arusnya ke barat daya, dia akan membawa kita ke perairan yang lebih tenang."

Ia menari bersama badai, tangannya menunjuk ke kegelapan yang tak bisa ditembus mata, kakinya merasakan setiap getaran kapal.

Kapten Bachtiar menjadi perpanjangan tangannya, menerjemahkan 'bisikan' itu menjadi manuver. Anjungan yang tadinya penuh kepanikan kini menjadi panggung orkestra yang aneh dan menegangkan, dengan sang cadet sebagai konduktornya.

Ketika cahaya fajar pertama yang pucat menembus awan, badai telah sirna. Lautan kembali tenang, terengah-engah seperti binatang buas yang kelelahan. MV Samudera Perkasa mengapung dengan selamat.

Kapten Bachtiar mendekati Ardi, yang kini terduduk di lantai, energinya terkuras habis. Ia berjongkok di hadapan sang cadet, sebuah tindakan yang tak terbayangkan sebelumnya.

"Bagaimana?" hanya itu yang bisa ia tanyakan.

"Saya tidak tahu, Kapten. Saya hanya... mendengarkan.

Saat kapal merapat di Pelabuhan terdekat, Ardi berdiri di geladak, sudah pasrah akan nasibnya. Seorang perwakilan perusahaan yang berwajah masam sudah menunggu di dermaga. Namun, Kapten Bachtiar berdiri di sampingnya.

"Saya sudah mengirim laporan tentang kerusakan kapal, dan juga laporan tentang bagaimana kapal ini selamat."

Ia lalu menghadap Ardi sepenuhnya.

"Cepat selesaikan studimu, kembalilah ke kapal ini. Aku sendiri yang akan merekomendasikan. "

Ardi menatap ke cakrawala yang kini cerah. Di kejauhan, di garis di mana laut bertemu langit, sesosok bayangan perak dengan sirip jingga melompat tinggi ke udara, seakan memberi salam hormat, sebelum menyelam kembali ke dalam biru yang kini bukan lagi misteri, melainkan rumahnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Ardi Si Cadet yang Beruntung
Mer Deliani
Novel
Bronze
Madah di Balik Tabir
ANINZIAH
Novel
Buku Panduan Mati Sengsara (Kumpulan Cerpen)
Rizal Nurhadiansyah
Skrip Film
TAK SEPERTI COWOK PADA UMUMNYA
Okhie vellino erianto
Flash
Bronze
L'esprit de L'escalier
DMRamdhan
Flash
Pangestri, Sebuah Anak Panah Dari Raga Yang Menari
Foggy FF
Cerpen
Bronze
the sunthree
Aish
Cerpen
Bronze
Dibalik senyuman yang indah ada hati yang terluka
DJAKIYUDIN FARHAN
Novel
Way back home
dilaja
Novel
Broken Parts
Maria Eveline
Novel
Study(ing) Love
ceciliafs
Novel
Kumpulan Kisah Inspiratif
Rifan Nazhip
Novel
Monologue
R. Wardani
Novel
Bronze
Remedial
KATHERINE PRATIWI
Skrip Film
Dinding Temaram
Aksarabuntara
Rekomendasi
Cerpen
Ardi Si Cadet yang Beruntung
Mer Deliani
Novel
La Arus
Mer Deliani