Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Api Luka Dan Kesuksesan
0
Suka
1,367
Dibaca

Api, Luka Dan Kesuksesan

Oleh: Willy Abdillah

"Orang aneh! Enyahlah!" caci Vera.

"Mur yang sudah tumpul lalu dilempar ke api karena sudah tak bisa digunakan, itulah kamu! Sudah tidak dibutuhkan oleh dunia dan wajar dicampakkan ke nereka!" Sambung Lae. Murapi mengepalkan tangannya, air matanya mengalir sedikit demi sedikit.


"Sampah sepertimu menangis! Sungguh menyedihkan, membuatku ingin ikut menangis." Ujar Ian meledek.

"Kau ingin menangis melihat bocah ini, Ian. Sungguh memalukan."

"Aku hanya bercanda, Sena. Jangan menganggapnya serius."

"Oh, benarkah?" Sena tertawa melihat kemarahan Ian yang muncul, Vera terlihat acuh akan kelakuan Sena yang kekanak-kanakan. Gumilang tetap diam, lelaki yang berparas tampan dan berambut panjang itu tak mau angkat bicara, Lae tersenyum lebar melihat Murapi yang menangis sambil terduduk di atas aspal yang mulai basah terkena hujan.

"Lae, hujan ini pulang yuk." Ujar Ian.

"Cih! Dasar!"

"Sudahlah, Lae. Ini membosankan." Kali ini Gumilang angkat bicara, ia kesal.

"Ayo, Kawan. Kita harus cepat pulang, bisa-bisa baju baruku basah." Sambung Vera.

"Baiklah, Ian, pegang kemudi. Kita ke restoran di simpang empat depan sana. Kita akan makan malam di sana." Sahut Lae.


"Oke!" Sahut semuanya kecuali Gumilang. Lae masuk lebih dulu, disusul Vera, Sena, Ian, dan terakhir Gumilang, perjalanan pun dimulai.

"Dari tadi kau terlihat tak semangat dan seperti kasihan pada bocah ingusan tadi, Gumilang." Ujar Lae yang duduk di samping kemudi.

"Bukan aku tak bersemangat, Lae. Hanya kurang enak badan saja."

"Hmm... Benarkah?"

"Makan siang di kantin sekolah tadi pun tak kau habiskan, bagaimana kau bisa sehat, Gumilang?" Sahut Ian yang sedang fokus mengendarai mobil di jalan yang gelap dan hujan.


Gumilang terdiam, ia sibuk memperhatikan kucing yang kesulitan mencari tempat berteduh dari balik jendela mobil. Di lain tempat, Murapi masih terdiam di atas aspal yang sudah basah total. Ia membiarkan dirinya dibasahi oleh buliran anugerah dari Tuhan. Dirinya yang basah kuyup bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkannya dari gangguan Black Panther Squad-lima orang yang mengganggu Murapi barusan. Mereka baru saja kelas satu SMA, tapi sudah berani membawa mobil. Tubuh mereka memang besar-besar, tetapi karena itulah mereka selalu berbuat onar dan semena-mena.

Murapi meratapi dirinya, ia bangkit dari duduknya dan mencoba menegarkan hatinya yang telah hancur berkali-kali. Murapi teringat akan masa lalunya, masa lalu ketika ia masih kecil, sangat kecil. Ketika itu ia baru saja dilahirkan ke duania, ibu Murapi yang tidak pandai menulis karena tak pernah mengindahkan pendidikan menyuruh abangnya Langit untuk menulis. Nama Merapi di akte kelahirannya. Tulisan Langit yang begitu jelek dan susah dibaca mengakibatkan kesalahpahaman pada staff pengurusan Akte Kelahiran. Ia salah membaca tulisan Langit, ia mengira tulisan itu bertuliskan Murapi bukannya Merapi.

Ibunya yang mengetahui hal itu hanya bisa pasrah akan kenyataan. Nama Merapi yang ia berikan pada anaknya tidak lain agar anaknya bisa memiliki semangat yang meledak-ledak bak gunung merapi. Namun hal itu bukan berarti apa-apa sekarang.

"Murapi! Nama apa itu? Kenapa bisa jadi seperti ini? Sudahlah, semua sudah terjadi, kita tidak bisa menyangkal." Begitulah kata-kata ibunya mendengar kabar itu.


Karena nama Murapilah ia hidup seperti ini, penuh cacian, makian, penindasan, dan lain sebagainya. Ia tidak hanya diganggu oleh Blcak Panther Squad, namun keba yakan orang yang mendengar namanya akan terkejut dan mengejeknya. Semua itu karena abangnya, Langit. Tetapi Murapi tidak bisa menyalahkan Langit, Langit selalu menjaganya semenjak ayah dan ibunya bercerai dan pergi meninggalkan mereka berdua, Langitlah yang berjaung keras terus menerus mencari nafkah untuk adiknya, bukan hanya makanan, tempat tinggal dan sekolah pun bisa ditanggung oleh Langit.

Murapi berjalan dengan sempoyongan, ia kedinginan. Tubuhnya menggigil, pandangannya kosong, hatinya terluka habis, disayat oleh mulut-mulut penghuni neraka. Kakinya yang lemas terus dipaksa, agar bisa berjalan dan sampai rumahnya.

"Api!" Ujar Langit yang kebetulan lewat dengan membawa payung. Lisan Murapi tertahan untuk menjawab pertanyaan abang kandungnya tersebut.

"Kenapa kamu basah kuyup? Kenapa tidak berteduh"? Lagi-agi Murapi terdiam.

"Kamu habis diganggu sama Blcak Panther Squad lagi ya? Mereka memang harus diberi pelajaran!"

Langit mendekatkan diri pada Murapi, membiarkannya terlindung dari butiran air hujan-walaupun ia sudah basah kuyup. Langit menuntun Murapi berjalan ke rumah, sesekali Murapi berhenti dan menatap ke langit yang terus menurunkan peluru air tanpa henti dengan air mata berlinang. Langit tahu pederitaan yang diderita Murapi, adiknya. Hatinya terluka, sangat susah untuk memperbaikinya, ia sadar bahwa ia harus menjadikan adiknya menjadi seorang manusia normal dengan hati tanpa luka.

Langit berhenti di suatu toko sembako, ia membeli tiga butir telur, sekotak bubuk teh bendera, satu kilogram gula, dan sebungkus roti Hatari. Mereka kembali meneruskan perjalanan menuju rumah. 

"Abang, apa yang terjadi? Jika selamanya hatiku terluka?" Lirih Murapi pelan, sangat pelan sehingga Langit tak mendengarnya. Ia menyesal, apa yang telah dikatakannya, untung hujan masih sangat jelas, suara percikannya begitu keras sehingga perkataan Murapi tak didengar oleh Langit. Tanpa hujan pasti Langit mendengarnya.

Mereka sampai di rumah, Langit langsung menyuruh Murapi mandi, sedangkan ia langsung memanaskan air di dua panci yang berbeda. Satu panci ia siapkan untuk Mie instant, dan satu lagi ia siapkan untuk membuat teh hangat. Telah jadi ia menuang Mie instant yang telah lembek ke dalam mangkuk lalu dicampur dengan telur dan digoreng, jadilah Martabak Mie, sedangkan teh ia campurkan dengan susu dan diaduk, jadilah teh susu.

Murapi keluar dari kamar mandi, kini ia telah memakai baju yang kering dengan kaos lengan pendek dan celana jeans biru. Ia langsung berselimut dan duduk di ruang tamu. Langit menghidangkan Martabak Mie dan nasi sebagai makan malam, ia juga menyeduhkan teh susu dan membuka roti Hatari yang ia beli tadi. 

Keesokan harinya Langit ingin membangunkan Murapi yang tidak keluar dari tadi, ia tahu bahwa tadi malam Murapi terlambat tidur. Ia menangis sampai tengah malam, Langit hanya bisa diam ketika itu, ia tak ingin mengganggu adiknya yang hatinya terluka.

"Api, bangun! Nanti kau telat ke sekolah. Segera mandi dan makan!" Teriak Langit dari dapur.

"Apaan sih? Dari tadi juga aku sudah bangun." Sambung Murapi yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Hah, Api. Kau Sudah bangun? Tumben kamu lebih cepat bangun dari aku."

"Kau terlalu meremehkan adikmu ini, Abang."

"Ya sudah, ganti baju lalu tunggu di meja makan, lauknya belum selesai dimasak."

"Siap, laksanakan!" 

Langit sungguh takjub melihat Murapi yang begitu tegar menghadapi luka yang ada pada hatinya. Ia tak mau terlihat lemah, di depan orang lain walau pun itu orang terdekatnnya. Tetapi, justru karena itulah Langit semakin tak tega melihat adiknya yang selalu memaksakan dirinya, ia takut adiknya bisa stres karena hal itu.

"Apa sarapan kita pagi ini, Abang?" Tanya Murapi.

"Tumis kangkung, Api. Kenapa? Apakah kamu tak berselera?"

"Kenapa bisa tida berselera? Aku sangat suka tumis kangkung."

"Baguslah kalau begitu."

"Baiklah, mari kita makan." Mereka berdua makan dengan lahap, semangkuk berisi tumis kangkung barusan telah bersih dan tak bersisa. Murapi izin pamit berangkat ke sekolah, dia mengenakan sepatu lalu merapikan tali pinggangnya dan pergi. Langit tersenyum lalu bersiap-siap pergi ke rumah Buk Neli, tempat kerjanya. 

 

Langit pulang dari tempat kerjanya dengan senyuman yang terukir indah walau tangannya sudah terasa sangat pegal, dan seperti sudah tak berada di tempatnya, bak seoramg pasien yang baru saja diaputasi tangannya. Dengan jerih payah itulah dia mendapat upah lebih dari hari biasanya, dua ratus lima puluh ribu, itu sangatlah banyak baginya.

Saat sampai di rumah, Langit tak melakukan banyak hal, hanya menyapu rumah lalu duduk santai di atas sofa yang empuk. Beberapa menit kemudian ia pun tertidur dengan lelap karena lelah bekerja.

Langit terbangun, ia melirik jam, "Dua belas lewat tiga puluh, setengah jam lagi Api pulang, aku harus memasak" Gumamnya dalam hati.

Langit menggoreng ayam berian dari buk Neli, ini bukan kali pertama buk Neli baik dan memberi seperti ini, ia sering membagi barang yang berguna, mulai dari sepatu, baju, celana, dan lauk. Walaupun terkadang barang yang diberikan adalah barang bekas, Langit tetap sangat bersyukur karena tak perlu membelikan yang baru untuk Murapi.

Langit mendengar suara pintu yang dibuka lalu ditutup lagi, Murapi sudah pulang. Mukanya pucat, pandangannya kosong. Murapi melempar tasnya asal lalu masuk ke kamar tanpa mengatakan apa-apa. Langit langsung berasumsi bahwa itu pasti ulah Black Panther Squad lagi.

Tujuh hari dan tujuh malam berlalu, sifat Murapi semakin dingin, ia semakin jarang berbicara dengan Langit. Setiap hari ketika ia pulang dari sekolah, pasti dengan tubuh lemas, luka pucat dan pandangan yang kosong. Hanya keluar dari kamar ketika waktu makan dan ketika butuh ke kamar mandi, selainnya tidak ada.

Lagit semakin cemas, ia yakin bahwa luka yang ada pada hati Murapi sudah sangat parah dan sangat susah diobati. Tapi sisi lain hati Langit sedikit emosi melihat Murapi yang jarang makan, acuh, susah diatur dan seperti menganggap bahwa ia tidak ada.

Hari terus berlalu, tingkat emosi Langit sudah sampai ubun-ubun karena melihat Murapi yang kini merengek tak mau sekolah.

"Kau pikir tak susah mencari uang untuk menyekolahkanmu? Hah!" Langit yag sudah sangat emosi melampiaskan rasa amarahnya.

"Kau pikir tekanan yang kua rasakan tak lebih berat darimu?!" Kini air mata Murapi turun.

"Kau menangis, kau pikir semua masalah bisa diselesaikan dengan air mata? Tidak! Ingat namamu Murapi! Seseorang yang menyelesakan masalahnya dengan api semangat! Bukan Murair, seseorang yang menyelesaikan masalahnya dengan air mata!" Murapi terhenyak, perkataan abangnya benar. Ia adalah Murapi, bukanlah Murair. Ia langsung menyambar tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Ia berlari kencang menuju sekolah, setibanya di gerbang sekolah ia mengusap sedikit air matanya dan masuk dengan gagah.

"Lihatlah, Lae. Si bocah ingusan terlambat ke sekolah, ia sudah pandai melanggar." Ucap Ian memulai keributan.

"Kau benar, Ian. Tapi ada salahnya, dia bukanlah bocah ingusan melainkan mur yang sudah tumpul, dan harus dilempar ke api neraka." Ucap Lae sembari tersenyum.

Murapi tersenyum, mukanya yang mulai menunduk tertawa lalu mengahadap ke arah Black Panther Squad, ia menghitung jumlah mereka, hanya ada empat. Lae, Ian, Vera dan Sena.

"Kau mencari Gumilang, si pengkhianat itu sudah kami buang jauh-jauh, kenapa kau memikirkannya? Dasar Mur tumpul yang harus dicampakkan ke neraka!" Ucap Lae seakan tahu apa yag dipikirkan oleh Murapi. Murapi menghela napas, bersiap-siap, dan...

"Dengarkan semuanya!" Teriak Murapi. Semua orang yang ada di kelas keluar, orang ynag di kantin berhenti mengunyah cemilannya, orang di taman yang sedang berbincang berhenti berbicara, orang yang berjalan baru memasuki sekolah berhenti. Semua penasaran apa yang dikatakan Murapi. "Didengar semua murid sekolah! Aku, Murapi! Dengan ini aku mengatakan bahwa semua orang yang mengatkan bahwa aku adalah mur tumpul yang harus dibuang ke api neraka adalah orang bodoh! Pendek akalnya! Sejatinya aku adalah mur yag melobangi semua masalah dengan api semangat membara!" Murapi erteriak mantap, mengikuti kta-kata Langit yang sudah ditambah-tambahi.

Mendengar perkataan Murapi, Black Panther Squad marah dan mengepungnya, mereka tersindir atas kalimat yang dilontarkan Murapi.

"Pukul, pukul, pukul!" Teriak Lae, tak kalah keras dengan Murapi.

"Siap!" Ucap ketiga Black Panther Squad lainnya serentak. Murapi dipukuli sekuat-kuat mungkin, dimulai dengan Lae yang memukul telak di perutnya, semua mengikuti. Awalnya Murapi masih sanggup menahan rasa sakit sampai sepatu hak tinggi milik Sena mendarat di kepalanya. Murapi yang sudah tak dapat menahan rasa sakit perlahan menutup kedua bola matanya, walau samar-samar Murapi mendengar teriakan pak kepala sekolah yang ingin mengehentikan kekacauan.

"Langit!" Panggil Gumilang dari luar rumah, langit keluar dengan perasan heran karena jarang ada orang yang ingin bertamu ke rumahnya.

"Hah! Bukankah kau salah satu dari anggota Black Pather Squad, Gumilang? Jangan bilag ka lau kau datang untuk memberitahu bahwa adikku masuk rumah sakit."

"Tentu tidak, Langit. Aku sudah keluar dari Black Panther Squad. Lagipula aku ke sini ingin menyampaikan pesan penting."

"Apa itu?"

"Ini pesan dari ibuku, Buk Neli."

"Hah! Buk Neli ibumu? Jangan bilang kalau ia memberhentikanku dari tempat kerjanya."

"Tidak, Langit." Air mata Gumilang tiba-tiba keluar.

"Kenapa kamu menangis, Gumilang?"

"Jadi begini," Langit mengusap air matanya sembari memperbaiki tempat duduk.

"Kemarin sore, ibuku meninggal bersama dengan ayahku. Mereka menjadi korban tabrak lari, dan yang menabrak ibu dan ayahku adalah rombongan Lae. Karena hal itu aku memutuskan keluar dari Black Panther Squad. Dan aku berjanji akan membalasnya suatu saat nanti. Di luar itu, ibuku berwasiat bahwa semua harta yang dimilikinya termasuk tokonya akan di bagi dua, aku dan kamu."

"Kenapa orang tuamu begitu baik, Gumilang? Bukan hanya ini, sudah banyak kebaikan yang kuterima dari beliau." Tanya Langit yang matanya sudah berkaca.

"Ada dua alasan. Alasan yang pertama berkaitan dengan ayahmu, semenjak bercerai dengan ibu kandungmu, ayahmu menikah dengan ibuku yang telah menjanda bertahun-tahun. Bagaimana pun ceritanya, seorang ayah tak mungkin lupa akan anak kadungnya. Ayahmu mengajak ibuku untuk memperkerjakanmu di toko mereka dan sering juga memberimu berbagai macam barang berguna. Jadi dalang di balik alasan pertama adalah ayahmu sendiri, Langit." Jelas Gumilang degan rinci.

"Alasan kedua adalah karena dirimu sendiri, Langit. Kau begitu semangat berjuang demi dirimu dan adikmu, melihat kegigihan itu, ibuku selalu berbuat baik kepadamu." Tak terasa air mata kedua orang itu keluar dari tempat asalnya. Langit seperti tak percaya akan ucapan Gumilang barusan.

Tok... Tok... Tok... Terdengar suara ketukan pintu, Langit segera mengusap air matanya dan keluar untuk melihat siapa yang datang.

"Bapak, bukannya bapak wali kelasnya Murapi, ada apa?" Langit bertanya pada lelaki berjenggot tersebut.

"Itu, Dik, si Murapi masuk rumah sakit."

"Rumah sakit mana, Pak? Aku akan segera ke sana!"

"Rumah Sakit Keluarga." Langit segera berlari ke tujuan yang diberitahukan oleh wali kelas Murapi, Gumilang mengikuti dari belakang. Setibanya di rumah sakit ia langsung dijumpai dengan kepala sekolah Murapi.

"Kamu abangnya Murapi?" Ucap kepala sekolah tersebut.

"Benar, Pak. Aku sungguh tak menduga atas apa yang dilakukan oleh adikmu."

"Benarkah?"

"Iyap, aksi yang dilakukannya benar-benar lelaki, namun sebagian orang yang melihatnya tak terima dan memukuli sampai begini. Pelaku pemukulan sudah diserahkan kepada pihak berwajib."

"Terima kasih, Pak."

"Belum cukup, setelah melihat aksi adikmu, kami mengecek riwayat kepelajarannya, ternyata ia cukup aktif dalam kegiatan sekolah, dan ia sangat pintar di dalam kelas. Maka dari itu, kami dari pihak sekolah ingin menyekolahkan adikmu setinggi-tingginya."

"Syukurlah."

***

Dua puluh taun kemudian.

"Lae, lihatlah apa yang sekarang, aku sudah sukses. Tenang, aku sudah memaafkan semua luka yang kau torehkan padaku," Ucap Murapi yang berkunjung ke sel Lae dan rombongannya.

"Aku tak akan pernah memaafkan apa yang kau lakukan pada orang tuaku." Sambung Gumilang yang ikut bersama Murapi, kini Murapi telah menggantikan kepala sekolahnya yang dulu setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya. Sedangkan Gumilang mengurus toko ibunya yang kini sudah banyak cabangnya bersama Langit.

"Kenapa kalian mengunjungi kami?!" Teriak Lae setengah marah.

"Dengan dikunjungi kalian, bukan berarti kami semakin baik, kami hanya semakin muak!" Sambung Ian.

"Oh benarkah?" Apakah kalian tidak rindu dengan mantan teman kalian Gumilang?" Ucap Murapi.

"Cih!" Lae mendengus kesal mendengar pernyataan Murapi. Black Panther Squad dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, seharusnya hukuman mereka adalah tembak mati. Namun, umur mereka yang ketika itu masih sangat muda melukuhkan hati hakim untuk meringankan hukumannya. Mereka mendapat hukuman atas pencurian mobil, penggunaan narkoba, pelaku tabrak lari terhadap ayah ibu Gumilang, dan penganiayaan terhadap Murapi.

"Waktu berkunjung telah habis!" Ucap petugas penjara, Murapi segera berdiri dan keluar diikuti Gumilang. Ia tersenyum, kini ia, Api telah luput dari luka dan meraih kesuksesan. 

23 April 2024. Gedung Sudan. Diketik di depan rayon Al-Azhar kamar 03.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Api Luka Dan Kesuksesan
LISANDA
Cerpen
Tandang
rdsinta
Cerpen
Empat Babak Menuju Kenyamanan
lidhamaul
Cerpen
Bronze
Light at the End of the Tunnel
Rizky Yahya
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Bulan Tidak Terbit
Mala Armelia
Cerpen
Bronze
Prajurit Cahaya
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Masjid Pensiunan
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Koridor-koridor yang Diisi Nyanyian Murai
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-3
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Menyesal Setelah Kehilangan
Ardelia Rafilah Basya
Cerpen
Bronze
Conversation with Me
hyu
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-6
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Balada Tes CPNS
spacekantor
Rekomendasi
Cerpen
Api Luka Dan Kesuksesan
LISANDA
Cerpen
Penjara Suci Tempat Menempa Diri
LISANDA
Cerpen
Aku Banyak Belajar Dari Ibuku
LISANDA
Cerpen
Liburan Juga Bermanfaat
LISANDA
Cerpen
Indahnya Surga di Telapak Kaki Ibu
LISANDA
Cerpen
Keluarga Keramat
LISANDA
Cerpen
Salah Kaprah
LISANDA