Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini praktis aku hanya duduk-duduk tidak melakukan sesuatu apapun di bangku taman di areal kolam renang apartemen ini. Ketika berjalan keluar dari areal kolam renang, kulihat burung-burung putih di angkasa telah berebutan mencari tempat bermalam di pohon-pohon perdu di sekitar kawasan apartemen ini. Angin bertiup cepat seakan-akan takut kemalaman. Angin seolah-olah berlomba menyusup masuk ke balkon-balkon unit apartemen yang pintunya masih terbuka.
Kini aku terpaku di depan pintu lift di lantai dasar tower apartemenku, menunggu seseorang yang syukur-syukur menuju lantai 18.
Tiba-tiba beberapa orang sudah berkerumun di depan pintu-pintu lift yang jumlahnya 6 unit ini. 3 unit di sisi kanan dan 3 unit di sisi kiri. Jumlah orang yang menunggu di depan pintu lift adalah 15 orang setelah kuhitung. Tampaknya mereka penghuni apartemen yang baru sampai di apartemen ini usai bekerja seharian di kantor atau tempat kerja mereka masing-masing. Aku berharap keenam unit lift ini pintunya tidak terbuka secara serempak, hal itu akan merepotkan. Menyulitkanku menentukan lift yang mana yang kemungkinan salah satu penumpangnya akan menuju lantai 18, lantai unit kamarku.
Dua unit lift sampai di lantai dasar ditandai dengan menyalanya tombol indikator yang terletak tepat di atas pintu lift. Saat itu kedua pintu lift itu terbuka secara otomatis menimbulkan suara dentingan yang khas. Tidak ada penumpang yang keluar dari 2 unit lift yang pintunya terbuka itu. Artinya lift dalam keadaan kosong dari atas. Unit lift yang terbuka satu di sisi sebelah kiriku dan satunya lagi di sebelah kananku. 5 orang masuk ke lift di sebelah kanan, 10 orang masuk ke lift sebelah kiri. Kuputuskan masuk ke lift sebelah kiriku. Peluang orang yang naik ke lantai 18 lebih besar karena ada 10 orang yang masuk ke unit lift itu.
Dengan saksama aku perhatikan para penumpang lift ini satu per satu mulai memindai kartu aksesnya pada alat pindai, setelah itu mereka akan menekan tombol angka yang terletak di sisi kanan dari pintu lift ini untuk menuju lantainya masing-masing.
Aku melihat tiga orang perempuan sedang berbincang-bincang. Mereka adalah seorang perempuan dewasa yang menaruh minat kepada seorang gadis berkacamata minus dengan bingkai yang besar dan sedang bercerita tentang dirinya, dan seorang lagi adalah perempuan muda tampaknya barista yang bekerja di kafe di lobi apartemen ini, ia tampaknya memposisikan dirinya menjadi pendengar yang baik.
Gadis berkacamata minus memakai baju kerja khas koki yang ternoda warna-warna bumbu-bumbu masak di sana-sini. Mungkin hari ini hari yang sibuk dan melelahkan baginya. Ia memakai sepatu bot anti selip. Dengan sepatu bot anti selip yang Si Gadis Koki itu pakai, sepertinya setiap ia berjalan seolah-olah ia akan tersandung. Wajahnya tampak murung tanpa ekspresi, matanya redup dan muram dari balik kacamata minus yang ukuran bingkainya terlalu besar meskipun ia sedang berbicara. Tinggi badannya cuma 150-an cm dan terlihat sebagai sosok imut tak berdaya. Berbeda dengan temannya yang seorang perempuan dewasa itu, kutaksir teman si gadis koki ini memiliki postur tubuh cukup tinggi 165 cm dan tampak energik. Ia Seorang perempuan dewasa berusia pertengahan 40 yang menjalankan salon di unit niaga, dan seorang lagi perempuan muda seusianya barista di kafe tower apartemen ini.
Mereka bertiga itu tinggal di lantai 10 tower ini. Si Gadis Koki itu memindai kartu akses dan menekan tombol angka 10 sambil terus bercerita dengan suara lirih.
Aku perhatikan dari ucapan-ucapan perbincangan mereka. Perempuan pertengahan 40 yang berbagi kamar dengannya tidak pernah bicara tentang dirinya. Bahkan ia pun tidak pernah mau menceritakan tentang kehidupan sebelum ia tinggal di apartemen ini, ia tidak pernah juga menyinggung soal apakah ia sudah pernah menikah, punya suami atau anak. Seolah-olah ia tidak punya masa lalu yang bisa dibuktikan baik dari foto keluarga atau apapun itu. Seakan-akan hidup perempuan dewasa itu baru dimulai ketika ia mulai tinggal di apartemen ini. Seru sekali percakapan mereka berbagi cerita.
Lalu kulihat seorang perempuan muda berhijab seusiaku memindai kartunya dan menekan tombol angka 3. Sepasang suami-istri memindai kartunya dan menekan tombol 8. Seorang lelaki paruh baya memindai kartunya dan menekan tombol 12. Dua orang ibu-ibu rebutan memindai kartu akses dan menekan tombol angka yang sama 16 sambil terus mengobrol. Menyisakan 1 orang laki-laki berpakaian rapi, masih mengenakan setelan jas dan dasi, ia menjinjing tas laptop di tangan kiri, dan tangan kanannya sibuk dengan ponselnya. Astaga! Lelaki itu adalah atasanku di kantor. Ia itu boss-ku!
“Sejak kapan dia pindah ke apartemen ini?” batinku terkejut.
Lift pun dengan kecepatan tertentu mulai naik, namun boss-ku yang selalu berpakaian rapi itu belum juga memindai kartu aksesnya dan menekan tombol angka tertentu. Lift berhenti di lantai 3, pintu lift terbuka lagi-lagi meninggalkan suara berdenting yang khas, perempuan muda berhijab keluar dari lift. Lalu lift beranjak lagi naik dan berhenti di lantai 8, pasangan suami-istri keluar dari lift. Lift bergerak terus ke atas, berhenti di lantai 10, Si Gadis Koki, Perempuan Dewasa 40-an dan Si Barista keluar sambil terus mendengarkan cerita Si Gadis Koki. Lantas lift melaju naik dan berhenti di lantai 12, lelaki paruh baya keluar dari lift. Tentu saja lift akan beranjak menuju lantai 16, tetapi boss-ku yang selalu berpakaian rapi itu belum juga memindai kartu akses dan menekan tombol angka lantai mana yang menjadi tujuannya.
Aku sempat berpikir akan keluar bersama dua orang ibu-ibu yang tak henti-hentinya mengobrol itu di lantai 16 apabila boss-ku ini tak kunjung menentukan lantai yang dituju. Paling tidak aku bisa naik ke lantai 18 dari lantai 16 melewati dua tangga darurat yang tersedia di area pintu darurat ke lantai 18.
Saat lift melewati lantai 14 dengan gerakan yang sangat cekatan sambil tetap memainkan ponselnya, akhirnya boss-ku itu memindai kartu aksesnya dan menekan tombol angka 18. Napasku yang sempat tertahan tiba-tiba merasa sangat lega. Ah, plong rasanya!
“Dia tinggal selantai denganku rupanya,” gumamku dalam hati.
Lift beranjak lagi dan berhenti di lantai 16. Dua orang ibu-ibu yang sepanjang perjalanan lift ini ngobrol tanpa henti akhirnya keluar lift sembari masih terlibat percakapan seru soal arisan yang mereka ikuti dan menebarkan sisa aroma gosip. Lift pun melaju lagi ke atas menuju lantaiku, lantai 18. Boss-ku ini menjadi dewa penyelamatku.
“Terima kasih, Boss!” batinku lagi.
Akhirnya lift sampai ke lantai 18. Dan pintu lift terbuka, kulirik boss-ku masih asyik bermain dengan ponselnya. Ia adalah jenis manusia paling tidak peduli selama berada di dalam kotak lift ini, menyebalkan. Saat ia keluar dari lift matanya lekat tak lepas menatap layar ponselnya, entah apa yang ia lihat di layar ponselnya sedari tadi.
Boss-ku keluar dari lift dan berbelok ke kiri, ke arah yang sama menuju koridor di mana kamar unitku berada. Ia berjalan dengan santai dan tak terburu-buru, setelah melewati tiga unit pintu kamar apartemen lain dari arah lift, ia berhenti di depan sebuah pintu bernomor T-1804. Ia membuka pintu unit apartemen bernomor T-1804. Unit kamarnya letaknya tidak jauh dari unitku, unitnya sejajar dengan unitku yang bernomor T-1807. Unit yang memiliki pemandangan ke arah kolam renang. Unitku dan unit boss-ku itu hanya terpisah dua unit kamar apartemen. Setelah pintu unitnya terkuak, ia menyalakan saklar lampu dan menutup pintu.
Aku termangu di depan pintu unit boss-ku yang selalu berpakaian rapi saat ia bekerja di kantor itu. Sesaat kemudian aku tersenyum penuh arti.
“Paling nggak untuk turun ke lantai dasar di pagi hari aku bisa mengandalkan petugas kebersihan yang tiap jam 09.30 turun membawa tong sampah ke lantai dasar, dan untuk kembali ke atas ke lantai 18 ini, aku akan mengandalkan boss-ku yang datang di sekitaran jam 19.00 malam,” seruku girang.
Dengan langkah riang aku berjalan menuju pintu unit apartemenku. Tak perlu kunci untuk membuka pintu. Cukup menerabas menembus pintu terasa lebih mudah. Karena saat ini aku adalah sesosok hantu.
Di dalam unit ruangan utama, aku duduk di sofa dan kakiku kuletakkan di atas meja.
“Seandainya aku bisa memegang benda, aku ingin banget menyalakan televisi dan nonton acara tivi kegemaranku,” cetusku sambil memandang hampa pada layar TV LCD berukuran 43 inchi yang tergantung di dinding ruang utama apartemen ini.
“Hmm, sebagai hantu ternyata aku nggak merasa lapar dan haus,” gumamku.
“Apakah nanti aku akan merasakan ngantuk atau nggak, ya?” tanyaku polos. Maklum aku baru sehari menyadari bahwa diriku saat ini telah menjadi hantu.
Sambil masih memandang kosong ke layar TV LCD yang tidak menyala aku kembali mengingat-ingat kejadian dari pagi hingga malam ini.
Saat pagi di lift aku bertemu dua orang petugas kebersihan yang merasakan kehadiranku. Ketika malam aku bertemu boss-ku yang selalu berpakaian rapi yang sibuk bermain ponsel di dalam lift menuju lantai 18. Aku yakin ia baru saja pindah ke apartemen ini.
“Sedang apa ya boss-ku saat ini?”
Jam dinding di ruang utama menunjukkan pukul 22.45. Aku tak kunjung mengantuk. Tiba-tiba sebuah ide iseng muncul di benakku. Sebagai hantu yang berada di bidang horizontal aku bisa melakukan apa saja tentunya. Menembus pintu bisa, menembus dinding pun bisa.
“Penasaran juga aku sama si Boss. Lagi ngapain dia sekarang?”
“Sepertinya boss tidak memiliki sensivitas terhadap kehadiran hantu di sekitarnya.”
“Baiklah, aku akan ke unitnya saja!”
“Duh, kok aku merasa menjadi perempuan kurang ajar dan nggak tahu malu, ya?”
“Tapi aku pengen banget tahu, boss lagi ngapain? Apakah ia tinggal sendiri atau dengan seseorang yang lain?”
Tanpa pikir panjang aku keluar menerabas menembus pintu dan melangkah pelan di lorong koridor menuju ke depan pintu unit kamar boss-ku itu.
“Ya ampun, apa yang akan kulakukan?” Mendadak aku menjadi ragu-ragu.
“Nggak apa-apa, toh aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan dan juga dia nggak bakal tahu aku ada di kamarnya,” batinku.
Keraguan kutepis jauh-jauh, dengan langkah pasti kuterabas pintu unit kamar boss-ku itu dan kini aku sudah berada di dalam ruangan unit apartemennya.
Sekarang aku sedang melihat-lihat ke sekeliling ruang utama unitnya. Bentuk ruangan unit boss-ku sama dengan unit ruanganku. Ada ruang utama, kamar tidur utama yang berukuran besar, kamar tidur berukuran kecil, dan kamar mandi.
Ada tumpukan bantal-bantal di atas sofa merah gelap. Di dinding ruang utama, ada lukisan-lukisan semuanya dibingkai pigura dengan rapi. Kebanyakan lukisan adalah pemandangan malam kota Jakarta yang di dalam lukisan itu diterangi cahaya keemasan dari pijar lampu-lampu kendaraan, dan dari gedung bertingkat. Ada lukisan Taman Suropati di Menteng, kolam air mancur di Bundaran HI, dan Tugu Monas. Di bagian dinding yang lain, ada bingkai foto keluarga terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak. Ada sebuah LCD TV berukuran lebih kecil daripada punyaku diletakkan di atas sebuah bufet rendah berukuran sedang. TV dibiarkan menyala pada sebuah saluran TV berita.
“Huh! Kenapa dia nonton berita?” dengusku. Terus terang bagiku saluran TV berita tidak menarik untuk dijadikan tontonan di malam hari. Drakor adalah pilihan jitu untuk mengisi malam.
Terdengar olehku bunyi grendel pintu kamar mandi yang dibuka dari dalam. Boss muncul dari kamar mandi ia mengenakan kaus model t-shirt warna putih dan celana pendek sedengkul warna abu-abu. Kontras sekali dengan penampilannya saat ia kerja di kantor. Ia lantas duduk di sofa dan mengambil buku dari tumpukan buku di sudut meja. Ia berusaha membaca sebuah buku namun rupanya ia tak begitu berminat untuk membaca sebuah buku saat ini.
Boss beranjak dari sofa merah gelap. Ia ke kamar utama dan mengambil laptop. Boss kembali duduk di sofa merah gelap itu. Laptop ia letakkan di atas meja kecil di hadapannya. Sebelumnya di meja kecil itu ada secangkir kopi hitam instan yang tampaknya sudah tidak panas lagi.
Ia begitu serius memandang layar laptopnya dan tampaknya ia sedang berpikir. Setelah itu jari jemarinya seperti menari-nari di atas keyboard laptop, ia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Karena di samping sofa merah gelap yang ia duduki masih tersedia ruang yang cukup luas, aku pun ikut duduk di samping kiri boss sambil membaca apa yang ia ketik.
“Oh, rupanya boss menulis semacam catatan harian di laptopnya, ya ampun!” seruku.
Saat aku berseru entah kenapa ia menoleh ke arah kiri, ke arahku seolah ia tahu aku berseru. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sejurus kemudian ia memalingkan wajahnya ke layar laptop melanjutkan ketikan.
Jujur, aku tersenyam-senyum sendiri melihat kelakuan boss saat ini. Hal ini mengejutkan buatku, hari gini masih ada orang, laki-laki, dan ia boss-ku pula, yang menulis catatan harian. Aku membetulkan posisi dudukku di sampingnya agar lebih nyaman mengintip ia mengetik, dan tentu membaca apa yang ia ketik. Aku begitu antusias.
Dengan kecepatan yang tampak sangat terampil, jari-jemarinya mengetik di keyboard laptop. Tulisan boss itu aku baca dengan penuh perhatian, seperti ini:
HARI KAMIS.
Pada pagi hari orang-orang bergegas berlalu-lalang menuju suatu tempat. Dari dalam kendaraan, berkelebatan kata-kata samar pada papan-papan iklan dan nama-nama toko yang dituliskan warna-warni. Tulisan ini menjadi semacam catatan peristiwa sepanjang hari ini.
Pukul 05.30
Catatan hari ini dimulai dari bangun tidur di pagi hari. Ini pagi pertamaku terbangun dari tidur di apartemen ini.
Menu sarapan pagi sudah tersedia ketika aku bangun. Pembantu–paruh waktu–ku, bernama Ijah (kenapa ia harus bernama seperti itu ya? Stereotipe pembantu banget), telah menyiapkan sepiring nasi goreng telur ceplok dan secangkir kopi.
Sambil sarapan nonton televisi. Siaran Berita di televisi. Menyajikan berita-berita bombastis, kisah-kisah kaum selebritas dan sosialitas, komentar sinis para pengamat ekonomi dan politik yang kritis dengan pembawa berita yang modis. Berita selesai, sarapan pagi pun tandas. Ijah menyiapkan air panas untuk kupakai mandi. Ijah menjerang air sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Bersiul-siul juga. Kata Ijah, pemanas air di kamar mandiku rusak. Dan, aku pun belum mendapatkan teknisi untuk memperbaiki pemanas air serta ijin dari pengelola apartemen untuk perbaikan mesin pemanas airku. Aku pun belum tahu tentang prosedur yang berlaku di lingkungan apartemen ini.
Pukul 06.15
Ritual selanjutnya dimulai dengan, maaf, buang air besar. Begitulah, aku tak akan bisa berak apabila aku tak sarapan pagi. Membutuhkan waktu lima sampai sepuluh menit untuk melepas beban perutku ke dalam lubang kloset. Selesai itu cebok. Mencuci tangan, lalu mengambil alat pencukur kumis dan jenggot. Bisa dibayangkan apabila aku tak bercukur barang sehari, bisa-bisa lebat kumis dan jenggotku akan menyaingi para habib.
Bercukur di depan cermin beres. Sekarang sikat gigi. Aku memakai gigi palsu. Lantaran kenakalan masa remaja membuat beberapa gigi depan tanggal, akibat tawuran antar sekolah, dulu. Sampai kini pun tawuran masih ada, malah kualitasnya semakin sadis dan biadab. Gigiku pada waktu itu rontok dihajar gir sepeda motor lawan tawuran. Beruntung hanya rontok gigi, kalau nyawa yang rontok, tentu aku tak akan bisa membuat catatan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, gigi palsu menjadi dewa penyelamat penampilanku yang ganteng ini. Oleh karenanya aku bisa menyikat gigi dua kali dan sambil bersiul, pertama untuk gigi-gigi yang masih tersisa di gusi mulut, lantas gigi palsuku yang menawan.
Selesai sikat gigi, mencampur air panas yang ada di dalam ember dengan air biasa di bak mandi, lantas tanganku meraba-rabanya mencari suhu kehangatan yang tepat. Setelah suhu air pas dengan cara aku menyiramkannya ke kakiku, setelah itu aku mengguyur air hangat ke sekujur tubuh. Rambutku basah, berkeramas hukumnya wajib karena rambutku tipe berminyak, setelah itu membilasnya. Usai berkeramas, bersabun. Aku suka busa sabun yang berbuih-buih, lalu membilasnya. Mandi pun selesai. Ambil handuk dan mengeringkan tubuh. Keluar dari kamar mandi, Ijah nyeletuk, ”Gigi palsunya awas ketinggalan lagi!” Aku nyengir lantas menyeringai memperlihatkan gigi-geligi ke Ijah.
Pukul 07.00
Aku tahu Ijah sesekali mengintipku saat aku di kamar. Apabila aku berdehem ia akan pura-pura sedang merapikan sofa dan bantal-bantal yang ada di atasnya. Ijah bagaimanapun, ia perempuan. Apalagi usianya sudah 25. Tampangnya memang tak cantik, terkesan lugu dan ndeso, meski demikian ia memiliki postur tubuh yang aduhai banget.
Sebenarnya aku lebih sering membiarkan ia mengintip melalui celah pintu kamarku. Terkadang aku sengaja mematut tubuh telanjangku berlama-lama di depan cermin yang menempel di lemari. Setelah itu kulihat Ijah dengan ekor mata, Ijah mengintip dari balik pintu kamar, seperti pagi ini. Aku biarkan Ijah melumat tubuh telanjangku. Di balik pintu terdengar napasnya memburu kemudian seperti tercekat di udara. Beberapa saat kemudian suaranya lenyap. Hening sejenak. Aku pun merasakan kemaluanku meremang dan berdiri tegak.
Aku mengambil deodoran mengulasnya di ketiak kanan dan kiri. Menggunakan pelembap kulit, pada pergelangan tangan dan wajah. Setelah itu, memakai celana dalam, kaus dalam, celana bahan dan mengenakan kemeja, lalu memakai jas dan dasi. Merapikan rambut dengan memberikannya sedikit gel, dan menyisirnya. ”Amboi... tampan nian aku ini.”
Setiap pagi aku adalah makhluk tampan yang wangi. Oh iya, hampir lupa, aku belum menyemprotkan parfum. Sedikit semprotan pada kemeja dan pangkal leher, sudah pasti menguar aroma harum yang lembut nan maskulin. Aku dengar Ijah berteriak, ”Yang hitam atau yang cokelat?” Aku menyahutnya dengan menyebut cokelat. Sepatu yang akan kupakai hari ini.
Pukul 07.45
Tas kerjaku berisikan laptop dan berkas-berkas sudah disiapkan Ijah. Aku pamit padanya. Ia sudah mandi rupanya. Seperti biasa, rambutnya masih basah. Ia tersenyum, seperti berucap, ”Terima kasih untuk kenikmatan pagi ini” Tersebab ia habis mengintipku dan kurasa ia mendapatkan sensasi kenikmatan. Aku keluar dari unit apartemen, turun ke lantasi dasar dengan menggunakan lift dan menuju trotoar jalan di depan apartemen untuk menyetop taksi yang lewat.
Hari ini aku agak terburu-buru sehingga tidak sempat memesan taksi online. Pagi ini pagi yang cerah (aku tidak menceritakan suasana pagi dengan kata-kata yang indah dan puitis, catatan ini pun dibuat dengan bahasa yang menurutku enak diketik saja). 15 menit berlalu, tak ada taksi kosong yang lewat. 30 menit berlalu, aku masih berdiri di atas trotoar jalan di depan Gate 3 apartemen sambil melambaikan tangan pada setiap taksi yang lewat, walaupun kutahu taksi yang lewat itu berisi penumpang.
Aku berpikir, bukankah menunggu taksi yang kosong di pagi hari–saat semua orang bergegas menuju tempat kerja masing-masing itu–seperti menunggu kematian? Ya, kematian. Aku mengambil ponsel pintarku dari saku, dan membuka fitur twitter, lantas kutulis cuitan seperti ini:
”Menunggu taksi di pagi hari, sejatinya seperti menunggu maut yang menjemput. Kalau sudah gilirannya pasti dapat taksi yang kosong”. Hmm, masih ada sisa 16 karakter. Biarlah barangkali ada followers yang retweet: ”Mantap!” Atau menambahinya dengan ikon emoji tersenyum hehehe... Begitu selesai nulis di twitter, mendadak beberapa taksi kosong melintas di depanku, taksi-taksi itu bagai Izrail yang berkelebatan. ”Ajalku tiba akhirnya!”
Aku menyetop taksi berwarna biru yang sangat tersohor. ”Pak, ke Menara Thamrin dekat Sarinah!” kataku kepada sopir taksi, ia menganggukkan kepala. Tentu saja tanda ia mengerti tujuanku. Meskipun sopir taksi tak mengucapkan salam, ”Selamat Pagi,” misalnya, tak masalah. Bukankah salam hanya sekadar ucapan basa-basi belaka? Walaupun mengucapkan salam bagian dari SOP (Standard Operational Procedure) perusahaan taksi di mana pun berada tentunya.
Pukul 08.15
Beruntung sopir taksi tak banyak bicara. Bagiku yang sering mengunakan jasa taksi konvensional atau yang online, pasti akan sebal dan merasa tidak nyaman ketika sang sopir banyak bicara, apalagi ia pandai bicara soal politik dan ekonomi, sudah macam pengamat politik di televisi saja. Ya, beruntung. Aku bisa menikmati perjalanan dengan santai, sambil berdialog dengan diriku sendiri yang terhanyut oleh deru kendaraan bermotor di luar sana. Dialognya sederhana saja, bukan hal-hal berbau filsafat. ”Di depan kira-kira 100 meter dari sini, ada putaran-balik, pasti taksi ini akan kena macet.” Benar saja, terjadi kemacetan.
Setelah itu, memandang pengemis yang duduk meminta-minta di dekat rel perlintasan kereta api dekat Pasar Rumput. ”Pengemis itu bajunya kok ganti-ganti tiap hari ya? Rapi pula!” Aku tahu dari pemberitaan televisi, penghasilan pengemis bisa mengalahkan UMP buruh atau karyawan di Jakarta. Selalu ada tukang koran yang menawarkan jualannya di setiap pemberhentian lampu lalu-lintas saat lampu menyala merah. Koran cetak yang semakin langka ditemui apabila dibutuhkan. Pasti ada keributan kecil antar pengendara sepeda motor. Seorang tukang sampah menggulirkan gerobaknya. Memang begitu suasana setiap pagi ketika aku menuju kantor tempatku bekerja.
Pukul 08.55
Kantorku berada di sebuah gedung berlantai 30. Sungguh gedung pencakar langit. Satpam di gedung mengucapkan salam selamat pagi. Di sini, SOP mengucapkan salam dijalankan dengan benar dan ketat, bahkan sedikit dipaksakan (kalau melanggar SOP bisa celaka akibatnya, satpam itu bisa dipecat!). Masuk ke lobi gedung dan menunggu lift, menuju lantai 8. Ada 9 orang penumpang lift termasuk aku, ada yang berhenti dan keluar di lantai 1, 4, 6, 7 dan aku di lantai 8. Aku lihat sisa seorang, ia akan ke lantai 27.
Aroma khas kantor langsung menyeruak menyerbu indera penciumanku. Aroma khas itu adalah seperti wangi aroma terapi di tempat spa atau ruang pijat. Aku menekan alat pemindai sidik jari sebagai tanda kehadiran atau presensi. Menyapa office boy, Zai dan Iding, kedua pemuda ini adalah orang yang datang paling pagi dan pulang paling malam, selain security. Zai sedang menyapu dan Iding sedang membersihkan kaca.
Aku masuk menuju ke ruangan kantorku yang sangat luas dengan konsep tata ruang bersekat (cubicle). Setelah itu aku masuk ke cubicle-ku, aku menyalakan komputer yang disediakan kantor lantas mengeluarkan laptop yang kubawa. Di meja yang lain Sulis dan Nurul, admin di divisiku, sudah duduk di kursi masing-masing sambil menikmati sarapan bubur ayam yang mereka gelar di atas meja kerja. Maklum kedua perempuan itu berdomisili di Depok, tiap hari ke kantor naik Commuter Line alias KRL. Jadi, ya begitu sampai di kantor, langsung menggelar sarapan.
Lalu lima menit berselang datang Mando manajer regional, lelaki bertubuh tinggi dan bertato di kedua lengan tangannya, dan di lehernya (perusahaan kami tidak melarang karyawan memiliki tato, yang tidak boleh, korupsi). Datang Pius supervisor quality control, lelaki asal NTT dengan suara nyaring dan cempreng apabila ia menerima telepon dari klien kami. Erry hadir, lelaki kelimis dengan jabatan manajer operasional dan ia paling sering panik apabila ditegur Pak Direktur.
Selanjutnya Pian manajer IT, lelaki bertubuh tambun, apabila suasana kantor sedang sepi, napasnya sering terdengar serupa orang mendengkur ketika ia asyik mengetik surat atau laporan. Diikuti Neneng, perempuan bertubuh kurus, manajer area yang keibuan tetapi disegani oleh anak-anak toko. Ada Lisbeth, perempuan berparas cantik dengan dada yang cukup ranum, manajer marketing dan promosi di sini.
Setelah itu Desi bagian purchasing, yang baru saja pulang umroh dan kini berhijab (lantas masuk Komunitas Hijabers Jakarta). Sebelumnya rambut Desi tergerai dan dicat warna kuning kecokelatan. Telah duduk di kursi dan meja kerja paling ujung, Anang, lelaki paling tenang dan sering tak tampak di kantor, entah kemana ia apabila tidak berada di kantor? Dan Freddi general affair supervisor, sang ustad, lelaki ini paling rajin salat dan mengajak karyawan yang muslim untuk salat tepat pada waktunya. Hmm, itu di sana sudah ada Lala manajer Training, perempuan bertubuh semampai, tutur bahasanya halus dan sedikit misterius saat ia tersenyum. Dan penghuni kantor yang lain dari berbagai divisi yang tak bisa kurinci satu per satu di catatan ini.
Ada seorang yang telah tiada di ruang kantor ini. Ia sekretarisku, secara fisik ia memiliki wajah yang cantik. Wajah dengan dagu kecil, pipi yang bercahaya, dan hidung kecil manis yang sedikit melengkung dengan mata besar dan cokelat, warna cokelat yang berkilau hampir keemasan serta bulu mata yang lentik indah. Tapi menyedihkan, ia saat ini sudah tak ada di antara kami. Mengingatnya aku menjadi sedih. Ia meninggal dunia 6 bulan yang lalu.
Sementara aku adalah Senior Manajer di Divisi Personalia perusahaan ini. Hari ini, aku akan mewawancarai calon karyawan untuk ditempatkan di beberapa toko fashion, departement store, gerai restoran, dan kafe milik perusahaan kami.
Ketika jam 12 siang berdentang, beberapa karyawan berhenti bekerja dan berebutan lift turun untuk makan siang. Aku melirik arloji, tanggung. Aku teruskan saja wawancara dengan seseorang yang terlihat tolol di mataku. Si Tolol ini berusaha untuk menjual dirinya dengan menyakinku bahwa ia berpengalaman kerja di tempat kerjanya yang lama, namun sayang ia tak pandai berimajinasi (aku sarankan ia belajar menulis dan jadi penulis fiksi agar memiliki daya imajinasi yang tinggi).
Oke, wawancara selesai. aku pun istirahat makan siang. Iding telah menyiapkan sebungkus sate ayam, lontong dan kerupuk. Usai makan siang, aku melanjutkan wawancara yang membosankan ini. Meski demikian, aku tetap fokus, sehingga calon karyawan yang akan kami rekrut berkualitas. Terus terang, merekrut karyawan di zaman sekarang susah-susah gampang. Gampangnya, banyak pengangguran yang butuh kerjaan. Susahnya, pada dasarnya orang Indonesia itu malas bekerja.
Tak terasa senja telah datang. Aku teringat Seno Gumira Ajidarma, pengarang yang doyan menulis tentang senja. Bagiku senja berarti pulang kerja. Akhir segala kepenatan. Sungguh aku merasa lega.
Pukul 18.15
Saat aku keluar kantor, langit hampir gelap. Mencari taksi online menjadi perkara mudah. Taksi online yang aku tumpangi melesat membelah malam. Sopir taksi ini pun tak banyak bicara. Sungguh sebuah kondisi yang sangat kuinginkan, karena sedari tadi aku telah banyak bicara saat mewawancarai calon karyawan di kantor hari ini.
Suasana menjelang malam ini lebih syahdu, pendaran lampu-lampu jalanan dan pijaran lampu dari gedung-gedung bertingkat membuat suasana romantis. Cahaya lampu dari kendaraan bermotor menimbulkan bayangan-bayangan aneh namun hidup. Bayangan-bayangan itu bagai menari-nari di pelupuk mata saya. ”Kalibatanya di mana?” Suara sopir taksi tadi membuyarkan liukkan penari yang sedang bergoyang-goyang dalam benakku. ”Di Kalcit, nanti berhentinya di depan Gate 3 aja di bawah JPO, Pak!” kataku pada sopir taksi online.
Pukul 19.00
Taksi tidak masuk ke kawasan apartemen, aku turun di depan gate 3 tepat di bawah JPO. Kemudian aku berjalan kaki dari gate 3 menuju tower apartemenku, sesampainya di depan unit lift seperti biasa telah banyak penghuni tower ini bergerombol di depan 6 pintu lift yang belum terbuka, kami dengan sabar menunggu lift untuk naik ke atas. Di dalam lift tadi sambil sibuk membuka-buka laman sosial mediaku, aku sempat mendengar curhat seorang gadis berkemeja koki kepada dua orang temannya. Lantas ada juga dua orang ibu-ibu ngobrol tentang arisan yang mereka ikuti dengan suara yang cukup berisik hingga gosip dan rumor tentang teman-teman mereka yang lain terkuak di telinga kami para penumpang lift.
Saat masuk kamar, Ijah sudah pulang. Biasanya ia akan pulang sekitar pukul 18.00 saat ia selesai membuat makan malam untukku.
Pukul 19:30
Aku lebih memilih makan malam dengan terburu-buru. Tanpa mandi malam terlebih dahulu, hanya sekadar sikat gigi dan cuci muka aku tidur-tiduran menghilangkan penat di atas ranjang. Menyurukkan kepala di bawah bantal dengan harapan mataku bisa terpejam, lalu didatangi mimpi-mimpi. Tapi kenyataannya aku tak bisa tidur secepat itu.
Pukul 23.00, aku menulis catatan harian ini untuk kuposting di blog pribadiku nanti. Malam ini insomnia menyerangku lagi, dan aku ingin sekali ada seseorang yang menemaniku hingga aku tertidur nanti.
Bramantio Aditya Nugraha.
**
“Ya, nama bossku ini Bramantio Aditya Nugraha,” ucapku spontan. Ada semacam rasa senang bercampur lucu ketika aku membaca catatan hariannya hingga selesai ia ketik. Begini rasanya mengintip sungguh menyenangkan.
“Ah, kelakuanku seperti Ijah aja dalam catatan harian boss,” cetusku dalam hati.
Dalam imajinasiku, Ijah itu bertubuh padat dan tampak seksi. Rambutnya sedikit lebih gelap dan pendek. Rambutnya yang tidak terlalu panjang itu dipilin menjadi simpul dan diikat sedemikian rupa dengan pengikat rambut ala kadarnya supaya rambutnya tidak tergerai dan agar ujung rambutnya tidak terjatuh di lantai unit kamar boss-ku ini.
Usia boss-ku pertengahan 35-an. Aku adalah sekretarisnya dan terus terang aku suka banget dengannya. Aku mengaguminya karena ia tampan. Tapi kenapa ia menulis bahwa aku meninggal dunia 6 bulan yang lalu? Padahal aku begitu yakin, aku menjadi hantu baru satu hari. Hari ini.
Boss-ku menutup laptopnya dan meletakkannya di atas meja kecil di hadapannya. Ia merebahkan kepalanya di dudukan sofa dan menselonjorkan tubuhnya di sofa, ia mememeluk sebuah bantal kecil sambil menatap TV yang masih menyiarkan Berita Malam Terkini. Kopi hitam instan yang sudah dingin itu ia seruput hingga tuntas.
“Makin insomnia kamu, Boss!” celutukku setengah berteriak.
Entah kenapa ia menoleh lagi ke arah kiri, ke arahku yang masih duduk di sofa di sampingnya.
“Malam jumat sialan!” umpat Boss.
“Apakah ia merasakan kehadiranku?” Aku bertanya pada diriku sendiri di dalam hati seolah aku takut suaraku akan terdengar olehnya.
Boss akhirnya mengambil dua butir obat tidur ketika waktu menunjukkan pukul 00.30 dan hari telah berganti. Rupanya ia benar-benar mengidap insomnia yang cukup kronis. Tampaknya ia sudah sangat tergantung dengan obat tidur berbetuk pil kecil berwarna putih itu. Beberapa saat setelah ia menenggak dua butir pil tidur itu, dengan langkah sempoyangan ia menuju kamarnya, menjatuhkan dirinya di atas ranjang, merebahkan tubuhnya dengan posisi terlentang, setelah itu Boss telah tertidur dengan pulasnya.
Aku keluar dari unit apartemen Boss-ku dengan menerabas pintu, lalu aku berjalan santai di lorong koridor menuju unit kamarku.
Ketika aku mencapai pintu unit apartemenku, pintu itu tidak terkunci, malah daun pintunya sedikit terbuka. Di dalam ruang utama, semua lampu menyala sehingga ruangan menjadi terang-benderang. Pendaran cahaya lampu yang dinyalakan semua itu membuat mataku silau.
“Apa yang terjadi?”
“Bukan kah pintunya tadi tertutup?”
Dengan perlahan aku menyelinap ke unit apartemenku. Aku masuk ke kamarku, kulihat kedua jendela kamarku terbuka. Sehelai gorden tipis putih melambai-lambai oleh embusan angin malam. Lampu di kamarku pun menyala semua.
Aku tercekat, saat ini aku seperti hantu yang gelisah.
Ingin sekali aku menutup pintu unitku, merapatkan jendela kamar, dan merapikan gorden. Tapi semua itu mustahil kulakukan. Saat aku masuk tadi, aku sudah berusaha mendorong daun pintu agar tertutup dan ternyata tidak bisa kulakukan. Aku seperti mendorong udara.
Di kamar aku melihat bantal-bantal dan selimut telah berhamburan di lantai. Pintu lemari terbuka lebar, beberapa pakaian, bra dan celana dalam berceceran di lantai. Meja riasku berantakan, laci-lacinya terbuka isinya berupa buku-buku bertebaran di lantai.
“Kenapa kamarku diacak-acak seperti ini?”
“Duh, berantakan sekali. Semoga saja nggak ada pakaian dalamku yang diambil.”
Tentu saja aku tak bisa menyampaikan keluhan dan melaporkan bahwa ada seseorang yang masuk ke unitku dan mengacak-acak isi apartemenku ini kepada petugas keamanan yang berjaga 24 jam di lobi lantai dasar tower apartemen ini.
“Ternyata menyusahkan juga menjadi hantu,” keluhku.
“Siapa yang berani-beraninya masuk ke kamarku?”
“Tampaknya seseorang itu mencari sesuatu di kamarku. Tapi apa?”
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku. Aku akhirnya merasa sangat lelah. Ternyata sebagai hantu aku bisa juga diserang rasa ngantuk yang luar biasa akibat kelelahan. Tanpa memedulikan apa terjadi saat ini di unit apartemenku, aku menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, dan aku pun langsung masuk ke fase tidur yang paling dalam. Aku terlelap.
Rasanya aneh sekali tertidur pulas sebagai hantu.
Aku terbangun oleh sebuah ketukan kecil berkali-kali di pintu unitku. Seperti biasa dengan gerakan malas karena masih mengantuk aku membuka kelopak mata, menggeliatkan tubuhku, lantas duduk termenung di tubir ranjang sambil meremas rambutku yang berantakan.
“Siapa yang mengetuk pintu?” gerutuku.
Ketika aku membuka pintu, betapa kagetnya aku, karena aku bisa memegang gagang pintu. Dan sewaktu aku membuka pintu, saat daun pintunya terkuak, tambah terkejut diriku, mataku sampai terbelalak karena wajah boss-ku yang selalu berpakaian rapi dengan setelan jas dan berdasi itu telah berada tepat di depan mukaku. Tentu saja aku menjerit.
“Boss, kamu melihatku?!” Jeritku antara percaya dan tidak percaya.
“Gladis, Gladis, Gladis… kamu terlambat bangun lagi ya? Ayo cepetan mandi, kutunggu kamu di kafe bawah. Ingat hari ini kita harus mewawancarai banyak calon karyawan, buaran!” ujarnya dengan suara yang dibuat-buat galak sambil ia beranjak pergi dari pintu kamarku menuju ke arah lift.
Aku gamang berdiri terpaku di depan pintu. Lantas aku berlari ke arah balkon, membuka pintunya dan aku melihat langit biru yang bersih di atasnya. Ada awan-awan putih bundar. Saat melihat ke bawah ke arah pelataran kolam renang, semuanya tampak normal dan memang pada tempatnya.
Aku menggigit bibir bawahku keras-keras dan aku merasakan bibirku terasa perih, kuyakin kali ini aku sedang tidak bermimpi.
Mendadak di hadapanku muncul seekor kucing berbulu hitam, bermata biru kelabu, ada warna putih di ujung ekornya yang terus bergoyang-goyang, kucing itu tengah memandangiku dengan tatapan sedih. Aku menahan napas saat kucing itu berjalan ke arahku, kucing itu mendekat, dan menjilat-jilati kakiku. Kucing itu pun tanpa malu-malu melingkarkan badannya di sela-sela kakiku dan menggosok-gosok tubuhnya di kakiku. Aku makin yakin aku adalah zat yang memiliki masa padat seperti tubuh manusia, bukan sesosok hantu.
Tapi dari mana datangnya kucing hitam itu? Kucing hitam itu kubiarkan berkeliaran di ruang utama unit apartemenku.
Aku memutuskan buru-buru mandi, berdandan, dan bermaksud turun menuju kafe di mana boss menungguku.
Saat keluar dari pintu unitku. Ada dua petugas keamanan yang baru saja mengunci pintu unit apartemen lain yang tepat berada di depan unitku dengan kunci cadangan. Di sisi lain ada dua petugas kebersihan sedang sibuk dengan pekerjaannya menyapu dan mengepel lantai.
Dua petugas keamanan itu lantas bercakap-cakap.
“Hanya polisi yang boleh masuk ke unit ini,” kata seorang dari mereka.
“Setuju. Kita harus segera membuat laporan ke Polres Jaksel, bahwa pintu unit apartemen yang menjadi TKP pembunuhan pintunya terbuka. Dan hanya petugas polisi yang boleh masuk ke TKP,” ujar petugas keamanan yang lain.
Mendengar percakapan petugas keamanan itu aku merinding dan bergidik.
“Hah! TKP pembunuhan?”
“Siapa yang dibunuh di unit apartemenku?”
“Kasihan juga penghuni unit ini. Ia dinyatakan dibunuh, tetapi polisi tidak menemukan jasadnya di sini,” komentar salah satu petugas keamanan.
“Polisi menduga setelah dibunuh di sini, mayatnya dipindahkan ke tempat lain. Makanya sampai sekarang penghuni unit ini sudah dinyatakan tewas berdasarkan olah TKP karena polisi menemukan bercak darah. Tapi sayangnya jenazahnya belum ditemukan sampai sekarang,” timpal petugas keamanan yang satunya lagi.
“ Ya, begitulah. Cewek itu dimutilasi agar memudahkan si pembunuh untuk memindahkan mayatnya,” celoteh petugas keamanan yang lain.
“Kasusnya pun bukan penculikan karena sampai saat ini tidak ada orang yang menuntut sesuatu kepada keluarga keluarga korban,” kata petugas keamanaan yang satunya lagi.
“Kucing hitam milik cewek yang dibunuh itu pun juga menghilang,” ujar petugas keamanan yang lain.
“Aku yakin, cewek itu sudah menjadi menjadi hantu!” Pungkas petugas keamanan yang satunya lagi.
“Hantu penasaran!” kata mereka bersamaan.
Sambil menyilangkan tangan di dadaku dan menaikkan alisku, aku bertanya kepada kedua petugas keamanan itu dengan suara yang cukup keras.
“Pak, siapa yang dibunuh dan jadi hantu?”
Kedua petugas keamanan itu beranjak dari depan pintu tanpa menoleh ke arahku. Seolah-olah kehadiranku tidak ada dan seperti hantu.
Aku mengerjapkan mataku, cahaya yang kabur terlihat olehku, seperti kombinasi terang dan gelap, sedikit jelas, tapi sedikit kabur. Aku berjuang mengatasi kebingungan ini. Apakah ini bagian dari mimpi atau suatu kenyataan. Beberapa potongan kejadian berkelebat dalam benakku.
Aku menghirup dan menghembuskan napas bersamaan, ketika ponselku bergetar. Telepon dari boss. Tampaknya ia sudah tak sabar menungguku yang masih terpaku di koridor lantai 18 apartemen ini.***
Kalibata City, 01 November 2022