Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
2
Suka
89
Dibaca

Asa yang biasanya membuncah setiap pagi, kini terasa seperti beban berat yang menekan dada. Semangat yang dulu membara, kini hanya menyisakan abu dingin di sudut hati. Kabarmu baru saja menghantamku lebih keras dari badai terburuk. "Aku belum bisa menjalin hubungan yang serius," katamu, dan nada lembut itu justru mengiris perasaanku lebih dalam. Kata-kata itu terasa seperti racun yang merambat perlahan, mematikan pohon harapan yang sempat tumbuh.

Aku tahu, jauh di lubuk hati yang paling dalam, bahwa itu adalah penolakan yang dibungkus dengan kesantunan. Alasan yang mungkin terdengar logis bagi orang lain, namun terasa begitu menusuk dan personal bagiku. Bukankah aku adalah personifikasi dari semangat itu sendiri? Bukankah antusiasme selalu menjadi bahan bakar dalam setiap langkahku? Mengapa kali ini, gejolak itu terasa seperti api yang membakar habis diriku dari dalam?

"Apa alasannya kau menyukaiku?" tanyamu lagi, tatapan polosmu bagai anak panah yang tepat mengenai sasarannya. "Bukankah aku tidak masuk kriteriamu?"

Pertanyaan itu bagai garam yang ditaburkan di atas luka yang masih menganga. Kriteria? Lucu sekali. Sejak kapan cinta bisa diukur dengan daftar persyaratan? Kamu adalah pengecualian dari segala ekspektasi, sebuah kejutan indah yang tak pernah kubayangkan. Aku jatuh cinta pada senyumanmu yang tulus ketika kita berpaoasan. Bagaimana mungkin kamu bukan kriteriaku, sedangkan setiap definisi 'suka' di benakku kini terukir jelas wajahmu?

Hari ini juga, aku berdiri di gerbang sebuah gedung pertemuan yang dihias indah. Aroma bunga dan riuh rendah suara tamu undangan menyeruak, menyambut pernikahan sahabat karibku, Ohim. Seharusnya, aku ikut berbahagia. Seharusnya, senyumku merekah tulus seperti tamu-tamu lainnya. Namun, yang kurasakan hanyalah hampa yang berusaha kututupi dengan senyum tipis yang kupaksakan. Sungguh berbeda sekali dengan datang ke pesta kemarin, ketika kubaca sebuah pesan darimu sebelum menuju buku tamu, "Sekarang ijabnya lebih mudah bukan, karena sudah mengetahui nama calonmu dan bintinya"

Namun hari ini, di tengah ramainya obrolan dan ucapan selamat, aku berusaha menyatu, tertawa di saat yang tepat, dan mengangguk seolah mengerti setiap percakapan. Namun, pikiranku jauh melayang, kembali pada kata-katamu yang masih terngiang. "Aku belum bisa membalas peerasaan sesuai dengan yang kau harapkan." Sebuah kalimat yang sederhana, namun mampu merobek-robek semangatku hingga berkeping-keping.

"Hei, melamun saja!" tepukan di bahuku membuyarkan lamunanku. Itu Hafid, salah satu teman dekat Ohim. "Pengantinnya sudah sah, tinggal kita nih, kapan nyusul?" Candaannya disambut tawa riuh teman-teman yang lain. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Kapan? Pertanyaan itu terasa seperti sindiran halus bagi hatiku yang baru saja terluka.

Kemudian, mata mereka tertuju pada seorang wanita anggun yang berdiri di meja buku tamu. Ia tersenyum ramah kepada setiap tamu yang datang, sesekali melirik ke arah kami. "Nah, itu dia kesempatanmu!" seru Hendri, sambil menyikut lenganku. "Cantik kan? Jaga buku tamu saja sudah seanggun itu, apalagi kalau jadi pendamping hidup?"

Candaan mereka berlanjut, saling menyemangati dan mendorongku untuk mendekati wanita itu. Aku melihatnya sekilas. Dia memang manis, dengan senyum yang menawan. Bahkan, ketika aku tak sengaja bertukar pandang dengannya, ia memberikan senyum kecil yang membuat jantungku berdebar sesaat. Namun, debaran itu terasa asing, tidak sehangat debaran yang selalu kurasakan saat melihatmu.

"Sudahlah, jangan bengong terus," ujar Wawan, sambil mendorong pelan punggungku. "Sana, ajak kenalan. Siapa tahu dia jodohmu."

Aku menggeleng pelan, berusaha menolak dengan halus. "Aku sedang tidak ingin memikirkan hal itu."

"Alah, alasan saja," timpal Hafid. "Masa iya, lihat wanita cantik begitu tidak tertarik sama sekali? Kamu ini kenapa sih?"

Aku hanya bisa menghela napas. Bagaimana mungkin aku menjelaskan kepada mereka, bahwa hatiku sudah terisi penuh olehmu? Bahwa setiap sudut ruang di dalam diriku masih terukir namamu? Wanita di meja buku tamu itu memang menarik, dan tatapannya yang sesekali tertuju padaku menimbulkan sedikit rasa penasaran. Bahkan, saat aku mengambil makanan di dekat meja prasmanan, aku kembali mendapati dirinya menatapku dengan senyum misterius. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa diperhatikan, dihargai.

Namun, semua itu terasa sia-sia. Seperti melukis di atas kanvas yang sudah penuh dengan lukisan lain. Kamu sudah terlanjur memenuhi setiap inci hatiku. Setiap perbandingan terasa tidak adil baginya, karena bayang-bayangmu terlalu kuat untuk dikalahkan.

Sepanjang acara pernikahan, aku berusaha keras untuk menikmati suasana. Aku memberikan selamat kepada Ohim dan istrinya, ikut berfoto, dan mencoba terlibat dalam percakapan. Namun, di balik senyum palsuku, hatiku terasa seperti tanah kering yang merindukan hujan. Aku merindukan semangat yang dulu selalu membara dalam diriku, merindukan antusiasme yang membuatku tak sabar menyambut setiap pagi. Semua itu terasa redup sejak kamu mengatakan kalimat itu.

Aku terus memperhatikan wanita penjaga buku tamu dan prasmanan itu dari jauh. Sesekali, tatapan kami bertemu, dan ia selalu memberikan senyum yang sama. Ada sesuatu yang menarik darinya, sebuah kehangatan yang terasa tulus. Mungkin, di dunia yang berbeda, di waktu yang berbeda, aku bisa saja tertarik padanya. Mungkin, jika hatiku tidak terlanjur terpaut padamu, aku bisa saja mencoba mengenalnya lebih jauh.

Namun, kenyataannya adalah, aku terlanjur sangat jatuh cinta kepadamu. Sebuah perasaan yang mungkin terdengar bodoh dan menyedihkan sekarang, mengingat penolakanmu yang halus namun tegas. Aku seperti seorang pelaut yang kapalnya telah karam, masih berpegangan pada puing-puing kenangan indah tentang pelayaran yang tak akan pernah terulang.

Candaan teman-temanku tentang wanita penjaga buku tamu itu terus berlanjut sepanjang acara. Mereka melihat ketertarikan wanita itu sebagai lampu hijau bagiku, sebuah kesempatan untuk melupakanmu. Namun, mereka tidak mengerti bahwa hati tidak bekerja seperti itu. Hati tidak bisa dipaksa untuk mencintai orang lain hanya karena ada kesempatan. Hati memiliki jalannya sendiri, dan jalanku saat ini masih terukir jelas menuju kamu, meskipun jalan itu masih buntu.

Saat acara pernikahan hampir usai, aku melihat wanita itu sedang membereskan mejanya. mau tak mau kami menghampirinya ketika ia berusaha memberikan souvenir pernikahan. bukan karena dorongan teman-teman, melainkan karena ada rasa ingin tahu yang tiba-tiba muncul.

"Terima kasih sudah menjaga buku tamu," ucap Hafid yang berjalan lebih dulu, senyumnya kali ini sedikit lebih tulus.

"Sama-sama," jawabnya dengan senyum yang lebih lebar. "Selamat untuk teman Anda."

"Ya, terima kasih," balas Hafid.

Wanita itu melihatku, kami terdiam sejenak, saling bertukar pandang. Ada kehangatan dan keramahan dalam tatapannya yang membuatku merasa sedikit tak nyaman.

"Anda terlihat sedikit... tidak bersemangat," ujarnya pelan, seolah membaca pikiranku.

Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? "Ah, tidak apa-apa," jawabku berusaha menyangkal. "Hanya sedikit lelah."

"Semoga harimu membaik," katanya tulus.

"Terima kasih," balasku. Aku mengangguk singkat dan berbalik, berjalan menjauhi gedung pertemuan. Kata-katanya sederhana darinya, memuai dengan keinginanku yang ingin segera pulang.

Di luar, langit sore mulai menggelap. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menghirup udara segar.

Ironisnya diperjalanan menuju parkiran, Wawan membaca raut wajahku. Ia teringat aku sangat suka kepadamu,"Cara paling ampuh untuk menghilangkan daya tarik wanita kepadamu adalah dengan mengakui bahwa kamu mencintainya." Dulu, aku hanya tertawa mendengarnya, menganggapnya sebagai gurauan belaka. Kini, kata-kata itu terngiang di telinga dengan nada yang menyayat hati. Aku telah mengakui perasaan, namun balasanya adalah kehampaan yang dingin dan menyesakkan. Perjalanan pulang terasa seperti berkendara dijalanan berduri. Di rumah segera aku tumbang, di kasur yang terlalu luas untuk pria seorang diri.

Lalu, apa yang tersisa untukku sekarang? Semangatku seolah telah menguap bersama pengakuan cinta. Bahkan untuk sekadar bangkit dari tempat tidur pun terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ide-ide brilian yang dulu selalu menari-nari di benakku, kini menghilang tanpa jejak. Dunia di sekitarku kehilangan semua warnanya, menjadi abu-abu dan suram.

Apakah saat ini aku sedang patah hati? Ya, kurasa inilah rasanya. Bukan sakit karena cinta yang tak terbalas, tetapi karena kamu tidak meminta untuk memperjuangkanmu. Kamu menyukaiku dengan sangat, tetapi kamu meminta untuk mulai mencari yang lain. Sebuah ambigu yang melemahkan indra perasa.

Sejatinya, di tengah lautan keputusasaan ini, sebuah pemikiran kecil mulai bersemi. Mungkin benar, dengan mengakui perasaanku, daya tarik itu memang memudar. Bukan hanya daya tarikmu padaku, tetapi juga ketergantunganku padamu.

Kuijinkan aku kecewa, merasa lelah, tetapi tidak boleh terlalu lama.

Sudah waktunya untuk mengumpulkan kembali serpihan-serpihan semangatku yang hancur, untuk mencari kembali diriku yang hilang di antara bayang-bayangmu. Jalan di depan mungkin terasa panjang dan gelap, tetapi aku harus mencoba melangkah. Bukan untuk mencari penggantimu, melainkan untuk menemukan kembali kebahagiaanku yang sempat tertunda. Merajut asa untuk terus memperjuangkanmu. Jadi katakanlah, "tolong jangan menyerah dan perjuangkan aku."

-Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
My Weird Neighbor
andra fedya
Flash
Tipu Daya Lelaki yang Sudah Berumur
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Novel
Last Love
Laila Nur Fitria D
Novel
My Dream
Arum Firdaus Safitri
Novel
Kisah di Akhir November
Roy Rolland
Novel
Dunia Riska
misseva
Novel
Tenggelam di Bulan Mei
Feilia Song
Cerpen
Secangkir Moccacino untuk Nona Manis
anjel
Skrip Film
Kamu Orang Seperti Apa Ketika Jatuh Cinta?
IndaahNs
Novel
Bronze
Kereta Api Terakhir
Yellowflies
Komik
Bronze
Pacarku Ketua Genk
Mery Shera
Cerpen
Bronze
Kamu dan Angan
Ilfina Azka Najah
Novel
Gold
Iris
Bentang Pustaka
Novel
Baby Without Parent
C R KHAN
Rekomendasi
Flash
Tipu Daya Lelaki yang Sudah Berumur
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Flash
Rahma, Warnaku Abadi
Ron Nee Soo
Cerpen
Setiap satu sendok bumbu kacang adalah satu kesempatan yang hilang
Ron Nee Soo
Cerpen
ada cinta luar biasa yang engkau terima tanpa harus bersusah payah mencarinya
Ron Nee Soo
Cerpen
Jejak Kebaikan yang Tak Berujung
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sttt... Jangan berisik. Kebenaran Bersembunyi dalam Sunyi
Ron Nee Soo
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Cerpen
Tahta Sunyi Sang Antagonis
Ron Nee Soo
Flash
Ekspektasi
Ron Nee Soo
Flash
Dua Tahun Lagi
Ron Nee Soo
Flash
Nyanyian Kode
Ron Nee Soo
Cerpen
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo
Cerpen
Sukma Artis Figuran
Ron Nee Soo
Flash
Sabar adalah Sungai, Senyumanmu adalah Muaranya
Ron Nee Soo