Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
‘Shourai no yume
Ookina kibou wasurenai’
“kak…”
‘Juunen-go no hachigatsu
Mata deaeru no wo shinjite’
“kaaakkk…”
‘Saikou no omoide wo...’
Aku menoleh, membuka kupluk hoodie dan melepas earphone yang ku gunakan untuk memutar salah satu lagu dari jepang itu.
“ihh,, pantes gak denger dari tadi dipanggil, ternyata kuping-nya di sumpal.” Seorang cewek yang berpenampilan mirip dengan-ku berbicara sendiri menghadap kearah ku.
“hallo!!! Aku bicara sama kakak.” Ucap gadis itu ketika melihat ku celingukan, mencari siapa yang cewek ini ajak bicara.
Aku menunjuk diri sendiri sambil mengangkat alis, seolah bertanya.
“iya kakak yang pake hoodie hitam, celana…” cewek itu mengamati celana yang ku pakai, “ celana jeans apa itu warnanya, dan duduk sendirian di pojok. Aku bicara sama kakak.”
Cerewet! Aku langsung menilai cewek ini dengan sebutan itu.
“boleh gak aku duduk disini?” dia menunjuk samping ku.
Aku melihat ke semua tempat di café itu dan ternyata penuh, lalu aku melihat kearah-nya menaikan satu alis, “hah!?”
Gak ada kursi di sampingku, dan tempat ku ini hanya ada 1 kursi dan 1 meja. Mau duduk dimana? Masak iya lesehan di bawah?
Cewek itu lalu mengambil kursi lipat di depan meja bundar ku, ternyata ada sebuah tas yang tergeletak disana.
Aku tidak melihatnya sampai aku mencondongkan tubuh, tertutup oleh pinggiran meja.
Aku menggeser sedikit kursi ku, memberinya ruang untuk meletakkan kursi kecil nya.
Dia melihatku sebentar, “makasih kak.”
Aku hanya mengangguk lalu Kembali memasang satu earphone dan lanjut membaca buku yang ku pegang.
Aku focus membaca cerita sehingga tidak memperhatikan cewek tadi.
Tiba-tiba cewek tadi menyentuh lenganku dengan jarinya berulang kali.
Aku Kembali menoleh dan sedikit terkejut karena mulut nya sedikit belepotan dengan bumbu chips jagung dan ternyata suara kriuk-kriuk cukup mengganggu dari tadi berasal dari-nya. Ku kira earphone ku yang bermasalah.
“boleh minta minum-nya gak? hehehe.”
Aku terbengong. Memang-nya dia ngapain ke café ini kalau gak pesen minum juga?
Dan juga kenapa dia malah bawa cemilan dari luar, gak pesen disini aja sekalian minum-nya?
Karena gak mau ribet, aku mengambil tissu untuk mengelap ujung sedotan karena sudah terkontaminasi dengan mulut ku.
“gak usak kak! Langsung aja gak papa.” Dia langsung mengambil minuman ku lalu tanpa beban memasukan sedotan yang sebelumnya sudah bercampur dengan mulut ku.
Aku cukup heran, siapa cewek ini?
“ah segar-nya.” Terlihat dia sangat lega setelah meminum hampir keseluruhan mimumanku itu, “eh, maaf kak. Kelepasan, soalnya haus banget, aku ganti ya?”
Aku menggeleng dan melihat ekspresinya yang merasa bersalah.
“beneran nih gamau aku ganti?”
Aku mengambil cup minuman yang dia taruh Kembali ke meja, hampir habis?
Ini kan coklat pait, apa lidah nya mati rasa meneguk hampir habis semuanya?
“ihh kak, aku ganti aja ya? Kakak keliatan gak ikhlas gitu.”
Aku Kembali menggeleng.
“ngomong dong kak, jangan geleng sama ngangguk doang dari tadi.”
Aku meletakkan cup itu Kembali dan tidak lagi menggubris cewek aneh itu.
Aku meneruskan membaca buku, tapi kali ini aku tidak focus karena cewek disampingku ini terus memakan banyak cemilan yang kurasa itu setara dengan satu porsi nasi sama lauk-lauknya.
“hheeekkk…” dia sendawa cukup keras, dan membuatku Kembali menoleh heran.
“hehehe, kenyang kak. Normal kan orang kenyang sendawa.” Dia Kembali menyengirkan gigi-nya yang rapih dan matanya yang Kembali tertutup ketika melakukan hal itu.
Aku hanya menggeleng lalu setelah-nya berdiri, berniat untuk pulang.
“eh kak? Mau kemana? Keganggu ya? Maaf deh, jangan pergi dong. Gaada temen-nya nih.”
Aku menunjuk jam dinding yang ada di sebelah kasir untuk menunjukkan sudah jam berapa ini.
“oh udah malam toh. Yaudah yuk pulang.” Dia ikut membereskan barang-barang dan sampah bungkus cemilan-nya.
Aku meninggalkan cewek aneh itu lalu keluar menuju parkiran.
Saat di luar café, cewek itu Kembali memanggil.
“tunggu!!!” dia cukup kerepotan sambil membenarkan gendongan tas yang cukup besar.
“kakak mau pulang kan? Boleh nebeng gak?”
Aku Kembali dikejutkan dengan sikap aneh cewek ini, nebeng?
Apa dia gak takut ngomong seperti itu sama orang yang gak dia kenal?
Bodo amat! Aku langsung tinggalin cewek ini, aneh!
Masak mau nebeng? Kita aja gak kenal. Iya kalau searah, kalau enggak? Kan repot.
Lagi pula kok dia dengan pede dan gak takut mau nebeng sama orang gak di kenal, cowok pula. Kalau sampai kenap-napa kan dia juga yang dalam bahaya.
“wah!!! Ini motor kakak?”
“Astaugfirullah!!!” Aku kaget bukan main saat tau cewek ini ternyata ikut di belakang ku.
Dia langsung reflek melihat kearah ku, “lah ternyata bisa ngomong juga? Kenapa dari tadi diem aja sih?”
Aku mengelus dada, kaget itu cukup bikin organ dalam terasa nyeri.
“kamu ngapain ngikut sih?” akhirnya aku mau gak mau mengeluarkan suara.
Dia menyipitkan matanya sebentar lalu Kembali normal.
“kan aku udah bilang tadi, aku mau nebeng.”
“nebeng kemana?”
“pulang lah, kemana lagi? Ini kah udah malem.”
Aku menghela nafas.
“denger ya! Kita itu gak saling kenal, dan dari awal aku udah gak nganggep kamu ada. Kenapa masih ngikut aja sih?”
“jahat-nya. Padahal dari tadi kakak lihat aku, kok bisa aku dianggap gak ada?”
Dia Kembali menunjukkan ke-cerewetan-nya.
Aku manaiki motor Z800 kesayangan ku lalu memakai helm.
Saat mengaitkan tali pengikat, hampir aja motor ku jatuh karena tiba-tiba cewek ini langsung naik di jok belakang tanpa permisi.
“kamu pengen motor ini jatuh dan menimpa tubuh kita berdua?” aku cukup kesal dengan tingkah cewek ini.
Cewek itu hanya memiringkan kepalanya, aku rasa dia kurang paham dengan apa yang aku maksud.
“ngapain sih kamu tiba-tiba naik?”
“kan mau pulang? Kalau gak naik ntar di tinggal.”
Aku sekuat tenaga menahan emosi.
“dengar ya 144!” aku memanggil-nya 144 karena tinggi cewek ini tidak sampai Pundak ku, yang artinya dibawah 150cm. jadi aku memanggilnya 144, menyamakan-nya dengan resolusi youtube yang paling rendah.
“pertama, kita gak saling kenal. Kedua, aku gak ngijinin kamu buat nebeng. Ketiga, aku gak tau rumah mu dimana. Dari tiga hal itu aja sudah sangat menjelaskan kalau jok belakang motorku seharusnya kosong, gaada benda apapun yang mengharuskan aku untuk membawanya.”
Aku menjelaskan cukup Panjang biar dia paham, siapa kita sebenarnya.
“astaga! Kakak keren loh kalau ngomong Panjang lebar gitu, kenapa dari tadi diem aja sih? Padahal suara kakak lumayan enak di dengar. Yaudah yok pulang.”
Ingin rasanya ku benturkan kepala ku ke kepalanya supaya paham, jadi dari tadi aku ngomong dia gak nangkep apa-apa dan hanya focus mendengarkan suara ku?
Aish! Bodo amat siapa nih cewek, dari pada malah bikin pusing, angkut aja udah.
Aku menyalakan motorku dan suaranya cukup keras.
Tiba-tiba ada dua lengan yang melingkar di pinggang ku.
“hei! Ngapain tanganmu?” aku menegurnya.
“hah!?” sepertinya suaraku kurang jelas.
“tangamu ini ngapain?”
“hah!? Apaan kak, gak denger.”
Aku membuka kaca helm lalu menoleh kebelakang sebisa mungkin, “tanganmu, lepas gak!?”
“hehehe.” Dia hanya ketawa tapi langsung melepas lengannya.
Dalam suasan malam jalanan kota, kami tidak saling ngobrol. Aku menikmati udara malam yang menurutku cukup menengkan dan sejuk dibandingkan ketika siang hari, bercampur dengan polusi yang berasal dari banyak-nya kendaraan yang berlalu Lalang.
Setelah cukup jauh perjalanan, Kembali kedua lengan cewek ini melingkar di pinggangku. Tapi kali ini ku biarkan karena mungkin dia gak nemu pegangan lain, yah dari pada jatuh juga kan, tas yang dia gendong juga kelihatannya cukup berat.
15 menit menempuh perjalanan tanpa macet, cewek ini tiba-tiba menepuk Pundak.
Aku pun menoleh untuk mendengar apa yang dia katakan, tapi karena angin jadinya gak terdengar jelas.
“apa!?” tanya ku setelah menepi.
“ntar di depan sebelum minimarket ada gang, berhenti disitu ya?”
“ngapain?”
“rumah ku disitu, emang-nya kakak mau bawa aku kemana kok tanya ngapain segala?”
Aku lupa kalau kami gak saling kenal, dan pertanyaan ku seolah kami mau pergi atau pulang ke tempat yang sama.
Kami berhenti di gang yang dia maksud, aku melihat gang itu dan kenal dengan tempat itu, “ini kan-“
“udah kak cepet pulang.” Cewek itu memotong perkataan ku, “oh ya, makasih ya atas tumpangan-nya, udah sana cepet pulang. Setelah itu cepet tidur, gak baik begadang tiap hari.” Dia lalu pergi memasuki gang.
Cewek aneh itu membuat ku cukup kaget, kok dia bisa tau kalau aku sering begadang?
Daripada memikirkan hal yang gak penting, aku memilih untuk segera pulang dan melupakan cewek aneh yang membuat ku Kembali merasakan kesal.
Keesokan malam, aku Kembali ke café yang sama dan memesan minuman yang sama lalu duduk di tempat yang sama juga.
Aku meletakkan minuman dan kali ini aku juga memesan kue yang kata-nya menu baru mereka. Siapa tau enak, kan lumayan buat cemilan.
Saat aku mau duduk, aku kaget ketika cewek aneh yang ku temui kemarin ada di belakang ku sedang mengeluarkan kursi lipatnya lalu menaruhnya di tempat yang sama seperti kemarin malam.
Aku masih berdiri melihat dia dengan rasa heran. Dia lagi?
“duduk kak, ngapain berdiri terus disitu.” Ucap cewek itu sambil Kembali mengeluarkan cemilan yang sama seperti kemarin.
Aku Kembali mengabaikannya, mungkin ini kebetulan.
Lagi-lagi dia meminta minumanku dan Kembali dia meminumnya hampir habis tak bersisa.
Aku mengusap wajah ku dan Kembali menatap cewek itu, ini bukan D’javu kan?
“kenapa kak?” tanya nya dengan wajah polos.
“mau diganti kah?”
Aku menggeleng lagi, lalu dia juga Kembali memakan cemilan yang dia bawa sampai habis.
Setelah itu aku menawarkan kue yang sama sekali belum aku sentuh, siapa tau dia mau.
“enggak deh, udah kenyang.”
Gimana gak kenyang, cemilan sebanyak itu dia makan sendirian.
Dia Kembali meminta tumpangan ketika pulang, sama seperti kemarin malam. Kembali dia meminta turun di gang yang sama dan mengucapkan kata-kata yang sama.
Kejadian ini terus berulang tiap malam, bahkan ketika aku mencoba duduk di tempat berbeda, cewek itu juga sama akan duduk di sampingku.
Sampai pada malam itu, aku datang cukup awal lalu duduk di tempat yang sama dan kali ini aku tidak membaca atau pun mendengarkan music.
Aku focus memperhatikan pintu masuk untuk melihat cewek itu datang.
Sejam lebih aku menunggunya, dan ketika ku rasa dia gak datang, tiba-tiba dari pintu dia masuk Kembali dengan penampilan dan tas besar yang sama.
Dia berjalan lurus lalu berbelok menuju tempat ku.
Dia mengucapkan basa-basi yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
Aku terus memandinganya kali ini, bodo mata dia akan merasa risih. Ada kejanggalan dari awal dia muncul yang membuatku harus memastikan hal ini.
Ketika dia mau memakan cemilannya, dia menyadari sedang di tatap dengan intens.
“kenapa kak?” dia bertanya.
Aku terus memandanginya tanpa menjawab.
Dia dengan ragu memasukan chips jagung itu kedalam mulutnya, mengunyah dengan pelan dan terus melirik kearah ku yang sedang memandanginya.
“kak! Kenapa sih?”
Dia Kembali bertanya lalu menoleh kebelakangnya, mencari apa yang sedang aku tatap.
Tidak ada apa-apa yang cukup menarik perhatian untuk aku tatap se intens itu menurutnya, sehingga dia Kembali bertanya.
“kakak kenapa sih ngeliatnya gitu amat. Aku jadi takut.”
Dia agak menjauh kan kursinya tapi aku tahan dan aku menyipitkan mata untuk bertanya.
“kamu siapa?”
Cewek itu seperti terheran, “Aku ya aku, siapa lagi emang?”
“siapa kamu?”
“apaan sih kak! Gausah aneh-aneh deh.”
Dia mau berdiri tapi aku memegang tangannya, mencegahnya pergi.
“aku belum selesai.”
“apa yang mau di selesai-in?”
“kamu sebenarnya siapa?”
“Aku ya aku kak! Memangnya kakak lihatnya aku siapa?” dia menjawab dengan nada cukup tinggi, baru kali ini aku mendengar dia kesal.
“dari awal kamu datang kesini, kamu seolah akrab dengan ku. Kamu minum minumanku tanpa malu, dan selalu saja makan banyak cemilan yang sama tiap malam. Lalu kamu juga tanpa takut nyuruh aku nganter kamu pulang, dan aku kenal gang tempat kamu pulang. Aku gak pernah liat kamu disana sebelumnya, jadi jujur sekarang kamu siapa?”
Cewek itu tersenyum lalu Kembali duduk.
“udah waktunya ya?” suara cewek itu berubah lebih lembut dan familiar.
“maksdunya?”
“gak asyik, aku kira kita bisa lebih lama lagi. Ternyata hanya cukup sampai disini saja.”
Cewek itu menoleh kearah ku, dan hal itu membuatku membeku seketika.
“Na-Nazwa?” aku tergagap.
“Hai, apa kabar?” ucap cewek yang kini wajahnya berubah menjadi seseorang yang aku kenal.
Aku langsung menarik tangan-nya lalu memeluk-nya dengan sangat erat.
Aku menangis sejadinya sambil dalam pelukan-nya.
“sudah setahun ya?” dia berkata sambil mengelus punggung ku.
“maaf ya?”
Aku masih menumpahkan tangis ku di pelukan-nya, aku tidak peduli orang-orang akan melihat ku.
“kenapa?” tanya ku di sela-sela tangis ku.
“aku mencarimu cukup lama, bahkan aku mengelilingi kota ini hanya untuk menemuimu.” Aku melepas pelukan ku dan menatap seseorang yang ku kenal itu.
“setelah apa yang aku lalui, kenapa aku harus bertemu dengan kenyataan pahit seperti itu?”
Kamu memegang kedua tangan ku, “bukan-nya aku udah pernah bilang ya, jangan pernah mencari rumah ku. Nanti kamu nyesel.”
“a-aku pikir itu hanya bercanda. Banyak orang yang gak ingin rumah-nya di ketahui oleh orang yang mereka sukai hanya karena rumah mereka sederhana, aku gak seperti itu. Bagaimana pun bentuk rumah mu, itu adalah tempat dimana kamu tumbuh dan berlindung, tempat orang tua mu memberikan tempat ternyaman yang bisa mereka berikan.”
“tapi… tapi ternyata bukan itu maksud mu. Rumah yang kau maksud adalah gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan nama mu.”
“kenapa? kenapa kamu gak bilang dari awal?”
Kamu mengusap air mataku, “aku sangat berterima kasih karena kamu menjadi orang yang bisa membuat ku merasakan jatuh cinta di waktu terakhirku, kamu juga orang yang membawa warna baru dalam hidup ku setelah selama ini hanya ada warna hitam di dalamnya.”
“aku juga minta maaf karena tidak jujur dari awal tentang semua-nya, tentang kepura-puraan ku selama kita kenal walapun hanya sebentar, dan tentang luka yang aku torehkan yang membuatmu jadi seperti ini, aku benar-benar minta maaf.”
“dan aku minta tolong, ikhlas kan aku. Semoga kamu menemukan perempuan yang lebih baik dari ku.”
Kamu melepas tangan ku lalu berdiri dan berjalan meninggal kan ku. Aku mencoba memegang tangan mu tapi tidak bisa.
“aku pamit ya? Jaga dirimu baik-baik, dan sekali lagi ikhlas kan kepergian ku.”
Tiba-tiba kamu dan semua tempat itu hilang, berganti cahaya putih.
“mas…”
“maass…”
“ih gak bangun-bangun dari tadi, aku udah capek ini mau pulang.”
“maaaassss…… banguuunnn… café nya mau tutup, udah malem!!!”
Aku terbangun dari tidur ku karena suara cewek yang cukup keras di telinga ku.
Aku mengusap kedua mataku, mencoba membuat pengelihatanku jelas.
Ternyata aku tertidur di café sambil mendengarkan lagu setelah Lelah membaca buku.
Mimpi?
Jadi semua itu mimpi?
Kenapa baru sekarang kamu datang ke mimpi ku?
Sudah setahun sejak kepergian mu, dan baru sekarang kamu berpamitan?
“maaasss… ih capek aku!”
Aku tersadar dari lamunan ku ketika seorang cewek dengan baju pelayan café mengguncang tubuh ku.
“i-iya mbak? Kenapa ya?” tanya ku sambil mencari earphone ku yang sudah hilang dari telingaku.
“pulang mas, ini udah malem café nya mau tutup. Kalau mas mau nginep jangan disini, di depan tuh ada hotel. Mas nginep disana aja.”
Cewek pelayan ini sangat cerewet dengan nada yang cukup mengganggu, aku menoleh untuk menyuruh-nya menurunkan nada bicara-nya.
Tapi ketika aku melihat wajah-nya, aku kaget karena cewek ini sama persis dengan yang ada di alam mimpi ku sebelum berubah menjadi Nazwa.
Tiba-tiba air mata ku Kembali jatuh.
“loh mas! Kok malah nangis sih?” cewek berpakaian pelayan itu kaget.
Aku hanya diam.
“baru putus ya mas?”
Aku menggeleng, “ini gak seperti diputusin, ini jauh lebih sakit.”
Entah kenapa mulutku tiba-tiba mengatakan hal itu.
“kalau di putusin, kita tau mungkin hubungan itu memang sudah rusak. Tapi kalau…” ucapan ku mengambang.
“banyak orang yang bilang ‘udah, anggep aja diputusin. Rasanya kan sama aja.’ Enggak! Gimana mereka bisa bilang rasanya sama, sementara mereka belum pernah ngerasain?”
“aku aja masih ngerasa kehilangan sesuatu yang asing, sesuatu yang gak siap untuk aku rasakan. Bagaimana orang lain paham?”
Aku terus mengoceh, entah kenapa seolah semua pikiran ku berontak meminta untuk di keluarkan.
“aku tau kok rasanya.” Ucap cewek itu, menjawab ocehan ku.
Aku menatapnya.
“kehilangan seseorang yang kita cintai memang bukan perkara mudah, dia hilang dan ya hilang, lenyap tanpa bisa kita temui lagi.”
“kadang ada dilemma antara maju lagi atau diam di tempat. Orang lain bisa menunjukkan empatinya, tapi tidak dengan rasanya.”
“tapi yang Namanya hidup akan selalu maju, tidak peduli seberapa terpuruknya kita, tiap detik waktu tidak akan pernah berhenti dan meratap Bersama kita.”
“aku bisa lepas dari belenggu itu dan memulai hidup baru, seharusnya mas juga bisa. Memang sulit, tapi beneran bisa kok.”
Cewek itu cukup cerewet menurut ku, tapi apa yang dia katakan seolah dia pernah berada di posisi ku. Suara yang keluar dari mulutnya, seolah melepaskan kenangan pahit yang dulu pernah dia rasakan.
Angin semilir bertiup, mengiringi kalimat terakhir yang dia ucapkan. Hembusan angin itu seolah mengangkat jangkar yang selama ini membuatku diam di tempat.
Membukakan pintu yang selama ini tertutup, lalu berkata ‘aku tau kok jalan keluarnya.’
Aku melamun memikirkan apa yang di katakan cewek pelayan ini, menyadarkan ku bahwa ada kok orang lain yang juga pernah merasakan hal ini, bukan aku saja.
Pundak ku berguncang ketika tangan menyentuhnya.
“mas? Hei!! Maasss… aku udah capek loh, yok pulang yok, kalau mau nangis dirumah aja.” Nada suara cewek itu memelas, mungkin saking capek-nya sampai untuk marah pun juga udah capek.
“i-iya a-ayok. Bareng kan?”
“hah!?”
Ucapan ku membuat cewek itu bengong dan melongo.