Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Piring dan gelas kaca terjatuh begitu saja. Pecahan kaca berserakan di lantai, menimbulkan suara nyaring. Membangunkan sosok anak kecil di atas ranjang usangnya. Kelopak mata mungilnya terbuka secara perlahan. Iris coklatnya bergerak ke kanan kiri.
Tubuh kecilnya beranjak dari atas ranjang, bersama dengan boneka beruang di dalam pelukannya. Kakinya yang pendek melangkah, mendekati daun pintu, menyembunyikan sebagian wajahnya.
"Kau jadi istri tidak pernah becus! Bisanya cuma minta uang saja. Apa kau pikir gampang cari uang ha?"
"Lah! Kau ngapain selama ini kerja? Tugas suami itu nafkain istri! Kalau minta uang, ya kasih!" Sang istri membentak dengan nada lantang.
Wajah sang suami kini nampak merah padam. Rahangnya mengeras dengan kepalan dikedua tangannya. Kembali gelas-gelas kaca di atas meja jatuh ke lantai, menimbulkan suara nyaring.
Si anak kecil menutup kedua telinga, menjatuhkan boneka beruangnya ke lantai. Tubuhnya merosot ke lantai. Keringat dingin menetes dari wajah dan lehernya. Jantungnya berdetak tak beraturan, dengan napas memburu.
"A-yah, I-bu ...." Suaranya terbata-bata. Tenggorokan kecilnya seakan tercekat.
"Kalau kamu terus begini. Lama-lama, aku bakal ceraikan kamu Mas!" Si istri kembali membentak.
Sang suami berkacak pinggang dengan mata melotot. "Berani kau sama aku? Mau cerai?" Mulutnya yang menghembuskan bau nikotin tertawa lantang. "Kau bisa apa tanpa aku ha?"
Si istri mendengus. Kedua tangannya meraih kerah baju sang suami, menariknya dengan cukup kasar. Si lelaki tak mau kalah, menjambak rambut istrinya dengan kasar. Hingga membuat tubuh wanita itu ambruk ke lantai.
"Mulai berani ya!" Tangannya meraih rambut hitam panjang sang istri, menariknya sekuat tenaga.
"Lepaskan!" Wanita itu hanya bisa meronta sambil sesekali berontak.
Namun pada akhirnya, tubuhnya tergeletak lemas di lantai. Ditinggalkan begitu saja oleh sang suami.
Anak kecil itu, masih meringkuk di balik pintu kamar. Kedua tangannya masih enggan membuka telinga yang mulai memerah. Mata kecilnya secara perlahan menatap sang Ibu yang tergeletak lemas di lantai.
"Ibu!" Kaki kecilnya setengah berlari mendekati sang Ibu, menggoyang pelan punggungnya.
"Ibu, jangan tinggalin Aina! Ibu!"
Tepukan di punggungnya, membuat wanita itu mengerjapkan mata perlahan-lahan. Iris coklatnya melirik pada anak kecil yang tengah terisak.
"Aina?" Dia beranjak bangun, menatap wajah sendu sang putri dengan alis berkerut. "Kamu kenapa nangis?"
"Kenapa Ayah sama Ibu berteriak? Aina takut Bu ...." Tangan mungilnya memeluk tubuh sang Ibu.
"Aina, kamu jangan manja ya!" Wanita itu sedikit kasar menarik tangan mungil Aina untuk menjauh darinya. "Mending, kamu ambilkan handuk kecil sama air dingin. Terus kamu kompres kepala Ibu," katanya sambil beranjak berdiri.
"I-ya Bu!" Segera anak kecil itu beranjak, mengambil kompres dan air dingin.
Tangan mungilnya mencoba untuk mengompres kepala sang Ibu dengan hati-hati. Sedikit kesalahan yang ia perbuat, wanita itu dengan kasar membentaknya.
"Ngompresnya yang bener dong! Yang nggak sakit kenapa dikompres!" bentaknya, yang membuat Aina mulai meneteskan bulir-bulir air bening dari sudut netra.
"Ma-af Bu ...."
Bentakan yang sering kali keluar dari mulut sang Ibu ataupun Ayah sudah sering kali terdengar. Dan Aina hanya dapat mengucap kata maaf, yang bahkan gadis kecil itu sama sekali tak melakukan kesalahan.
Dirinya hanya menjadi pelampiasan marah Ayah dan ibunya. Tak sekalipun mereka menatap putri tunggalnya itu dengan kasih sayang.
Sampai pada suatu hari ....
"Kamu ngapain?" Sang Ibu bertanya dengan nada tinggi.
Aina yang tengah memandikan kelinci kesayangannya tersentak, tak sengaja melepaskan binatang peliharaannya itu. Si kelinci berlarian ke halaman rumah, menginjakkan kaki kotornya pada lantai.
"Aina! Lihat apa yang kelincimu sudah lakukan! Kenapa kau selalu saja tidak becus bekerja!"
Dia meraih tangan mungil Aina dengan kasar, menariknya ke kandang kelinci. Dengan teganya, si Ibu mendorong tubuh mungil Aina masuk kandang kelinci. Ia juga menangkap kelinci itu, juga memasukannya dalam kandang.
"Ibu, keluarkan Aina dari sini! Aina ingin keluar Bu!"
"Diam! Atau kamu lebih memilih Ibu memasak kelincimu?" Sang Ibu melotot tajam, membuat Aina seketika terdiam.
"Ibu, jangan sakiti Ciya, dia kelinci kesayangan Aina ...."
"Kalau begitu ...." Sang Ibu memasukkan Ciya— kelinci peliharaan Aina ke kandang, bersama dengan Aina. "Kau dan si Ciya bisa di dalam. Kamu tidak boleh sampai keluar dari kandang itu, sampai Ibu sendiri yang buka. Mengerti!"
"I-ya Bu!" jawab Aina dengan suara serak.
Sang Ibu berlalu pergi, membiarkan Aina masih berada di dalam kandang bersama dengan Ciya. Dan entah sudah berapa waktu gadis kecil itu berada di dalam.
Bahkan, disaat perutnya mulai keroncongan, si Ibu tak juga datang untuk sekedar mengeluarkannya dari kandang. Sampai gadis itu benar-benar dalam keadaan yang memprihatinkan.
Wajahnya nampak pucat pasi. Bibirnya pun terlihat mengering dengan retakan di pinggir bibir. Sementara si kelinci yang sudah tak dikasih makan tergeletak lemas di atas pangkuan Aina.
"Sabar ya Ciya. Bentar lagi Ibu pasti datang ...."
Sementara sang Ibu, dia malah nampak keasyikan setelah dari belanja di Mall. Wajahnya nampak berseri dengan banyak belanjaan di kedua tangannya.
Sang suami pulang dari bekerja dengan tubuh sempoyongan. Bau nikotin tercium dari hembusan napasnya.
"Mas, udah pulang?" tanya sang istri sambil melihat-lihat setiap pakaian mahal yang ia beli.
"Iya. Mir, buatkan aku kopi dong ...."
Mirna terbelelak sambil berkacak pinggang. "Buatin kau kopi?" Dia menjulurkan kedua tangannya, menunjukkan kuku-kukunya yang habis perawatan. "Nggak liat aku dari salon tadi?"
"Lha ya terus?" Sang suami hanya mengangkat kedua bahu dengan wajah jengah.
"Ya nggak mau lah! Eh, Mas Bagas! Kau tuh seharusnya udah bisa mandiri. Buat kopi sendiri lah!" kata Mirna dengan ketus.
Bagas yang sudah tak bisa menahan emosi beranjak berdiri, meraih tangan Mirna, menariknya ke dapur. Dengan kasar, Bagas mendorong tubuh Mirna, hingga wanita itu menghantam meja dapur.
"Cepat buatin aku kopi! Apa gunanya punya istri kalau kerjaannya cuma habisin duit suami doang!"
"Eh! Emang kau nggak mau liat istrinya terlihat cantik? Kan, kau juga yang seneng!"
Mereka saling beradu pandang, bersiap akan bertengkar lagi. Tapi, mereka tersentak dan menoleh saat ayam di belakang terus saja berkokok.
"Lupa lagi ngasih ayam makan?" tanya Bagas dengan melotot.
"Nggak lah! Eh, biasanya yang ngasih makan si Aina. Tapi ...." Wanita itu mengelus dagu.
Sampai akhirnya, ia teringat akan sesuatu. "Astaga! Aina!"
"Aina kenapa?" tanya Bagas yang melihat istrinya terlihat panik.
Mirna tak menghiraukan sang suami, dan memilih untuk pergi ke halaman belakang. Bagas menghela napas berat, lantas menyusul sang istri.
"Kamu kenapa sih?"
Mirna berdiri mematung sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Bagas yang tak mengerti apa-apa mengalihkan pandangannya. Tubuh mungil Aina tergeletak di dalam kandang bersama dengan kelincinya yang sudah tak bernyawa.
"Aina!" Mirna membuka kandang, meraih tubuh sang anak dengan isakan tangis.
"Mir, kenapa anak kita bisa ada di sini? Dia, udah nggak bernapas lagi Mir!"
"Aina, maafin Ibu. Maafin Ibu Aina! Bangun Aina! Jangan tinggalin Ibu!"
Bagas dan Mirna, hanya bisa memandang wajah pucat anaknya dengan isakan tangis. Karena pertengkaran yang tak ada habisnya, mereka mengabaikan Aina, dan bahkan membiarkan Aina meninggal dunia, hanya karena gadis kecil itu tak diberi makan.
"Ayah, Ibu. Aina udah maafin kalian berdua kok. Aina sayang banget sama Ayah dan Ibu ...."
<< TAMAT <<