Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bronze
ANTIMA
0
Suka
53
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jam 11:44 – Jalan Mendaki dan Surat yang Tak Pernah Dikirim

Mobil putih itu mendaki pelan, menapaki jalanan sempit berbatu menuju kaki bukit Dieng yang diselimuti kabut tipis. Udara sejuk menembus celah kaca jendela yang sedikit terbuka, membawa bau tanah basah dan sayup-sayup aroma pinus yang baru tumbuh. Dalam mobil yang menghela napas seperti makhluk tua kelelahan itu, duduk empat jiwa yang tidak lebih muda dari jalan yang mereka lewati.

Di kursi depan sebelah kiri, Ardhika, lelaki berusia 69 tahun, memeluk buku kecil bersampul kulit—Rumi: The Essential Teachings. Tangannya kurus, jari-jarinya gemetar sesekali saat ia membalik halaman. Bukan karena Parkinson atau gemetar usia, tapi karena kata-kata. Kata-kata selalu mengguncang seseorang yang terlalu lama menyimpan perpisahan dalam diam.

“Pernah kau rasakan, bagaimana cinta tak memerlukan tubuh untuk tinggal?” gumamnya, entah pada dirinya sendiri atau angin yang masuk dari celah jendela.

Di sebelahnya, duduk Pak Surya, sopir sewaan dari kota. Usianya tampak tiga dekade lebih muda dari penumpangnya, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tua: semacam kelelahan yang tak berasal dari tenaga. Ia hanya mengangguk pelan sambil tetap fokus pada tikungan tajam di depan. Di dasbor, ada gantungan kecil bergambar lukisan bunga melati. Tidak ada ornamen Islami atau Kristen, hanya sepotong sajak: "To vanish gently, is a kind of bravery."

“Bapak suka puisi?” tanya Ardhika.

Pak Surya menoleh sekilas, senyum tipis. “Saya hanya menyalin, Pak. Yang menulis, bukan saya. Tapi... saya paham rasa di baliknya.”

Di bangku belakang, Satya merapikan jam kantong perak miliknya. Jam tua itu pernah berhenti berdetak saat istrinya tewas dalam kecelakaan menara jam yang ia rawat selama puluhan tahun. Sejak hari itu, ia tak pernah benar-benar mempercayai waktu. Tapi tetap membawanya, seperti orang yang membawa abu istrinya dalam liontin kecil—bukan untuk dikenang, tapi untuk tidak lupa bahwa kehilangan pernah terjadi.

“Kalau jam ini berdetak hari ini,” katanya, “mungkin waktuku sudah habis.”

Di sebelahnya, Rumi mem...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bronze
ANTIMA
glowedy
Cerpen
Bronze
Pardi
C. Gunharjo Leksono
Cerpen
Bronze
KE MANA SI MBAK?
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Ibu dan Segala Kompleksitasnya
Siti Aminatus Solikah
Cerpen
Sang Penembus Dua Sisi
Janeeta Mz
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Sipanggaron
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bahasa Bunga
zain zuha
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
Bronze
FIRASAT EMAK
Efi supiyah
Cerpen
Tiba Tiba Jodoh
Rizkia Khoirul Anwar
Cerpen
Bukan Tak Cinta
Dewi Fortuna
Cerpen
Terpaksa Merampok
Putri Rafi
Cerpen
Disowned
Normal Temperature
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
ANTIMA
glowedy
Cerpen
Bronze
JAZZBUK
glowedy
Cerpen
Bronze
LAGU YANG TAK JADI SELESAI
glowedy
Novel
The Coffee Before The Break
glowedy
Cerpen
Bronze
LANGKAH KETUJUH DARI LIANG
glowedy
Cerpen
Bronze
VILLA NOCTURNA: SAJAK PATAH, JAM DAN PINTU YANG TAK PERNAH TERTUTUP
glowedy
Novel
Bronze
GLOW IS GOSSIP
glowedy
Novel
Bronze
JANDA & THE TABLE
glowedy
Cerpen
Bronze
NADINE
glowedy
Cerpen
Bronze
BOY BEHIND THE VEIL
glowedy
Cerpen
Bronze
JUAL BELI NAMA
glowedy
Novel
Bronze
Keajaiban Toko Lampu "CAHAYA"
glowedy
Cerpen
Bronze
ARSIPIR
glowedy
Cerpen
Bronze
NOKTRA
glowedy
Novel
ADA CINTA DI SALON JENAZAH
glowedy