Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jam 11:44 – Jalan Mendaki dan Surat yang Tak Pernah Dikirim
Mobil putih itu mendaki pelan, menapaki jalanan sempit berbatu menuju kaki bukit Dieng yang diselimuti kabut tipis. Udara sejuk menembus celah kaca jendela yang sedikit terbuka, membawa bau tanah basah dan sayup-sayup aroma pinus yang baru tumbuh. Dalam mobil yang menghela napas seperti makhluk tua kelelahan itu, duduk empat jiwa yang tidak lebih muda dari jalan yang mereka lewati.
Di kursi depan sebelah kiri, Ardhika, lelaki berusia 69 tahun, memeluk buku kecil bersampul kulit—Rumi: The Essential Teachings. Tangannya kurus, jari-jarinya gemetar sesekali saat ia membalik halaman. Bukan karena Parkinson atau gemetar usia, tapi karena kata-kata. Kata-kata selalu mengguncang seseorang yang terlalu lama menyimpan perpisahan dalam diam.
“Pernah kau rasakan, bagaimana cinta tak memerlukan tubuh untuk tinggal?” gumamnya, entah pada dirinya sendiri atau angin yang masuk dari celah jendela.
Di sebelahnya, duduk Pak Surya, sopir sewaan dari kota. Usianya tampak tiga dekade lebih muda dari penumpangnya, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tua: semacam kelelahan yang tak berasal dari tenaga. Ia hanya mengangguk pelan sambil tetap fokus pada tikungan tajam di depan. Di dasbor, ada gantungan kecil bergambar lukisan bunga melati. Tidak ada ornamen Islami atau Kristen, hanya sepotong sajak: "To vanish gently, is a kind of bravery."
“Bapak suka puisi?” tanya Ardhika.
Pak Surya menoleh sekilas, senyum tipis. “Saya hanya menyalin, Pak. Yang menulis, bukan saya. Tapi... saya paham rasa di baliknya.”
Di bangku belakang, Satya merapikan jam kantong perak miliknya. Jam tua itu pernah berhenti berdetak saat istrinya tewas dalam kecelakaan menara jam yang ia rawat selama puluhan tahun. Sejak hari itu, ia tak pernah benar-benar mempercayai waktu. Tapi tetap membawanya, seperti orang yang membawa abu istrinya dalam liontin kecil—bukan untuk dikenang, tapi untuk tidak lupa bahwa kehilangan pernah terjadi.
“Kalau jam ini berdetak hari ini,” katanya, “mungkin waktuku sudah habis.”
Di sebelahnya, Rumi mem...