Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"sampai kapan kakak benci sama ibu, kepergian ayah dan keadaan kakak kekgini bukan karena kesalahan ibu, kak." kata Dea yang tengah menyuapi Fida, kakaknya.
Mendengar itu, Fida langsung terdiam. Fida selalu menghindari pembahasan tentang ibunya dan keadaannya dengan siapapun itu. Beberapa detik kemudian Fida meraba-raba seselilingnya mencari tongkatnya. Setelah menemukan tongkatnya, Fida buru-buru beranjak menuju pintu kamarnya setidaknya menghindar dari Dea untuk beberapa saat.
"sampai kapan kak? Sampai kapan kakak terus menghindar tiap kali aku bahas ini sama kakak. Kak Fida jangan egois. kasian ibu, kak." lanjut Dea yang melihat kakaknya hendak pergi.
"kamu nggak tau, Dea. Kamu nggak tau karna kamu nggak ngerasain gimana rasanya jadi aku. 24 tahun Dea, 24 tahun aku hidup dalam keadaan buta kekgini. Dan kepergian ayah, kamu nggak tau kan, sesakit apa yang aku rasain? Kamu nggak tau itu Dea!!" jawab Fida dengan suara yang tinggi dan mulai berjalan meraba sekeliling menuju kamarnya.
Brakkk
Fida membanting pintu kamarnya. Membuat Dea menghela nafasnya berat. Fida akan melakukan hal yang sama tiap kali Dea membahas tentang ibunya.
Fida adalah gadis yang sangat cantik yang berusia 24 tahun. Tetapi dia mengalami kebutaan semenjak lahir. Dia tinggal bersama ibu dan adeknya. Di umur 20 ayahnya meninggal karena sebuah kecelakaan. Semenjak saat itu Fida membenci ibunya, semua yang di lakukan oleh ibunya selalu salah di matanya.
---
Pagi ini seperti biasa Fida duduk di taman depan rumahnya. Untuk sekedar mendengarkan berisiknya suara kendaraan yang berlalu lalang sambil menikmati susu dan roti yang sudah di siapkan oleh Dea. Karena rumah Fida hanya berjarak beberapa meter dari perempatan lampu merah.
Deru mesin motor berhenti tepat di dekat Fida. iya, itu Lucia ibu Fida yang akan berangkat kerja, karena ibunya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya.
"nak, ibu berangkat kerja dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik. Kalau sendirian di rumah jangan sering-sering keluar, bahaya." pesan Lucia kepada Fida.
"ck!" Fida berdecak kesal mendengar pesan ibunya yang hampir tiap hari ia dengar sebelum ibunya berangkat. Fida langsung meraba tongkatnya hendak pergi dari sana. Lucia menatap putrinya sambil tersenyum sambil menghela nafasnya perlahan.
"ibu sayang sama Fida. Fida Putri ibu yang paling cantik." ujar Lucia yang tentu saja masih di dengar oleh Fida.
"Ibu berangkat ya sayang, assalamualaikum,,,"
Beberapa saat kemudian deru mesin motor ibunya terdengar berjalan meninggalkan pekarangan rumah.
Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Fida, tetapi dia selalu melakukan hal yang sama tiap kali ibunya ingin mendekatinya.
Brakkk,,,
Suara benturan yang terdengar sangat keras berasal dari arah perempatan. Entah mengapa perasaan Fida seketika gelisah, "Deaaa,,,,!!"
Fida memanggil Dea yang saat itu juga tengah berlari dari arah dapur karena juga ikut terkejut mendengar benturan tersebut yang terdengar seperti sebuah kecelakaan.
---
Fida histeris memeluk Nisan yang bertuliskan nama ibunya disana. "Bu, jangan tinggalin Fida, Bu. Fida nggak mau mata ini, Fida mau ibu disini. Maafin Fida, Bu. Fida juga sayang sama ibu,,," jeritan Fida yang terdengar sangat menyedihkan.
Fida beralih menatap makam ayahnya yang terletak tepat di samping makam ibunya.
"Sekarang apa yang tersisa, semuanya pergi ninggalin Fida. Mungkin Fida terlalu angkuh, Tuhan udah benci sama Fida. Ibu juga benci kan sama Fida, makanya ibu memilih pergi ninggalin Fida. Maaf, Bu. Maaf Fida nggak pernah bisa menerima takdir Fida..."tubuh Fida mendadak ambruk di atas makam ibunya. Kakinya terlalu lemah bahkan untuk sekedar menahan tubuhnya.
Dea yang selalu setia menemani kakaknya ikut menangis melihat keadaan kakaknya saat itu. Dea membawa tubuh rapuh kakaknya kedalam pelukannya. Hatinya juga sangat perih, tetapi ia harus bisa terlihat tegar setidaknya di hadapan kakaknya.
"Ikhlas, Kak. Ayah dan ibu udah tenang disana." kata Dea dengan suara gemetar menahan isakannya.
"Dea, aku nggak mau mata ini, aku lebih baik melihat kegelapan seumur hidupku daripada bisa melihat terang tapi kita kehilangan ibu. Maaf Dea, maaf karena kita lagi-lagi harus kehilangan ibu karena keegoisan ku." tangis Fida semakin menjadi di pelukan adiknya.
"kakak nggak boleh ngomong kekgitu, nanti ibu sama ayah sedih. Kita cuman bisa menerima semuanya, Kak. Kakak harus percaya, semua yang udah terjadi udah menjadi ketetapan Allah, kak. Kita hanya perlu menerimanya dengan berlapang dada, ikhlas. Kita sayang sama ibu, kak. Tapi Allah jauh lebih sayang sama ibu." kata Dea berusaha menghangatkan hati kakaknya sembari mengelus punggung kakaknya dengan sangat lembut.
Fida kembali bangun untuk memeluk Nisan ibunya. Tangisnya semakin menjadi bersamaan dengan rintik hujan yang turun semakin lama semakin deras.
"Maafin Fida, ibu, ayah." Fida kembali menaburkan bunga di atas makam ibunya. Menghiraukan hujan deras yang mulai membasahi seluruh tubuhnya. Fida memejamkan matanya, merasakan butiran-butiran air hujan membasahi tubuhnya.
"Kak, kita pulang ya. Nanti kakak bisa sakit." bujuk Dea dengan lembut.
"Kamu duluan aja, Dea. Aku masih mau sama ibu, sama ayah." jawab Fida yang masih setia memeluk Nisan ibunya.
Dea sudah tau akan jawaban Fida. Dea memutar tubuh kakaknya hingga menghadap ke arahnya.
"Kak Fida, lihat Dea, kita masih punya setidaknya satu sama lain, Kak. Kakak jangan pernah merasa sendiri, ya. Dea juga ngerasain apa yang kakak rasain, Dea juga sedih, Kak. Tapi kalau begini nggak ada artinya, kak. Kita doain ayah dan ibu di lapangkan kuburnya dan di tempatkan di sisi terbaiknya. Hanya itu yang bisa kita lakukan dan yang di butuhkan ayah sama ibu, kak."
"Dea disini. Dea sayang sama kak Fida." Dea kembali membawa tubuh rapuh kakaknya kedalam pelukannya untuk menyalurkan sedikit kenyamanan kepada kakaknya.
Hati Fida terasa sedikit hangat. Ia menyeka air matanya kemudian membalas pelukan Dea dengan erat, seerat dia tidak ingin kehilangan siapapun lagi.
---
Lucia, ibunya mengalami kecelakaan tepat waktu pagi dimana ia pamit untuk berangkat kerja kepada Fida dan seperti biasa di abaikan oleh Fida.
"Ibu sayang sama Fida." kalimat terakhir dari ibunya yang masih di dengar oleh Fida. Karena setelah kecelakaan itu, hanya Dea yang mengantar ibunya ke rumah sakit dan menerima pesan ibunya untuk mendonorkan matanya kepada Fida.
Dea menyampaikan amanah ibunya kepada kakaknya. Beberapa waktu setelah kepergian ibunya dan untuk pertama kalinya Fida membuka perban matanya, Fida langsung meminta Dea untuk menemaninya berkunjung ke makam orang tuanya.
Perasaan bersalah dan penyelesalan menghantui Fida secara bersamaan. Perlahan ia menyadari, kehadiran ibunya jauh lebih penting daripada segalanya. Ia selalu berharap yang di alaminya hanyalah sebuah mimpi buruk, hingga ia ingin buru-buru bangun untuk sadar dari mimpi buruk itu.
...