Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku masih ingat sore itu. Angin laut berhembus lembut, mengibaskan ujung rambutku. Langit menggantung abu-abu keperakan, sementara ombak datang dan pergi seperti sedang menyimpan rahasia. Aku datang ke pantai bukan untuk mencari apa pun, hanya menemani sahabatku bertemu pacarnya. Tapi siapa sangka, di antara suara tawa mereka, aku justru bertemu seseorang yang membuat langkahku tertahan lebih lama dari seharusnya.
Namanya Rian.
Teman dari pacar sahabatku, dan tanpa kuduga, juga teman lama Ardi, kekasihku.
Saat itu tahun 2007 hampir berakhir. Aku masih duduk di kelas tiga SMA, semester pertama. Sedangkan Ardi, kekasihku, baru saja lulus beberapa bulan sebelumnya. Ia tidak melanjutkan kuliah, melainkan memilih merantau ke kota lain untuk bekerja.
Kami baru seminggu resmi berpacaran ketika Ardi pergi. Hubungan kami masih muda, hangat tapi rapuh, seperti bunga yang belum sempat mekar sepenuhnya. Ia tak punya ponsel, jadi selama berbulan-bulan, satu-satunya cara kami berkomunikasi hanyalah lewat rindu yang tak pernah tersampaikan.
Lalu, dua minggu setelah kepergian Ardi, aku bertemu Rian di pantai itu.
Awalnya, pertemuan itu hanya percakapan ringan tentang arah angin, tentang laut, tentang hal-hal kecil yang tak penting. Tapi entah kenapa, aku betah mendengarkannya. Ada sesuatu dalam suaranya yang menenangkan, seolah dunia berhenti berisik untuk beberapa saat.
Beberapa hari setelahnya, Rian meminta nomor ponselku. Sejak itu, kami sering saling berkirim SMS tentang apa pun. Kadang hanya satu kalimat sederhana seperti “Lagi ngapain?” atau “Jangan lupa makan ya.” Tapi pesan-pesan singkat itu seperti menambal kesepian yang selama ini diam-diam tumbuh di dadaku.
Kadang malam-malam kami berakhir dengan panggilan telepon panjang. Suaranya di seberang sana terdengar hangat, membuatku lupa kalau hubungan kami seharusnya tak lebih dari pertemanan biasa.
Suatu sore, Rian mengajakku keluar. Kami pergi ke toko musik kecil di pinggir jalan untuk membeli kaset VCD. Ia mengambil satu kaset berisi lagu Aku dan Dirimu dari BCL dan Ari Lasso, lalu tersenyum kecil.
“Lagu ini bagus banget,” katanya sambil menatapku. “Kayak kita.”
Aku hanya tertawa, pura-pura tidak mengerti maksudnya. Tapi di dalam hati, aku tahu arti dari tatapan itu.
Dua bulan berlalu, dan aku baru sadar bahwa kami sudah terbiasa saling mencari.
Suatu hari, Rian menatapku lama, lalu berkata pelan,
“Aku suka kamu, Lila. Dari pertama kali kita bertemu di pantai itu, aku tahu aku bakal terus ingat kamu.”
Aku terdiam. Jantungku berdetak cepat. Di dalam hati, aku tahu aku merasakan hal yang sama. Tapi ada satu nama yang masih menahanku, Ardi.
Aku menunduk, berusaha tersenyum.
“Rian, aku sudah punya seseorang.”
“Aku tahu,” katanya lirih, “dan aku juga tahu dia teman lamaku. Tapi perasaan… kadang nggak bisa diatur, kan?”
Malam itu aku menangis lama. Aku marah pada diriku sendiri karena membiarkan hati ini terbagi. Tapi aku juga tidak bisa membohongi kenyataan bahwa bersama Rian, aku merasa hidup. Ia membuatku tertawa di saat sepi menjadi teman yang paling setia.
Tiga bulan sejak pertemuan pertama kami, sebuah nomor asing muncul di layar ponselku. Tanganku gemetar saat menekan tombol hijau.
“Lila?”
Suara itu membuatku menahan napas. Ardi.
Aku nyaris tak bisa bicara. Rasanya seluruh rinduku tumpah dalam sekejap. Kami berbincang lama malam itu. Ardi bercerita tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia menabung untuk masa depan kami. Ia bilang minggu depan akan pulang.
Malam itu aku menangis lagi, tapi kali ini karena bahagia. Aku merasa bersalah sekaligus lega. Akhirnya seseorang yang kucintai pulang.
Keesokan harinya, aku menemui Rian.
Aku menceritakan semuanya, tentang Ardi, tentang rasa bersalahku, tentang keputusan yang harus kuambil.
“Aku nggak bisa terus begini, Rian,” kataku dengan suara bergetar. “Aku sayang kamu, tapi aku juga masih milik seseorang.”
Rian menatapku lama, matanya berkaca-kaca.
“Aku nggak akan nyalahin kamu, Lila. Kalau suatu hari kamu milih dia, aku cuma mau kamu tahu… aku benar-benar tulus sama kamu.”
Dan begitulah, kami berpisah tanpa janji. Tanpa kata selamat tinggal yang sebenarnya.
Hari ketika Ardi pulang akhirnya datang. Aku menunggunya di depan rumah dengan hati berdebar. Saat melihat wajahnya lagi, aku hampir tak percaya waktu bisa mengubah seseorang begitu cepat. Ia tampak lebih dewasa, tapi matanya masih menyimpan kehangatan yang sama.
Kami duduk berdua di teras, berbagi cerita dan tawa yang sempat hilang. Di sela percakapan itu, aku jujur kepadanya.
Aku ceritakan semuanya tentang Rian, tentang kesalahanku, tentang perasaan yang sempat tumbuh di tempat yang seharusnya tidak.
Ardi terdiam lama. Lalu ia menarik napas, menatapku dalam.
“Aku kecewa, tapi aku juga paham. Kita cuma manusia, kan? Kadang rindu bisa menyesatkan. Tapi kalau kamu masih mau memperbaiki semuanya, aku di sini.”
Aku mengangguk, menahan air mata. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi. Selama seminggu Ardi di kota, kami kembali seperti dulu, menonton film, jalan sore, makan bakso di warung favorit kami. Semua terasa hangat, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang hilang.
Kadang di tengah tawa, pikiranku melayang entah ke mana. Kadang saat Ardi menggenggam tanganku, aku justru teringat seseorang lain yang pernah menatapku dengan cara yang sama.
Aku berusaha menepisnya. Tapi semakin kutepis, bayangan itu semakin kuat.
Hari terakhir Ardi di kota, kami duduk di taman kecil dekat rumahku. Ia menggenggam tanganku dan berkata,
“Aku pergi lagi, ya. Doain aku cepat bisa balik lagi.”
Aku mengangguk. Tapi entah kenapa, mataku terasa panas. Ada bagian dari diriku yang ingin menahannya, tapi bukan hanya karena takut kehilangan, melainkan karena aku takut tidak lagi yakin pada perasaanku sendiri.
Malamnya, aku duduk di depan jendela, menatap langit yang kelabu. Angin malam membawa suara jangkrik dan aroma hujan yang tertinggal. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa yang kulakukan benar, bahwa aku telah memilih Ardi.
Tapi di antara sunyi itu, satu nama lain kembali berbisik di kepalaku.
Rian.
Aku menutup mata, menekan dadaku yang terasa sesak.
Mungkin cinta memang bukan soal siapa yang lebih dulu datang, atau siapa yang lebih lama bertahan. Kadang cinta adalah tentang siapa yang paling sulit benar-benar kita lepaskan.
Dan malam itu, aku sadar… mungkin aku belum selesai dengan Rian.
Atau mungkin, aku belum selesai dengan diriku sendiri.
Aku menarik napas dalam, mencoba menerima bahwa perasaan ini tak selalu bisa kuatur. Rian adalah bagian dari masa laluku yang manis sekaligus rumit. Sementara Ardi adalah masa depan yang kupilih dengan sadar. Dalam sunyi malam, aku hanya bisa berharap hati ini bisa menemukan ketenangan. Mungkin, suatu hari nanti, semua rindu akan menjadi cerita yang indah untuk dikenang.