Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Antara Nyata dan Bayangan
1
Suka
5
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Gemuruh petir menggelegar. Kilatan, sambaran, tak luput dari penglihatan. Aku meringkuk di bawah meja, ku tutup telinga agar suara itu teralihkan, namun tidak ada perubahan. Tak lama, terdengar langkah kecil disertai dengan suara bisikan yang lagi-lagi menganggu ketenangan.

"Pergi," ucapku lirih hampir tak terdengar.

Suara tawa menggema di ruang kedap ini. Ingin meminta tolong namun apa daya, suaraku tercekat di tenggorokan. Bisikan-bisikan itu mulai bertebaran dimana-mana, inginku menyumpal mereka, namun mereka tak terlihat.

"Nirmala." Samar-samar terdengar suara ayah memanggilku.

Pintu kamar terbuka, namun ayah tak bisa melihatku. Asap tebal ini menutupi penglihatannya. Aku masih meringkuk di bawah meja, tatapan makhluk itu masih tajam, seperti pedang yang siap menghunus korbannya. Bulir bening mulai menetes, aku ketakutan, makhluk-makhluk itu muncul saat aku merasa sedih berkepanjangan.

***

PEMAKAMAN

Liang lahat telah disiapkan. Aku berdiri tak jauh dari sana, orang-orang ikut mengantarkan jasad ibu untuk terakhir kalinya. Mataku tertuju pada lubang itu. Tiba-tiba muncul pikiran gila, 'andai saja liang lahat ini bisa kututup kembali, andai saja ibu tidak pernah masuk ke dalamnya' batinku.

Tanpa sadar langkahku berlari. Tangisku pecah saat jasad ibu ada tepat di sampingku. Aku meraih tanah dengan tangan gemetar, menimbunnya ke arah liang lahat. Suara raunganku pecah, membuat orang-orang terkejut. Tapi saat itu hanya ada satu hal di kepalaku, 'ini demi ibu'.

Ayah menarik tanganku agar menjauh dari sana. Mukanya memerah, tangannya mengepal kuat. Aku takut jika ayah memarahiku atas apa yang telah kuperbuat. Tetapi ayah memelukku erat. Ayah menenangkanku dengan pelukan itu.

"Jangan lakukan hal bodoh!" Aku mengangguk paham.

Ayah mengajakku kembali ke pemakaman. Di sana semuanya telah siap, orang-orang terlihat merapalkan do'a, entah apa yang mereka ucapkan. Aku tak bisa mendengar dengan jelas, pikiranku masih kalut.

"Baiklah bapak dan ibu jika dahulu almarhumah mempunyai salah mohon dimaafkan."

Pak RT mewakili seluruh keluargaku menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan ibu. Beberapa orang berdiri di tepi liang lahat. Aku melihat ayah menangis menurunkan jasad ibu dengan perlahan. Suara tanah bergesekan dengan papan terdengar jelas. Aku berdiri kaku, tenggorokanku tercekat, ingin bicara tapi tak bisa. Semua terasa cepat, tiba-tiba saja aku sadar, sebentar lagi aku benar-benar kehilangan.

Kutatap gundukan tanah itu. Badanku bergetar hebat menahan sesak. Tanah basah masih menempel di tangan para penggali, suara doa berbisik di antara isak tangis. Mimpi-mimpiku seakan ikut terkubur bersama jasadnya. Aku tak akan pernah lagi melihatnya, walau hanya sebentar.

"Ibu ...."

Aku terus memanggil namanya. Barangkali ada keajaiban dari Tuhan, namun tak ada jawaban. Ayah masih setia menemaniku di sini. Bahkan hujan turun deras, seakan tau jika bumi sudah mengambil jasadnya.

"Ayo pulang, kamu bisa sakit jika kedinginan, Mala."

Aku tak mengindahkan ucapan ayah. Aku masih ingin di sini menemani ibu, 'Apa ibu merasa kedinginan juga?' batinku berperang. Masih menanyakan ini nyata atau halusinasi saja. Isak tangisku semakin keras, jiwaku terguncang hebat. Ayah dengan sabar menungguku di sini. Usapan lembut pada bahu yang dulu bisa memberikan kenyamanan, sekarang hanya seperti angin lalu.

Kepalaku berputar hebat, gundukan tanah di depanku bergoyang dan perlahan memudar dari pandangan. Suara-suara di sekitarku menjauh, berganti dengungan aneh yang menekan telingaku. Tubuhku gemetar, lututku tak lagi sanggup menyangga beban. Aku berusaha meraih kepalaku, tapi pandanganku semakin kabur. Sekilas kulihat ayah berlari panik ke arahku, dan semuanya gelap.

***

Aku terbangun sesaat mendengar suara bisikan. Terdengar tak jelas seperti banyak orang tetapi aku di sini sendirian. Kutajamkan pendengaran, namun suara itu hilang bagai ditelan sunyi.

"Mala ...."

Budhe Ayu datang membawakan secangkir teh dan sepotong roti. Disusul dengan Rania anak Budhe Ayu, ia membawa panci beserta alat kompres. Aku tersenyum dan meraba keningku sendiri 'Ternyata panas' batinku.

"Bagaimana keadaamu, apa masih pusing?"

Suara Budhe Ayu mengingatkanku pada ibu. Wajah mereka juga sangat mirip. Kelembutan dan kasih sayang Budhe Ayu membuatku semakin merindukan ibu.

"Aku baik-baik saja Budhe," jawabku.

"Kamu tidak akan baik-baik saja Mala …."

Tak ada siapa pun di sini kecuali aku dan Budhe Ayu. Suaranya sedikit meninggi disusul dengan sekelebat bayangan besar yang melintas di depan pintu kamar. Aku menajamkan penglihatan, namun bayangan itu tak muncul kembali. 'Mungkin karena efek dari demam' gumamku.

"Habiskan, dan lanjutkan istrahatmu," ucap Budhe Ayu, aku menganggak paham.

Budhe Ayu keluar dari kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, aku berusaha memejamkan mata namun rasa kantukku hilang saat mendengar ada yang memanggil namaku.

"Mala …."

Aku mencari sumber suara. Celingukan sampai di bawah tempat tidur, namun tak ada siapa pun di sini. Aku memegang dahi, sudah tidak panas tetapi mengapa masih ada efek dari demam. Aku membenarkan posisiku mejadi duduk berstandar pada sisi ranjang. Aku bisa melihat langsung diriku sebab meja riasku tepat berada didepan ranjang. Wajahku terlihat kusut, rambutku acak-acakan, aku semakin larut dalam pantulan diriku sendiri. Tetapi mengapa bayanganku terlihat berbeda?.

"Lebih baik kau mati saja Mala!"

Mulutku terlihat berucap hal mengerikan itu dicermin, tetapi sejak tadi aku diam, aku tak berucap apa pun. Seringai senyum terlihat, lalu pantulan wajah siapa yang ada di cermin. Disambung dengan tawa yang menggema di dalam kamar.

"Siapa kamu!"

Aku ketakutan, tanganku meremas ujung baju tidur. Ia tersenyum puas melihatku yang semakin meringkuk dalam keheningan ini. Wajahnya berubah penuh darah dan dari mulutnya mengeluarkan ulat-ulat kecil, bau busuk menyebar di dalam kamar. Aku berteriak histeris, kutenggelamkan wajahku. Tak ingin melihat sesuatu yang belum pernah aku lihat seumur hidupku. Keringat bercucuran deras, derit pintu terdengar. Disusul dengan datangnya ayah.

"Ada apa Mala?" Suara ayah terdengar cemas.

Aku tak berani mengangkat kepala. Kutunjuk cermin besar itu. Biarlah ayah mencari jawabannya sendiri. Aku menangis, teringat kembali kejadian yang baru saja terjadi. Wajah itu hampir mirip denganku tetapi berubah menjadi seperti ibu.

"Biarkan Budhe Ayu menemanimu tidur."

Ayah keluar dari kamar. Budhe Ayu datang dengan tergopoh-gopoh. Tetapi mengapa bayangan itu datang bersamaan dengan Budhe Ayu? Bayangan itu menatapku lekat.

"Kamu kenapa lagi, Nduk," tanya Budhe Ayu.

Aku berhamburan memeluk dirinya. Tangisanku semakin pecah, aku tak bisa menjelaskan apapun. Bibirku kelu, belum bisa mencerna semua ini. Malam ini Buhe Ayu menemaniku tidur, hingga aku bisa terlelap dan melupakan kejadian itu.

***

Semenjak kejadian itu, aku terus-menerus mendapatkan gangguan dari makhluk tak kasat mata. Suatu hari ayah ingin mengajakku untuk pergi ke seorang ustadz kenalannya. Tetapi Budhe Ayu selalu saja melarang, ia beralasan bisa menyembuhkanku dengan rapalan doa dan ramuan dari nenek moyangnya. Tetapi, aku merasakan tidak ada perubahan apa pun, melainkan bertambah parah. Namun aku tak ingin berburuk sangka terlebih ia yang mengurus segala keperluanku ketika ayah sedang pergi bekerja.

"Aku bisa menyembuhkan Mala," ucap Budhe Ayu.

"Tapi mbak, keadaan Mala semakin parah." Ayah tetap ingin membawaku ke seorang ustadz.

"Apa kamu yakin Di, Mala akan sembuh jika ustadz itu yang mengobati?"

"Maksud mbak?" tanya ayah kebingungan.

"Dia ustadz tetapi jauh sebelum itu dia seorang dukun."

Pernyataan Budhe Ayu membuat aku dan ayah sama-sama terdiam. Memang ayah tidak tahu-menahu apa latar belakang ustadz tersebut. Ayah hanya mendapat informasi dari rekan kerjanya.

"Lalu aku harus bagaimana lagi mbak? Aku tidak ingin Mala hidup dalam bayang-bayang kesedihan itu!"

"Tenang Di, mbak akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan Mala."

Budhe Ayu terdengar sungguh-sungguh. Terlihat dari pancaran matanya yang mengisyaratkan bahwa ia mampu menyembuhkanku. Namun entah mengapa hatiku berkata lain, ada sesuatu yang disembunyikan Budhe Ayu.

***

Budhe Ayu menepuk bahuku lembut, seolah ingin menyalurkan ketenangan.

“Nduk, percayalah sama Budhe. Semua akan baik-baik saja.”

Aku hanya menunduk, mencoba menelan kata-katanya. Tapi di balik suara menenangkan itu, ada getar aneh yang membuat bulu kudukku meremang. Tatapan matanya terlalu dalam, seakan ingin menenggelamkanku dalam rahasia yang ia jaga rapat-rapat. Dan entah kenapa, setiap kali ia tersenyum, dadaku justru makin sesak.

Aku berdiri di ambang pintu. Kamar Budhe Ayu mengapa seperti mengeluarkan asap, aku berjalan mendekat ke arah almari kayu di sudut ruangan. Ada sesuatu yang berkilau di sana, batu kecil berwarna hitam legam jatuh dari sela pakaian yang tersusun. Batu itu memantulkan cahaya samar, memunculkan bayangan aneh di dinding.

"Astaghfirullah!" pekikku

"Jangan sentuh benda itu!"

Budhe Ayu tiba-tiba datang, ia sedikit berlari dan mengambil batu itu. Namun, saat ia memegang batu itu tangannya melepuh. Aku ternganga melihat apa yang terjadi, Budhe Ayu berteriak histeris. Batu itu ia lempar ke sembarang arah. Bayangan itu mendekat ke arahku. Berdiri tegap dan seolah ingin memakanku hidup-hidup.

"Ayah tolong Mala..."

Aku terus memanggilnya. Beringsut mundur saat bayangan itu mendekat. Budhe Ayu masih berteriak kesakitan, tangannya semakin menghitam. Luka bakar itu menjalar hingga lengan.

"Panas! Panas!" ucap Budhe Ayu.

Bayangan itu berbalik arah, menghampiri Budhe Ayu dan hilang. Namun, Budhe Ayu memperlihatkan reaksi yang membuatku semakin takut. Ia menggeliat di lantai wajahnya memerah lalu membiru. Dari mulutnya keluar suara berat, bukan suara lembut Budhe Ayu yang selalu menenangkan.

"Kau harus ikut denganku!"

"Aku tidak sudi ikut dengamu!"

"Tidak bisa! Perjanjian ini telah disepakati, ibumu sudah menunggu di sana."

"Apa...maksudmu!" Suaraku terputus-putus

"Ayu telah menyerahkan semuanya, hingga waktu yang ditentukan aku akan mengambil apa yang menjadi hakku."

Aku tak bisa berkata apapun. Semuanya berputar di kepala, Budhe Ayu, ia bersungguh-sungguh bisa menyembuhkanku. Tetapi setiap rapalan do'a dan ramuan yang kudapat darinya, badanku semakin parah dan tidak menunjukkan adanya kata sembuh. Tatapan matanya saat pemakaman ibu, tangisannya seperti palsu. Ya Tuhan, mengapa aku baru menyadarinya.

Dadaku sesak. Ternyata dibalik wajah yang menenangkan itu, tersimpan rapi sosok iblis. Dengan sisa tenaga aku berdiri, langkahku gemetar. Air mata mengaburkan pandangan, hanya satu yang terlintas di benakku, aku harus menemui seorang ustadz. Sebelum semuanya terlambat.

Aku meminta bantuan tetangga. Dan syukurlah mereka mau membantuku, seorang ustadz datang membawa beberapa santri. Mereka duduk melingkar mengelilingi Budhe Ayu. Membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an, tidak ada yang boleh berbicara saat proses ini berlangsung.

"Mala... Jangan... Dekati ustadz itu... Kalau tidak... Kau akan…."

Suara Budhe Ayu berhenti. Ia kembali menjerit, tubuhnya terguncang hebat. Batu yang ada di sudut ruangan itu kembali berputar mengeluarkan bau anyir. Keadaan Budhe Ayu semakin parah, mulutnya mengeluarkan busa bercampur dengan darah, matanya melirik ke atas. Tubuh Budhe Ayu semakin membiru, tidak ada lagi pemberontakan darinya. Ustadz dan para santri menghentikan bacaan mereka. Mendekati tubuh Budhe Ayu dan mengusap wajahnya, tetapi mata Budhe Ayu tidak bisa terpejam.

"Innalillahi wainnailaihi raji'un."

Tangisanku pecah. Para tetangga berbisik-bisik membicarakan Budhe Ayu yang meninggal dalam keadaan tak lazim. Aku segera menghubungi ayah, ia terkejut mendengar semua yang terjadi. Pemakaman pun akan segera dilakukan. Ayah tak henti-hentinya menangis, adik dari istrinya tega membunuh kakak kandungnya sendiri. Hanya untuk mendapatkan harta.

Aku masih belum mempercayai keadaan ini. Budhe Ayu yang memiliki wajah seperti ibu kukira memiliki sifat yang sama, namun ternyata aku salah besar. Rania menangis dalam pelukanku, aku tak membencinya sama sekali. Yang ku sesali hanya satu, kini Rania menjadi sepertiku kehilangan ibu di usia yang masih muda. Namun, semua yang terjadi sudah menjadi garis takdirnya. Siapa yang menabur, maka ia akan menuai hasilnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Antara Nyata dan Bayangan
Ade Vina
Novel
Gold
Sing, Unburied, Sing
Mizan Publishing
Cerpen
Hari Pertama
Riana Dewi
Flash
The Eyes
Ika Karisma
Flash
Ramalan
Dark Specialist
Novel
Bronze
SIMPLE MINUTES
K. Z. Asri
Novel
Terror Mannequin
Devi Sri Mulyani
Flash
Bayangan Putih
Luca Scofish
Novel
Gold
We Have Always Lived in the Castle
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Setan Jabal Rokok
Eki Saputra
Cerpen
Bronze
STALL NOMOR TUJUH
glowedy
Novel
Bronze
Horor family
angkaribut
Komik
Bronze
Me !
Willy Reichi
Novel
LUMINOUS: A World Full Of Mystery and The Darkness
Dito Bagus Chandra
Novel
Gold
HARU MAHAMERU
Falcon Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Antara Nyata dan Bayangan
Ade Vina
Cerpen
Sepotong Rindu Yang Tertinggal
Ade Vina