Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam seperti tidak mau menampakkan cahaya bulan yang biasa menyinari bumi, langit terlihat lebih menghitam dari biasanya, suara guntur yang sangat keras terdengar hingga ke penjuru ruangan gelap yang saat ini ditinggali oleh seorang lelaki berumur 28 tahun. Ia tinggal sendiri di rumah itu, sorot matanya menatap sebuah benda yang lumayan besar dan tua, kemudian setitik air mata pun lolos dari tempat asalnya, dan mengalir di pipi si pemilik wajah pucat pasi itu. Ia teringat suatu kenangan ketika masih bersama dengan sang adik. Dulu, Ia adalah seorang penyanyi jalanan terkenal yang selalu menciptakan banyak lagu untuk penggemarnya. Ia tidak sendiri, melainkan bersama dengan sang adik untuk menyanyikan lagu yang Ia buat, lelaki sering dipanggil Dika dan bernama lengkap Andika Sutomo itu hanya mengiringi lagunya dengan sebuah piano.
Dulu, Ia juga teringat ketika pertama kali membuat lagu dan mengadakan pertunjukan kecil dijalanan bersama sang adik lelaki yang masih remaja itu, banyak sekali orang yang tidak menyukai lagu yang Ia buat. Bahkan Ia sempat emosi ketika sampai rumah dan mengira apa pun yang Ia kerjakan hanyalah sia-sia belaka.
Brak!
Suara bantingan buku-buku lirik lagu, not, dan tangga lagu itu terdengar.
“Kak, sabar, semua yang dimulai dari awal memang tidak mudah. Walau mereka tidak menyukai lagu kita, kita harus tetap membuat lagu yang lebih baik lagi supaya mereka bisa menyukai lagu yang kita buat. Ayo dong Kak, Semangat ya!” Kata sang adik sambil mengelus pundak sang kakak. “Tidak semudah itu, Makhta. Semenjak orang tua kita meninggal, Kau menjadi tidak sekolah, Kakak juga tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya mengembangkan hoby kakak sebagai penulis lagu. Kakak ingin suatu saat nanti kita bisa terkenal dan Kau bisa sekolah. Karena bagaimana pun juga pendidikan itu sangat penting Ta,” bantah Dika sambil memijat pelipisnya.
“Makannya itu, Kak. Ayo semangat! Dan yakin, besok akan lebih banyak lagi yang menonton kita di jalan dan mendapatkan uang lebih banyak dari hari ini.” Sahut Makhta dan dibalas anggukan oleh sang Kakak dan senyuman manisnya.
Hari demi hari berlalu hingga sekarang mereka sudah menjadi penyanyi jalanan terkenal. Sang Adik juga sudah mulai bersekolah, bukan sekolah yang biasa orang-orang lakukan, melainkan hanya ikut kejar paket. Karena mengingat umurnya yang sudah semakin bertambah, sama seperti Kakaknya.
“Kak, akhirnya aku lulus sekolah. Terima kasih ya, Kak, karena kerja keras kita selama ini, akhirnya Aku bisa lulus juga. Ya, walaupun kejar paket saja, tapi aku senang kok,” ucap Makhta meyakinkan Kakaknya. Senyumannya pun tak luncur dari wajahnya.
“Iya, sama-sama, Kakak punya hadiah untukmu, Nah ini dia, Buka saja," Sang Kakak sambil menyodorkan sebuah kotak lumayan besar yang telah dibungkus dengan kertas kado.
“Wah, terima kasih ya kak, sebuah microfon tanpa kabel. Wah, Aku jadi makin semangat untuk menyanyi nanti malam!" Pekik Makhta karena begitu senang menerima hadiah dari Dika yang juga ikit senang mendengarnya.
***
Sudah satu bulan, setelah kelulusan Makhta, akhirnya mereka telah mencapai mimpinya. Yaitu menjadi penyanyi terkenal dengan lagu yang mereka buat sendiri, bahkan lagu mereka sudah bisa didengarkan oleh semua orang di penjuru dunia. Sungguh, prestasi yang sangat membanggakan bagi kalangan musisi.
“Kak, serius lagu kita beneran masuk dalam Billboard Music Award?” Tanya Makhta penuh harap dengan kedua mata yang berkaca-kaca terharu.
“Iya Makhta, kita juga akan menerima undangan untuk datang ke acara musik dan menerima penghargaan itu,” balas Sang Kakak dengan raut wajah yang amat gembira.
“Wah, akhirnya ya Kak, perjuangan kita selama ini tidak sia-sia. Apa kubilang waktu itu Kak. Pasti kita akan berhasil jika terus berusaha,” sahut Makhta dengan senangnya.
“Iya, benar Ta, terima kasih ya, karena kamu masih tetap berada disamping Kakak ketika sedang sedih dan kacau,” Makhta ialah penguat Dika selama ini untuk bekerja. Maka dati itu, Dika sangat menyayanginya. Sang Kakak pun mengelus kepala Makhta dengan sayang.
“Sama-sama, Kak. Aku juga berterima kasih kepada Kakak karena Kakak sudah tidak mudah terbawa emosi lagi dan terus berkarya," Makhta pun menjeda kalimatnya, melihat ke arah luar jendela yang cuacanya sepertinya tidak mendukung untuk konser.
"Kak, malam ini kan hujan, sepertinya kita tidak mungkin mengadakan konser di jalanan, tolong ajari Aku bermain piano dong Kak, Aku kan juga ingin bisa memainkan piano,” lanjut Makhta dengan penuh semangat.
“Iya ayo, apa sih yang enggak untuk adik kesayakan Kakak ini.” Dika merangkul Sang Adik dan berjalan menuju pianonya.
Dentingan suara piano semakin menggema di seluruh penjuru ruangan studio yang ada di rumah mereka. Dari suara Makhta yang selalu mengeluh ketika tidak bisa mengikuti ajaran Sang Kakak, sampai Sang Kakak yang berakhir tertawa karena Adiknya ternyata susah untuk mempelajari dan mempraktikkan piano yang Ia ajarkan.
“Huh, sudahlah Kak. Aku menyerah, ternyata tidak mudah ya main piano, Aku tetap jadi vokal saja lah,” kesal Makhta berniat untuk merajuk dengan memajukan bibirnya.
“Hahaha, Kau ternyata tipe orang yang mudah menyerah ya. Yasudah, suaramu kan sudah bagus, ya tidak perlu main piano, biar Kakak saja.” Putus Dika sambil tertawa melihat wajah kesal adiknya, dan dibalas anggukan oleh Sang Adik.
***
Di tengah kesibukan mereka dalam membuat lagu dan jadwal konser membuat keduanya terkadang sakit karena kelelahan, namun bukan itu yang menjadi permasalahan, melainkan sebuah petaka yang menghampiri adiknya. Waktu itu, malam hari, sekitar pukul 21.00, Makhta sedang ke supermarket untuk membeli peralatan makanan.
“Beli yang mana ya, sayur atau daging?” Monolog Makhta ketika bingung untuk memilih bahan makanan yang diperlukan.
“Yasudahlah, keduanya saja, lagian mumpung masih mampu untuk membeli tidak ada salahnya kan?” Lanjutnya sambil tersenyum.
Setelah lama memilih bahan makanan yang lain untuk persediaan di rumah, Ia berniat untuk menuju ke kasir untuk membayar barang belanjaannya. Namun, tanpa disangka, Ia melihat seorang pemuda kasir di supermarket itu ditodong pisau oleh penjahat yang tiba-tiba saja masuk dan berniat untuk merampok uang yang ada di kasir tersebut.
Ketika si penjahat akan menekan leher pemuda kasir, dengan cepat Makhta menolongnya hingga tekanan itu terlepas dari pemuda kasir tersebut. Tapi setelah itu, penjahat tersebut menyerang Makhta dengan pisau yang Ia gunakan untuk menikam pemuda kasir tadi dan menusukkan pisau tersebut di perut Makhta, dan alhasil Makhta tak sadarkan diri akibat tusukan di perutnya. Penjahat itu kemudian melarikan diri dan Si pemuda kasir yang dari tadi melihat kejadian tersebut segera menelpon polisi setempat dan ambulans untuk Makhta.
Di sisi lain, Dika menunggu Sang Adik yang dari tadi belum pulang dari supermarket, padahal supermarketnya dekat dengan rumah mereka.
“Hah, kemana sebenarnya anak itu? Mengapa perasaanku tiba-tiba tidak enak begini? Lebih baik kutelpon saja.”
Tuut ... Tuuut ... Tuut ...
“Tidak diangkat? Yasudahlah, kususul saja.”
Setelah menyusul ke supermarket tersebut, Dika melihat pemuda kasir yang ditolong oleh Makhta. Ia masih shock akan kejadian yang terjadi, dan polisi juga masih menginterogasi supermatket tersebut. Namun, disana banyak sekali warga setempat yang berkerumun di tempat kejadian tersebut.
“Ada apa ini? Mengapa ada polisi disini?” Tanya Dika apada pemuda kasir itu.
“Tttaddi ada peeenjjahaaat yang berniat uuntuk meeerammpok supermarket, dan ada pemuda yang menyelamatkanku, tapi dia tertusuk pisau, kemudian penjahat itu melarikan diri.” Jawabnya gugup dan masih sangat shok akan kejadian tadi.
“Hah? Jangan-jangan itu adikku, Makhta, tidak! Tidak mungkin itu Makhta! Aku tidak percaya itu!” Ucap Dika tidak percaya.
“Sebaiknya Kau ke rumah sakit saja dulu, siapa tahu Dia memang adikmu.” Kata salah satu warga setempat.
“Baiklah, di rumah sakit mana?” Tanya Dika.
“Rumah sakit Setia Abadi. Cepat! sebelum terlambat!” Saran pemuda penjaga kasir itu dan dibalas anggukan oleh Dika.
Sesampainya Dika di rumah sakit Setia Abadi, Ia sempat bertaya kepada resepsionis untuk menanyakan sebuah korban perampokan yang baru saja sampai di rumah sakit, dan ternyata benar adanya. Dika segera menuju ruang yang tadi sempat diberi tahu oleh petugas rumah sakit tersebut, dan ternyata itu benar adiknya. Makhta, nyawanya tidak tertolong karena telah kehabisan banyak darah ketika perjalanan menuju ke rumah sakit. Betapa hancurnya hati Dika saat itu.
“Tidak! Makhta, bangun! Buka matamu! Mengapa Kau meninggalkan Kakak sendirian Makhta! Mengapa Kau secepat itu menyusul Ayah dan Ibu? Bangun Makhta, tolong buka matamu, mari kita bermain piano lagi, menyanyi lagi, dan kembangkan bakat kita bersama Makhta, bangun! Hiks ... hiks ... hiks... ” Ucap Dika sambil mengguncang tubuh Makhta yang sudah terbujur kaku. Air matanya tak henti-hentinya mengalir dan menangisi kepergian Makhta.
***
Setelah kejadian mengerikan itu, Dika masih tetap menciptakan lagu, bahkan sekarang Ia sudah menjadi produser. Tapi kali ini Ia menciptakan lagu untuk penyanyi lain, bukan adiknya lagi. Sekarang, kariernya seperti tidak ada gunanya tanpa kehadiran sang adik. Saat ini Ia kesepian, selalu sendiri, dan hanya bisa menyemangati dirinya sendiri. Namun, ketika Ia teringat tentang adiknya, Ia selalu berada di studio piano, bahkan sampai tertidur disana. Sekarang pun, Ia masih di sana dengan gemuruh petir yang sudah menyambar beberapa kali. Namun tubuh Dika masih tak bergeming dan hanya menatap lurus ke arah piano tua itu.
Tamat