Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Antara Kopi, Hati, dan M*ki
0
Suka
1,401
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tampaknya Tina terkejut kala buka pintu muka, matanya terbelalak lihat seorang laki duduk sandar badan, lipat kaki, di ruang tengah rumah.

    “Selamat sore.” Laki itu senyum.

    “Apa hajat kau di sini?” Muka Tina ulang lagi ke bentuk tadi, kejutan lewat begitu saja usai pasti itu Antan, kekasih selangkangannya.

    “Tunggu kau balik,” bilang laki itu, pantat ia angkat, dekati Tina dan dua tangan lingkar tubuh kekasihnya.

    Tina pasrah, terima saja pelukan itu.

    Sesaat baru peluk Tina, Antan lantas remas bokong kekasihnya. Wajah Tina berganti, dia hempas tangan Antan, sejurus bola matanya bergerak cari jam dinding. “Jangan sekarang. Suamiku pulang sebentar lagi,” bilang Tina.

    “Waswaskah kau?” Si Antan lepaskan pelukan.

    Kepala Tina terangguk.

    Antan jadi gila, senyum sedetik ia pampangkan, lantas telapak tertuju pada dada Tina dan benda itu serasa bakal remuk.

    “Jangan!' Tina hempaskan lagi tangan kekasih, sudah dua kali.

    Sonder pusing apa kata kekasih, Antan renggangkan leher, julurkan bibir dekati bibir Tina yang terpolesi gincu, tangannya pergi lagi ke bokong Tina. Si Tina ulang-ulang pasrah saja.

    Habis ciuman, Antan bilang, “Ini kali bakal cepat, jangan waswas.”

    Seterusnya sofa ruang tengah basah oleh kelakuan lalu keringat dua orang itu, ikutan sedikit erang-erangan kecil, mereka sedang bikin enak tempat kencing dengan baju lengkap masih di badan.

    Kira-kira delapan atau sembilan menit lewat, erangan binatang di penghujung sudah kedengaran, Tina anjak hendak bangkit dari pangkuan kekasih. Antan larang, bilang, “Jangan bangkit dulu. Duduklah dulu sedikit!'

    “Tapi—.”

    “Tak suka aku kala kau bersikap macam ini. Kau lain sekarang. Suka bantah omonganku.”

    “Suamiku bakal pulang sedikit lagi.”

    “Lelaki itu tidak bakal pulang. Kupastikan nyawaku jaminannya. Kunci saja dulu pintu itu supaya tak ada batang hidung datang pergoki kita dua di sini!”

    “Waswas aku. Suamiku—.”

    “Jangan bantah terus-terusan omonganku! Sudah kupastikan nyawaku jaminan ketidakpulangannya. Kunci saja dulu pintunya!” Bilang Antan lantas tunjuk pintu.

    Kali itu si Tina patuh pada kekasihnya, dia pergi dekati pintu.

    “Sudah berapa lama kau di sini?”

    “Belum lama.”

    “Yakinkah kau suamiku bakal terlambat pulang ini hari?”

    “Harus berapa kali kujaminkan nyawaku agar kau percaya? Sudahlah, perkara pendek ini tak perlu kau perpanjang. Lagi pula, aku sudah kasih orang itu banyak pekerjaan lalu pelajaran ini hari.”

    “Pelajaran apa?” Bilang Tina sejurus putar kunci pintu ke kanan, bunyi batang kunci pintu kedengaran.

    “Pekerjaan yang bisa bikin dia tinggal di sana sampai larut supaya kita bisa lakukan apa saja di rumah ini,” Bilang Antan.

    “Duduklah dulu! Kawani aku di sini,” bilang Antan kepada kekasih yang hendak saja berjalan tuju dapur.

    Tina duduk ulang di samping kekasih. “Pelajaran apa yang kau kasih untuk suamiku?” Tina bilang ulang.

    “Apa sebab kau selalu sebut orang itu sebagai suamimu?”

    “Sebab ia benar-benar suamiku.”

    “Ya, secara negara. Tapi, apa kau taruh hati padanya?”

    Bibir Tina rapat, raga patung.

    “Apa kau taruh hati padaku?”

    Si Tina baru angguk kepala.

    “Kuulang lagi, apa kau taruh hati padanya?”

    “Sudah kubilang kemarin lalu, aku gundah. Topanglah risau hati ini. Jangan bahas soal-soal ini dulu, Sayang.”

    Si laki senyum. “Baiklah bila demikian hendak hatimu. Bagaimana tadi? Apa kau nikmati itu?”

    Tina diam seribu bahasa.

    “Tak perlu kau jawab. Desahanmu tadi cukup banyak jawab pertanyaan bodohku,” bilang Antan, jawab sendiri pertanyaannya tadi.

    Giliran Tina senyum dengar kata kekasih kemudian taruh kepala di bahu si laki. “Nikmatnya belum pudar dari mekiku.”

    Mereka duduk bersanding mesra sedikit saat, baru terus si Tina ujungnya buka suara. “Jam berapa ia pulang? Aku wajib bikin kopi untuknya sebelum ia tiba di rumah.”

    “Selesai urusan kita, aku balik kantor dan suruh orang itu pulang.”

    “Baiklah,” bilang Tina, “Apa kau mau kita bikin enak selangkangan lagi di kamar?”

    “Mekimu gatal lagi?”

    “Sepantasnya kau paham maksud pertanyaanku, Sayang.”

    “Dasar betina! Kalaulah kau ingin lakukan itu lagi, bilang saja! Isyarat macam itu kadang tak kupahami.”

    Pecah tawa si Tina. “Nyatanya, baru kutahu, nikmatnya istimewa kala lakukan ini denganmu di rumah suamiku.”

    “Kau ingin lakukan itu di kamar pengantinmu?”

    Si Tina senyum, angguk kepala, lalu cium pipi kekasihnya.

    “Aku kepingin lakukan itu di dapur dulu,” bilang Antan sejurus ia pegang pergelangan Tina lantas bawa si Tina ke dapur.

    Sekali lagi mereka lakukan itu di dapur, di atas maja makan kayu yang tadi pagi Tina bikin kopi untuk suami. Kali itu tanpa busana. Erang-erangan binatang yang kedengaran telinga, jelas amat tempat kencing dua manusia itu geli-geli sedap.

 

*

 

    Kelihatan dari jendela hari sudah padam ketika dua orang itu duduk di atas meja makan sedang kaki masing-masing terjulur ke bawah tanpa sentuh lantai. Mereka obrol-obrol tentang yang baru saja lewat untuk sesaat, baru si Tina turun dari meja dan pergi ambilkan segelas air untuk kekasihnya.

    “Bikinkan aku kopi seperti lazimnya kau bikinkan untuknya,” bilang Antan.

    Tina batal ambil air lantas segera penuhi permintaan kekasihnya.

    Antan kelihatan terpesona lihat lekuk bokong wanita yang tampak belakang tubuhnya. “Apa pula orang itu selalu kau bikinkan kopi? Apakah ia selalu bilang dengan paksaan?”

    “Tidak. Suamiku tidak pernah bilang.”

    “Jangan sebut orang itu suamimu! Hatiku rasanya disengat bila kau lakukan itu,” bentak Antan.

    “Baiklah.”

    “Lanjutkan ceritamu!”

    “Aku suka saja bikin kopi untuk laki-laki. Dulu, kopi selalu kubikinkan untuk ayahku saban-saban beliau pulang kerja. Tapi, begitu beliau gugur, kebiasaanku pun kutinggalkan. Tak ada pria yang wajib kubikinkan kopi saban sore. Baru aku kawin, kebiasaanku kumulai ulang. Aku suka saja.”

    “Artinya, kau suka bikin kopi untuk laki-laki yang kau cinta?”

    “Barangkali,” bilang Tina kemudian mulai aduk-aduk cangkir yang terpegang, sekian saat, dia balik badan, lalu hampiri kekasihnya dengan cangkir putih di tangan kanan.

    Antan terima dengan hati gelas itu, senyumnya mekar, baru bibirnya dekati bibir gelas, tiup sedikit isi gelas, baru bibirnya cium bibir gelas sekaligus seruput kopi bikinan kekasih.

    “Bagaimana rasanya?” Kata Tina yang sudah lagi duduk di samping kekasihnya.

    “Luar biasa. Akan mungkin rasa kopi bikinanmu ini lebih istimewa bila aku saja yang seruput saban sore.”

    Tina tindak ucapan kekasihnya dengan tawa.

    “Kira-kira, kapan kopi ini bakal istimewa?” Antan tanya.

    “Keberanianku masih ciut kalau-kalau aku hendak minta suami, maksudku, minta orang itu cerai segera.”

    “Bukan perceraian maksud omonganku. Apa masih kau ingat usulku yang lampau kita bahas? Bukankah kau pernah sepakat?”

    “Ya. Tapi, keyakinanku belum penuh, ketakutanku lebih kuat sekarang. Aku waswas bakal terjadi hal sial bila kita nekat lakukan itu.”

    “Kujaminkan nyawaku. Kau bakal baik-baik saja, kita berdua bakal baik-baik saja setelah kubunuh orang itu.”

    Bibir Tina rapat. Dia diam cukup lama sementara Antan seruput kopi kedua kali.

    “Aku butuh mandi,” bilang Tina pecahkan hening, turun dari meja, dan pergi dari dapur tuju kamar pengantinnya.

    Sebelum sempat satu menit, Tina lari balik lagi di dapur sonder suara dan langsung jatuh dalam pelukan Antan. Wajah Tina pucat, badannya getar-getar seperti bakal mati saja. Dia hendak berteriak, tapi dia waswas. Jadinya, tangisnya sonder suara.

    Antan lain, sedang ia peluk kekasih tabunya, ia seruput kopi bikinan kekasih ketiga kali, detik sama, senyum tak berputus terlukis terus di bibirnya, ia punya rencana jelas di dalam pikirannya untuk suami kekasihnya malam nanti.

 

*

 

    Malam itu, berdua gali lobang di belakang rumah. Dan esok sorenya, Tina pindah rumah, tinggal berdua Antan.

    Tiga hari lewat, Tina terus-terusan sambut Antan dengan cangkir kopi sesampainya lelaki itu di rumah.

    Baru pada sore hari keempat, Anton pulang ke rumah kosong. Antan cari kekasihnya sampai di dapur, tapi sonder Tina ada. Temuannya selembar kertas saja yang ada muat kalimat-kalimat ini: “Usahaku cukup untuk bikinkan kopi untukmu. Usahaku cukup untuk bikinkan kopi untukmu agar bahagia. Mulanya kurasa akan mungkin bahagia dengan begitu. Namun, rasanya lain ketika kubikinkan kopi untuk suamiku dan untukmu. Detik kutulis surat ini, kebimbanganku pudar sudah. Aku dapat bangga bilang kepadamu, dapat kujawab pertanyaanmu kala itu, bahwa aku lebih taruh hati pada suamiku, hatiku terlampau kuat terikat padanya. Pendeknya, aku lebih cinta mendingan suamiku.

    Begitu beres surat kekasihnya terbaca, Antan buru-buru tuju kamarnya, semua pakaian yang bisa teraih segara masuk ke dalam tas, dan ia pun segera lari dari kota itu.

    Waktu Antan panik di rumahnya, Tina sedang duduk di sofa ruang tengah rumah suaminya, di tangan terpegang gagang cangkir isi kopi, sementara air mata terus keluar tanpa sesisik bunyi kedengaran dari mulutnya.

 

 

 

Selesai.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
IPA & IPS
Coconut Books
Novel
Episode
Perspektifat
Novel
Perempuan Keturunan Terakhir
Dewi sartika
Skrip Film
Love From The Sea
Affa Rain
Cerpen
Antara Kopi, Hati, dan M*ki
E. N. Mahera
Novel
Bronze
KARMA PALA
Tri harnanik atas asih
Novel
Gold
Bising
Bentang Pustaka
Novel
Dragon Eagle
Luca Scofish
Novel
Bronze
Dan Si Tragedi Itu Bercerita
Nayla F.M.
Skrip Film
Cinta Kasih
Novia Br Sipakkar
Novel
Impian Soraya
bundatraveler
Novel
Bronze
The Colours of Life
Sofia Grace
Novel
Bronze
Menjelang Magrib
Heri Winarko
Novel
Di bawah Pohon Pinus
Ati Raah
Novel
Bronze
Kau Berkata
Dewinda
Rekomendasi
Cerpen
Antara Kopi, Hati, dan M*ki
E. N. Mahera
Cerpen
Hipokondriasis
E. N. Mahera
Cerpen
Pagi di Kafe
E. N. Mahera
Cerpen
Dijodohin
E. N. Mahera
Cerpen
Abdi Negara Cabul
E. N. Mahera
Cerpen
B*nci Internasional
E. N. Mahera
Novel
Cita-Cita Ayah
E. N. Mahera
Cerpen
Cipokan Pertama
E. N. Mahera
Cerpen
Induk Anjing
E. N. Mahera
Cerpen
Ditipu Jablay
E. N. Mahera
Cerpen
Samudra yang Bisu
E. N. Mahera
Cerpen
Peristiwa Kemayoran
E. N. Mahera
Cerpen
Rahmat Anti-Feminis
E. N. Mahera
Novel
Mengabadilah Bersamaku
E. N. Mahera
Cerpen
Rahmat Insekyur
E. N. Mahera