Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Antara Aku, Kau, dan Kucing Kesayanganku
Cerpen Habel Rajavani
MILKI hari ini pulang. Petugas rumah penitipan hewan akan mengantarkannya ke rumah. Sudah lewat hampir satu jam dari waktu yang mereka janjikan.
Aku tak sabar menunggu.
Milki hari ini pulang. Setelah sebulan dititipkan. Aku tak bisa mendustai diriku lagi. Aku mencintai Milki lebih dari apapun dan siapapun. Juga lebih besar dari cintaku pada Irman. Dan aku sudah membuat keputusan. Keputusan paling membahagiakan yang pernah kubuat dalam hidupku.
Aku memilih Milki. Dan harus kuucapkan selamat tinggal pada Irman!
Irman adalah lelaki yang baik. Kami berkenalan ketika sama-sama ikut tes seleksi masuk di kantor konsultan kehumasan ini. Ada belasan pelamar. Hanya dua yang akan diterima. Aku datang terlalu pagi untuk tes tertulis pagi itu. Irman orang kedua yang tiba. Ia menyapaku terlebih dahulu. Memperkenalkan diri, dan bertanya apakah aku hendak ikut tes juga seperti dia. Ramah dan santun sekali. Hangat dan menyenangkan. Aku senang sekali ketika hingga tes dan pengumuman terakhir hanya nama kami berdua yang tersisa. Kami berdua diterima. Dan karena itu kami dekat, mungkin karena kami merasa senasib, sama-sama karyawan baru di kantor itu.
"Kamu suka kucing ya?" tanya Irman ketika kami makan siang berdua di warung makan murah di lantai dasar gedung perkantoran besar tempat perusahaan kami berkantor.
"Iya, suka banget. Kenapa?" tanyaku.
"Ya, konfirmasi aja sih. Gambar profilmu di WA, Twitter, FB, IG, postingan-postinganmu juga kucing semua kayaknya..." katanya.
Aku tertawa.
Dia rupanya memperhatikan aku.
Hubungan kami, kalau mau dibilang hubungan, sudah jalan sebulan. Irman yang kali ini menraktirku. Katanya, itu perayaan sebulan kami bekerja di kantor baru ini. Lucu juga dia.
Aku bekerja di bagian penulisan naskah. Irman di bagian desain. Berbeda, tapi karena tuntutan pekerjaan kami jadi sering bekerja bersama. Menggarap proyek bersama. Kami melayani klien tidak hanya dalam strategi kehumasan atau kampanye produk, tapi juga sampai ke eksekusi detail seperti desain poster, selebaran, spanduk, baliho. Naskahnya itu bagianku. Desainnya tentu Irman yang mengerjakan.
Bekerja dengan Irman menyenangkan. Dia mudah menangkap apa mauku dengan naskah yang kubuat, bahkan dia tahu apa-apa yang kadang sulit aku jelaskan. Kadang kami berdua bertemu langsung dengan klien untuk memudahkan mencocokkan penulisan naskah dan desainnya.
Aku terus-terang makin suka sama Irman. Bekerja bersama dia membuat aku bisa menilai dia dalam banyak hal. Dia orang yang sangat bertanggung-jawab. Taat pada tenggat. Selalu memegang komitmen. Kalau dia bilang desain bisa selesai dua hari, ya dua hari selesai.
Aku tak bisa membantah perasaanku. Aku jatuh cinta padanya. Dengan segala kebaikannya. Aku tak bisa mencari celah untuk menemukan alasan menafikan perasaan cintaku padanya.
Tapi aku tak mau menunjukkan cintaku dengan cara murahan.
Seharusnya Irman tahu kalau aku mencintainya.
Pada hari dia ulang tahun, aku bikin video lucu. Aku merekam Milki yang kupangku dan kugerakkan tangannya seolah dia mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Lalu video itu kukirim tepat pada pergantian hari.
Di kantor, aku mendekati meja kerjanya dan menyapanya. "Ada salam dari Milki... Kok gak dibales?" kataku. Dengan senyum termanis yang bisa kuciptakan di wajahku.
Dia sedang membaca ringkasan hasil rapat yang sudah kulengkapi dengan catatan desain poster yang harus dia rancang.
Bukannya membalas pertanyaanku, Irman bertanya soal rancangan poster yang kubuat. "Ini kenapa harus kucing, sih? Apa hubungannya dengan binatang itu? Kan bisa binatang lain?"
"Maksudmu apa, Ir? Itu hasil diskusi dengan klien. Ini kampanye anti-kekerasan pada binatang. Apa salahnya dengan kucing?"
"Yang sering mendapat kekerasan itu anjing. Anjing kampung. Anjing liar. Kenapa tidak anjing aja, sih?"
"Kamu pertimbangkan juga dong penerimaan masyarakat kita, itu sasaran kampanye kita. Catatan penting dari klien kita, inti kampanye mereka adalah gerakan menyayangi binatang. Pesannya positif. Jadi, ikon yang disepakati adalah kucing. Itu hewan domestik yang paling mudah disayangi. Tapi pesannya sih general 'kan... semua binatang masuk. Bukan cuma kucing..."
Setelah perbedaan pendapat itu, hubungan kami merenggang. Irman menjadi orang yang dingin. Desain kampanye dengan ikon kucing itu dia kerjakan dengan setengah hati, meskipun hasilnya tetap saja bagus.
Aku tahu dia bisa bikin yang lebih bagus dari itu. Aku segan menyapa dia, kecuali untuk urusan pekerjaan, itupun kuhindari untuk bicara langsung. Aku melihat dia seperti orang yang tertekan. Kupikir kalau dia perlu teman untuk berbagi, dia bisa saja bercerita padaku.
Hingga seminggu kemudian.
Aku tak tahu bahwa manajer kami memintanya langsung membuat desain boneka kucing. Maskot kampanye klien kami. Mereka senang dengan eksekusi yang kami bikin sebelumnya. Irman menemuiku dengan pucat. Ia gugup.
"Tina, kita bisa ngomong, gak?"
Malam itu kami bertemu di sebuah restoran yang nyaman. Irman jujur membuka diri. Ia bicara banyak soal traumanya pada kucing. Setelah papanya meninggal, mamanya sangat kehilangan dan ia melampiaskan rasa kehilangannya pada seekor kucing yang dibawa papa pulang, beberapa minggu sebelum ia meninggal. Irman kelas 2 SMA waktu itu.
Sepeninggal papa, Irman harus melakukan banyak hal sendiri, termasuk berangkat ke sekolah. Ia pun belajar menyetir mobil. Pada hari pertama menyetir tak sengaja ia membunuh kucing peninggalan papa, kucing kesayangan mama. Irman tak sadar melindas kucing yang sedang tidur di garasi mobil.
"Mama tak lama kemudian sakit. Dan.... meninggal. Sejak itu aku merasa dipersalahkan lagi atas kematian mama, setiap kali melihat kucing... "
"...dan kamu juga merasa bersalah tiap kali bertemu orang yang menyukai kucing sepertiku?"
Jawaban Irman lebih dari yang kuharapkan. Dia bilang justru karena itu dia mengajak aku bicara malam itu. Ia sayang padaku. Dia ingin jadi pacarku. Tapi dia tak mau aku berhenti menyanyangi kucing karena dia. Dia tak mau aku menyingkirkan Milki, kalau aku menerima dia sebagai kekasihku.
Aku bilang pada Irman, bahwa aku juga suka pada dia. Soal kucing itu, aku minta waktu berpikir sebulan. Aku tak cerita padanya bahwa kucing itu juga peninggalan mama yang meninggal tahun lalu.
Sebulan mungkin cukup bagiku untuk mencoba berpisah dengan Milki. Maka, untuk sementara dia kutitipkan di rumah penitipan hewan sampai ada yang mengadopsinya. Atau sampai aku memutuskan lain: menjemputnya lagi untuk tetap memelihara dia, melupakan Irman.
Dan aku memilih Milki. Selamat tinggal Irman.
Petugas dari rumah penitipan hewan akhirnya tiba. Rasa sesal dan gembira campur aduk di hatiku. Sesal karena pernah ingin menjauhkan Milki dari hidupku, dan gembira karena aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang benar. Aku mengeluarkan Milki dari keranjang. Memeluk dan menciuminya.
"Tina, ini tanda terimanya ditandatangani dulu... Milkinya biar kupegang dulu.."
Irman? Aku tak mengenalinya dalam baju seragam dan topi rumah penitipan hewan itu. "Kamu?"
"Iya. Aku kerja di rumah penitipan hewan di akhir pekan. Lebih tepatnya jadi relawan, sih. Ini caraku buat ngilangin trauma dan rasa bersalah. Sudah sebulan sejak kita ngobrol malam itu. Lumayan..."
"Jadi? Kamu...?"
"Sekarang aku tak trauma lagi pada kucing. Jadi, kamu tak harus memilih antara aku atau Milki... Masih mau menerima aku, kan?"
Ada kelegaan yang luar biasa tumbuh di dadaku dan itulah yang menggerakkan aku memeluknya. Milki masih dalam gendonganku. Kami berpelukan bertiga.
© Habel Rajavani, 2024