Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Terik matahari menyinari sepasang remaja yang tengah berbincang. Dengan suasana kelas yang masih ramai, berlalu-lalang siswa-siswi sekolah ini. Bumantara dan Bentala. Sepasang remaja tadi itu adalah sahabat dekat sedari dini. Bahkan saat mereka masih belajar menghitung pada bangku Sekolah Dasar. Persahabatan yang saling melengkapi ternyata bukan hanya perihal perilaku, bahkan Bumantara dengan mata minimalis dan tubuh mungilnya itu mampu bersanding dengan si gagah Bentala. Hidung panjangnya itu membuat Bentala terlihat seperti tokoh pada serial Pinocchio.
“Tara, kalau sudah lulus nanti kamu akan melanjutkan kuliah di mana?” Bentala membuka percakapan diantara mereka. Bumantara yang sedari tadi berkutat dengan buku-bukunya itu masih belum menanggapi pertanyaan Bentala dengan serius.
“Sebenarnya aku ingin masuk Sastra Indonesia. Tapi itupun masih ragu.”
“Memangnya ragu kenapa?” Bentala barusaha untuk terlihat tertarik dengan perbincangan itu.
Kali ini Bumantara hanya menanggapinya dengan bahasa tubuh. Mengangkat kedua bahunya karena dirinya pun masih memikirkan apa penyebab keraguan itu. Tapi bukan jawaban atas keraguan itu yang terpikirkan, melainkan Bumantara penasaran mengapa Bentala tiba-tiba saja bertanya seperti ini. Tidak ingin memberikan teori-teori liar Bumantara menanyakan itu kepada Bentala.
“Memangnya kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?” Bumantara berusaha untuk tidak menyerang Bentala dengan pertanyaannya menyinggung. Walaupun belum pasti, jika tidak berhati-hati Bentala bisa saja merasa tersinggung karena pertanyaan itu.
Bentala justru memberikan tanggapan yang mengejutkan, berpikir bagaimana cara untuk menjelaskan kepada sahabatnya itu tanpa membuatnya bersedih. Jika saja waktunya tidak tepat, Bumantara bisa saja kecewa dengan keputusan Bentala ini.
“Hei, ditanyain kok malah melamun?” Bumantara mengejutkan Bentala yang sedari tadi hanya terdiam saat dirinya ditanya. Bentala terkejut dengan itu, dan lagi Bumantara sengaja menyenggol Bentala.
“Ada sesuatu yang mau aku bicarakan.” Bentala menunjukkan wajah yang sangat serius kali ini. Melihat itu Bumantara terkejut, merasa bahwa sahabatnya kali ini tidak bermaksud untuk mengerjainya.
“Apa yang mau kamu bicarakan?” Bumantara kali ini bersikap serius menanggapi ucapan Bentala. Sorot mata Bentala menjelaskan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Bumantara semakin khawatir dengan ini. Takut bahwa hal yang berusaha Bumantara hindari bahkan justru terjadi.
“Ayah dipindah tugaskan ke Kalimantan.” Awal yang jelas buruk untuk Bumantara. Detang jantungnya terasa seperti berhenti sepersekian detik. Bahkan dunia tidak lagi menarik, pada kalimat pertama yang sudah Bumantara ketahui, bukan tahu apa kelanjutannya tetapi tahu bahwa suatu saat hal seperti ini akan terjadi kepada mereka.
“Dan mungkin…”
“Sudah. Tidak perlu dilanjutkan yah.” Bumantara menghela napas panjang. Senyum kali ini terpancar dari mukanya, sebuah ilusi yang diciptakan untuk menghargai Bentala.
“Biarkan aku melanjutkan Tara.” Bentala berusaha membujuk Bumantara untuk memberikan kesempatan agar Bentala bisa memberikan penjelasan.
“Apalagi yang mau dijelaskan?” Bumantara mendekatkan tubuhnya kepada Bentala. “Kamu akan pergi kan ke sana?” Bumantara mendongakkan kepalanya ke arah wajah Bentala. “Lalu melanjutkan pendidikanmu di sana.” Bumantara terlampau letih mengelola emosinya, seperti semuanya meluap begitu saja.
“Mereka adalah keluargaku. Pendidikan di sana akan memudahkanku berkomunikasi dengan keluarga.” Bentala menatap tajam mata Bumantara yang sudah berkaca-kaca. Dalam hati tidak tega melihat Bumantara harus mengetahui ini.
“Iya. Silahkan melanjutkan kehidupanmu berikutnya.” Bumantara membalikkan badannya dan meninggalkan percakapan itu tanpa permisi.
“Tara!” Bentala berusaha untuk memanggilnya kembali untuk melanjutkan pembicaraan ini. Namun Bumantara enggan untuk berhenti dan kembali. Berjalan beberapa Langkah menjauh dari Bentala, Bumantara membalikkan badannya dan berbicara kepada Bentala dengan jarak yang lumayan jauh. “Bahkan aku sudah menduga bahwa suatu hari nanti jika bukan jarak, maka akan ada banyak hal yang memisahkan kita. Dan mungkin ini adalah jawaban dari kekhawatiranku.” Bumantara kembali melanjutkan langkahnya menuju ke dalam kelas.
Waktu istirahat sudah usai. Pelajaran dimulai dengan sangat menegangkan. Menduduki sebuah kursi yang bersebelahan, di sebelah kanan Bentala, Bumantara membisu enggan untuk berbicara kepada Bentala. Rasa sakit hati itu teramat dalam baginya. Perasaan yang hancur berkeping-keping mendengar hal-hal yang sudah dinantinya. Perpisahan. Tidak ada perpisahan yang indah, bahkan yang indah sekalipun masih tetap berpisah. Dan bagi Bumantara tidak ada kehidupan yang tidak bertemu perpisahan.
Bel sudah berbunyi. Seluruh murid membubarkan seisi sekolah. Termasuk Bumantara yang langsung bergegas pergi tanpa mengabaikan Bentala. Semakin besar rasa bersalah Bentala, andai saja Bumantara memberikannya kesempatan untuk berpamitan. Jangankan berpamitan, bahkan untuk menerima kepergian Bentala pun rasanya masih berat bagi Bumantara. Tidak tinggal diam, Bentala mengerjar Bumantara yang belum jauh itu. Dengan sigap dia menarik Bumantara dan membawanya ke taman sekolah.
“Ih sakit. Ada apa sih?” Bumantara melepaskan cengkeraman Bentala yang keras itu. Cara yang sangat kasar untuk menarik paksa. Mungkin ini satu-satunya cara agar Bumantara mengikutinya.
“Tolong dengarkan sekali saja.” Bentala memohon supaya penjelasannya didengarkan.
“Apa lagi?”
“Tara. Aku tahu bahwa ini berat untukmu. Kita sudah bersama dari kecil, tidak mudah bagi kita untuk berpisah. Rasanya pasti menyakitkan. Di sini bukan hanya kamu yang kecewa, bahkan aku sangat membenci diriku…” Tanpa sadar air mata Bentala membasahi pipinya.
“…yang meninggalkanmu. Mengingkari janji kita untuk selalu bersama. Ayah sudah menandatangi kontrak, keputusannya sudah bulat, dan mungkin ini akhir dari pertemuan kita. Tolong. Diakhir pertemuan kita ini jangan hanya berdiam. Tara, berikan jawaban Tara!!” Bentala menggoyang-goyangkan Pundak Bumantara yang hanya terdiam saja.
Bumantara hanya menatap kosong yang terjadi. Tidak memberikan tanggapan apa-apa. Mungkin perasaannya kecewa, atau bahkan dia sudah membenci Bentala. Tapi semua itu terbantahkan saat mereka Bentala memeluk tubuh mungil Bumantara. Tidak ada upaya untuk menolak itu, sepertinya Bumantara masih bersedia untuk menerima Bentala.
Pecah tangisan Bentala sembari memeluk Bumantara. Sedangkan Bumantara masih berupaya untuk tidak menjatuhkan genangan air mata yang sudah berusaha dia bendung. Namun nahas tanpa disadari Bumantara ikut menitihkan air mata itu.
“Bentala. Aku tidak pernah melarangmu untuk pergi jauh dariku. Untuk apapun alasan itu, hanya kamu yang berhak untuk menentukan garis takdirmu sendiri. Hanya saja aku sedang berpikir kepada siapa nantinya aku akan bertukar cerita, menenangkanku saat bersedih, dan semua yang hanya bisa lakukan olehmu.” Bumantara ikut terhanyut dalam suasana sendu ini. Perasaan masing-masing yang tidak siap untuk berpisah. Sama-sama membayangkan bagaimana kehidupan nantinya jika perannya tidak diisi. Sebuah peran yang hanya bisa diisi oleh Bentala, dan mungkin tidak ada yang bisa menggantinya.
Bentala masih terlarut dalam tangisannya. Tidak memberikan tanggapan tentang ucapan Bumantara, sepertinya belum ada kesiapan dari Bentala untuk menjawab. Terlebih lagi Bentala belum berniat untuk melepaskan pelukannya. Bumantara tidak merasa terganggu dengan hal ini, karena menurut Bentala tidak ada hal yang bisa meredam emosinya selain memeluk Bumantara.
“Kenapa harus kamu yang pergi?”
“Aku tidak akan pergi. Tara. Kamu tahu kenapa Tuhan mempertemukan kita?”
“Kenapa?” Masih dalam tangisannya Bumantara berusaha menanggapi Bentala meskipun dekapannya kepada Bentala sangat erat.
“Nama kita ditakdirkan untuk bertemu. Aku Bentala sebagai Bumi dan kamu Bumantara sebagai angkasa. Dimanapun keberadaanku akan tetap berada bersamamu di angkasa sana Tara.”
“Kamu tau kenapa diantara seluruh angkasa raya hanya Bumi yang dipertemukan denganku?”
“Kenapa?”
“Bagiku diantara banyaknya Tuhan menciptakan seluruh benda langit, hanya Bumi yang dianugerahi kehidupan. Begitu juga denganmu. Dari banyaknya ciptaan Tuhan di dunia ini, kenapa Dia mempertemukanmu denganku, karena bagiku kamu adalah satu-satunya yang paling istimewa. Bagiku kamu adalah anugerah terindah yang pernah kumiliki.”
-Selesai-
Author: Agis Apriliani
Co-Author: Sayidina Ali