Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
1
Suka
982
Dibaca

Pagi itu, seberkas cahaya matahari menerobos tirai tipis di kamarku, membangunkan aku dengan kehangatan yang familiar. Aroma kopi hitam yang baru saja dibuat Andika menguar, bercampur dengan wangi sabun mandi Amalia dari kamar mandi sebelah. Rutinitas pagi kami, selalu terasa seperti sebuah melodi yang indah, berulang dengan nada yang sama, namun tak pernah kehilangan magisnya.

Aku beringsut dari tempat tidur, merapikan selimut, lalu melangkah ke dapur mungil kami. Andika sedang berdiri di depan kompor, membalik telur dadar dengan cekatan. Punggungnya yang tegap, rambutnya yang sedikit berantakan sehabis mandi, dan kemeja kerjanya yang baru setengah kancing terpasang, membentuk pemandangan yang selalu berhasil menghangatkan hatiku.

"Pagi, Sayang," sapaku, memeluknya dari belakang. Daguku bersandar di bahunya yang lebar, menikmati aroma tubuhnya yang bersih.

Ia menoleh sedikit, tersenyum, lalu mengecup keningku. "Pagi juga, istriku. Kopi kamu sudah siap."

"Terima kasih." Aku melepaskan pelukan, mengambil cangkir kopi yang mengepul di meja makan, dan duduk. Dari sana, aku bisa melihat taman depan kami yang rimbun, tempat Amalia sering bermain di sore hari. Rumah kecil ini, dengan segala kesederhanaannya, adalah istanaku, tempat hatiku berlabuh dengan tenang.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki kecil berlari riang memenuhi ruangan. Amalia, putri kami, muncul dengan handuk melilit rambut dan baju tidurnya. Matanya yang bulat berbinar ceria.

"Papa! Mama!" serunya, langsung memeluk kaki Andika.

Andika tertawa, menggendong Amalia dan mengecup pipinya. "Wah, jagoan Papa sudah wangi, nih! Sekarang sarapan, ya?"

Aku tersenyum melihat interaksi mereka. Amalia kini berusia tujuh tahun, tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan penuh kasih sayang. Melihatnya, kadang aku masih merasa takjub akan takdir yang mempertemukan kami.

Setelah sarapan yang diwarnai canda tawa, Andika bersiap berangkat kerja. Aku membantunya memasang dasi, sentuhan ringan jari-jariku di lehernya selalu terasa intim. Ia menatapku, matanya memancarkan kehangatan dan rasa syukur.

"Aku pulang agak malam hari ini. Ada rapat penting," katanya, suaranya lembut.

"Tidak apa-apa, hati-hati di jalan ya, Sayang," jawabku, merapikan kerah kemejanya.

Aku sempat terdiam sejenak, menimbang-nimbang. "Oh ya, Tria bilang mau main ke sini siang nanti."

Andika mengerutkan keningnya, berpikir. "Tria... teman kampus kamu yang heboh itu?"

Aku terkekeh. "Iya, betul. Sudah lama kami tidak bertemu."

"Baiklah kalau begitu. Nitip Amalia di rumah Umi dan Abi sebentar ya, kalau kamu mau ngobrol panjang." Umi dan Abi adalah panggilan kami untuk orang tua Andika, yang rumahnya tidak jauh dari sini.

"Tentu saja." Aku mengangguk. "Kamu jangan lupa makan siang ya, Mas."

Ia mengecup keningku lagi, lebih lama kali ini. "Pasti. Kamu juga jaga diri. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Aku mengantar Andika dan Amalia sampai ke teras, melambaikan tangan hingga mobil mereka tak terlihat lagi di belokan jalan itu. Sepeninggal mereka, rumah terasa hening, namun bukan kesunyian yang mencekam. Ini adalah keheningan yang nyaman, yang memberiku ruang untuk bernapas, merenung, dan bersiap menyambut teman lama.

Aku segera membereskan meja makan, mencuci piring, dan memastikan rumah rapi. Sambil membersihkan dapur, pikiranku melayang pada Tria. Dia adalah salah satu sahabat terbaikku dari masa kuliah, dengan kepribadian yang ceria, blak-blakan, dan selalu penuh rasa ingin tahu. Aku tahu kedatangannya akan membawa angin segar, namun jauh di lubuk hati, ada sedikit kegugupan yang merayap. Ada bagian dari ceritaku yang belum pernah aku bagikan pada siapa pun, kecuali Andika.

***

Sekitar pukul sebelas siang, sebuah taksi berhenti di depan gerbang rumahku. Tak salah lagi, Tria dengan rambutnya yang kini dicat coklat kemerahan dan senyum lebarnya, melambaikan tangan dari balik kaca. Aku menyambutnya di depan, pelukan hangat langsung menyertai pertemuan kami setelah sekian lama.

"Ya ampun, Annisa! Kamu cantik banget sekarang! Makin berisi dan auranya beda!" seru Tria, suaranya riang seperti dulu.

Aku tertawa. "Kamu juga, Tri! Makin glowing dan modis!"

Kami berpelukan sekali lagi, lalu aku mengajaknya masuk. Tria langsung mengamati setiap sudut rumahku dengan antusias.

"Rumah kamu nyaman banget, Nisa! Mungil tapi hangat. Ini Andika yang dekor, ya? Selera dia memang bagus dari dulu," pujinya, sambil mengedikkan kepala ke arah beberapa pajangan minimalis yang memang dipilih oleh Andika.

"Iya, dia memang suka hal-hal yang rapi dan estetis," jawabku, sedikit malu-malu.

Kami duduk di ruang tamu yang menyatu dengan ruang santai. Aku menyuguhkan teh hangat dan beberapa kudapan ringan. Obrolan mengalir begitu saja, dari kabar keluarga, pekerjaan, hingga cerita teman-teman kampus yang lain. Tria tak henti-hentinya memuji kebahagiaan yang terpancar dariku.

"Dulu kamu kan pendiam banget, Nisa. Aku sampai khawatir kamu nggak akan pernah dapat jodoh, saking nggak pede-nya kamu itu!" candanya, lalu tertawa renyah. "Lihat sekarang! Beruntung banget Andika dapat kamu."

Aku hanya tersenyum menanggapi candaan itu. Tria memang tidak tahu seberapa besar Andika adalah "jodoh" yang tak pernah aku sangka akan kudapatkan.

Sambil menyeruput tehnya, Tria tiba-tiba bangkit dan berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak buku kecil berdiri. Di atasnya, berjajar rapi beberapa bingkai foto. Itu adalah galeri kecil foto-foto pernikahan kami dan foto-foto Amalia.

"Ini foto pernikahan kalian, ya? Ya ampun, Andika memang nggak pernah berubah, ganteng banget kayak oppa Korea!" serunya, memegang salah satu bingkai foto kami berdua di pelaminan. "Waktu itu dia jadi *most wanted* di kampus. Banyak yang patah hati pas dia nikah sama Rachel."

Aku menunduk sedikit, senyumku memudar. Nama itu, Rachel, masih memiliki gaung tersendiri di ingatanku.

"Kalian cocok banget, Nisa. Aku ingat pas reuni itu kalian serasi banget!" Tria terus berkomentar, tidak menyadari perubahan ekspresiku. "Tapi..."

Tria membalik bingkai foto itu, membaca tulisan di baliknya. "Tunggu, aku baru sadar. Tanggal pernikahan kalian ini, kok... ini kan baru lima tahun lalu? Tapi Amalia kan sudah tujuh tahun, Nisa?"

Pertanyaan itu, seperti sambaran petir di siang bolong, menghentakku. Nafasku tercekat, dan teh yang baru saja aku teguk terasa pahit di lidah. Tria menatapku, matanya yang cerah kini dipenuhi tanda tanya.

"Nisa? Kok kamu diam?" tanyanya, suaranya sedikit cemas.

Aku memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Sudah waktunya, pikirku. Mungkin ini takdir, Tria yang harus menjadi orang pertama yang aku ceritakan tentang ini.

"Duduk dulu, Tri," ajakku lembut. "Ada banyak hal yang perlu kamu tahu."

Tria duduk di hadapanku, ekspresinya berubah serius. Aku bisa melihat rasa ingin tahu yang besar di matanya, namun juga kesiapan untuk mendengarkan.

"Amalia itu... dia anak sambungku, Tri," ujarku, memulai ceritaku. Suaraku sedikit bergetar, namun aku berusaha menguasainya.

Tria terkesiap. "Anak sambung? Maksudnya...?"

"Iya. Amalia itu anak kandung Andika dengan istrinya yang pertama." Aku menatap Tria, yang kini matanya membulat sempurna. "Namanya Rachel."

"Rachel?" Tria mengulang nama itu, seolah memastikan. "Rachel yang seangkatan kita itu? Yang pernah jadi 'celebrity kampus' karena cantik banget itu?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, Rachel yang itu."

Aku mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan kepingan memori yang selama ini terkunci rapat di sudut hatiku. "Kisah ini dimulai jauh sebelum aku menikah dengan Andika, Tri. Jauh sebelum aku berani membayangkan semua ini akan terjadi."

Aku mulai bercerita, membiarkan alur masa lalu mengalir dari bibirku. Suasana hening, hanya ada suara nafasku dan suara Tria yang kadang-kadang terkesiap.

***

"Dulu, saat kita masih mahasiswa, Andika itu idola semua perempuan, kan?" aku memulai, mataku menerawang jauh, seolah melihat kembali hari-hari itu. Hari itu, di ruang santai itu, Annisa mengingat masa lalunya. "Dia ganteng, pintar, atletis, pokoknya paket komplit. Aku... aku cuma salah satu dari sekian banyak pengagum rahasianya."

Tria mengangguk, menyunggingkan senyum maklum. "Aku tahu itu, Nisa. Matamu nggak bisa bohong kalau lihat Andika lewat."

Aku tersipu. "Waktu itu, Andika pacaran dengan Rachel. Kamu ingat Rachel, kan? Dia memang luar biasa. Cantik, populer, punya banyak teman, dan dari keluarga berada. Dia itu paket sempurna di mata banyak orang. Termasuk di mata Andika."

Aku mengingat hari-hari itu, bagaimana hatiku selalu terasa perih setiap kali melihat Andika dan Rachel berjalan berdua di kampus, tertawa, saling menggenggam tangan. Aku merasa tak pantas, tak punya keberanian, apalagi harapan, untuk bisa mendekatinya. Aku hanya seorang gadis biasa, pemalu, yang sibuk dengan kuliah dan organisasi, dan menyimpan perasaanku dalam-dalam.

"Andika dan Rachel menikah setahun setelah kita lulus, Tri. Pernikahan mereka cukup meriah, semua teman kampus tahu. Aku... aku hadir di acara itu, bersama orang tuaku," lanjutku, suaraku sedikit tercekat mengingat betapa sakitnya hatiku hari itu. Aku berusaha keras menampilkan senyum dan mengucapkan selamat, seolah hatiku tak hancur berkeping-keping.

"Dan tak lama setelah itu, Rachel hamil Amalia," kataku. "Tapi sayangnya, Rachel punya riwayat diabetes yang cukup parah. Kondisi kehamilannya melemahkan tubuhnya." Aku menghela napas. "Amalia lahir prematur, dan tak lama setelah melahirkan, Rachel meninggal dunia karena komplikasi diabetes itu."

Tria menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. "Ya Allah, Nisa... aku nggak tahu sama sekali berita ini. Aku waktu itu sedang sibuk internship di luar kota."

"Iya, itu memang berita yang sangat menyedihkan," aku membenarkan. "Andika benar-benar terpukul. Dia harus mengurus bayi yang baru lahir sendirian, sekaligus berduka atas kepergian istrinya. Amalia saat itu sangat kecil, lemah, dan membutuhkan perawatan intensif."

Aku melanjutkan, "Orang tua Andika tentu saja sangat khawatir. Mereka ingin Amalia punya figur ibu, seseorang yang bisa merawatnya sepenuh hati, terutama karena Andika juga harus bekerja. Mereka sudah terlalu tua untuk merawat bayi setiap hari. Ditambah lagi, mereka sangat menyayangi Andika dan tidak ingin ia terus-menerus larut dalam kesedihan."

Aku berhenti sejenak, membiarkan Tria mencerna semua informasi itu. Aku bisa melihat kesedihan di matanya, juga rasa kaget yang mendalam.

"Jadi... Amalia kehilangan ibunya sejak bayi?" tanya Tria, suaranya pelan, sarat simpati.

"Iya," jawabku, mengangguk. "Dan ini yang paling menyentuhku, Tri. Andika, yang dulu begitu gagah dan ceria, tiba-tiba harus menjadi seorang ayah tunggal yang penuh beban. Dia mengorbankan banyak hal untuk Amalia."

Tria menatapku dengan tatapan ingin tahu. "Terus, bagaimana kalian bisa bertemu lagi, Nisa? Dan kenapa Andika akhirnya memilih kamu?"

Aku tersenyum tipis. "Pertemuan kembali itu... aku menyebutnya takdir yang manis, Tri. Itu terjadi di reuni angkatan kita."

***

"Waktu itu, suasana reuni di gedung itu ramai sekali," aku melanjutkan cerita. Hari itu adalah momen yang tak akan pernah aku lupakan. "Semua teman-teman datang, termasuk kamu, kan?"

Tria mengangguk, ingatannya ikut melayang. "Iya, aku ingat! Aku juga sempat lihat kamu."

"Waktu itu aku masih lajang, Tri," aku mengakui dengan senyum masam. "Setelah lulus, aku sempat beberapa kali taaruf, tapi tidak ada yang cocok. Aku sudah pasrah, mungkin memang takdirku belum datang."

"Nah, di tengah keriuhan obrolan dan tawa itu, tiba-tiba pandanganku terpaku pada sesosok pria yang baru saja masuk ke ruangan," ceritaku, mengingat dengan jelas bagaimana jantungku berdebar kencang saat itu. "Dia adalah Andika. Tapi kali ini, penampilannya sedikit berbeda. Ada aura melankolis di matanya, kerutan lelah di dahinya, dan yang paling membuatku terkejut adalah... ia menggendong seorang bayi perempuan."

"Amalia?" Tria bertanya, matanya berbinar.

"Iya, Amalia," aku membenarkan. "Bayi itu tidur pulas di gendongannya, kepalanya bersandar nyaman di bahu Andika. Andika datang sendirian, tanpa Rachel, dan membawa bayi. Sontak, semua mata di ruangan itu tertuju padanya. Bisik-bisik langsung terdengar. Aku tahu, banyak yang kaget dan penasaran seperti aku."

Aku menjelaskan bagaimana Andika, dengan wajah lelah namun tetap memesona, menyapa beberapa teman. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum tipis. Ia tampak lebih kurus dari yang aku ingat, dengan sorot mata yang menyiratkan beban berat.

"Aku saat itu hanya bisa menatapnya dari jauh, Tri," aku melanjutkan. "Ada rasa iba yang mendalam di hatiku, melihat pria yang dulu begitu cemerlang kini menggendong sebuah takdir yang begitu berat. Aku tahu tentang kematian Rachel dari teman-teman yang datang di pemakamannya, tapi melihat Andika dan bayinya secara langsung itu rasanya beda."

Aku diam sejenak, merasakan kembali emosi-emosi hari itu. Rasa sakit hati di masa lalu seolah memudar, tergantikan oleh rasa simpati yang tulus.

"Lalu, entah bagaimana, Andika tiba-tiba mendongak. Pandangannya berkeliling ruangan, dan kemudian... ia bertemu dengan mataku," aku bercerita, suaraku menjadi lebih pelan, penuh makna. "Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan, gugup. Tapi aku bisa merasakan ia masih menatapku."

"Setelah Amalia terbangun dan mulai rewel, Andika mencari tempat yang lebih tenang. Ia duduk di salah satu sofa kosong di dekat jendela, berusaha menenangkan Amalia. Aku melihatnya kesulitan, Tri. Bayi itu menangis, dan Andika tampak bingung bagaimana menenangkannya."

Tanpa pikir panjang, seolah ada dorongan tak terlihat yang menuntunku, aku bangkit dari tempat dudukku. Aku mendekati Andika dengan hati-hati.

"Andika?" sapaku pelan.

Ia mendongak, matanya yang lelah menatapku. Ada sedikit keterkejutan di sana, seolah ia tak menyangka aku akan menghampirinya. "Annisa? Apa kabar?"

"Baik. Kamu bagaimana?" Aku tersenyum lembut. "Ini... Amalia, ya?"

"Iya. Dia agak rewel akhir-akhir ini," jawabnya, suaranya terdengar lelah.

Aku mengulurkan tangan, meraih tangan kecil Amalia yang meronta-ronta. "Boleh aku coba gendong?" tanyaku.

Andika ragu sejenak, namun kemudian mengangguk. "Tentu."

Dengan hati-hati, aku mengambil alih Amalia. Bayi itu langsung terasa ringan dan hangat dalam pelukanku. Aku mengayun-ayunkannya perlahan, membisikkan kata-kata penenang, dan tak lama kemudian, Amalia berhenti menangis. Ia menatapku dengan mata bulatnya, lalu tersenyum tipis. Jantungku meleleh saat itu juga.

Andika menatapku dengan tatapan takjub. "Kamu... pandai sekali menanganinya."

Aku hanya tersenyum. "Aku memang suka anak-anak."

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanya Tria, tidak sabar.

"Sejak hari itu, Andika jadi sering menghubungiku, Tri," aku melanjutkan, senyumku mengembang. "Awalnya hanya menanyakan tips merawat bayi, atau bercerita tentang Amalia. Aku dengan senang hati membantunya. Dari obrolan kami, aku tahu betapa sulitnya dia selama ini, dan betapa ia sangat menyayangi Amalia."

Aku bisa merasakan Andika mulai melihatku dengan cara yang berbeda. Bukan lagi Annisa yang pemalu dan tidak terlihat, tapi Annisa yang bisa diandalkan, yang memiliki kelembutan hati, dan yang ternyata bisa membuat Amalia nyaman.

"Suatu sore, ia mengajakku bertemu. Bukan di kafe ramai, tapi di taman dekat rumahnya. Amalia juga ikut," aku bercerita. "Kami duduk di bangku taman itu, Amalia bermain di dekat kami. Andika menatapku dengan serius, dan saat itu aku tahu, ada sesuatu yang penting yang akan ia katakan."

"Ia bilang, 'Annisa, aku tahu ini mungkin terdengar mendadak. Tapi, aku melihat bagaimana kamu memperlakukan Amalia. Aku melihat kebaikan hatimu. Orang tuaku juga sudah lama mengenalmu, mereka tahu kamu wanita yang salehah. Mereka sangat menginginkan Amalia memiliki figur ibu.'"

Aku menghela napas, masih merasakan getaran di dadaku mengingat momen itu. "Andika menatapku, matanya memohon. Ia berkata, 'Aku tahu Rachel tidak akan pernah tergantikan. Tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk Amalia. Maukah kamu... maukah kamu bersedia menjadi ibu untuk Amalia, dan menjadi istriku?'"

Tria menutupi mulutnya lagi, kali ini karena rasa terkejut yang luar biasa. "Ya ampun, Nisa! Andika melamar kamu secepat itu?"

Aku mengangguk. "Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu, Tri. Campur aduk antara kaget, haru, dan kebahagiaan yang meluap-luap. Ini adalah pria yang selama bertahun-tahun aku cintai dalam diam, pria yang tak pernah aku sangka akan menoleh padaku. Kini, ia ada di hadapanku, melamarku, meskipun dengan alasan utama demi putrinya."

"Tapi, aku tidak merasa sedih. Justru sebaliknya. Aku melihat ketulusannya, kesungguhannya. Dan yang paling penting, aku melihat kesempatan untuk mencintai Amalia, untuk memberikan keluarga yang utuh baginya," lanjutku. "Dengan tulus dan tanpa keraguan, aku menjawab, 'Insya Allah, aku bersedia, Andika. Aku akan menerimamu dengan tangan terbuka, kapan saja.'"

Sorak-sorai teman-teman yang mendengar obrolan kami di reuni itu – karena ternyata ada beberapa yang dekat dan menguping – menjadi latar belakang pengakuan yang mengubah hidupku. Aku tidak peduli dengan pandangan mereka, atau apa yang akan mereka pikirkan. Yang aku tahu, saat itu, hatiku begitu lega, seolah luka masa lalu mulai terobati, dan doaku yang tersembunyi selama ini telah terkabul.

***

"Satu bulan setelah reuni itu, kami menikah, Tri," aku melanjutkan, suaraku kini dipenuhi kebahagiaan yang meluap. "Pernikahan kami tidak besar-besaran, tapi cukup berkesan. Andika ingin merayakannya di gedung mewah, tapi aku memilih akad nikah yang sakral di masjid, lalu resepsi sederhana di aula dekat rumah orang tuaku. Mereka juga ingin ikut andil, katanya ini adalah pernikahan anak kesayangan mereka."

Tria tersenyum hangat. "Aku ingat kalian mengundangku! Tapi aku waktu itu di luar kota lagi, jadi nggak bisa datang. Aku cuma lihat fotonya di media sosial."

"Tidak apa-apa, Tri," aku tersenyum. "Yang penting, pernikahan itu sah secara agama dan negara, disaksikan keluarga dan sahabat terdekat. Orang tua Andika menerima aku dengan sangat baik. Mereka sudah mengenal aku dari dulu, tahu aku dari keluarga baik-baik, dan mereka sangat yakin aku bisa merawat Amalia sepenuh hati. Mereka melihat keikhlasan di mataku."

Aku bercerita bagaimana masa-masa awal pernikahan kami adalah proses adaptasi yang tidak mudah, namun penuh berkah. Aku harus belajar menjadi istri sekaligus ibu dalam waktu bersamaan.

"Amalia saat itu masih sangat kecil, Tri. Dia masih bayi. Mengurusnya membutuhkan kesabaran yang luar biasa, apalagi aku belum pernah punya pengalaman mengurus bayi," aku mengakui. "Tapi Andika sangat membantuku. Dia selalu ada untukku, mengajariku banyak hal, dan tidak pernah sekalipun membiarkanku merasa sendirian."

Aku mengingat hari-hari itu, bagaimana aku perlahan-lahan belajar mengganti popok, menyiapkan susu, menidurkan Amalia, dan menemaninya bermain. Setiap tawa Amalia, setiap pelukan kecil darinya, adalah hadiah terindah bagiku. Aku mencintainya, seolah dia adalah putri kandungku sendiri. Rasa cinta itu tumbuh begitu saja, alami, tanpa perlu dipaksa.

"Andika selalu bilang, 'Terima kasih, Sayang. Kamu sudah mengisi kekosongan hati Amalia, dan juga hatiku,'" aku bercerita, mataku berkaca-kaca. "Perlahan tapi pasti, kami membangun keluarga kami dari awal. Aku menjadi ibu bagi Amalia, dan istri bagi Andika. Kami berdua belajar untuk saling mencintai dan menghargai."

Aku mengungkapkan bagaimana Andika, yang dulu memilih Rachel karena kecantikannya, kini melihatku dengan cara yang berbeda. Ia melihat hatiku, ketulusanku, dan pengorbananku. Ia sering mengatakan bahwa ia menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati bersamaku, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa cinta sejati melampaui penampilan fisik semata.

"Setiap hari, aku merasa bersyukur atas takdir ini, Tri," ujarku, suaraku dipenuhi emosi. "Aku tidak pernah menyangka, cinta tak terbalas di masa lalu bisa menjadi jawaban doa yang begitu indah. Aku pikir aku akan sendirian, tapi Allah mengirimkan Andika dan Amalia kepadaku."

Tria menatapku, matanya berkaca-kaca. Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Nisa, aku benar-benar terharu mendengar ceritamu. Kamu adalah wanita yang luar biasa. Ketulusan hatimu, kesabaranmu... Andika dan Amalia beruntung sekali punya kamu."

"Aku juga beruntung punya mereka, Tri," jawabku tulus. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Keluarga ini adalah rumah hatiku."

Kami terdiam sejenak, menikmati kehangatan persahabatan dan kisah yang baru saja terkuak. Aku merasa lega, seolah beban yang selama ini aku simpan telah terangkat.

"Jadi, itulah mengapa usia pernikahan kami baru lima tahun, tapi Amalia sudah tujuh tahun," aku mengakhiri ceritaku dengan senyum tipis. "Semua itu adalah bagian dari takdir yang indah ini."

Tria mengangguk, mengusap air mata yang sedikit menetes di pipinya. "Aku nggak bisa bayangkan bagaimana rasanya menerima takdir seberat itu, Nisa. Tapi kamu benar-benar menunjukkan bahwa cinta sejati itu memang ada, dan dia selalu menemukan jalannya."

Aku membalas genggaman tangan Tria, hatiku dipenuhi kebahagiaan dan kedamaian. "Hidup memang penuh kejutan, Tri. Ada banyak luka di masa lalu yang harus aku sembuhkan, rasa tidak percaya diri yang harus aku lawan. Tapi melihat Andika dan Amalia sekarang, semua itu terasa sepadan."

"Aku sudah sepenuhnya berdamai dengan masa lalu, Tri," aku melanjutkan, menatap ke arah taman yang hijau. "Aku percaya, kebahagiaan sejati itu hasil dari keikhlasan hati dan cinta yang tulus. Dan aku yakin, Allah tak pernah salah dalam merencanakan setiap takdir hamba-Nya."

Aku menghela napas, menatap Tria, dan seulas senyum tulus mengembang di bibirku. "Setiap hari aku bangun dengan rasa syukur yang melimpah. Rumah ini, Andika, Amalia... mereka adalah segalanya bagiku. Aku tak pernah bisa membayangkan kehidupan yang lebih sempurna dari ini."

Tria memelukku lagi, kali ini lebih erat. "Aku ikut bahagia, Nisa. Aku doakan kebahagiaan kalian langgeng sampai akhir hayat."

"Aamiin, ya Rabb," bisikku, merasakan kehangatan pelukan sahabat. Aku tahu, kisah kami mungkin tidak biasa. Tapi justru di situlah letak keajaibannya. Bahwa di antara segala ketidakpastian, di antara segala luka, cinta selalu punya cara untuk mengukir kembali hati yang hancur, menjadi sebuah mahakarya kebahagiaan yang baru.

Dan di tengah kebahagiaan itu, ada bisikan kecil di sudut hatiku, sebuah harapan baru yang mulai bersemi. Harapan akan hari esok yang akan datang, dengan lebih banyak tawa, lebih banyak cinta, dan mungkin... lebih banyak jejak kaki kecil yang mengisi rumah hati kami. Karena perjalanan cinta ini, aku yakin, baru saja akan terus mengukir lembaran-lembaran indahnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Komik
Bronze
Puppy love
Sofianti Anggraini
Skrip Film
Shall we Love again?
Array Hanzen
Cerpen
Bronze
Pertemuan
Geovania Loppies
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Novel
Bronze
Sepenggal Kasih di Negeri Tulip
Zikrina Istighfarah
Novel
Cinta dalam Cerita
Sayidina Ali
Novel
Kekasihmu Suamiku
Eni Apriliani
Novel
When Women Married with a Crazy Gay
Jatra Saputra
Novel
Gold
Surat cinta dari rindu
Noura Publishing
Komik
Bronze
Only You
Lirin Kartini
Novel
Bronze
Gerbong No.6
Ariel
Cerpen
Bronze
Kisah Cinta Pekerja Harian
Iena_Mansur
Novel
Gold
Paquita dan Pangeran Bianglala: Bagaimana Jika Kamu Tahu Jodohmu di Masa Depan?
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Hello You
Ello Aris
Novel
Sebuah Janji
Rana Zalfa Zahirah
Rekomendasi
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum
Cerpen
GADIS TOMBOY TER DE BEST
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
KAU KHIANATI AKU, KUBATALKAN PERNIKAHAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
PAHIT GETIR CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum