Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Prolog: Ketika Adab Menjadi Barang Langka
Jaman telah berubah. Teknologi semakin maju. Peradaban ikut melangkah jauh. Namun, di tengah gemerlap kemajuan itu, ada satu hal yang ikut tergerus oleh waktu: ADAB.
Etika dan sopan santun perlahan mulai pudar, bahkan terancam hilang. Kita melihatnya setiap hari: Anak-anak muda yang tidak lagi menghormati yang lebih tua, merasa hebat dengan tingkah laku yang menjurus ke arogan, bahkan menggunakan kekayaan materi sebagai tameng untuk menutupi kemiskinan etika. Faktor-faktor penyebabnya beragam, salah satunya adalah kurangnya kedisiplinan dan batas-batas dalam interaksi sosial.
Berbeda dengan masa lalu. Dulu, didikan orang tua yang keras, dibarengi kedisiplinan yang ketat di sekolah, menghasilkan generasi yang menjunjung tinggi rasa hormat. Namun, harus diakui pula, banyak orang tua dan guru yang kelewat batas dalam memberikan pelajaran, hingga menyebabkan luka dan trauma pada jiwa si anak.
Sekarang, kita berada di tengah-tengah dua hal ekstrem itu. Di satu sisi, ada generasi yang over-sensitif terhadap kritik dan disiplin. Di sisi lain, ada generasi yang kehilangan rasa hormat dan menganggap aturan hanyalah formalitas.
Inilah kisah tentang sekelompok pemuda yang terikat dalam persahabatan, dipersatukan oleh satu pekerjaan, namun dipisahkan oleh memori adab yang berbeda. Kisah ini akan menanyakan: Di tengah hilangnya sopan santun, bisakah idealisme masa lalu, bahwa kita semua bersaudara mampu menyelamatkan Adab di masa kini?
Rantai Persahabatan di Pabrik Mihun
Pagi itu, suasana Pabrik Mihun mulai riuh dengan deru suara mesin produksi yang tak henti. Karung-karung tepung berjejer rapi, dan aroma mi basah mulai memenuhi ruangan. Para pekerja mulai berada di posisi masing-masing, melakukan pekerjaan mereka seperti biasa.
Di tengah kesibukan yang monoton itu, ada dua sosok yang selalu melakukan hal konyol untuk menghibur diri dan mencairkan suasana. Mereka adalah Raka dan Soni. Raka, dengan wajahnya yang serius namun menyimpan senyum jahil, dan Soni yang tak pernah kehabisan ide untuk lelucon receh. Keisengan mereka selalu cerdas, namun tetap sesuai aturan pabrik, tanpa pernah mengganggu ritme kerja yang lain, atau mengurangi hasil produksi.
Namun, Raka dan Soni tidak sendirian dalam lingkaran pertemanan mereka. Di lini produksi yang sama, ada Ayu, seorang wanita muda yang pendiam namun cerdas, posisi nya adalah di bagian quality control. Dan Indra, seorang mandor muda, sosok yang dikenal paling idealis dan sering merenung. Ayu menjadi penengah antara kegilaan Soni dan keseriusan Raka. Sementara Indra, meski sering diolok-olok karena terlalu kaku memegang prinsip, ia adalah jangkar moral dalam grup mereka.
Di balik candaan mereka yang riuh, ada dua senior yang memperhatikan dari jauh. Mereka masih akrab dengan Raka dan Soni, bahkan sering makan siang bareng di kantin, duduk di bangku kayu yang sama setiap hari. Mereka adalah sahabat sejati, Arman dan Sahril. Arman dan Sahril sudah lebih dulu bekerja di tempat itu, jauh sebelum Raka dan Soni hadir.
Arman dan Sahril sudah berusia matang, sekitar 30-an tahun, seumuran. Sedangkan Raka, dia masih 21 tahun, dan Soni sedikit lebih tua, 23 tahun. Bagi Arman, Raka dan Soni adalah dua orang yang mudah diatur, bertanggung jawab, dan yang terpenting: mereka tahu kapan waktunya serius bekerja dan kapan waktunya bercanda.
Setiap kali makan siang di kantin, mereka akan selalu membahas hal-hal yang konyol hingga filosofis. Mereka tak kenal batas usia, sebab bagi mereka, Adab lebih penting daripada jabatan atau selisih umur. Mereka menjaga sopan santun dan tutur kata yang sopan, sebuah cerminan eti...