Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara gemuruh dan riuh tepuk tangan memenuhi ruangan yang dipenuhi lebih dari dua ratus orang karyawan Papas, perusahaan periklanan ternama, yang sedang hura-hura pesta akhir tahun. Di tengah riuh, Aldo berjalan perlahan melewati kerumunan. Entah kenapa, ruangan itu terasa besar sekali baginya kali ini. Aneh. Mengingat dia sudah ratusan kali berada di sana. Beberapa momen penting karirnya bahkan terjadi dalam ruangan itu. Termasuk momen malam ini. Atau saat dia dimaki-maki di depan banyak orang, terancam dipecat setelah baru dua minggu bekerja, hanya karena salah memasukkan jadwal meeting dengan klien besar.
Aldo terus melangkah perlahan. Sesekali terdengar bisikan, atau teriakan, ucapan selamat, diiringi tepukan di pundak atau bahunya. Perjalanan Aldo berakhir di panggung kecil di ujung ruangan. Rory, yang jadi pembawa acara, menyerahkan mic kepadanya.
“Selamat, man! Gila, dua tahun berturut-turut!” ujarnya, seraya merangkul Aldo penuh semangat. Aldo membalas rangkulan itu, sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya, tanpa berkata apa-apa.
“Jujur aja, gw gak tahu harus ngomong apa. Semua ini gak bakalan mungkin tanpa dukungan orang-orang gokil di belakang sana,” ucap Aldo memulai speech, sambil menunjuk segerombolan cowok dan cewek seumurannya yang langsung bersorak sorai sambil bersiul kencang.
Aldo tidak bisa mengingat apa lagi yang dia sampaikan setelahnya. Tahu-tahu tangannya sudah terisi satu plakat akrilik mengilat, amplop, dan bungkusan, dengan ukuran lumayan besar. Semua itu adalah hadiah sebagai “Karyawan Terbaik” tahun ini. Dia turun dari panggung dengan wajah berseri, lalu meletakkan ketiga hadiah itu di meja belakang ruangan begitu saja. Sisa pesta berlangsung makin meriah. Aldo berusaha menikmatinya, di sela-sela gempuran ucapan selamat yang tak habis-habis.
“We need to talk about your future in this company. But I’ll wait until we all get back from holidays!” sapa Pierre, CEO Papas, dengan aksen Perancis yang khas, sambil menyalami Aldo, yang hanya membalas dengan anggukan.
Tak terasa ruangan itu sudah sunyi. Suara musik sudah menghilang, sisa-sisa confetti berserakan di lantai, dan hanya tampak beberapa orang tersisa, tergeletak di atas meja karena kebanyakan minum. Aldo melirik jam tangannya, 1.23 pagi. Dia memasukkan plakat dan amplop ke dalam tas, yang entah bagaimana sudah tergeletak begitu saja di lantai yang berantakan. HP-nya yang dari tadi tersimpan di sana dipenuhi oleh panggilan tak terjawab dan pesan WA bertubi-tubi. Dari Prita, tunangannya. Aldo membaca sekilas WA-WA itu, sebelum kembali memasukkan HP ke tas.
Dia berjalan meninggalkan ruangan, dengan tas menggantung di bahu, tangan membawa bungkusan. Memiilih turun lewat tangga, Aldo seperti tak ingin malam itu berlalu cepat. Empat lantai terlewati, sampailah dia di lobi. Seorang satpam muda menyapanya dengan antusias, sambil menyalami memberi selamat. Aldo menyambut salam itu, sambil menyerahkan bungkusan, yang diambil satpam dengan ragu.
“Mau saya bawain ke mobil, Mas?” tanyanya.
“Buat lu aja,” jawab Aldo santai.
Satpam itu makin bingung, siap kembali merespon. Namun Aldo sudah berlalu jauh dari hadapannya, menuju SUV putih yang terparkir di depan gedung.
Aldo memacu mobilnya pelan, meski jalanan di depannya kosong melompong. Lagi-lagi, seolah tak ingin malam itu berlalu. Menyetir dengan tenang, matanya menatap jalanan di depannya tajam. Tidak ada suara sama sekali dalam mobil. Sunyi. HP-nya kembali berbunyi. Aldo melirik bangku penumpang, ke arah tas yang menyembulkan HP dari sela-sela kancingnya. Tampak kembali sebuah pesan baru dari Prita. Diabaikan begitu saja. Perjalanan itu dia lewatkan dalam diam.
Dengan tenang, seolah tak ingin mengeluarkan suara sama sekali, Aldo membuka pintu apartemennya, lalu menutup tak kalah hati-hati. Entah kenapa, padahal dia tinggal seorang diri. Apartemen chic itu tampak rapi, dengan interior mahal berselera tinggi. Dia mengeluarkan plakat dari tas, sebelum melempar tas ke meja di kanannya. Plakat itu mau diletakkan di atas lemari di sisi kiri pintu, di ujung paling kanan. Dengan santai dia menyusun ulang semua plakat-palat lainnya, untuk memberi ruang bagi plakat baru. Dia menatap cermin berukuran sedang yang terpasang di dinding, di atas lemari. Memandangi wajahnya beberapa lama, sebelum matanya kembali beralih ke plakat-plakat di depannya.
Plakat “Juara Olimpiade Matematika” dan “Lulusan Terbaik SMU” di ujung paling kiri, membawa pikiran Aldo ke masa-masa sekolah. Masa-masa yang dipenuhi kesibukan tak habis-habis dari pagi sampai malam. Pelajaran di kelas, ekskul, les sore, bergantian seperti itu rutin. Seringkali Aldo mengakhiri hari dengan muntah-muntah di WC sekolah, sebelum kembali ke kelas dengan wajah semringah.
Di kanannya ada plakat “Summa Cum Laude” berdiri mengilat di samping kanan. Menyeret pikirannya ke hari-hari tanpa jedah saat memakai jaket kuning di kampus Depok. Hari-hari yang berujung malam panjang karena insomnia menyerang, memaksa matanya menyala terang sampai azan subuh berkumandang. Tiga jam sesudahnya dia sudah kembali ke kampus dengan wajah riang, seringkali ditunggu teman-teman kelas yang ingin mengintip tugas kuliah.
Lalu plakat “Karyawan Teladan”, dari perusahaan sebelumnya, sebuah bank swasta besar. Plakat yang langsung menerbangkan ingatan Aldo pada malam Employee Engagement Party tiga tahun lalu. Aldo datang mengenakan celana panjang kulit berwarna hitam, dan kemeja ketat kotak-kotak warna-warni ke pesta bertemakan Back To 80s, yang diadakan di sebuah ballroom hotel berbintang itu. Meski belum diumumkan, namun dia sudah mendengar desas-desus tentang penghargaan yang akan diterima. Dia sempat tidak mempercayainya saat itu, mengingat banyak karyawan-karyawan lain, dari seluruh cabang, yang menurutnya lebih pantas menang. Sesaat sebelum acara dimulai, sekretaris Direktur HR meminta Aldo menemui sang direktur di kamar hotel di atas ballroom. Mungkin mau memberi brief khusus, pikirnya.
Aldo memasuki kamar dengan segan. Tampak ibu direktur sedang menyempurnakan lipsticknya di depan cermin. Sesuai dugaan Aldo, dia dibekali beberapa hal yang perlu dia sampaikan saat menerima penghargaan nanti. Dia meninggalkan ruangan itu dengan perasaan bangga. Saat itulah dia merasakan pinggangnya ditarik pelan, bersamaan dengan tangan-tangan yang langsung menggerayangi selangkangannya, bibir penuh lipstick menyosor ke arah bibirnya. Untuk beberapa detik Aldo seakan membatu. Sebuah rasa perih karena gigitan di bibir atas menyadarkannya. Dengan masih berusaha sopan, dia mendorong perempuan setengah baya itu pelan, sambil menarik ritsleting celana yang sudah melorot ke bawah, sebelum bergegas meninggalkan kamar itu.
“Kamu pikir penghargaan yang akan kamu terima gratis?” teriak perempuan itu sebelum pintu kamar tertutup. Malam itu Aldo tidak jadi naik panggung, plakatnya diterima keesokan hari di kantor, bersamaan dengan dia memasukkan surat pengunduran diri.
Plakat berikutnya bertuliskan “Employee of the Year”, kali ini dari Papas. Penghargaan yang langsung dia dapatkan di tahun pertama bekerja di sana. Tahun yang dia mulai dengan sangat buruk, setelah kesalahan mengatur jadwal. Kesalahan yang membuatnya disidang di depan CEO, Exco, dan semua tim yang menangani klien itu, mulai dari tim kreatif sampai tim produksi. Teriakan dan makian datang bertubi-tubi. Setelah hampir 30 menit hanya bisa tertunduk menahan malu dan marah, makian itu terhenti sejenak, karena adanya panggilan masuk dari tim regional. Aldo tidak tahu apa dia harus senang atau malah makin cemas. Ternyata panggilan itu berisi ultimatum untuk memecatnya saat itu juga, karena sang klien sudah komplain sampai ke mereka.
Namun, Pierre menolak ultimatum itu. Dia menarik Aldo ke ruangannya. Tiga puluh menit kemudian Aldo keluar dengan wajah tegang, merah padam, dan gugup setengah mati. Sesuai anjuran Pierre, malamnya dia menuju sebuah hotel bintang 5 di pusat Jakarta, langsung ke kamar 1008. Di sana sudah menunggu Amalia, perempuan berusia hampir 50, orang paling penting di kliennya. Malam itu Aldo harus merelakan keperjakaannya direnggut perempuan hyper itu, yang memaksanya bercinta semalaman. Keperjakaan yang susah payah dia jaga sejak puber menghampiri, dengan niat hanya akan diberikan kepada wanita impiannya.
Sampai hari ini, Aldo masih harus menyisihkan jadwal ‘meeting’ khusus dengan Amalia, kapan pun wanita itu ingin merasakan kejantanannya. Bahkan akhir-akhir ini jadwalnya makin sering. Tidak hanya ‘meeting’ berdua, seringkali juga dihadiri gigolo-gigolo muda yang ikut bermain bersama mereka. Meeting-meeting yang dengan susah payah harus dirahasiakan rapat-rapat dari Prita. Meeting-meeting yang memberinya dua kali promosi, dan dua penghargaan dalam dua tahun saja.
Setelah mengamati plakat-plakat itu cukup lama, Aldo menatap bayangan di dalam cermin. Wajah tampan, bersih, dan glowing itu menatapnya balik. Senyum tipis ketus, dan pandangan sinis keluar begitu saja. Dia mendengus pelan, sebelum berjalan ke arah kulkas. Mengeluarkan satu botol bir, lalu menuju kamar mandi, sambil menanggalkan sepatu dan baju satu per satu. Aldo menekan tutup bathtub, menyalakan air. Dia tidak menuangkan foam, ingin berendam dengan air bening hangat saja.
Sambil menunggu bathtub penuh terisi, dia berdiri membatu di depan wastafel, setelah meletakkan botol bir di sampingnya, kembali menatap wajahnya di cermin. Lama. Tajam. Tanpa ekspresi.
Suara HP terdengar sayup-sayup dari luar. Pasti dari Prita lagi, pikirnya. Aldo mengacuhkan. Tatapannya kembali ke arah cermin. Entah apa yang ada di pikirannya.
Suara HP kembali terdengar. Kali ini disusul bunyi bel berkali-kali. Lalu ditambah suara gedoran di pintu. Aldo tersentak, sesaat mengalihkan pandangannya dari wajahnya sendiri. Hatinya menggerutu. Sepertinya itu Prita. Meski mereka belum tinggal bersama, keduanya memiliki kunci apartemen masing-masing. Jadi Prita harusnya bisa masuk. Mereka harus sabar sampai akhir tahun depan untuk bisa tinggal bersama. Kesibukan tunangannya itu bekerja sambil kuliah membuatnya mustahil untuk bisa menyiapkan pernikahan saat ini. Tahun depan Prita akan menyelesaikan S2, dan mereka pun menikah. Itulah rencananya.
Suara bel dan gedoran semakin kencang. Sepertinya dia sudah memasang doorguard, makanya Prita tidak bisa membuka pintu dari luar. Aldo meraih handuk putih di rak kiri, membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Saat bersamaan dia mendengar suara bantingan pintu yang sangat keras, menghantam dinding. Tampak Prita berlari histeris ke arahnya, disusul dua pria berseragam satpam di belakangnya.
Aldo terperangah, mencoba meraih tangan perempuan itu. Ingin tahu apa yang sedang terjadi. Namun… Prita melewatinya begitu saja, seolah dia tak ada di sana. Aldo mencoba meraih tangan salah satu satpam yang mencoba memasuki kamar mandi. Lagi-lagi gagal. Keduanya mengacuhkannya.
Dada Aldo terasa sesak. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan, selain perasaan berkecamuk memenuhi dada itu. Dari kamar mandi terdengar raungan histeris Prita. Aldo melangkah ke dalam kamar mandi perlahan. Dia melihat lantai kamar mandi sudah dipenuhi air. O sial, dia lupa mematikan keran, umpatnya dalam hati. Dengan hati-hati dia melangkah ke dalam. Raungan Prita makin menjadi-jadi.
“Kenapa kamu begini?! Kenapa kamu gak cerita?!” teriaknya histeris.
Salah satu satpam itu berusaha mengeluarkan seseorang dari dalam bathtub, yang airnya sudah berwarna merah, sambil meminta temannya menelepon ambulans dan polisi. Kepala Aldo serasa mau meledak, tidak memahami apa yang sedang terjadi. Badan siapa di dalam bathtub itu? Bagaimana dia bisa ada di sana? Beruntun pertanyaan memenuhi benaknya.
Raungan Prita tak kunjung reda. Tubuh pria telanjang basah kuyup itu sudah ditarik keluar, langsung dipeluk Prita seeratnya. Dada Aldo tiba-tiba terasa akan meledak, penuh amarah. Siapa pria itu? Kenapa Prita begitu menangisinya. Dia mencoba mengintip wajahnya, namun tertutup rambut basah, dan dekapan Prita.
Aldo berjongkok di samping tunangannya, berusaha memeluk. Namun meleset, saat Prita memeluk tubuh telanjang itu makin erat, membuatnya tertunduk hampir saja menyentuh lantai.
Aldo memperhatikan tubuh itu, dengan perasaan jijik. Matanya menggerayanginya dari kaki, perlahan naik ke pinggang. Matanya terhenti di bagian lutut kanan, pada bekas luka yang tampak familiar. Dada Aldo makin sesak. Amarah berubah menjadi perasaan lain, yang dia tidak pahami, namun lebih menyiksa. Matanya kembali bergerak, ke arah tangan kanan pria itu. Jempol dan telunjuknya tampak masih menggenggam bekas pecahan kepala botol, berlumuran darah… Darah masih menetes pelan dari nadinya yang tersayat. Aldo pun teringat botol bir yang tadi dia minum. Matanya langsung beralih ke arah wastafel. Botol bir yang dia letakkan di sana lenyap.
Dadanya makin sesak. Dia mendekatkan wajahnya ke arah dekapan Prita. Saat bersamaan perempuan itu mengangkat wajah di tangannya, merapikan rambut basah yang menutupi matanya. Mata Aldo menjadi nanar, gelap gulita, saat menyadari apa yang dia lihat. Laki-laki itu adalah dirinya…
Dia terhenyak ke dinding, berusaha berdiri, tertatih-tatih, menyeruduk keluar dari kamar mandi. Matanya langsung tertuju pada HP yang tergeletak di meja. Dengan panik dia membukanya, tampak belasan panggilan tak terjawab dan WA dari Prita. Dia membuka WA itu, menggesernya ke atas. Matanya berhenti pada pesan terakhir yang dia kirim ke tunangannya. Sebuah pesan pendek: km berhak dpt yg lbh baik. HP itu lalu meluncur dari tangannya, kembali tergeletak di meja.
Apa yang telah terjadi? Dia tidak bisa mengingat apa pun, kecuali saat-saat dia berdiri lama di depan plakat-plakat pencapaian yang membuat hidupnya selalu dipikir sempurna. Aldo pun berbalik, kembali menatap plakat-plakat itu dengan wajah pucat pasi. Air mata mulai mengalir deras.
Dari kamar mandi masih terdengar raungan Prita.
“Andai saja kamu cerita… Andai saja kamu cerita!” pekiknya.