Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Andai Saja Aku Acuh
11
Suka
507
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Dasar bocah anjing! Jangan gangguin adik lu mulu!!!” 

Teriakan dari unit sebelah kembali terdengar, disusul suara bantingan keras, entah benda apa, membentur lantai. Tak lama suara jeritan tangis pun terdengar tak henti-henti. Jeritan dari dua orang anak kecil, kemungkinan masih di bawah 8 tahun. Ledi dan Rolan tidak pernah bertemu mereka, atau bertemu perempuan yang selalu memaki mereka dengan kata-kata kasar yang membuat darah Ledi selalu mendidih. Ledi menatap Rolan tajam, dibalas tak kalah tajam oleh suaminya itu.

“Kita uda sering bahas, bukan urusan kita,” ucap pria itu tenang, dengan mata tak henti menatap angka-angka di atas pintu lift, yang entah kenapa, butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk sampai ke lantai mereka, meski bukan di jam sibuk.

Ledi mendengus, matanya menatap lorong samping kirinya. Kalau saja bukan karena larangan keras suaminya, sudah dari kemarin-kemarin dia menuju lorong itu, menggedor pintu unit di ujungnya, lalu memaki balik si perempuan kasar itu.

“Ibu macam apa sih, tiap hari maki-maki anaknya yang masih kecil pake nama-nama penghuni kebun binatang?! Ibu binatang juga, paling!” gerutunya.

“Anjing bukan penghuni kebun binatang,” bisik Rolan coba mencairkan suasana.

“Hah?!” Ledi bersiap meneruskan omelannya.

Untung pintu lift pun terbuka, Rolan menarik tangan Ledi masuk. Sayup-sayup, sebelum pintu lift tertutup, kembali terdengar makian kasar, disusul dentuman keras. Namun kali ini tidak terdengar suara tangis. Ledi menarik napas dalam, bola matanya tak henti berputar. Rolan menggenggam tangan perempuan itu erat.

“Kita harusnya tadi mampir dulu ke kantor manajemen, minta satpam cek ke unit itu. Sudah hampir 1 bulan pindah ke sini, tapi aku belum pernah melihat mereka sekali pun. Cuma denger makian-makian kasar perempuan itu doang. Pasti teriaknya kenceng banget, sampai kedengeran ke kita. Udah 10 tahun lebih di sini, mana pernah denger yang begituan. Baru sekarang!” oceh Ledi tak henti-henti. Rolan hanya diam, menyetir santai di sampingnya. Dia tahu persis, diam adalah cara terbaik untuk meredam amarah istrinya.

*****

Ledi turun dari grab car yang mengantarnya pulang, persis di depan lobi apartemen yang terletak di jantung Jakarta itu. Rolan tidak bisa menjemputnya, karena harus lembur, hal lumrah di ujung bulan seperti ini.

Seperti biasa, senyum dan sapaan ramah satpam yang berjaga malam itu langsung menyambutnya saat memasuki lobi. Sempat terbersit di pikirannya untuk meminta satpam itu memeriksa suara-suara amukan dari tetangga barunya. Namun, dia langsung teringat pesan Rolan, kalau itu bukan urusan mereka. Meski Ledi masih tidak setuju. Karena, sampai sejauh apa itu akhirnya akan menjadi urusan mereka? Bukankah terganggu sama suara-suara makian kasar sudah cukup untuk menjadikan itu ranah mereka? Pada akhirnya dia memilih menuruti saran Rolan, langsung naik ke unitnya.

*****

Ledi membuka matanya dengan ogah-ogahan. Seperti biasa, tiap Sabtu dia selalu bangun lebih siang. Ranjang bagian Rolan tampak kosong. Dia yakin suaminya itu sedang heboh panas-panasan di lapangan tenis di area taman, bersama anggota klub tenis apartemen ini lainnya.

Ledi bangkit perlahan, malas-malasan menuju kamar mandi. Instingnya langsung menggerakkan tangan untuk meraih sikat gigi, menuang odol ke atasnya, lalu menggosok gigi dengan perlahan. Matanya tak lepas dari cermin di hadapannya.

Lima tahun menikah, dia dan Rolan belum dikaruniai anak. Berbeda dengan asumsi banyak orang, bahwa memang belum rejeki mereka, sebenarnya keadaan itu adalah buah dari keputusan mereka. Mereka yakin keduanya belum siap dengan tanggung jawab besar itu. Ledi masih harus belajar banyak mengontrol emosi, sementara di sisi lain Rolan harus belajar untuk tidak terlalu cuek. Mereka tak tega membayangkan apa yang akan terjadi pada anak itu seandainya mereka memutuskan hamil hanya demi menjawab deraan pertanyaan tak henti dari orang-orang.

Lamunan Ledi terhenti, saat mendengar jeritan keras dari seorang anak perempun. Jendela kamar mandi yang langsung berhadapan dengan jendela tetangga di ujung lorong kirinya membuat jeritan itu terdengar lebih keras. Jeritan yang, seperti biasa, disusul makian kasar dan teriakan tak kalah kerasnya dari mulut seorang perempuan dewasa.

"Dasar anjing lu, ya! Dimandiin susah banget!!! Diammm, jangan gerak!" Makian itu terdengar sangat jelas, begitu pun jeritan si anak, yang sekarang diikuti oleh jeritan anak lain. Sebuah bantingan keras menyela keributan itu, membuat tangisan dan pekikan kedua anak itu makin kencang, histeris, yang langsung disusul makian-makian kasar tak pantas meluncur deras dari mulut ibu mereka.

Cukup! teriak Ledi dalam hati. Dia menyalakan keran, membilas sikat gigi seadanya, sebelum melemparnya begitu saja ke atas wastafel. Ledi langsung menuju pintu depan, sebelum menyadari kalau pakaiannya kurang pantas untuk dipakai ke luar unit. Bergegas dia menuju kamar, meraih baju kaos, mengenakannya, sebelum kembali buru-buru ke luar.

Kali ini dia tidak peduli lagi akan nasehat Rolan. Perempuan di unit ujung lorong kiri itu sudah keterlaluan. Dia harus menegurnya, sekalian memeriksa kondisi anak-anak malang itu. Kalau mendapati hal-hal yang mencurigakan, Ledi tak akan segan-segan mengadukan kepada manajemen apartemen, atau bahkan kepada polisi dan Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan.

Ledi melangkah secepat mungkin ke arah lift, sebelum berbelok ke lorong kiri. Tak dinyana, di depan lift dia melihat seorang perempuan muda, cantik, wajah tampak terawat, dengan dua anak kecil bersamanya. Keduanya mengenakan baju renang yang menutupi seluruh badan mereka. Satu orang anak perempuan, sepertinya berusia empat atau lima tahun, dan anak laki-laki yang palingan hanya satu tahun di bawahnya. Kedua anak itu tampak normal, dengan tenang memegang tangan perempuan itu di kiri kanannya.

"Hai, halo. Kalian yang tinggal di unit lorong kiri ujung, ya?" tanya Ledi ragu.

"Hai. Iya," jawab perempuan itu ramah. 

"Halo, Tante! Sapa dong tantenya," lanjutnya sembari melirik kedua bocah, yang hanya membalas dengan tatapan malu-malu ke arah Ledi.

"Mereka jarang ketemu orang, jadi agak pemalu. Makanya mau sering-sering dibawa main ke taman, sekalian berenang, biar bisa kenalan sama anak-anak lain," lanjut perempuan itu.

Saat bersamaan pintu lift pun terbuka. Perempuan dan kedua anaknya langsung memasukinya.

"Sekalian turun?" tanya perempuan itu saat melihat Ledi masih berdiri terdiam di luar lift.

"Ah, duluan deh. Baru ingat ada yang ketinggalan. Selamat main ya adek-adek manis," balas Ledi kikuk, sambil melambaikan tangan kepada ketiganya, yang sudah menghilang di balik pintu lift yang tertutup.

Dengan perasaan campur aduk Ledi kembali ke unitnya. Anak-anak tadi tampak baik-baik saja, perempuan itu pun tampak ramah. Lalu apa arti semua makian kasar dan jeritan tangis bocah-bocah yang sering terdengar dari unit mereka? Apakah dia salah dengar? Mungkinkah paranoia Ledi akan kepantasannya untuk memiliki anak mempermainkannya? Tapi, Ledi yakin kalau dia tidak berhalusinasi. Rolan juga pernah mendengarnya, meski tak sesering dia. Atau mungkinkan makian dan jeritan itu love language mereka? Meski bagi Ledi lebih tepat disebut hate language, kalau iya. 

Ledi memasuki unitnya, masih dengan perasaan berkecamuk. Ah, sudahlah, pikirnya. Mungkin Rolan selama ini benar. Apa pun yang terjadi, semua itu bukan urusan mereka. Diam-diam dia berjanji akan lebih santai, mengurangi overthinking, atau kekepoan, atau apa pun namanya. Siapa tahu sesudahnya pikirannya akan berhenti mempermainkannya.

Tiga hari berlalu, Ledi pun menyadari kalau dia sudah tidak mendengar suara aneh-aneh lagi dari unit di ujung lorong kiri. Bahkan tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, bel unitnya sempat berbunyi, sesuatu yang jarang terjadi sepagi itu. Ternyata gadis kecil anak tetangganya di ujung lorong kiri. Ledi menyapanya dengan semringah, menanyakan keperluannya. Namun anak manis itu hanya menatapnya, dengan mata tenang, tidak berkata apa pun. Sebelum sempat kembali bertanya, anak itu sudah berlari meninggalkan Ledi, kembali ke unitnya. 

*****

Kekuatan afirmasi positif memang luar biasa. Jangan-jangan selama ini hanya pikiran negatif saja yang menjadi biang kerok ketidaksiapan dia dan Rolan untuk menjadi orang tua. Ledi seperti ditampar keras saat menyadari hal tersebut. Dia berjanji akan segera membahas hal ini dengan serius bersama Rolan.

"Tumben kamu diam aja dari tadi," ucap Rolan, yang langsung menyadarkan Ledi dari lamunan panjang. 

Ledi tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Rolan, yang berada di atas setir, erat. Rolan menatapnya sekilas, tersenyum tipis. Ledi membalas dengan menyandarkan kepala ke pundak suaminya itu.

Mobil mereka memasuki area parkir apartemen. Setelah memarkir dengan sempurna, keduanya memasuki lobi melalui tangga dari area parkiran basement. Tidak seperti biasanya, lobi yang tidak terlalu besar itu dipenuhi banyak orang. Semuanya berebutan berbicara dengan nada dan wajah tegang. Di parkiran di depan lobi tampak dua atau tiga mobil polisi, yang lampunya tak henti berkedip.

Ledi mendekati salah satu satpam yang tampak sibuk menenangkan beberapa orang yang terlihat histeris, tak henti meraung, di antaranya seorang perempuan setengah baya, yang dipeluk erat oleh seorang pria seusianya. Melihat kedatangan Ledi, satpam itu beranjak ke arahnya.

"Maaf Mbak Ledi, belum boleh naik ke unit. Kita sedang menunggu polisi turun, ada kejadian..." satpam itu tidak menyelesaikan ucapannya.

"Kejadian apa?" desak Ledi.

"Anak cleaning service tadi mencium aroma menyengat di lantai Mbak. Setelah diperiksa berkali-kali, ternyata dari unit ujung di lorong kiri lift. Digedor berkali-kali, tidak ada yang jawab. Akhirnya tadi didobrak paksa...." jelas satpam itu dengan suara tercekat.

"Ada apa ini?" Rolan yang baru bergabung bersama mereka tampak bingung. Ledi menatap suaminya dengan wajah pucat.

"Lalu?!" desak Ledi ke arah satpam. Satpam itu menatap Rolan sekilas.

"Ternyata... Ternyata, bau menyengat itu datang dari mayat dua anak kecil yang sudah membusuk."

"Ibu mereka bagaimana? Gak kenapa-kenapa?" desak Ledi, suaranya tegang meninggi, kemungkingan terdengar oleh semua yang ada di lobi itu.

Satpam itu lebih merapat lagi ke arah keduanya, sambil melirik perempuan setengah baya yang tadi dia tenangkan.

"Sepertinya kedua anak itu dibunuh ibunya. Bapak ibu di sana orang tua si ibu."

Ledi seakan tersambar petir.

"Padahal tadi pagi masih ketemu sama gadis kecil itu," ucap Ledi lirih, mata nanarnya mulai berkaca-kaca.

"Maaf, maksud Mbak?"

"Tadi pagi, anak kecil yang perempuan memencet bel unit saya. Pas ditanya, dia diam aja, lari balik pulang. Tampak baik-baik saja padahal," jawab Ledi, masih dengan suara lirih, disertai air mata mulai menetes.

"Hmmm, gak mungkin harusnya. Mayat mereka uda dipenuhi belatung, dari bekas luka dan lebam parah di sekujur badan. Tadi saya sempat dengar, kemungkinan udah meninggal sejak tiga hari lalu," jelas satpam itu yakin.

Ledi tidak mempercayai apa yang dia dengar. Tanpa sadar, isaknya keluar keras, langsung membenamkan wajahnya di dada Rolan. Hal itu menarik perhatian perempuan paruh baya yang masih histeris tak jauh darinya. Perempuan itu mendekati Ledi.

"Kamu tetangganya anak dan cucu-cucu saya, ya?" tanyanya di sela-sela tangis.

Ledi mengangkat wajahnya ragu, menatap perempuan itu. Dia pun mengangguk lemah. Perempuan itu langsung kembali terisak.

"Anak saya itu belum siap punya anak. Dia masih ingin bekerja, hura-hura. Suaminya dan kami yang maksa. Setelah itu sering ditinggal tugas, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan," lanjutnya di tengah isak yang makin keras.

"Masa kamu tidak mendengar apa-apa dari tempat mereka? Anak saya kalau sudah ngamuk pasti kedengaran kemana-mana, gak mungkin gak sampai ke kamu. Atau kamu mendengar tapi memilih diam saja?!"

Ledi tak bisa lagi mendengar jelas kata-kata yang keluar dari mulut perempuan itu. Dia kembali membenamkan kepalanya di dada Rolan, lebih dalam, sambil terisak tak kalah keras. Hatinya mengutuk dirinya. Kenapa dia tidak melakukan sesuatu? Andai saja dia memilih acuh, mengikuti kata hatinya. 

Dia tidak bisa menghilangkan bayangan mata dua bocah manis yang menatapnya malu-malu tanpa dosa, dalam balutan baju renang full body. Baju yang sengaja dipakaikan untuk menutupi penderitaan mereka. Atau tatapan diam gadis kecil yang tadi pagi mendatanginya...

Andai saja dia memilih acuh. Mungkin tatapan itu masih bisa dia lihat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@carsun18106 : Kemungkinan mereka abaikan saja, karena sibuk dengan hidup masing-masing. Sadly.
@carsun18106 : Insya Allah kl kita gak acuhkan tanda-tandanya orang-orang ini bisa kita bantu.
@carsun18106 : Iya... Unfortunately individualistis adalah bagaimana kebanyakan kita menjalankan hidup jaman sekarang.
Duh, di real life memang banyak yg seperti ini, moga2 mereka bisa diselamatkan
Lalu bagaimana dgn tetangga yang lain?
Dilematis ya hidup di lingkungan yg sudah individualistis
@diano.
Sama-sama, ka. 🙏
@egidperdana89 : Uda direvisi sesuai masukannya. Thanks again, ya🙏🏻.
@egidperdana89 : Hai! Thanks banget sudah baca dan suka, reqlly appreciate it. Cerita ini sinpired by real event. Doain semoga endingnya gak sama dengan yg di cerpen ya🙏🏻. Dan many thanks also untuk mauskannya re: pembatas paragraf. Will do it next time.
Aku suka, sedih banget. 😭
Gaya penulisannya juga enak dibaca. 🤗
Tapi saran saya, di tiap ganti adegan dipisah pakai *** ya, kak. Supaya lebih enak dibaca. 🙏
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Andai Saja Aku Acuh
Diano Eko
Novel
Bronze
Catatan Balas Dendam
Dimas Adiputra
Novel
Bronze
13 Hari ~Novel~
Herman Sim
Novel
Romero dan Eleni
waliyadi
Cerpen
Bronze
Death Comes In
Elliene Hubbs
Novel
Bronze
Coup d'etat
siucchi
Novel
HOME SCHOOL
Anonim people
Novel
DIADEM
Al Szi
Novel
Artemis
Dyah Ayu Anggara
Novel
Tsurat Abadi
Harjo S. Royani
Novel
MANTRA MERAH
Gusty Ayu Puspagathy
Novel
Bronze
Mie Di Bulan Mei
Bakasai
Novel
Bronze
True Colour
Yudith Maretha
Novel
GRIM GAME
moris avisena
Flash
Tutup Botol
Rahma Nanda Sri Wahyuni
Rekomendasi
Cerpen
Andai Saja Aku Acuh
Diano Eko
Novel
Masa Lalu
Diano Eko
Cerpen
Andai Saja Kamu Cerita
Diano Eko
Novel
Rancak Bumi & Sakti Mandraguna
Diano Eko