Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Andai Ibu Bersamaku
1
Suka
2
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sejak aku duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, aku mulai bertanya-tanya dalam kepala; dimana ibu? Mengapa aku tak punya ibu? Disaat teman sebaya lainnya diantar jemput oleh ibunya, aku hanya mampu diam dari kejauhan. Meskipun ayah selalu menyempatkan waktu di tengah pekerjaannya untuk hadir disetiap acara sekolah, aku tetap merasa sedikit...kosong.

“Lalita ngga punya ibu?”

“Ibunya sudah mati.”

Begitu ucapan teman-temanku setiap ayahku datang seorang diri pada pembagian raport sekolah. Seharusnya ucapan anak kecil tak perlu dirisaukan karena mereka hanya mengatakan apa adanya, tapi aku selalu merasa sedih. Aku hanya mengingat samar-samar bau tubuh ibuku, pelukan hangat dan suara lembutnya saat memanggil namaku. Bentuk wajahnya pun aku hanya tahu dari sepotong foto usang yang aku temukan di lemari ayahku. Entah mulai kapan aku tak merasakan kehadiran ibu, saat itu aku terlalu kecil untuk memahami banyak hal besar yang terjadi.

“Ayah, dimana ibu?”

Aku selalu mempertanyakannya—setiap hari—kepada ayahku. Namun, ayahku tak pernah menjawabnya. Ia hanya membiarkanku terpengkur dengan pertanyaanku sendiri.Terkadang saat ayahku sudah lelah, ia hanya menjawab “Ada, Lalita, ada.”

Sayangnya, itu tak pernah benar-benar menjawab rasa penasaranku.

“Apakah ibuku sudah mati ayah? Mereka bilang, aku tidak punya ibu.”

Malam itu, aku kembali menanyakannya saat makan malam tiba. Ayah menghentikan suapannya, menatapku dengan gurat yang tak bisa kubaca. Ada sedih, sendu, dan juga...iba. “Lalita, ibumu belum meninggal. Mulai sekarang berhentilah bertanya, karena ibumu tidak akan pernah mengingatmu lagi.”

Sejak saat itu aku tak pernah lagi mengungkit perihal dimana ibuku. Bukan karena ucapan ayah yang membuatku kepikiran setengah mati selama berhari-hari. Tidak. Tapi aku tahu, ayah menyimpan kesdihan itu dalam diamnya. Menekan egonya untuk tidak melukai perasaanku. Lalu aku hanya diam, mencoba mencerna hal-hal yang tidak bisa kupahami dengan akal sempitku. Aku mulai menganggap ibuku berpisah dengan ayah seperti kebanyakan keluarga lain yang tidak utuh.

****

Aku menatap amplop putih ditangan dengan perasaan campur aduk. Sejak guru membagikan amplop ini ke semua siswa, perasaanku sudah tidak tenang. Ada ragu yang menyelinap begitu ayah pulang dan memasak makan malam kami. Aku sudah cukup besar untuk mengetahui bahwa mungkin ada sesuatu yang tak terucap dan tak bisa disampaikan dalam keluarga ini. Tahun ini aku sudah masuk kelas akhir sekolah dasar, itu berarti sudah tiga tahun lewat dari terakhir percakapanku dan ayah tentang ibu.

“Kenapa berdiri diam disitu Lalita? Cepat siapkan meja makanya.”

Aku buru-buru menyembunyikan amplop itu di saku celanaku. Mungkin aku bisa memberikan amplop itu besok pagi, pikirku sambil beranjak menata piring di meja kayu panjang di sebelah dapur.

“Bagaimana sekolahmu hari ini? Ada tugas?” Ayah mulai bertanya usai nasi goreng di piringnya tandas. Aku menggeleng pelan. “Sebentar lagi kamu mulai ujian akhir sekolah, belajarnya ditingkatin, kamu masih mau lanjut di sekolah impianmu kan?”

Aku diam meremas telapak tanganku yang dingin sambil berkelahi dengan pikiranku yang kacau. Bilang...tidak? tapi sejenak aku teringat oleh ucapan para tetangga beberapa waktu lalu. “Ayah?”

“Kenapa, nak?”

Aku mengeluarkan amplop yang sudah lecek karena terlalu kuremat di hadapannya. “Tadi Lalita dapat surat dari wali kelas, katanya buat acara minggu depan.”

“Oh ya? Acara apa?” Ayah meraih amplop itu, membukanya perlahan.

“Hari ibu.” Aku menunduk, tak berani menatap raut wajah ayah yang mungkin berubah mendengarnya. Ayah diam, dan aku tak punya cukup keberanian untuk mengajukan tanya. Hening terasa begitu menyesakkan, dan aku mulai tak kuasa memendam semua kegelisahan yang kusimpan selama bertahun-tahun serta percakapan orang-orang di warung tetangga beberapa hari lalu.

“Ayah...” aku diam sejenak, “Ayah, aku tahu ayah bakalan sedih kalau aku sering bertanya, ayah pernah bilang ibu masih ada. Tapi kenapa aku ngga pernah ketemu ibu? Apa aku nakal makanya ibu ngga mau ketemu aku? Ayah, teman-teman di sekolah sering bilang, katanya orangtua yang sudah pisah pasti salah satunya akan menikah lagi. Apa ibu sudah punya keluarga baru makanya ngga mau ketemu aku lagi? lusa kemarin juga ada ibu-ibu bilang kalau ibuku sakit jiwa. Mereka juga bilang kalau ibuku pembunuh. Aku ngga percaya. Ibuku bukan pembunuh, benar kan ayah?”

Aku tahu, aku terlalu banyak bicara dan tak seharusnya aku membuat ayah sampai diam lama seperti sekarang. “Ayah, maaf. Lalita ngga bermaksud buat ayah sedih. Lalita cuma mau tahu dimana ibu. Lalita kangen sama ibu.”

Malam itu, untuk pertama kalinya aku melihat ayah menangis tanpa suara—dihadapanku. Hanya sesenggukan, namun berhasil membuat rasa bersalahku menjadi-jadi. 

“Lalita mau bertemu ibu?” Ayah bertanya lirih.

Aku mengangguk pelan. 

“Besok ayah pulang lebih awal. kalau Lalita mau, kita bisa mengunjungi ibu.”

Aku mendongakkan kepala. “Beneran ayah?” 

Ayah mengangguk. “Tapi sebelum itu janji sama ayah. Apapun yang akan terjadi, percayalah satu hal, ibu kamu itu sayang banget sama kamu. Paham ya, Lalita?”

Aku tak begitu memahami maksudnya, namun aku memutuskan mengangguk.

****

Aku mengikuti langkah kaki ayah tanpa protes. Beberapa kali ayah menyapa orang yang lewat dengan senyum sopan. Sejak memasuki bangunan tinggi ini isi kepalaku penuh dengan rasa ingin tahu, namun aku menguburkan pertanyaan itu dalam diam.

“Selamat datang di Panti Sosial Karya Asih, ada yang bisa kami bantu pak?” seorang perempuan menyapa kami di bagian resepsionis.

Ayah mengeluarkan tanda pengenal. “Saya sudah mengatur janji kunjungan dengan Dokter Lani di hari ini.”

“Oh, pasien dengan nama Liliana Amarasti dari bangsal khusus Alzheimer dan Demensia ya pak?” perempuan itu mencatat data kunjungan sambil melirikku. “Sesuai prosedur untuk menghindari bahaya, tolong awasi dan jauhkan pasien dari anak kecil ya, pak. Karena pasien masih berada pada perawatan khusus dengan pengawasan.”

Ayah menganggk.

“Baik, pak. Silahkan menuju sebelah kanan, aka nada perawat pendamping yang akan membantu mengawasi.”

Ayah menggandeng tanganku untuk berjalan kearah yang tadi ditunjuk si resepsionis. Walaupun aku masih sedikit bingung, tapi aku tahu satu fakta penting. Ibuku sakit.

“Lalita. Mungkin ada banyak sekali pertanyaan dalam kepalamu. Walaupun ayah menjelaskan keadaannya sekarang, kamu pasti belum akan paham. Tapi satu hal yang harus kamu pahami Lalita.” Aku mendongak pada ayahku yang menatap lurus kedepan. “Ibumu bukan orang jahat Lalita. Ibumu bukan pembunuh. Semua yang orang-orang itu katakan tentang ibumu, tidak lebih dari seujung kuku yang mereka tahu. Apapun hal yang akan kamu ketahui di masa depan, ibumu tidak pernah memiliki niat seperti itu. Ibumu hanya seseorang yang kalah dan tepaksa menyerah pada keadaan. Ibu sudah berusaha bertahan, itu jauh lebih baik.”

Aku menunduk, mencoba mencerna kalimat demi kalimat itu dengan kepala kecilku. Rasanya terlalu rumit untuk kupahami, tapi aku berusaha mengingatnya pelan-pelan.

“Kamu dulu punya seorang kakak. Kakak perempuan yang cantik seperti kamu. Kakakmu adalah yang paling bahagia ketiga selain ayah dan ibu saat kamu lahir dulu.”

Aku membulatkan mata mendengar fakta itu. Aku punya kakak?!

“Namanya Lintang. Dia masih kelas 3 SMP saat kamu lahir. Waktu kamu baru belajar jalan, kakakmu yang selalu menjaga kamu. Waktu kamu lagi aktif-aktifnya jalan kesana kemari, kakakmu yang selalu mengawasi kamu. Diajaknya kamu jalan-jalan, digendong kemana-mana. Kamu mungkin tidak ingat apapun karena kamu masih sangat kecil dan ayah tidak sanggup menyimpan foto kakakmu. Tapi kamu harus yakin juga kalau kakakmu itu sayang sekali denganmu, melebihi apa yang bisa ayah dan ibu berikan.”

Kalau aku punya kakak, dimana dirinya sekarang? “Lalu dimana kakak sekarang, ayah?”

Ayah hanya tersenyum. Tepat saat seorang perawat muda datang menghampiri kami. “Dokter Lani sudah berada di bangsal. Mari saya antar pak.”

Lalu percakapan itu harus terhenti. Sebenarnya aku masih penasaran dengan pernyataan ayah barusan, tapi aku juga merasa berdebar saat tahu aku akan segera bertemu dengan ibu. Akankah ibu mengenaliku? Entahlah. Aku merasakan genggaman tangan ayah mengerat.

“Sampai disana jangan berdiri terlalu dekat dan jangan bertanya terlalu banyak. Cukup berdiri disamping ayah. Paham?” ayah menatapku serius. Mengapa? Kenapa aku tidak boleh dekat dengan ibu? Sebenarnya apa yang terjadi dengan ibu?

“Selamat siang Pak Lando. Silahkan duduk.” Seorang wanita berpenampilan dokter berdiri menyambut dengan senyum ramah. Aku melihat sekeliling, terpaku saat kulihat—dibalik sekat kaca berlapis—seorang wanita tengah duduk menatap kosong ke depan. Perawakannya kurus, rambutnya panjang tak terawatt, seperti baru saja dijambak. Apa itu ibu?

“Keadaan Ibu Liliana mengalami penurunan fungsi otak yang semakin parah. Sehingga disorientasi total dan sulit mengomunikasikan rasa sakit. Pasien juga jadi sering merasa delusi dan halusinasi berlebih. Tapi yang parah beberapa waktu lalu, perilaku pasien menjadi lebih agresif. Seorang penjaga yang bertugas membantu mengganti pakaian dijambak dan dipukul keras dari belakang dengan kursi kayu hingga mengalami keretakan di bahu. Kami terpaksa membawa pasien kembali ke ruang khusus isolasi.”

Ayah mendengarkan dengan seksama. Dia menatapku dengan senyum pahit yang ditahan. Aku menatapnya bergantian dengan wanita dibalik kaca itu seolah bertanya; apakah itu ibuku, ayah? 

“Jadi melihat situasi ini, untuk sementara saya meminta untuk menjaga jarak dengan pasien terlebih dahulu dan tidak bertanya apapun dengan pasien. Cukup melihat dari balik kaca saja, biar saya yang mengajak pasien berbicara.”

Ayah mengangguk lagi. “Saya paham dok. Saya hanya ingin membawa anak saya bertemu dengan ibunya.”

Dokter itu menatapku dengan senyum manis. Ia mengambil sebuah suntik dan cairan kecil yang dimasukkan kedalamnya lalu mengantonginya disaku. “Mari pak.”

Ayah menuntunku untuk berdiri di dekat pembatas kaca. “Lihat dari sini saja ya, nak.”

Aku menunjuk perempuan di dalam sana dengan ragu. “Itu ibu, yah?”

Ayah mengangguk. 

“Kenapa kita nggak boleh ketemu ibu, yah? Ibu kenapa? Ibu sakit apa, yah? Kenapa ibu nggak kenal sama aku?”

“Alzheimer, Lalita. Ibu udah nggak kenal sama kita. Sama ayah, kamu dan semua orang. Ibu harus dirawat disini sejak kamu masih umur 2,5 tahun. Tapi walaupun ibu udah nggak kenal kita, cinta ibu buat kamu selamanya tidak akan mati. Walaupun mata ibu yang melihat kita sekarang nggak lebih dari seperti orang asing, perasaan kasih sayang itu akan selalu ada, setidaknya di lubuk hatinya yang paling dalam. Semakin dewasa, kamu akan paham sendiri, Lalita. Dan ayah sendiri yang akan memberitahunya”

Aku menatap pergerakan dokter dan perawat penjaga yang berusaha mengajak ngobrol ibu sambil sesekali menunjukku dan ayah. Saat mata kami bertemu, aku seperti ingin menangis dan berlari memeluk ibu. Rasa rindu yang membuncah langsung tertahan saat aku sadar tatapan itu kosong tanpa perasaan apapun. Entah berapa lama dokter itu mengajak ibu berbicara dan dibiarkan tanpa balasan, aku sudah terisak di tempat. Saat ibu mulai memberontak dan bersikap agresif, sifat delusi itu mulai muncul. Merasa dirinya terancam, berusaha meraih dokter dengan tangan-tangan kurus panjangnya. Aku semakin menangis begitu dokter dan perawat berusaha menahan pergerakan ibu dan menyuntikkan cairan ke lengan atas ibu. Rasanya semakin tak karuan begitu ayah menarikku dalam pelukan. 

“Ibu kesakitan ayah. Ibu kesakitan.” aduku.

“Tak apa, Lalita. Ibu kamu itu perempuan paling kuat yang ayah kenal.”

Sejak saat itu aku tahu. Ibu tidak pernah benar-benar meninggalkan aku. Ia hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdirnya.

****

Seiringnya usiaku berjalan, pertanyaan-pertanyaan yang sempat mampir di kepalaku perlahan terjawab. Bukan dengan rasa penasaran dan paksaan, tapi dengan waktu. Aku membiarkan semua pertanyaan itu hadir tanpa mencari jawabannya. Biarlah waktu yang memberiku Jawaban. 

Sejak kunjungan hari itu, aku total berhenti bertanya. Aku tidak lagi merusuhi ayah dengan pertanyaan itu. Aku juga tak lagi mencari-cari jawaban atas rasa ingi tahuku. Meskipun terkadang aku masih tak paham karena aku yang terlalu belia, tak apa. Karena hidup adalah soal menelurusi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dengan waktu. Aku juga memutuskan hadir di acara hari ibu tanpa ayah. Walau ayah sudah menawari untuk datang, aku menolak. Toh, bukan hanya aku satu-satunya yang tidak punya ibu.

Kini usiaku genap delapan belas tahun. Akhirnya aku tahu kenyataan pahit apa yang menimpa keluargaku. Saat aku tak sengaja menemukan buku harian ibuku, dan fakta yang ayahku ceritakan, aku akhirnya mengetahui jawaban itu.

Ibu sudah memiliki gejala Alzheimer sejak kakakku masuk SMP. Begitu aku lahir, penyakit yang dibawa ibu semakin parah dan terkendali. Namun ibu memilih untuk rawat jalan karena masih sanggup untuk bersosialisasi. Ayah juga berusaha membantu. Dengan adanya kakakku yang bisa menjagaku, pekerjaan ibu menjadi lebih mudah. 

Namun, tepat saat aku menginjak usia 2,5 tahun, tepat saat kakakku naik kelas 3 SMA, masalah besar itu mulai muncul. Ibu yang selama ini hanya melupakan hal-hal kecil seperti lupa letak perabotan rumah, letak bumbu dapur, sampai lupa mengenali tetangganya. Waktu itu kakakku lebih banyak les dan ayah banyak job yang mengharuskan pulang lebih larut. Ingatan ibu semakin hari semakin buruk, terkadang melupakan kami—anak-anaknya—dan yang paling parah mengira ayahku adalah bapaknya sendiri. Namun sejauh itu tidak terlalu menjadi masalah. Sampai suatu hari, saat kakakku pulang menjelang maghrib dan keadaan rumah sepi dan gelap. Ibu salah mengira itu adalah pencuri, tanpa sadar mengambil pisau dapur dan menusuk tepat dada kakakku dari belakang saat ia baru saja menutup pintu rumah. Dalam keadaan gelap dan rasa sakit yang luar biasa, kakakku berusaha meraih saklar lampu dan menyalakannya. Melihat ibunya sendiri berteriak histeris memegang pisau berlumuran darah. Sontak malam itu, tetangga banyak berdatangan memenuhi rumah. Memanggil ambulans dan polisi. Aku tahu, bukan salah tetanggaku yang tidak tahu apapun dan menghakimi ibuku yang semakin histeris. 

Ayah pulang tak lama kemudian, syok melihat kakakku dengan darah yang tak henti keluar, sebelum akhirnya berhenti bernafas ditengah perjalanan menuju rumah sakit. Ayah sangat terpukul, tak bisa melawan saat ramai orang membawa ibuku ke kantor polisi karena bagaimanapun ini juga salah ayah membiarkan ibu yang jelas punya penyakit begitu tetap didalam rumah yang sama tanpa orang lain tahu. Aku masih terlalu kecil untuk tahu kejadian itu. Ayah memutuskan membawa ibuku ke pusat perawatan khusus Alzheimer dan Demensia. Karena ayah tak lagi bisa mempertahankan ibu di rumah setelah tetangga melihat kejadian itu, bukankah akan lebih buruk?

Aku tersenyum menatap perawat yang kutemui di Lorong. 

Hari ini tanggal 22 Desember. Hari Ibu. Dan kini aku berada di Panti Sosial Karya Asih dimana ibuku dirawat. Kondisi ibuku sudah membaik, bukan berarti penyakitnya sembuh. Aku tahu penyakit itu tak akan pernah disembuhkan, hanya saja kini aku sudah bisa berbicara dengan tenang dengan ibu, tanpa harus memberontak, asal jangan pernah memancing dan memaksa. Aku tak masalah ibu tak akan pernah mengingatku sebagai anaknya. Setidaknya ibu tidak menolakku saat kami sedang mengobrol.

“Hari ini ibu sudah melakukan hal apa saja?” aku bertanya ringan.

“Aku baru saja latihan membatik. Lihat saja tanganku penuh dengan warna warni.” Aku tersenyum menatap wajah ibu yang sudah banyak berbicara. Asyik rasanya membicarakan hal-hal ringan begini dengan ibu.

“Wah keren. Kalau begitu hari ini aku mau memberi hadiah.” Aku mengeluarkan kotak kue strawberry kesukaan ibu setiap aku kemari dan buket bunga merah mawar segar. “Tadaa.”

“Kue strawberry!” benar kan. Ibu langsung antusias menatapnya. “Kenapa kamu baik sekali? Orangtuamu pasti sangat bahagia mempunyai kamu. Terimakasih ya.”

Aku tersenyum lebar. Menggenggam tangan ibu erat. “Sama-sama ibu.”

Ibu antusias beranjak memanggil teman-temannya untuk memakan kue yang kubawa. Perlahan, air mata yang kutahan mati-matian merembes turun. Bukan lagi air mata kesedihan saat pertama kali bertemu dengan ibu dulu, tapi air mata keikhlasan yang aku rasakan.

Tak ada lagi kata andai yang dahulu kerap kuucapkan. Tak ada lagi rasa kesal karena ibu tak pernah mengenaliku lagi. Kini aku menatap ibu dengan lebih lapang dada. Aku sudah ikhlas dengan keadaan ini. Seperti ini pun tidak mengapa. Walau terkadang aku masih merasa iri melihat interaksi teman dengan ibunya, aku masih baik-baik saja. Selama aku tahu ibu baik-baik saja dan aku masih disampingnya, aku sudah merasa lebih dari cukup.

Selamat hari Ibu, kataku sambil menatap wajah ibu yang tengah tersenyum disana.

End.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Andai Ibu Bersamaku
Mutichan
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Galau Mutasi Sang Peneliti
spacekantor
Cerpen
Pelangi untuk Mentari
Dyah
Cerpen
MENJADI KETUA RT DAN HIKMAH-HIKMAHNYA
Agung Satriawan
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sobari
Soerja HR Hezra
Cerpen
Bronze
Rencana
Muram Batu
Cerpen
Alya dan Kursi Kosong
Maharani
Cerpen
Bronze
Asih
Yona Elia Pratiwi
Cerpen
Bronze
Keflavik 2020: Cinta, Curhat dan Cokelat
Rosa L.
Cerpen
Sebuah kegagalan karena ketidakpedulian kesombongan dan meremehkan perhatian kecil
Andika Prawira
Cerpen
Kamu Sudah Dicus
Mambaul Athiyah
Cerpen
Bronze
SECRET, The Silent World
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Bronze
Jam Pulang yang Selalu Sama
Aulia umi halafah
Rekomendasi
Cerpen
Andai Ibu Bersamaku
Mutichan
Cerpen
Bronze
Andai Ibu Bersamaku
Mutichan