Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Anak Satu-satunya
Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, hiduplah seorang anak bernama Rafi. Ia adalah anak tunggal, satu-satunya yang dimiliki oleh pasangan Pak Arman dan Bu Rina. Rafi berusia lima belas tahun, duduk di kelas sembilan SMP, dan dikenal di sekolah sebagai anak yang sopan, rajin, dan tak banyak bicara.
Sejak kecil, Rafi tumbuh dalam kasih sayang yang hangat, tetapi juga dibebani harapan besar. Pak Arman bekerja sebagai petani penggarap sawah orang lain, sedangkan Bu Rina berjualan sayur di pasar setiap pagi. Hidup mereka sederhana, tapi kedua orang tuanya selalu menanamkan semangat: “Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin cita-cita.”
Setiap pagi, sebelum Rafi berangkat sekolah, Bu Rina selalu berkata lembut sambil merapikan seragam anaknya,
“Belajar yang rajin, Nak. Ibu dan Ayah cuma ingin kamu sukses. Biar hidupmu nggak susah seperti kami.”
Kata-kata itu menjadi pengingat, tapi sekaligus beban yang Rafi simpan dalam hatinya. Ia tahu kedua orang tuanya sudah bekerja sangat keras demi dirinya. Ia melihat sendiri bagaimana ibunya pulang dari pasar dengan tangan merah karena mengangkat keranjang berat, dan ayahnya pulang sore hari dengan baju penuh lumpur. Rafi sering berpikir, “Aku nggak boleh gagal. Aku harus membuat mereka bangga.”
Namun menjadi anak satu-satunya tidak semudah yang dibayangkan orang. Semua harapan, cita-cita, dan masa depan keluarga seolah diletakkan di pundaknya. Kadang ia ingin menjadi anak biasa—yang boleh salah, boleh istirahat, boleh lelah tanpa rasa takut mengecewakan.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Rafi duduk di teras rumah memandangi langit jingga. Di tangannya, tergenggam kertas ulangan matematika dengan angka 62. Nilai itu membuat dadanya sesak. Ia tahu, nilai itu tidak akan membuat ibunya bangga. Ia pun menyembunyikan kertas itu di dalam tas, berharap bisa memperbaikinya nanti.
Tak lama, Bu Rina datang membawa teh hangat.
“Kamu kok murung, Nak?” tanya ibunya sambil menatap wajah Rafi yang pucat.
“Enggak, Bu. Cuma capek belajar,” jawabnya singkat.
Bu Rina tersenyum, “Capek boleh, tapi jangan menyerah ya. Kamu itu satu-satunya kebanggaan Ayah dan Ibu.”
Kata-kata itu lembut tapi menohok di dada Rafi. Ia meneguk teh itu pelan sambil menatap wajah ibunya. Senyum ibu terlihat tenang, tapi di baliknya ada lelah yang dalam. Saat itulah ia berjanji dalam hati, aku nggak akan bikin Ibu kecewa lagi.
Hari-hari berikutnya, Rafi belajar lebih keras dari sebelumnya. Ia tidur larut malam, bangun lebih pagi, bahkan sering melewatkan sarapan karena ingin segera belajar. Teman-temannya mengajaknya bermain bola sore hari, tapi ia selalu menolak.
“Maaf ya, aku harus belajar. Aku nggak boleh mengecewakan orang tuaku,” katanya tegas walau dalam hati ia ingin ikut bermain.
Namun tubuh manusia punya batas. Suatu malam, sekitar pukul sebelas, Rafi masih duduk di meja belajar dengan mata berat. Ia membaca berulang-ulang soal yang sulit sampai akhirnya kepalanya terasa pusing. Pandangannya kabur, dan sebelum sempat berdiri, tubuhnya ambruk di lantai.
Keesokan paginya, Bu Rina menemukannya terbaring lemah. Ia panik dan memanggil Pak Arman. Mereka berdua membawa Rafi ke puskesmas dengan napas tertahan.
Setelah diperiksa, dokter berkata dengan nada tegas,
“Anak ini kelelahan dan kurang tidur. Ia butuh istirahat total.”
Mendengar itu, Bu Rina menitikkan air mata. Di samping ranjang, ia menggenggam tangan anaknya erat-erat.
“Rafi… Ibu minta maaf. Ibu cuma pengin kamu berhasil, tapi ternyata Ibu lupa kamu juga butuh istirahat.”
Pak Arman menepuk bahu anaknya pelan. “Ayah bangga sama kamu, Nak. Tapi sukses itu bukan cuma soal nilai. Sukses itu kalau kamu bisa sehat, bahagia, dan jadi orang baik.”
Mendengar itu, Rafi menangis. Untuk pertama kalinya, ia melihat air mata orang tuanya jatuh bukan karena kesedihan hidup, tapi karena khawatir padanya.
Beberapa hari kemudian, Rafi mulai pulih. Sejak kejadian itu, keluarga mereka menjadi lebih hangat. Bu Rina tak lagi menyuruhnya belajar terus-menerus, tapi lebih sering menyiapkan makanan sehat. Pak Arman mengajaknya ke sawah untuk sekadar berjalan-jalan menikmati udara segar. Mereka mulai menyadari bahwa kebahagiaan keluarga lebih penting dari sekadar nilai di kertas.
Suatu sore, di tepi sawah, Pak Arman berkata,
“Nak, kalau kamu lelah, istirahatlah. Hidup bukan lomba siapa cepat. Ayah dan Ibu cuma ingin kamu tumbuh jadi orang jujur dan berguna.”
Rafi menatap ayahnya. “Tapi aku pengin bikin Ayah Ibu bangga.”
“Kalau kamu jujur, kerja keras, dan punya hati baik, kami udah bangga,” jawab Pak Arman sambil tersenyum.
Bulan berganti, ujian akhir tiba. Rafi menghadapi hari itu dengan tenang, tanpa tekanan seperti dulu. Ia belajar secukupnya, berdoa, dan mengingat pesan ayahnya: ‘Yang penting jujur dan berusaha.’
Ketika pengumuman hasil ujian datang, Rafi pulang membawa selembar kertas nilai. Tangannya bergetar saat menyerahkannya pada ibunya. Bu Rina membacanya dengan mata berkaca-kaca.
“Lulus! Nilai kamu bagus sekali, Nak!” serunya dengan suara bergetar. Ia memeluk Rafi erat, sementara Pak Arman menepuk bahu anaknya dengan bangga.
Malam itu mereka makan bersama di meja kayu kecil: nasi hangat, sambal, tempe goreng, dan sayur bening. Sederhana, tapi penuh tawa.
“Kita nggak kaya, tapi kita punya semangat dan cinta. Itu warisan paling berharga dari keluarga ini,” kata Bu Rina sambil tersenyum.
Rafi mengangguk. Ia baru benar-benar memahami makna kata warisan: bukan harta, tapi nilai hidup. Ia berjanji dalam hati, suatu hari nanti, ia akan membuat orang tuanya bangga — bukan karena jabatan, tapi karena ia menjadi orang yang berguna bagi orang lain.
Tahun-tahun berlalu. Rafi melanjutkan sekolah ke kota dengan beasiswa. Hidup jauh dari orang tua membuatnya belajar mandiri. Di malam-malam sepi, ia sering teringat suara ibunya yang memanggil dari dapur, dan ayahnya yang bersiul di sawah. Setiap kali rindu, ia menulis surat.
“Ayah, Ibu, Rafi di sini baik-baik saja. Terima kasih sudah percaya. Doakan Rafi bisa jadi orang yang membanggakan.”
Waktu berjalan cepat. Setelah lulus kuliah, Rafi kembali ke desanya sebagai guru di sekolah dasar tempat ia dulu belajar. Hari pertamanya mengajar, ia berdiri di depan kelas, melihat wajah-wajah polos anak-anak desa yang penuh semangat, dan berkata,
“Jangan takut bermimpi. Saya dulu juga anak desa seperti kalian. Yang penting, jangan berhenti berusaha.”
Setelah jam pelajaran selesai, Rafi berjalan pulang ke rumah. Di teras, Pak Arman dan Bu Rina sudah menunggu. Rambut mereka telah memutih, tapi senyum mereka tetap hangat.
“Rafi…” kata Bu Rina dengan suara bergetar, “Ibu bangga banget sama kamu. Kamu bukan cuma anak satu-satunya, tapi satu-satunya alasan Ibu bersyukur setiap hari.”
Rafi memeluk keduanya erat-erat.
“Ayah, Ibu… sekarang giliran aku yang berjuang buat kalian.”
Senja turun perlahan, angin membawa aroma sawah dan suara jangkrik yang lembut. Di rumah kecil itu, tak ada harta melimpah, tapi ada cinta yang cukup untuk membuat hidup terasa utuh.
Rafi menatap langit jingga dan tersenyum.
Ia tahu, menjadi anak satu-satunya bukanlah beban seperti dulu ia pikirkan.
Itu adalah amanah, cinta, dan kepercayaan yang harus dijaga dengan sepenuh hati.
Dan sejak hari itu, ia berjanji — selamanya, ia akan menjadi kebanggaan orang tuanya, bukan karena kesempurnaan, tapi karena ketulusan.