Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bagas duduk sendiri di ruang kerja, lampu meja menyala temaram. Tangannya memegang sebuah bingkai foto lama. Di dalamnya, seorang anak perempuan tersenyum lebar sambil mengangkat teleskop mainan ke langit. Di belakangnya, Marni tertawa sambil menggenggam bahu si kecil.
“Foto ini... udah dua belas tahun,” gumam Bagas, setengah pada dirinya sendiri.
Ia mengusap permukaan kaca bingkai itu, mengelus pipi mungil Stevia versi kecil. Sekarang, anak itu sudah dewasa, sudah siap pergi jauh—lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan.
Matanya menerawang. Kenangan datang pelan-pelan, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.
Dulu, ia dan Marni sempat hampir menyerah. Bertahun-tahun menikah, tapi belum juga dikaruniai anak. Mereka sudah ke banyak dokter, mencoba pengobatan, terapi, bahkan sempat menjalani program bayi tabung yang pertama gagal.
“Apa kita memang nggak ditakdirkan punya anak, Gas?” tanya Marni saat itu, suaranya serak habis menangis.
Bagas memeluknya erat-erat. “Kalau Tuhan kasih, kita jaga baik-baik. Kalau nggak, kita tetap hidup... bersama.”
Tapi harapan memang aneh. Kadang datang waktu orang sudah hampir lelah menunggu. Setahun setelah kegagalan pertama, program kedua berhasil. Marni hamil. Dan ketika bayi itu lahir, Bagas menangis di lorong rumah sakit. Tangisnya pelan, tapi dalam. “Akhirnya... ada bintang di rumah ini,” bisiknya waktu itu.
Bayi itu mereka beri nama Stevia. Nama manis untuk hadiah yang mereka tunggu bertahun-tahun.
Masih dalam kenangan, Bagas kembali teringat masa kecil Stevia yang penuh tanya. Suatu sore, Stevia kecil datang sambil menggenggam balon gas yang baru dibelinya di pasar malam.
“Ayah, kenapa balon bisa terbang?” tanyanya serius.
“Karena di dalamnya ada gas helium. Lebih ringan dari udara,” jawab Bagas.
Stevia mengangguk pelan. “Kalau aku isi diriku dengan helium, aku bisa terbang?”
Bagas tertawa. “Kamu nggak perlu isi helium. Kamu tinggal pakai ilmu pengetahuan. Itu yang bisa bawa kamu ke atas.”
Sejak itu, Stevia jadi rajin membaca buku. Umurnya belum lima, tapi sudah hafal nama-nama planet. Tujuh tahun, dia minta dibuatkan peta bintang di dinding kamar. Sembilan tahun, dia mulai menggambar roket dan stasiun luar angkasa. Waktu ulang tahun ke-10, dia dapat teleskop kecil dari ayahnya, dan sejak malam itu, langit jadi tempat bermain favoritnya.
“Ayah, aku mau jadi astronot,” katanya dengan mata penuh cahaya.
Bagas menatapnya. “Itu cita-cita besar.”
“Ayah kan bilang, langit bisa digapai kalau pakai ilmu.”
Bagas tersenyum dan mengangguk. “Kalau kamu memang mau ke sana, Ayah dukung sampai kamu benar-benar terbang.”
Itu bukan janji biasa. Itu janji yang diucapkan sambil menggenggam tangan kecil yang kelak akan meninggalkan bumi untuk melihatnya dari jauh.
Bagas tersenyum lagi saat mengingat satu sore di belakang rumah, waktu Stevia masih berumur empat tahun. Ia sedang menggali tanah dengan sendok kecil milik ibunya.
“Stev, kamu lagi ngapain, Nak?” tanya Bagas sambil jongkok di sampingnya.
Stevia menatap ayahnya dengan wajah serius, pipinya kotor tanah. “Aku lagi cari bintang yang jatuh.”
“Bintang jatuh di dalam tanah?” Bagas menahan tawa.
“Iya. Kan katanya kalau kita minta sesuatu pas ada bintang jatuh, bisa dikabulin. Jadi aku cari satu, terus aku minta supaya bisa terbang kayak mereka.”
Bagas terdiam. Anak sekecil itu sudah punya imajinasi sebesar langit.
“Ayah bantu galiin, ya?” katanya akhirnya.
Stevia tersenyum lebar, lalu menyerahkan sendok plastik itu ke ayahnya. “Tapi hati-hati ya, Ayah. Jangan sampai bintangnya ketakutan.”
Mereka menggali cukup lama. Tak ada bintang ditemukan sore itu, tentu saja. Tapi di malamnya, Bagas memasang glow-in-the-dark berbentuk bintang di langit-langit kamar Stevia. Saat lampu dipadamkan, ruangan itu bersinar lembut.
Stevia menatap ke atas sambil berbisik, “Ayah, langitnya udah deket ya sekarang.”
“Iya, Sayang. Tinggal kamu raih aja nanti.”
***
Bagas tersadar dari lamunan kenangannya. Dia membetulkan kembali kacamata, hendak melanjutkan kerjaan yang sempat terjeda. Dari arah luar terdengar suara ketukan pintu.
“Ayah,” ujar Stevia. “Keputusan Ayah gimana?”
Bagas tak langsung menjawab. Ia menghela napas. Pertanyaan itu sudah ia tahu akan datang, tapi tetap saja sulit menjawabnya.
Beberapa minggu lalu, Stevia resmi diterima sebagai salah satu dari empat wakil Indonesia dalam program misi luar angkasa internasional. Pelatihan dasar sudah selesai, dan sekarang tinggal satu: persetujuan keluarga.
Usianya memang sudah dewasa secara hukum. Tapi untuk misi ini, restu orang tua tetap jadi syarat. Stevia menunggu ayahnya, satu-satunya yang belum memberikan keputusan.
“Stev,” ujar Bagas pelan, “kamu tahu... Ayah bangga. Sangat bangga. Kamu mewujudkan mimpi yang bahkan Ayah dulu nggak berani mimpiin. Tapi...”
“Tapi Ayah takut?,” potong Stevia. Suaranya lembut, tidak menuntut.
Bagas menunduk. “Iya. Ayah takut. Dua tahun di luar angkasa, Stev. Tanpa Ayah bisa lihat kamu langsung. Kalau ada apa-apa...”
“Kalau aku diam di bumi, belum tentu aku aman juga,” jawab Stevia. “Tapi aku tahu satu hal, Ayah. Aku sudah siap. Dan aku akan baik-baik saja.”
Hening. Cuma ada suara angin lewat pelan. Malam semakin sepi dan tenang.
Stevia berdiri, lalu duduk di sebelah ayahnya. Ia menggenggam tangan Bagas.
“Ayah tahu... waktu aku kecil dan Ayah bilang bakal dukung aku ke mana pun, aku percaya. Dan aku masih percaya sekarang.”
Bagas menatap mata anaknya. Sudah tak ada lagi anak kecil di sana. Yang ada perempuan muda yang teguh, cerdas, dan penuh harapan.
Akhirnya, Bagas menghela napas panjang dan berkata, “Kalau memang ini yang kamu pilih... Ayah izinkan.”
Stevia langsung memeluknya erat.
Marni, yang sedari tadi berdiri di balik pintu, menyeka air mata. Ia tak berkata apa-apa. Tapi hatinya lega, dan sekaligus berat.
***
Hari keberangkatan datang. Landasan peluncuran di selatan pulau itu ramai oleh tim teknis, keluarga, dan awak media. Tapi Bagas dan Marni memilih tidak banyak bicara. Mereka hanya menggenggam tangan satu sama lain, berdiri sejajar memandang ke landasan.
Stevia sudah mengenakan seragam. Di dadanya tertera bendera merah putih kecil.
“Ayah, Ibu,” katanya sambil memeluk keduanya. “Jangan terlalu sering lihat langit ya, nanti kangen.”
Bagas tertawa kecil. “Ayah malah akan lihat terus. Biar kamu nggak merasa sendiri.”
Marni membelai rambut anaknya. “Hati-hati, ya. Jangan lupa makan.”
“Di luar angkasa, makanannya tinggal sedot, Bu.”
“Ya tetap aja, jangan lupa sedotnya,” kata Marni sambil mencoba tersenyum.
Stevia mengangguk, lalu berjalan ke arah kru.
Saat penghitungan mundur dimulai, Bagas dan Marni mendongak ke langit. Deru mesin terdengar. Tubuh roket perlahan naik, meninggalkan bumi.
Bagas menggenggam tangan Marni lebih erat. Di matanya, air mulai menggenang. Tapi tak jatuh.
“Dia anak kita,” bisik Marni. “Dan dia sedang menjalani takdirnya.”
“Iya,” jawab Bagas. “Dan langit ini... sekarang milik dia.”
Roket itu makin lama makin kecil di mata mereka. Sampai akhirnya hanya jadi titik di langit. "Hari ini, Stevia terbang. Tapi dia tetap anak yang dulu tanya kenapa balon bisa terbang. Dan aku masih ayahnya, yang akan terus menunggu di bawah langit yang sama."