Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kota Fajar Bulan adalah lukisan kaca dan cahaya, menara-menara kristal menangkap sinar bulan, memantulkannya seperti harapan yang retak. Berabad lalu, para pemimpi mendirikan kota ini, percaya bahwa malam penuh bulan dan mimpi akan melahirkan fajar—simbol harapan abadi. Mereka membayangkan Fajar Bulan sebagai tempat di mana mimpi menjadi kenyataan, bahkan manusia baru, lahir dari hasrat dan keputusasaan. Tapi kini, di bawah lampu neon yang berkedip seperti detak jantung gelisah, kota ini penuh tekanan. Teknologi tinggi dan nuansa magis Kamar Mimpi, yang dulu menangkap esensi fajar, kini menjadi alat pengintai pemerintah, mencuri mimpi warga untuk kendali, bukan harapan. Villy, 19 tahun, adalah Anak Mimpi, diciptakan dari mimpi seseorang yang tak ia kenal. Ia “terbangun” tujuh tahun lalu di tepi Sungai Fajar, basah dan tanpa kenangan, hanya dengan nama “Villy” bergema di hatinya. Di Fajar Bulan, Anak Mimpi dipuja sebagai relik, namun diperlakukan rendah, seperti bayangan yang tak pernah utuh.
Setiap malam, warga tidur di Kamar Mimpi, ruangan berpanel kristal yang merekam mimpi dalam bola-bola cahaya, mengenang visi fajar kota. Kadang, mimpi kuat melahirkan Anak Mimpi, dan Villy bekerja sebagai pembersih di Kamar Mimpi, tugas rendah karena ia dianggap “kurang manusia”. Suatu malam, saat menyapu di ruangan bercahaya lembut, sebuah kristal mimpi berkedip, memanggilnya. Hukum Fajar Bulan melarang Anak Mimpi menyentuh kristal pencipta mereka, tapi Villy memegangnya. Dunia lenyap. Ia berdiri di ladang rumput emas, angin membelai wajahnya, fajar menyingsing dengan warna merah dan emas. Seorang pria, wajahnya kabur, berbisik, “Kau harus temukan Kunci, Villy. Mereka akan menghancurkan harapan kita.” Villy tersentak, kembali ke Kamar Mimpi, tangannya gemetar. Nama pria itu—Iqbal—terukir di pikirannya. Catatan menyatakan Iqbal mati tujuh tahun lalu, saat Villy “lahir”.
Villy menyelinap ke Kamar Mimpi setiap malam, mencuri kristal untuk melihat mimpi Iqbal. Setiap visi membawanya ke Dunia Mimpi: ladang emas yang bergetar seperti denyut harapan, sungai perak yang mengalir ke kota terapung di langit, menara-menara spiralnya memancarkan cahaya fajar. Iqbal berbicara tentang “Kunci” dan “konspirasi”, suaranya penuh urgensi. Tapi setiap mimpi membuat tubuh Villy memudar, matanya kini bersinar keemasan seperti fajar. Di cermin, ia kadang melihat bayangan Iqbal. Ketakutan merayap, tapi Iqbal adalah penciptanya, dan mimpinya adalah petunjuk tentang harapan yang dulu mengilhami Fajar Bulan.
Di pemukiman kumuh pinggir kota, Villy menemui Tante Suryani, Anak Mimpi tua di gubuk penuh tanaman merambat. Suryani, rambut perak dan mata penuh rahasia, berkata, “Iqbal tahu kebenaran Fajar Bulan. Kota ini dibangun untuk harapan, tapi Aji Rama, pemimpin kita, menjadikan mimpi alat kendali. Mimpinya Iqbal mengancam mereka, makanya dia dibunuh.” Suryani mengungkap bahwa Kamar Mimpi kini memata-matai warga, dan Anak Mimpi seperti Villy adalah bukti kejahatan Aji Rama. Pmburu berjubah hitam dengan mata mekanis, mengincar mereka. “Temukan Kunci sebelum mereka temukan kau,” kata Suryani.
Villy menjadi buronan. Penutup, dipimpin oleh Randy, mengintai di gang-gang Fajar Bulan, langkah mereka bergema di bawah neon. Di pasar bawah tanah, Villy bertemu Rafif, Anak Mimpi lain yang hidup sebagai pencuri. Rafif, dengan senyum miring, berkata, “Kau gila kalau pikir bisa lawan Aji Rama,” tapi ia membantu Villy, mungkin karena ia juga haus jawaban. Seorang pedagang tua berbisik bahwa Kunci ada di Pintu Mimpi, mesin rahasia di bawah Kamar Mimpi yang menghubungkan Fajar Bulan dengan Dunia Mimpi—realitas paralel tempat harapan kota hidup.
Di pasar, Villy mendengar kabar perlawanan. Sekelompok warga, muak dengan pengawasan Aji Rama, mulai berkumpul di gudang-gudang tua, dipimpin oleh seorang mantan teknisi Kamar Mimpi. Mereka menyebut diri mereka *Pecinta Fajar*, ingin kembalikan visi harapan kota. Villy dan Rafif bertemu mereka secara sembunyi, di ruangan penuh asap dan bisik-bisik. “Kami tahu mimpi kami dicuri,” kata seorang wanita, matanya penuh amarah. “Tapi kami butuh bukti.” Villy, ragu tapi terinspirasi, berjanji menemukan Kunci, meski ia tahu risikonya: Penutup kini menargetkan Pecinta Fajar juga.
Mimpi Iqbal semakin jelas. Villy melihatnya di kota terapung Dunia Mimpi, memegang kristal besar—Kunci. “Ini akan ungkap kebenaran,” kata Iqbal. Dunia Mimpi bukan sekadar visi; ia hidup, dengan hutan kristal yang bernyanyi, burung-burung cahaya yang terbang di langit fajar, dan arus energi yang menghubungkan setiap mimpi Fajar Bulan. Iqbal menunjukkan bahwa Kunci adalah jantung Dunia Mimpi, menyimpan kenangan harapan kota. Tapi Penutup mendekat. Di gudang tua, mereka menyerang Villy, Rafif, dan Pecinta Fajar. Rafif melawan, pisau curiannya berkilat, memberi Villy waktu kabur. “Jangan sia-siakan ini!” teriaknya, darah menetes.
Perlawanan Pecinta Fajar tumbuh. Di gang-gang, Villy melihat grafiti bercahaya: “Fajar untuk Kita.” Warga mulai menolak tidur di Kamar Mimpi, memicu kemarahan Aji Rama. Dari menara kristal tertinggi, Aji Rama, pria karismatik dengan mata tajam dan jubah perak, berpidato di layar holografik, suaranya halus namun mengancam. “Mimpi adalah harapan kita,” katanya, “tapi pemberontakan akan hancurkan fajar.” Villy, bersembunyi di pasar, merasa dadanya sesak. Aji Rama tahu tentang Kunci, dan Penutup kini memburu Pecinta Fajar dengan brutal, membakar gudang-gudang mereka.
Villy dan Rafif menyusup ke markas Pecinta Fajar di bawah sungai, terowongan tua yang dulu digunakan para pendiri kota. Pemimpin teknisi, wajahnya penuh bekas luka, menunjukkan alat curian dari Kamar Mimpi—kristal rusak yang membuktikan pengintai pemerintah. “Kau bawa Kunci, kami bawa rakyat,” katanya. Villy mengangguk, tapi ketakutan menyelimuti. Dunia Mimpi mulai meresap ke pikirannya, bahkan saat ia terjaga, dengan bayang-bayang burung cahaya dan suara hutan kristal. Ia takut menjadi bagian dari mimpi itu selamanya.
Malam itu, Villy menyusup ke Kamar Mimpi, diikuti beberapa Pecinta Fajar. Di ruang bawah tanah, ia menemukan Pintu Mimpi—lingkaran logam yang berdengung seperti detak harapan. Penutup, dipimpin oleh Randy, menunggu. “Aji Rama tahu kau datang,” kata Randy, mata mekanisnya berkilat. Pecinta Fajar bertarung, pedang cahaya mereka melawan senjata Penutup, tapi banyak yang jatuh. Villy memegang kristal terakhir Iqbal, tubuhnya meleleh saat ia mengaktifkan Pintu, masuk ke Dunia Mimpi.
Dunia Mimpi adalah simfoni cahaya dan suara. Ladang emas bergetar, hutan kristal bernyanyi dengan nada fajar, dan kota terapung mengambang di langit yang berputar-putar dengan awan emas. Burung-burung cahaya menari, setiap sayap membawa fragmen mimpi warga Fajar Bulan. Iqbal berdiri di tengah, nyata. “Kunci adalah jantung dunia ini,” katanya. “Ini akan ungkap bahwa Aji Rama mencuri harapan.” Villy harus memilih: sebarkan kebenaran, hancurkan Dunia Mimpi dan dirinya, atau hidup, tapi Fajar Bulan tetap terbelenggu. Ia menatap Iqbal, lalu hutan kristal yang hidup. “Aku bukan cuma mimpimu,” katanya. “Aku Villy.” Ia memecahkan Kunci, dan cahaya fajar membanjiri Dunia Mimpi, mengalir ke Fajar Bulan.
Villy terbangun di tepi Sungai Fajar. Kota bergetar—kristal mimpi hancur, layar holografik Aji Rama redup, dan Pecinta Fajar memimpin warga ke jalan, menuntut kebenaran. Villy bukan lagi Anak Mimpi. Ia manusia, tanpa kenangan Iqbal atau Dunia Mimpi. Rafif menemukannya, luka dibalut. “Kau bikin fajar baru,” katanya, tersenyum miring. Villy tertawa, meski tak tahu mengapa. Dadanya kosong, tapi bebas. Di langit, bintang-bintang Fajar Bulan berkedip, berbisik tentang harapan yang kembali, seperti fajar setelah malam panjang.
- Tamat