Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Anak Kidal
0
Suka
3,342
Dibaca

Ini bukan penyakit. Atau kesalahan. Ini hanya variasi manusia yang normal.

Bocah lelaki berusia 6 tahun itu duduk di depan mejanya di baris ketiga dari depan. Alis dan dahinya tampak berkerut. Sejenak ia akan berhenti menulis untuk melihat hasil tulisan yang baru dibuatnya. Tulisannya keriting, dengan hurup 'r'-nya yang terlalu miring, dan hurup 'u' seperti huruf 'a' yang patah. 

Anak itu menghela napas. Pelan, panjang. Ia menoleh pada teman sebangkunya, Doni. Tulisannya jauh lebih rapi daripada miliknya. Ia mulai mengedarkan pandang ke temannya yang lain, yang duduk di depannya, di depan sebelah kanannya, ke teman-temannya yang bahkan duduk di belakang. Semuanya sama. Semuanya menulis dengan tangan kanan mereka. 

Pipinya mengembung cemberut. Ia memutuskan untuk kembali menulis. Tapi tiap satu huruf yang coba ditulisnya kian terasa berat. Tangannya sudah pegal.

Raffi, bocah itu merasa ada yang salah. Mengapa ini lebih sulit dibanding cara yang waktu itu? Dengan agak ragu-ragu ia akhirnya memindahkan pensil berwarna hijau tua itu ke tangan kirinya. Genggamannya jadi terasa lebih nyaman. Ia pun kembali menulis lagi.

Bibir mungil bocah itu menunjukan senyuman kecil. Hasil tulisannya menjadi jauh lebih baik, dan yang jelas tidak keriting. Meski ia masih sering terbalik antara menulis huruf 'b' kecil dan 'd' kecil. 

Doni melihat apa yang dilakuan Raffi itu. Ia kebingungan, tapi kemudian tak mengatakan apa-apa dan kembali sibuk menyalin tulisan yang ada di papan tulis.

Bocah lain dengan gesturnya yang lincah tampak masuk ke kelas mereka. Ia adalah murid yang duduk di sebelah kanan belakang meja Raffi yang rupanya tadi izin pergi ke toilet.

"Iiiiihhhh, jorokkk. Bu Guruuuu, Raffi nulis pake tangan kiriii!" serunya tiba-tiba dengan suara yang cukup nyaring, melihat apa yang dilakukan Raffi. Hingga membuat terkejut seisi kelas, termasuk Raffi sendiri orang yang dibicarakan. 

Seluruh mata orang-orang di kelas kini mengarah hanya kepadanya.

*****

Sejak kapan ia mulai menulis dengan tangan kirinya? 

Raffi duduk tertunduk di ruang guru, hanya ada dirinya dan sang guru di sana. 

Bu Marni sengaja membawanya untuk bicara empat mata dengan anak itu. Dengan tenang, agar Raffi tak menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain.

Pertanyaan tadi saja sudah membuatnya sedikit tegang. Tapi bu Marni segera tersenyum menenangkan.

"Ibu cuma ingin tahu. Tidak marah. Sejak kapan kamu lebih nyaman menulis dengan tangan kiri?"

Raffi pelan-pelan mulai mengangkat kepalanya.

"Kemarin... di rumah..."

Sore hari saat dirinya belajar menulis di ruang tengah. Ibunya meninggalkannya belajar sendiri karena sibuk di dapur membuat camilan untuknya dan untuk sang ayah yang sebentar lagi pulang kerja. 

Tangannya yang sudah pegal kala itu tak sengaja menjatuhkan pensil ke bawah meja. Ia memungutnya dengan tangan kiri, dan merasa nyaman, pun penasaran. Saat itulah dirinya menulis untuk pertama kalinya dengan tangan yang tak biasa. Yang tak pernah diajarkan sebelumnya baik oleh ibunya atau bahkan gurunya di sekolah. 

"Mamanya Raffi tahu soal ini?"

Anak itu menggeleng pelan. 

"Ibu ngerti. Kamu bisa kembali ke kelas sekarang."

Raffi bangkit dari kursinya masih dengan kepala tertunduk. 

*****

Langkah anak lelaki itu berhenti tepat di depan kelas. Sudah terdengar suara gaduh di ruangan. Bu Marni yang berdiri di sampingnya menemani, memegang kedua pundak Raffi, mengajaknya untuk masuk ke dalam kelas. Raffi menurut. Begitu ia dan sang guru masuk, bunyi gaduh itu perlahan surut, berganti tatapan mata teman-temannya yang sudah kembali tertuju padanya. Tangan mungil bocah itu meremas celana pendek merah yang dikenakannya. Dengan alis yang kembali berkerut karena bingung pun malu.

***** 

Itu adalah minggu kelima sejak Raffi pertama kali mulai bersekolah di sana, sekolah dasar negeri di kota Bandung. Bila biasanya Raffi selalu ditemani ibunya ke sekolah, sayangnya tidak untuk hari itu. Ia diantarkan oleh ayahnya dengan motor sebelum pergi kerja karena searah dengan kantornya. Sementara ibunya akan menjemputnya sepulang sekolah nanti.

Sekitar jam 12 siang itu bu Amira tiba di sekolah. Ibu dari para siswa yang sekelas dengan Raffi sudah bergunjing di belakangnya. Tentang kabar Raffi yang bertangan kidal rupanya sudah menyebar luas ke para orang tua yang menunggu anak-anaknya di luar kelas. Bu Amira sadar sedang menjadi perhatian dan tampak kebingungan, sampai kemudian Bu Marni datang menghampirinya dan memintanya untuk bicara di ruang guru.

Keduanya duduk berhadapan dan berbicara dengan intens. Sementara Raffi duduk di kursi kosong lain tak terlalu jauh dari sana.

Tampak raut wajah bu Amira yang terkejut dan tak bisa berkata-kata.

"Jangan khawatir, kami dari pihak guru di sini akan dampingi."

Bu Amira menyesap bibirnya dan menoleh ke arah Raffi yang tampak duduk dengan murung.

Selesai dari kantor guru, beberapa orang tua dari murid yang sekelas dengan Raffi yang masih berada di lingkungan sekolah tampak memperhatikan. Tidak mencibir atau mengolok, tapi tetap saja terasa risih. 

Bu Amira menggenggam erat tangan Raffi dan tersenyum hangat pada putranya itu.

"Kita pulang sekarang, hmp!"

Raffi mengangkat kepalanya menoleh, tapi tak menjawab atau mengangguk, hanya kembali menundukan kepala.

Bu Mona bersama sang anak yang masih berada di sana dengan ramah menyapa begitu mereka berpapasan. 

"Wah, Bu Amira udah jemput?"

Bu Amira tampak tersenyum meski sedikit canggung.

Ibu dari Doni, teman sebangkunya itu, melirik Raffi dan berjongkok sedikit ke arahnya.

"Raffi kapan-kapan main yah, ke rumahnya Doni. Nanti ibu bikinin kue yang enak."

Raffi hanya tersenyum kecil dan mengangguk, tapi tatapannya jelas sedikit berbinar.

Bu Mona kembali menegakan badannya dan bicara pada bu Amira. 

"Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu (minta tolong)," bu Mona mengusap pelan bahu bu Amira yang seketika langsung dibalas dengan anggukan terima kasih.

*****  

Sampai di rumah, bu Amira tak bisa menanyakan pada Raffi bagaimana kegiatannya di sekolah hari ini. Semuanya sudah tergambar jelas di wajah anak itu. 

"Raffi mau makan apa siang ini?" bu Amira duduk berjongkok, tak menanyakan soal tangannya yang kidal atau apapun yang berkaitan dengannya. Belum. 

Ia hanya ingin Raffi yang murung menjadi sedikit lebih santai.

Tapi Raffi hanya menggeleng, padahal biasanya ia akan sangat bersemangat kalau ditanya soal makanan. 

Bu Amira merapikan poni yang menghalangi wajah Raffi yang tertunduk.

"Kalau gitu Mama bikinin telur gulung favoritnya Raffi, yah?" 

Ia mengusap lembut kepala Raffi dan kembali berdiri.

"Kamu ganti baju dulu, sana!"

Raffi pergi ke kamarnya dengan wajah muram. Sementara bu Amira hanya berdiri mematung di tempatnya.

*****

Raffi, anak lelaki itu makan masih dengan tangan kanannya, meski tak jarang ia menjatuhkan apa yang ada di sendok. 

Tatapan bu Amira yang melihatnya makan kali ini berbeda dari yang biasanya. Karena ia tahu kalau Raffi agak kesusahan memakai tangan kanannya.

Anak itu kembali ke kamar dengan menyisakan makanan di piring, padahal sebelumnya ia selalu menuruti perintah ibunya untuk tidak membuang-buang makanan sebagai bentuk rasa syukur. Ada banyak di luar sana anak yang kelaparan.

Tapi lagi-lagi tak seperti biasanya, ia tidak menegur, hanya bertanya dengan lembut, yang dijawab bocah itu dengan kalimat "sudah kenyang”. 

Helaan napas panjang keluar dari mulut wanita itu. Duduk di depan meja dengan makanannya yang juga belum habis, ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa tertekan.

Mungkin ia sudah gagal menjadi ibu, pikirnya.

*****

Ada sekitar 10-12% populasi dunia bertangan kidal. Sementara untuk di Indonesia sendiri lebih sedikit lagi. Hanya sekitar 3-4%. 

Bagaimana seorang anak kidal lahir dari kedua orang tua yang tidak kidal? bu Amira sungguh tak mengerti. Ia sempat mencari informasi di internet. Di layar ponselnya, ada berderet artikel dan forum diskusi terbuka.

Katanya, tangan dominan ditentukan oleh kombinasi genetik dan perkembangan otak sejak janin. 

Kidal bisa saja muncul meski orang tua —bahkan kakek neneknya— semua dominan tangan kanan. Beberapa menyebutnya 'trait yang bisa lompat generasi'. Ada juga yang bilang kalau ini cuma bagian dari keberagaman manusia.

Tapi tetap saja, hatinya belum tenang.

Di pinggir ranjang kamar, dengan wajahnya yang merah sembab, ia duduk berdua dengan sang suami, menceritakan semua yang terjadi di sekolah tadi siang.

"Waktu bu gurunya Raffi ngasih tau Mama soal ini, Mama bener-bener ngga tau harus jawab apa. Mama ngga tau apa-apa," wanita itu mengulum bibirnya sambil berusaha menahan tangis.

Pak Ridwan dengan tenang mengusap lengan istrinya. Belum berkomentar, tapi masih mendengarkan keluh kesah Bu Amira dengan saksama.

"Padahal dari dulu Raffi udah ngasih tanda-tanda, tangannya selalu refleks makan pake tangan kiri, tapi selalu Mama pindahin ke kanan," ia melanjutkan sembari mengusap matanya yang sedikit lembab.

"Itu bukan salahnya Mama. Emang bagusnya kaya gitu 'kan? Kalo itu Papa, Papa juga ngga akan sadar. Siapa yang nyangka kalo Raffi dominan kiri."

Bu Amira menyeka hidungnya yang juga agak basah, tapi kali ini bersama senyum kecil di bibirnya.

"Papa, makasih..."

"Hmp?" raut suaminya bertanya.

"Kalau suami lain pasti udah nyalahin istrinya karena ngga becus ngurus anak."

Pak Ridwan tersenyum bangga.

"Berarti kamu ngga salah 'kan, milih suami?" pak Ridwan menaik-turunkan alisnya menggoda.

Bu Amira langsung mendelik geli, tapi berikutnya tertawa kecil. Tidak membantah atau secara tidak langsung mengiyakan kepedean suaminya.

"Lagian, kalau anak senurut Raffi aja ibunya disalahin karena ngga becus ngurus anak, gimana jadinya tuh, ibu temennya yang ngeledekin anak kita itu?!" pak Ridwan bicara dengan gaya agak bersungut.

Bu Amira senyum tersentuh, tapi tak lama kemudian nyengir dan balik protes.

"Ssssttt! Siapa yang tau, dia mungkin juga susah payah ngurus dan ngebesarin anaknya itu. Kita ngga ngehakimin orang," bu Amira berusaha bijak. Karena dirinya tahu, sangat tidak mudah membesarkan seorang anak. Ia sudah mengalaminya sendiri.

"Yah, kamu mah Ma, jadi kaya Papa yang antagonis sekarang!" pak Ridwan memberengut, yang langsung mengundang tawa renyah dari bu Amira.

"Kalo ngga salah temen kantor Papa ada yang istrinya psikolog anak. Kalau mau, Mama bisa tanya-tanya, gimana?"

Bu Amira mengangguk setuju.

***** 

Bu Amira datang ke kamar putranya. Sudah jam 6 lebih tapi Raffi belum juga keluar kamar. Kadang anak itu memang susah untuk dibangunkan. Tapi karena peristiwa kemarin, perasaannya menjadi lebih khawatir.

Dilihatnya Raffi masih meringkuk di tempat tidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya sampai ke ujung kepala.

"Raffi, sayang, bangun yuk, nanti kamu telat ke sekolahnya," seru bu Amira, duduk di pinggir ranjang sambil mulai menurunkan selimut dengan tangannya. Tapi selimut itu tak bergeser, ulah dari tangan mungil Raffi yang menahannya. Sayangnya tenaga sang ibu lebih kuat. Begitu selimut terbuka Raffi langsung memalingkan badan membelakangi ibunya.

"Raffi ngantuk. Raffi mau tidur!" serunya saat itu.

"Bangun yuk, kan Raffi harus pergi ke sekolah," bujuk bu Amira.

"Raffi ngga mau sekolah!" suaranya jadi lebih nyaring.

"Sayaaang...." 

Bu Amira mulai bingung bagaimana harus membujuk.

"Nanti Raffi ketinggalan pelajaran loh."

"Raffi udah ketinggalan. Tulisannya Doni jauh lebih bagus daripada punya Raffi."

Bu Amira menyesap bibirnya, berpaling sebentar, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Tapi Mama denger tulisan tangan Raffi yang pake tangan kiri lebih rapi katanya."

"Raffi ngga mau sekolah!"

"Kenapa ngga mau sekolah, hmp? Ada yang nakal sama Raffi? Kasih tau Mama, nanti Mama nasehatin." 

Raffi tak menyahut lagi, hanya terus memalingkan wajahnya menjauh dari sang ibu. 

"Raffi, sayang, denger Mama ngga?! Raffi!" 

Bu Amira mencoba mengangkat badan Raffi untuk membuatnya bangun. Tubuh mungilnya tak kuasa melawan. Mata anak itu menatap wajah ibunya yang sedikit keras.

"Tulisan Raffi jelek!"

"Tapi tulisan tangan Raffi yang kiri 'kan lebih bagus."

"Raffi ngga mau sekolah! Semua temen-temen Raffi nulis pake tangan kanan. Cuma Raffi yang beda!" sebutnya dengan merengek pilu.

Bu Amira menahan napas sejenak, ada sesak yang seperti menyerang dadanya.

"Raffi ngga beda dari temen-temen Raffi yang lain. Raffi tuh cuma unik. Dan unik itu keren, ngga semua orang punya."

"Raffi ngga mau unik, Raffi cuman mau kaya temen-temen Raffi yang lain!"

Ucapan Raffi tadi entah bagaimana membuat mata bu Amira mengabur, mulai basah. Wanita itu mengusap matanya. Ia lalu memeluk erat tubuh Raffi. Menepuk lembut punggungnya berulang.

"Mama ngerti sayang... Mama ngerti...." bu Amira mengusap kepala anak itu, lalu menciumnya sambil menangis.

Di ambang pintu kamar yang terbuka itu, pak Ridwan berdiri menyaksikan dua orang yang paling dicintainya. Dengan tatapannya yang sendu. Ia masuk ke dalam kamar Raffi, berdiri di dekat istrinya, lalu mengusap lembut rambut bu Amira. 

Bu Amira menengadah menatap, pak Ridwan hanya mengangguk sambil memejamkan matanya sesaat, memberi support.

*****

Raffi pada akhirnya tak masuk sekolah. Meski begitu, ia tak merengek saat diajak ibunya untuk pergi ke suatu tempat. 

Kemarin malam ayahnya sudah membuat janji temu dengan istri teman kantornya yang seorang psikolog.

Mereka sampai sekitar jam 2 siang. Ruangan yang mereka masuki tak seperti ruang dokter biasa. Dindingnya berwarna biru lembut dengan gambar awan dan pelangi di salah satu sisi. Ada karpet berbentuk puzzle warna-warni di lantai, dan rak buku kecil di pojong ruangan yang dipenuhi dengan mainan edukatif.

Raffi duduk di sofa kecil berbentuk hewan sambil bermain mobil-mobilan, sementara ibunya sibuk berbicara dengan bu Wita, psikolog anak.

Setelah beberapa menit, Bu Wita duduk berjongkok mendekati Raffi.

"Raffi yah? Ini Tante Wita, temennya Mama Raffi. Raffi boleh cerita ngga... lebih suka nulis pake tangan mana?"

Raffi menatapnya sejenak, lalu dengan pelan menjawab.

"Kiri... Tapi di kelas semuanya pake tangan kanan."

"Hmm... Jadinya Raffi ngga mau sekolah?"

Anak itu tak menjawab lagi.

"Tante punya hal menarik. Raffi mau liat?"

Bu Wita kemudian menunjukan sebuah video dari tablet yang sudah dibawanya tadi.

"Raffi tau mereka siapa?"

Ditanya seperti itu, Raffi mulai fokus melihat ke video.

Isinya adalah kumpulan orang-orang bertangan kidal, termasuk atlet yang mudah dikenali anak-anak.

"Ini...." kata Raffi sambil menunjuk.

"Siapa?"

"Messi...."

"Pemain bola itu, yaa...? Raffi suka ngga?"

Anak itu mengangguk pelan.

"Sekarang coba Raffi liat, dia pake tangan mana?"

Mata kecil Raffi mulai membulat. Video menunjukan klip Messi yang sedang menanda tangani sebuah bola dengan tangan kirinya. 

"Tangan mana coba?"

"Ki...ri...." jawabnya meski agak ragu-ragu.

"Kaya Raffi, yah? Kok dia beda sama temen-temen Raffi yang lain?"

Bocah itu tak menjawab, masih sibuk melihat video-video lainnya dengan orang-orang yang menggunakan tangan kiri.

Bu Wita menyimpan tabletnya setelah video pendek itu selesai.

"Sini, kita duduk di bawah, yuk."

Bu Wita mengajak Raffi duduk di karpet puzzle, bersama Bu Amira yang menyusul duduk di sana.

"Raffi liat, orang-orang di video tadi beda sama temen-temen Raffi yang pake tangan kanan?"

Kali ini Raffi mengangguk lebih mantap.

"Katanya waktu kecil mereka juga beda sama temen-temennya. Tapi Raffi liat, mereka masih hebat 'kan? Dan yang paling penting, percaya di-ri. Percaya, kalau Raffi juga bisa!”

Raffi mulai mengangkat kepalanya, melihat mata orang yang berbicara padanya. 

"Pakai tangan kiri itu tidak salah. Tante denger dari Mamanya Raffi, Raffi makan masih pake tangan kanan, ya?"

Bocah itu mengangguk lagi.

"Berarti Raffi hebat, bisa pakai dua-duanya!"

Raffi langsung tersenyum malu. Bu Amira ikut tersenyum melihatnya.

"Tuh, Raffi dibilang hebat...." 

Bu Amira mengelus kepala putranya itu.

*****

Pagi itu suasana di kelas 1-B terasa berbeda. Tak seperti biasanya, papan tulis sudah ditempeli beberapa gambar wajah orang terkenal yang dicetak berwarna. Ada tokoh kartun, atlet, sampai gambar anak kecil menulis dengan tangan kiri.

Di atas gambar, ada tulisan besar, 'Hari Spesial: Semua Tangan Bisa Hebat'.

Bu Marni, guru sekaligus wali kelas Raffi yang dikenal sabar dan kreatif, berdiri di depan kelas sambil tersenyum cerah. 

Anak-anak mulai memperhatikan, termasuk Raffi yang sudah berani masuk sekolah lagi. Ia duduk di bangkunya dengan agak canggung tapi penasaran. Karena gambar-gambar itu mirip dengan wajah orang-orang di video yang pernah ditunjukan tante yang ditemuinya kemarin bersama ibunya.

"Anak-anak, hari ini kita belajar dengan cara yang berbeda, ya. Coba lihat ke papan. Ada yang tahu siapa saja orang-orang yang ada di papan?"

"Messi!" 

"Spider-Man!"

Banyak anak riuh menyebutkan. 

Bu Marni tersenyum sambil mengangguk.

"Benar semua! Nah, kalian tahu tidak? semua orang di gambar ini punya satu kesamaan."

Anak-anak saling menoleh, bingung.

Bu Marni melanjutkan, "Mereka semua... pakai tangan kiri!" 

Kelas mendadak sunyi. Beberapa anak melongo. Ada yang tertawa kecil, ada yang tampak tercengang. 

"Lionel Messi, dia memberi tanda tangan ke para penggemarnya dengan tangan kiri. Pemeran Spider-Man, Tom Holland namanya. Dia juga menulis, menggambar, pakai tangan kiri. Bahkan orang super pinter, Einstein, dia pakai kiri juga. Kalau di Indonesia ada Flandy Limpele, legenda bulu tangkis Indonesia yang prestasinya sudah mendunia."

Bu Marni lalu mengangkat dua gambar besar ke depan para muridnya. Gambar di tangan kanannya menunjukan gambar anak yang menulis dengan tangan kanan, dan gambar satunya lagi menunjukan gambar anak yang menulis dengan tangan kiri.

"Sekarang coba semuanya... gambar di udara pakai tangan kiri dulu, yuk!"

Anak-anak mulai bergerak lucu. Ada yang kaku, ada yang kesulitan. Mereka tertawa-tawa.

"Sekarang ganti pakai tangan kanan... Lebih susah apa lebih mudah?"

"Lebih mudaaahh!"

"Mending yang kanan!"

"Yang kiri susah, Bu!" jawab anak-anak itu.

Bu Marni mengangguk.

"Nah... bagi sebagian orang, yang kiri justru lebih mudah untuk mereka. Dan itu... tidak sa-lah!" Bu Marni membuat kalimat penekanan di akhir.

"Seperti kalian, lebih suka es krim coklat atau strawberry? Tidak ada yang lebih benar."

Bu Marni menerawangkan matanya. Termasuk melihat ke arah Raffi.

"Dulu Ibu juga punya temen yang pake tangan kiri. Anaknya kreatif! Kalian punya temen yang pake tangan kiri juga ngga di sini?"

"Raffi!" teriak beberapa anak serentak sambil tertawa, tapi kali ini bukan mengejek, tapi bersahabat.

Raffi tersenyum malu.

Beberapa orang tua murid di luar kelas turut menyaksikan, termasuk bu Amira. Ia tersenyum melihat putranya yang kini mulai ceria lagi.

Ia sungguh-sungguh bersyukur, karena Raffi memiliki guru yang begitu suportif. 

Bila dibandingkan dengan zaman dulu, anak kidal lebih sulit untuk diterima. Bahkan ada kondisi dimana anak kidal dipaksa untuk menggunakan tangan kanannya. 

Bu Amira bersyukur zaman telah berubah, dimana informasi lebih mudah untuk diakses. Hingga anak-anak seperti Raffi tidak lagi perlu dipaksa menjadi orang lain.

***** 

Sebuah papan triplek besar berlapis kain biru tua dengan hiasan pita di sekelilingnya sudah terpajang rapi di dinding sebelah kiri lorong kelas.

Tertulis sebuah pengumuman 'Pemenang Lomba Menggambar Kelas 1 & 2'.

Gambar-gambar para juara terpajang di sana, mulai dari juara satu sampai juara tiga, dan 3 gambar di bawahnya bertanda 'juara harapan'.  

Salah satu yang paling mencolok adalah gambar seorang anak laki-laki yang tampak sedang menggambar di atas meja dengan tangan kirinya. 

Nama yang tertulis di bagian pojok bawah sebelah kiri kertas : Raffi Alif Ilham, kelas 1-B.

.....

Beberapa crayon berwarna gelap masih tersimpan rapi di tempatnya, di kotak putih panjang yang tutupnya terbuka, sebagian yang lain yang berwarna lebih cerah berserakan di atas meja.

Raffi membungkukan badan, menyandarkan dagunya di atas kertas gambar pesawat yang sedang ia warnai biru, sementara wajahnya terlihat cemberut.

Bu Amira menghampirinya dengan kedua tangan yang sama-sama membawa potongan puding coklat di pisin.

"Kenapa sayang? Di lomba besok udah tau mau gambar apa?" tanya bu Amira sambil menaruh dua puding itu di sisi meja yang kosong.

Raffi menggeleng tanpa menatap ibunya.

Bu Amira lalu duduk di sebelah kursi Raffi.

"Gambar aja apa yang Raffi suka."

Mulut bocah itu malah kian mengerucut. 

"Nih, yang ini bagus," seru bu Amira, mengambil salah satu gambar di meja berupa dinausaurus berwarna hijau.

Raffi masih tak merespon. Wajah murungnya membuat bu Amira turut menguras otak.

"Hmm... Gimana kalau ngegambar diri Raffi sendiri, yang pake tangan kiri?"

Kali ini Raffi mengangkat kepalanya menoleh pada sang ibu.

Ia terdiam sebentar, tak lama kemudian tersenyum.

"Hmp!" katanya mengangguk mantap.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
PELANGI TANPA WARNA
Mahfrizha Kifani
Novel
Benih Terlarang
Iis Susanti
Skrip Film
Misi Kafe Biru
Nadia Seassi
Skrip Film
SENI BERTAJUK CINTA
Safar Anggi
Skrip Film
Titik, kemewahan sederhana.
Delpiariska
Skrip Film
DEADLINE
Mahfrizha Kifani
Cerpen
Lukisan Terakhir
Hasan Faizal
Cerpen
Bronze
Hal yang Selalu Dipikirkan Siswa adalah Pulang
Ron Nee Soo
Cerpen
Anak Kidal
Chie Kudo
Novel
Gold
Northanger Abbey
Noura Publishing
Novel
Selamat Tinggal, Dunia.
Rika Kurnia
Skrip Film
Remuk
Rere Valencia
Flash
Koran Pagi
Sugiadi Azhar
Flash
Daun Kelor
Choirunisa Ismia
Flash
Bronze
Taman Sore
eko s
Rekomendasi
Cerpen
Anak Kidal
Chie Kudo
Cerpen
Bronze
Nil Desperandum
Chie Kudo
Cerpen
Duo Wijaya
Chie Kudo
Flash
Diari SSRKJSM
Chie Kudo
Cerpen
Alexithymia
Chie Kudo
Cerpen
Berbagi Ibu
Chie Kudo
Cerpen
Love All ; The Tree You Lean Against
Chie Kudo
Cerpen
Bronze
Satu Paket Cinta yang Tak Pernah Kedaluwarsa
Chie Kudo
Skrip Film
Free!
Chie Kudo
Flash
Maaf pada Bapak
Chie Kudo
Flash
Drama Korea vs Sinetron Indonesia
Chie Kudo
Cerpen
Permainan Kematian
Chie Kudo
Flash
Mengeja Angka
Chie Kudo