Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suami Marni, Ali, tewas tenggelam saat hendak mencari papan kayu di tengah hutan bersama tetangganya. Ali tak menyadari banjir bandang tiba-tiba menggulungnya saat memikul beberapa potongan kayu. Hatta tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya mampu mendengar suara Ali meminta tolong saat hanyut terbawa arus.
Hatta berhasil selamat setelah tangannya mampu meraih sebuah batang kayu besar yang membawanya hingga mencapai daratan. Dia pun berlari, dan dalam kondisi tersengal-sengal, Hatta menghampiri Marni yang sedang menumbuk beras untuk dijadikan tepung di kolong rumahnya.
“Ali, Ali, Ali…..” Hatta masih sulit mengatur napas.
“Kenapa Ali? Mana Bapaknya Aco? Kenapa pulang sendiri? Mana Ali?” Marni menyerang pertanyaan Hatta.
“Ali tenggelam. Terbawa banjir” kata Hatta.
Marni pun menangis histeris. Kampung Mualaf menjadi heboh. Ibu-ibu yang saat itu rata-rata tengah tidur siang, terbelalak. Suami-suami mereka yang masih kebanyakan di kebun, juga tak kalah kagetnya. Mereka pun berlarian ke rumah Marni.
Bersepakatlah para bapak-bapaknya untuk mencari jenazah Ali. Kondisi banjir bandang cukup menyulitkan warga menemukan jasad Ali. Dua hari kemudian, setelah banjir surut, jasad Ali ditemukan tersangkut di bebatuan bersama dengan tumpukan potongan kayu.
Marni seakan tak percaya suaminya telah tiada untuk selamanya. Dia terus mengelus kepala Aco, putra semata wayangnya. Marni tak tahu menahu bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup sepeninggal suaminya. Saat suaminya masih hidup pun, kehidupannya serba sulit. Tak ada sumber penghasilan yang jelas.
Sejak memutuskan masuk Islam dan meninggalkan aliran kepercayaan nenek moyang mereka, sekitar 30 kepala keluarga mendirikan perkampungan di tepi bantaran sungai itu. Belakangan, sebuah lembaga kemanusiaan dari Kota Makassar, menamai perkampungan itu dengan sebutan Kampung Mualaf.
Sore itu, Aco bersama dengan sejumlah teman-teman sebayanya belajar mengaji di sebuah masjid darurat yang dibangun komunitas relawan. Beratapkan daun rumbia, berdinding dari belahan kulit kayu, dan beralaskan tanah yang dilapisi tikar plastik, Sidiq tampak begitu bersemangat mengajar para anak-anak Kampung Mualaf itu.
Sidiq sosok pemuda yang tadinya hanya sekadar datang ingin melihat kondisi Kampung Mualaf setelah viral di media sosial, namun ia terenyuh melihat dan merasakan kehidupan warga setempat. Dia pun rela tinggal membina di perkampungan itu. Tak hanya mengajar anak-anak, Sidiq juga rutin mengajarkan pendidikan agama kepada warga Kampung Mualaf.
Suatu malam, Kampung Mualaf dilanda hujan lebat disertai angin yang bertiup cukup kencang. Sidiq yang terjaga, langsung berlari ke arah pintu rumah panggung. “Ya Allah, banjir,”. Seketika Sidiq meraih mantel di belakang pintu dan segera berlari menembus derasnya hujan ke rumah-rumah warga, menggedor-gedor pintu mereka, dan mengabarkan banjir merendam Kampung Mualaf. Sidiq khawatir volume air semakin bertambah. Apalagi arusnya cukup deras.
Sidiq kaget saat tiba di samping tangga rumah panggung Marni. Ia melihat sosok perempuan duduk di kursi kayu sambil meracau. Petir menggelegar. Hujan tak kunjung reda. Terdengar suara tangis Aco mencari ibunya. Sidiq memberanikan diri menaiki tangga. Dengan langkah yang cukup hati-hati, ia mendekati perempuan itu. "Ternyata Ibu Marni. Ibu kenapa?" tanya Sidiq. Tak ada jawaban. Dengan tatapan nanar, Marni terus saja meracau tidak karuan. "Astagfirullah. Ibu Marni kesurupan," gumam Sidiq.
Tanpa pikir panjang, Sidiq langsung membacakan ayat-ayat Alqur'an. Marni mulai meronta-ronta. Aco keluar dari dalam kelambu tempat tidurnya. Ia pun takut melihat ibunya. Hujan mulai agak reda. Denting suara jam yang tertempel di dinding rumah Mirna sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Benar saja, air sudah merendam sampai ke anak tangga kedua rumah Mirna.
Sidiq terus saja membacakan ayat-ayat ruqyah. Mirna yang tadinya hendak menyerang Sidiq, akhirnya terkulai lemas dan terjatuh ke lantai papan. Selang beberapa menit, ia pun siuman. Segera Sidiq mengajaknya ke atas masjid. Dengan sigap, tanpa banyak bertanya apa yang terjadi barusan, Mirna langsung merangkul Aco dan menggendongnya menuruni anak tangga. Berlari menuju ke masjid.
Di masjid telah berkumpul sejumlah warga. "Amri masih di rumah, Pak Sidiq," kata Marda, yang sudah dalam kondisi basah kuyup akibat banjir di rumahnya sudah sampai di lantai.
Segera Sidiq melompat, melewati air yang sudah menggenangi seluruh areal Kampung Mualaf. Amri, bocah 8 tahun itu, menangis tersedu-sedu. Saat Sidiq tiba, didapatinya Amri masih berbaring di atas kasur yang sudah kebasahan.
"Ayo, cepat, dek, naik ke punggung kakak," ajak Sidiq, yang kemudian bergegas meninggalkan lokasi rumah yang hanya sepelemparan batu ke mulut sungai.
Waktu shalat Subuh sudah masuk, tanpa dikomandoi, Aco langsung bangkit dan mengumandangkan adzan. Suaranya sangat merdu melafazkan adzan yang telah diajarkan Sidiq selama beberapa hari. Usai shalat Subuh berjamaah, Sidiq menyampaikan pesan-pesan penguat rohani.
Mentari muncul di sela pepohonan. Air yang sudah surut meninggalkan tanah becek di kolong rumah. Warga pun kembali ke rumah masing-masing. Pagi yang sejuk itu masih diiringi dengan gerimis kecil. Suara kokok ayam jago milik Pak Tahang, sesepuh di Kampung Mualaf itu, memecah keheningan pagi.
Dalam setahun ini, sudah lima kali banjir merendam Kampung Mualaf. Tak banyak yang bisa diperbuat warga. Apalagi lokasi itu hanya pemberian dari pihak desa setempat. Untuk membangun rumah panggung mereka, warga hanya mengharapkan sumbangan.
Tidak jauh dari Kampung Mualaf, sebuah desa yang penduduknya lumayan ramai. Hilir mudik pengendara motor menyeberangi sebuah jembatan yang membelah sungai. Siang itu, Sidiq tak mengajar anak-anak Kampung Mualaf. Dia berencana ke kampung sebelah. Sepeda motor Hatta ia pinjam. Tujuannya ke rumah Pak Karma, ketua RW di kampung itu.
"Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Selamat siang, Pak Karma." kata Sidiq setiba di halaman rumah Pak Karma. "Wa'alaikummussalam warahmatullah wabarakatuh. Siang, Pak Sidiq. Mari masuk," sambutan hangat dari Pak Karma sambil membetulkan kancing bajunya. Sarung melilit di pinggang.
"Lama baru ke rumah lagi ini. Bagaimana kabar warga di Kampung Mualaf?" tanya Pak Karma sambil bersalaman dengan Sidiq. "Alhamdulillah, sehat-sehat semua, Pak,".
Sidiq memulai pembicaraan. Ditemani segelas teh hangat dan kue apang panas, penganan khas warga setempat, Sidiq menyampaikan usulan agar warga Kampung Mualaf direlokasi ke wilayah yang posisinya agak tinggi. "Dalam setahun ini, Pak Karma, sudah lima kali Kampung Mualaf kebanjiran. Kasihan warga," tutur Sidiq disambut gelengan kepala Pak Karma.
Pak Karma berjanji akan membawa usulan Sidiq itu ke rapat desa yang kebetulan akan diadakan setelah Dzuhur di kantor desa. "Tunggu saja kabar dari saya. Semoga Pak Desa bisa memberikan solusi,".
Kampung Mualaf kedatangan rombongan relawan dari Jawa Barat. Berjumlah lima orang. Tiga di antaranya perempuan muda. Nun jauh datang dari Tanah Pasundan, terbang ke Pulau Sulawesi, setelah membaca berita yang viral di media sosial tentang Kampung Mualaf.
"Kami ikut sedih saat membaca berita mengenai bapak Aco, warga kampung mualaf, yang meninggal karena tenggelam itu, beserta dengan kisah anaknya, Aco, makanya kami ke sini setelah lembaga kami menugasi," kata Maya, gadis berkerudung hijau tosca dengan rompi bertuliskan Relawan Hati Bening.