Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berlari.
Dan terus saja berlari.
Di tengah malam yang menggigil, di antara bayang-bayang yang tak pernah punya wajah,
tubuhku yang kecil dan ringkih hanya menggantungkan hidup pada langkah yang terseret,
pada desir napas yang nyaris punah.
Aku bukan sedang berlari menuju sesuatu.
Aku berlari dari sesuatu.
Dari gemuruh yang tak lagi memperdulikan nama, dari ledakan yang tak pernah bertanya siapa yang akan menjadi berikutnya.
Nafasku tercekat. Dadaku sesak. Tapi tak ada ruang untuk berhenti—sebab berhenti,
dalam kamus tanah ini, berarti mengundang maut untuk menyapamu lebih cepat.
Aku tidak sendiri.
Ada puluhan. Ratusan. Bahkan ribuan tubuh manusia yang sama laparnya, sama takutnya, sama hancurnya.
Kami berlarian bersama, seperti potongan-potongan masa depan yang dilepaskan dari langit dan dibiarkan pecah membentur bumi.
Beberapa di antara mereka menangis.
Beberapa menggenggam tangan ibunya erat-erat, seolah peluru akan berubah haluan karena sentuhan kasih.
Tapi aku?
Aku sendirian.
Ayah dan ibuku sudah lama dijadikan debu oleh tanah ini—tanah yang katanya suci, tapi penuh darah.
Tanah yang diperebutkan oleh orang-orang yang merasa paling benar, tapi lupa bertanya pada kami yang lahir dan tumbuh di sini:
"Bolehkah kami tetap hidup?"
Ledakan demi ledakan menggema, seperti azan kiamat yang tak pernah selesai berkumandang.
Langit memekikkan amarah.
Malam dipaksa menelan dentuman, dan kami dipaksa menelan ketakutan.
Kami tidak pernah diminta menulis sejarah. Tapi kami dipaksa menjadi kalimat terakhirnya.
Siang hari adalah pertarungan memperebutkan sisa roti dari dapur darurat yang aromanya lebih menyayat ketimbang mengenyangkan.
Malam hari?
Perjudian nyawa.
Ronde tak berkesudahan melawan nasib yang sudah lama angkat tangan.
Apa salah kami?
Apa dosa kami?
Kami hanya anak-anak yang ingin hidup.
Tapi dunia seperti kehilangan pendengarannya.
Doa kami memantul. Suara bom lebih dulu menjawab.
Rumah-rumah runtuh seperti harapan yang kelelahan dibangun.
Tangisku sudah kering, tapi luka-luka baru terus disematkan seperti kurikulum wajib dari neraka.
Seharusnya aku hafal perkalian, bukan suara senapan.
Seharusnya aku bermain kejar-kejaran, bukan lari dari ledakan.
Seharusnya aku mengenang pelukan orang tuaku, bukan mengenang jenazah mereka.
Yang kupelajari setiap hari adalah cemas, takut, dan kehilangan.
Inilah pelajaran pertama dan terakhir bagi anak-anak di tanah konflik.
Tak ada taman.
Tak ada pelukan.
Hanya puing dan pasrah yang berserakan di sudut-sudut rumah yang tak sempat dibangun sepenuhnya.
Dan ketika malam datang lagi tanpa janji akan pagi,
ketika suara itu kembali—lebih dekat, lebih keras, lebih ingin membunuh,
aku tersungkur.
Aku menoleh.
Kulihat cahaya dari langit menari, bukan untuk menuntun, tapi untuk membakar.
"Maaf," bisikku pada malam yang terlalu dingin untuk mengerti,
"mungkin kisahku cukup sampai di sini. Aku lelah dipaksa bertahan. Aku ingin pulang. Ke ayah. Ke ibu. Ke tempat yang akhirnya bisa disebut keluarga."
Ledakan.
.
Gelap.
.
Hening.
.
Lalu…
.
Aku terbangun.
Keringat dingin menetes di pelipis. Napasku tersengal. Selimut basah oleh ketakutan yang masih tersisa.
Aku duduk terpaku.
Dan di detik itu, aku sadar:
Aku benar-benar merasakannya.
Seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya.
Jeritan orang yang tak sempat berdoa sebelum maut menghantam.
Tubuh-tubuh kecil yang berlarian bukan untuk bermain, tapi untuk bertahan hidup.
Aku melihat semuanya.
Aku berada di sana.
Aku menjadi mereka.
Di dalam mimpi yang sepedih itu, aku ikut menahan lapar, menahan nyawa, menahan dunia yang tak adil.
Dan pikiranku berbisik pelan, seperti serapah yang tidak ingin didengar siapa-siapa:
Kalau mimpi ini saja sudah semenyakitkan ini... bagaimana rasanya bagi mereka yang benar-benar hidup di dalamnya?
Bagi mereka, tidak ada kata “terbangun.”
Tidak ada kata “akhir.”
Karena mimpi buruk itu adalah kenyataan mereka—panjang, kejam, dan berlangsung setiap hari.
Aku menggigil.
Bukan karena mimpi.
Tapi karena dunia nyata... yang ternyata lebih kejam dari mimpi yang baru saja kutinggalkan.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya pada diriku sendiri:
Apa artinya menjadi manusia... jika hanya bisa melihat, tapi tak merasa?
Apa gunanya bangun, kalau hati kita tetap tertidur?
Epilog
Malam itu, setelah mimpi panjang yang lebih menyerupai mimpi buruk, aku duduk termenung di pojok ranjang.
Lampu kamar menyala pucat, seperti enggan ikut campur dalam segala kekacauan pikiranku.
Dinding-dinding kamar ini terlalu sunyi untuk menampung gelombang tanya yang membentur di kepala.
Di luar jendela, kehidupan berjalan biasa saja.
Motor-motor lewat tanpa beban, orang-orang menguap di halte bus, warung-warung kopi tetap menyajikan gelas demi gelas tanpa peduli siapa yang hari ini kehilangan anaknya di tanah jauh sana.
Berita di televisi tetap membaca angka-angka korban dengan nada datar, seolah nyawa cuma lembaran yang bisa digulung dan disimpan di arsip pagi ini, lalu dilupakan besok pagi.
Dan aku... aku masih duduk di sini.
Bertanya-tanya: apa cukup hanya dengan iba?
Apa cukup hanya dengan bilang "kasihan"?
Apa cukup dengan sekadar menutup mata, berharap mimpi seperti itu tak datang lagi?
Sialnya, sebagian besar dari kami justru bangga dengan kemampuan paling murahan itu: kemampuan melupakan.
Kita begitu pandai menutup mata, menutup telinga, menutup hati.
Karena peduli... itu mahal. Dan kenyataannya, kita sudah lama hidup di tengah diskon besar-besaran soal kemanusiaan.
Malam itu aku belajar satu hal yang paling berharga: ternyata mimpi pun bisa menjadi guru yang kejam.
Ia menyeretku ke tanah asing, memaksaku mencicipi ketakutan, kehilangan, dan rasa lapar tanpa jeda.
Lalu mengembalikan tubuhku ke kasur empuk ini... dengan satu bekas luka baru di kepala: rasa malu.
Malu karena terlalu sering merasa cukup hanya dengan sedih sesaat.
Malu karena terlalu sering merasa sudah peduli hanya dengan mengetik doa di kolom komentar.
Dan lebih malu lagi... karena besok pagi, aku mungkin akan kembali lupa.
Tapi sebelum itu terjadi... biarkan aku menulis ini.
Untuk mereka yang tak pernah punya pilihan selain bertahan.
Untuk mereka yang tidak pernah diberi jeda untuk menangis.
Untuk anak-anak yang terlahir di tanah yang terus dijarah oleh ego dan senjata.
Dan untuk diriku sendiri... yang semestinya bisa lebih manusia... dari sekadar penonton di balik layar kaca.