Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
• Anan - Si Anak Bernasib Malang
Tahun 2003, di sebuah desa terpelosok Banten yang masih dikelilingi hutan tua, hiduplah seorang anak bernama Anan, berusia delapan tahun. Ia memiliki penyakit kulit aneh sejak bayi, luka terbuka pada kulit yang sulit sembuh, dapat mengeluarkan nanah atau darah, dan kadang mengeluarkan bau getir. Biasa disebut penyakit borok atau ulkus kulit.
Tidak ada satu pun orang di kampung itu yang tidak mengenal Anan. Bukan karena prestasi, bukan karena kebaikan. Tapi karena rasa jijik dan gosip murahan yang turun-temurun menyertai hidupnya.
“Jangan dekat-dekat sama si Anan, nanti ketularan!” kata ibu-ibu di warung.
“Anak haram itu. Ibunya dulu sama si Dudung, penggembala kambing, terus sama yang lain lagi… enggak ada yang tahu bapaknya siapa,” ujar bapak-bapak di pos ronda.
Teman-teman seusianya selalu memanggilnya dengan ejekan.
“Si Borok!”
“Jangan sentuh aku, nanti kulitku ikut rontok!”
Anan selalu pulang dengan mata merah, menahan tangis. Tapi ia sudah terbiasa. Ia pikir dunia memang diciptakan untuk menyakitinya sejak ia muncul ke alam dunia.
• Sang Paman dan Bibi yang Mulai Goyah
Sejak umur satu tahun, Anan dititipkan kepada pamannya, Idin, dan bibinya, Iroh. Ibunya pergi ke Arab Saudi sebagai TKW dan tak pernah kembali, tak pernah memberi kabar. Masyarakat berspekulasi bahwa ibu Anan sudah mati, dikubur entah di mana. Idin dan Iroh hanya bisa mengangguk ketika orang-orang bertanya, mereka pun tak tahu kebenarannya.
Walaupun Idin dan Iroh menyayangi Anan, tekanan sosial lambat laun membuat hati mereka retak. Setiap keluar rumah, mereka mendengar bisikan, cibiran, dan fitnah.
“Mau-maunya kalian ngerawat anak seperti itu? Nanti rumah kalian dikutuk!”
“Kalian pasti tahu bapaknya siapa, kan? Makanya kalian bela!”
Malam-malam, ketika Anan tidur, Iroh sering menangis diam-diam. Idin hanya bisa memeluk istrinya.
“Kita sabar, Roh… Anan enggak salah apa-apa.”
“Tapi… tiap hari orang ngomongin kita, Kang… Seakan-akan kita kaya lagi pelihara setan.”
"Astaghfirullah, Roh. Pamali jangan ngomong gitu!"
Makin hari, tekanan itu menumpuk. Namun Idin tetap teguh menjaga keponakannya.
Ia seorang muadzin, pembaca Al-Quran yang merdu, dan dihormati sebagian warga yang masih berakal sehat. Mereka sudah membawa Anan ke dokter kulit, dukun terkenal, kyai kampung, namun penyakit itu tidak pernah pergi.
“Kenapa aku dilahirkan seperti ini, Ya Allah?” tanya Anan suatu malam dengan suara parau.
Idin mengusap kepalanya. “Nanti Allah tunjukkan jalan terbaik, Nak.”
Tapi Anan belum bisa mempercayai janji-janji-Nya.
• Sebuah Bisikan
Di belakang rumah Idin dan Iroh, ada sumur tua peninggalan zaman kolonial. Kedalamannya lebih dari 20 meter, airnya hitam, jarang digunakan.
Sejak beberapa minggu terakhir, Anan sering memandang sumur itu lama sekali. Bukan karena penasaran. Tapi karena ada bisikan. Suaranya selalu berubah-ubah, kadang anak kecil, kadang laki-laki dewasa, kadang juga perempuan, lembut tetapi tajam.
“Anan… sini…”
“Di sini enggak bakal ada yang mengejek kamu lagi…”
“Masuk saja… Disini kami akan menjadi teman kamu…”
Awalnya Anan mengira ia hanya berhalusinasi. Tetapi tiap malam suara itu makin keras, makin memaksa, seperti mencengkeram kepalanya.
Suatu malam, setelah di sekolah ia dipukul, ditendang, dan bajunya dibakar oleh empat anak nakal, Anan pulang dengan tubuh memar dan hati hancur yang sangat hancur.
Ia berdiri di pinggir sumur.
“Ya Allah kalau aku masuk… semua ini akan berakhir,” gumamnya.
Bisikan itu kembali terdengar.
“Benar, Nan… di bawah sini kamu akan tenang… kamu enggak akan ketemu mereka lagi.”
Anan menangis keras. Tetapi tubuhnya bergerak sendiri, seperti ada tangan tak terlihat mendorongnya. Ia berteriak memanggil pamannya, namun suaranya tersedot oleh angin malam.
Dengan satu hentakan takdir yang pahit, Anan terjun ke dalam sumur itu.
Tubuh kecilnya menghantam air hitam. Tidak ada kesempatan untuk menjerit lagi.
Dan dunia kehilangan salah satu anak paling malang yang pernah dilahirkan.
• Tuduhan, Fitnah dan Dendam
Pagi itu, kampung geger.
“Anak itu dibunuh!”
“Pasti pamannya yang buang si Anan!”
“Mereka bosan rawat si anak haram itu!”
Idin dan Iroh ditahan. Diperiksa. Ditanya berkali-kali. Tetapi bukti menunjukkan: Anan melompat ke sumur tua itu dengan keinginannya sendiri.
Kepolisian bahkan memanggil forensik Provinsi. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Tidak ada jejak paksaan.
Walau begitu, lidah-lidah desa tidak akan diam begitu saja.
Idin dan Iroh dihina, difitnah, icemooh habis-habisan. Padahal mereka yang paling hancur hatinya."
Malam setelah Idin bebas dari pemeriksaan, ia sujud lama sekali. Ia menangis sampai suaranya habis.
“Ya Allah… kenapa Engkau biarkan anak ini menderita bahkan sampai mati? Seberat inikah ujian dan musibah yang kau berikan kepada keluargaku?”
Di sampingnya, Iroh memeluk foto Anan yang masih basah oleh air mata.
“Kang… aku enggak kuat lagi…”
"Jangan begitu, Roh!"
Di hari ketujuh setelah kematian Anan, hari yang disebut masyarakat sebagai malam arwah, Idin membuat keputusan paling kelam dalam hidupnya.
• Ritual Di Curug Siuh
Ada satu goa tua di dalam hutan, dikenal sebagai Curug Siuh. Konon goa itu tempat para dukun dan sesepuh zaman dulu bersemadi.
Idin dan Iroh, yang selama ini teguh beragama, akhirnya kalah oleh rasa sakit hati dan dendam.
Mereka membawa sesajen: kemenyan, minyak misik, darah ayam, dan pakaian terakhir milik Anan.
Mereka membaca mantra yang didapat dari seorang dukun tua yang pernah mengobati Anan.
“Kalau kalian mau balas dendam,” kata sang dukun, “panggil saja penunggu Curug itu. Namanya Ki Buyut Hideung. Dia bisa bentuk diri jadi siapa pun… bahkan.... jadi seperti ponakan kalian.”
Di dalam goa yang gelap dan lembap itu, Idin dan Iroh duduk bersila.
“Sampura sun Ki Buyut, kami hayang balas dendam…pang balaskeun dendam kami jeung si Anan kanu tos nganyerikeun hate kami…” - "Sampura sun Ki Buyut, kami ingin balas dendam...tolong balaskan dendam kami dan juga Anan kepada yang telah menyakiti hati kami..."
“Hadir, Ki....!"
Kegelapan di sudut goa mulai bergerak. Suaranya seperti air menetes, tetapi berat dan terdistorsi.
Lalu, dari kegelapan itu muncul sesosok kecil, rendah, kurus, kulitnya pucat kebiruan. Wajahnya… benar-benar mirip Anan, tetapi matanya gelap pekat tanpa putih.
Iroh menjerit kecil. Idin gemetar.
“A… Anan?”
Sosok itu tidak berkedip.
"Aing lain Anan." - “Aku bukan Anan,” katanya dengan suara datar.
"Aing datang ti parentah daria." - “Aku datang dari perintah kalian.”
Sosok itu tersenyum tipis.
"Aing bakal ngalakukeun amar ti daria." - “Aku akan mengikuti amar (perintah) dari kalian.”
Ritual pun berjalan dengan sempurna. Dan dari malam itu juga, teror telah dimulai.
• Korban Ke 1 dan Ke 2
Anak Amar bergerak tanpa suara, tanpa jejak. Seperti asap, menjadi bayangan. Dan menjadi apa yang tidak terlihat oleh mata.
Korban pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Ubay, salah satu yang dulu paling sering menendang Anan. Pada Jum'at siang, Ubay ditemukan tewas di kandang kambing. Tubuhnya patah seperti diterkam hewan, tapi tidak ada tanda gigitan. Tubuhnya terlihat membiru.
Korban kedua, Hasan, ditemukan mengambang di irigasi. Kepalanya tenggelam kuat seakan ada tangan yang menahan. Tanpa luka lain. Di pipinya ada bekas telapak kecil.
Seluruh warga di kampung itu ketakutan. Namun tidak ada yang mencurigai makhluk gaib. Mereka hanya menuduh satu sama lain.
Sementara itu, Idin dan Iroh… mulai menyesal.
Mereka tidak menyangka Anak Amar bisa sekejam itu dan benar-benar membunuh anak-anak yang telah menyakiti Anan, baik secara fisik maupun mental.
“Ya Allah… apa yang telah kami lakukan?” bisik Iroh.
Idin hanya diam. Setiap hari mereka merasa seperti ada mata yang memperhatikan mereka dari pojok rumah yang gelap.
• Peringatan Dari Sang Kiyai
Kabar teror itu sampai ke telinga Kiyai Mustaqim, ulama tua yang disegani. Satu waktu beliau mendatangi rumah Idin.
“Din… Iroh… saya tahu apa yang sudah kalian lakukan.”
Mereka berdua terkejut setengah mati.
Kiyai Mustaqim duduk sambil menatap mereka dengan tajam.
“Kalian telah memanggil sesuatu dari dunia gelap. Sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Itu bukan arwah Anan. Itu setan. Ia hanya menyamar sebagai wajah Anan agar kalian percaya.”
Iroh langsung menangis tersedu.
“Kami cuma ingin orang-orang merasakan sakit yang sama seperti Anan, Kiyai…”
“Astagfirullah. Sakit dibalas sakit tidak akan pernah selesai,” jawab sang Kiyai. “Kalian harus hentikan perjanjian itu sekarang juga.”
“Terus bagaimana, Kiyai?”
Kiyai Mustaqim menatap mereka dengan sorot berat.
“Makhluk itu sudah punya kekuatan sendiri. Ia tidak lagi mengikuti kalian. Kalian bilang perjanjian pertama kalian ingin membunuh lima anak, itu harus ia tuntaskan. Kalian sudah menyerahkan ikatan yang tampaknya tidak bisa diputus.”
Idin merasa lututnya melemah. Iroh pingsan seketika.
• Tiga Korban Terakhir
Malam pertama setelah peringatan dari Kiyai Mustaqim, korban ketiga: Wawan, ditemukan di sawah dengan tubuh penuh lumpur, mulutnya tersumbat tanah. Tidak ada jejak kaki di sekitar lokasi.
Korban keempat: Aminah, satu-satunya anak perempuan yang dulu sering mengejek Anan sebagai “anak najis”. Ia ditemukan dalam posisi duduk di tepi sungai, matanya terbuka lebar, mulutnya senyum terbelah sampai ke telinga. Tidak ada darah.
Panik semakin melanda desa. Ketakutan mereka semakin menjadi-jadi. Semua keluarga mengunci anak-anak mereka di dalam rumah.
Beberapa dari warga yang sama sekali sejak Anan masih hidup tidak pernah menyakitinya sempat berpendapat, bahwa ini adalah pembalasan dendam yang paling tragis oleh seorang anak yang nasibnya begitu malang.
Namun Anak Amar tidak membutuhkan pintu. Ia bisa masuk lewat apa saja dan bisa datang dari mana saja.
Korban kelima yaitu Dimas, anak seorang RW yang dulu pernah mendorong Anan sampai jatuh pingsan.
Pada malam sebelum kematiannya, Dimas berteriak sepanjang malam, “Jangan ikuti aku, Anan! Jangan ikuti aku, Anan! Maafkan saya, Anan!”
Tetapi suara itu tetap mengejar Dimas. Pada akhirnya, Dimas ditemukan terjepit di sebuah pohon Mahoni besar dekat sumur tua.
• Sudah Terlambat
Setelah lima anak itu tewas, Idin dan Iroh merasa dunia semakin gelap. Mereka tidak bisa tidur. Tidak bisa makan. Setiap sudut rumah terasa dingin dan panas. Mereka bahkan sempat sakit karena pikiran.
Mereka memutuskan kembali ke Curug Siuh, ditemani Kiyai Mustaqim, 2 orang santri, seorang RT dan 2 warga lainnya.
Di sana, Anak Amar sudah menunggu. Wajahnya benar-benar seperti Anan, namun matanya kini merah menyala.
“Kalian memanggilku lagi? Ingin memerintahku lagi?” suaranya menggema.
Idin berlutut, menangis. “Hentikan semua ini… kami menyesal… kami sudah bertaubat…saya mohon hentikanlah!”
Anak Amar tersenyum miring.
“Perintah kalian sudah selesai. Lima anak itu sudah mati. Tapi aku masih lapar.”
Iroh bergetar. “Lapar bagaimana?”
Sosok kecil itu melangkah mendekat.
“Kalian memanggilku. Aku lahir dari dendam kalian. Dan dendam tidak pernah mengenal akhir.”
Tiba-tiba ia menghilang. Angin dingin menyapu curug.
Kiyai Mustaqim segera membaca ayat-ayat suci. Suasana dan aura di Curug itu semakin aneh dan menakutkan. Gemuruh datang dari arah dinding. Suara tawa anak-anak terdengar, bercampur isak tangis.
“Dia tidak bisa dimusnahkan,” ujar sang Kiyai dengan napas berat. “Kalian hanya bisa memutus ikatannya dengan mereka langsung. Teruslah baca ayat-ayat!”
“Bagaimana caranya?” Idin gemetar.
“Kalian harus ikhlas melepas Anan. Sepenuhnya.”
Kalimat itu seperti menancap di hati Idin dan Iroh. Mereka menutup mata, menengadahkan tangan, dan memohon ampun sejadi-jadinya. Mereka mengucapkan kalimat ikhlas yang selama ini tidak pernah benar-benar keluar dari hati.
“Ya Allah… Anan bukan milik kami. Anan milik-Mu. Kami ikhlas atas kepergiannya… kami lepaskan semuanya…”
Suara dari dalam goa tiba-tiba berhenti.
Angin riuh itu berhenti.
Sunyi.
Lalu…
Sosok Anak Amar muncul kembali. Tetapi kini wajahnya bukan lagi seperti Anan. Wajahnya berubah menjadi kosong, seperti lumpur yang bergeser perlahan.
Hening menyelimuti seluruh hutan.
• Mengikhlaskan Kepergian Anan
Sejak malam itu, semua teror berhenti.
Idin dan Iroh memutuskan pergi dari kampunh itu setahun kemudian. Mereka berdagang di kota kecil lain, hidup sederhana tapi tenang. Setiap hari, tanpa pernah absen, mereka mengirim doa untuk Anan.
Kampunh tempat mereka tinggal dulu? Tetap menyimpan luka dengan trauma yang paling dalam. Lima keluarga kehilangan anak. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang ritual itu. Tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi di Curug Siuh.
Sumur tua tempat Anan melompat telah ditutup dengan beton. Tetapi kadang, beberapa warga mengaku mendengar suara kecil dari bawah tanah.
“Aku ingin main bersama teman-teman…”
“Tetapi teman-temanku tidak menerimaku…”
Tidak ada yang berani memeriksanya. Dan legenda itu masih hidup hingga sekarang.
Konon, jika seseorang berdiri terlalu dekat dengan sumur itu pada malam tertentu, ia akan melihat bayangan seorang anak kecil berkulit pucat… tersenyum sayu… berteriak dari bawah.
“Kenapa kalian begitu jahat kepadaku?”