Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ami baru saja bangun ketika ponselnya berbunyi. Dengan kelopak mata yang masih sungkan membuka lebar, dia mengambil ponselnya itu dan melihat di layar. Sebuah pesan dari Nita.
Mba Ami, jam 4 aku ke kosan ya. Bantu bikin makalahku buat seminar besok.
Jam di ponsel Ami menunjukkan pukul tujuh. Sembilan jam lagi, Nita, si mahasiswi kupu-kupu angkatan 2004 itu datang. Ami harus bergegas.
Tanpa sempat membereskan tempat tidur, Ami berlari masuk kamar mandi. Cuci tangan, cuci muka, sikat gigi. Tiba-tiba perutnya melilit. Tadi malam dia makan soto ayam pakai sambal tiga sendok. Sudah biasa, sebetulnya. Malah kadang sambalnya lebih dari itu kalau rasanya kurang pedas. Seharusnya perut Ami tidak sakit seperti ini.
Keluar dari kamar mandi, Ami kembali berbaring di kasur. Diraihnya ponsel lalu dia mencoba menghubungi Bimo, sepupunya yang ngekos tak jauh dari tempat kosnya.
***
Bimo menyambut Ami dengan iler yang mengerak di sudut bibirnya.
“Kuliah jam berapa?” tanya Ami seraya masuk kamar Bimo tanpa dipersilakan. Tampak kertas dan alat tulis berserakan di karpet. Bercampur abu rokok dan baju-baju bekas pakai yang belum dicuci. Agak kerepotan Ami mencari tempat kosong di karpet untuk duduk.
“Jam satu,” Bimo menjawab tanpa gairah.
“Aku mau di sini sampai malam. Nita ngejar-ngejar aku lagi. Belum lagi Fanny. Dia juga mau ke kosanku nanti malam buat konsultasi tugas akhirnya. Kamu pulang jam berapa?”
Bimo menjawab pertanyaan Ami dengan dengkuran.
“Bimo!” Ami mengguncang-guncang punggung Bimo.
“Apa, sih?”
“Kamu pulang jam berapa?”
“Aku mau nginap di kosan Aryo.”
“Nginap?” Ami mengeluh. Kalau Bimo menginap, dia tidak punya tempat bersembunyi. Ami tak berani tinggal di tempat kos ini sendirian. Apalagi sampai malam. Tempat kos ini khusus mahasiswa. Dan menurut Ami, semuanya sinting. Sukanya nyanyi keras-keras sambil main gitar tidak karuan. Kalau ada cewek datang ke kosan ini, langsung digoda dengan noraknya.
Perut Ami melilit lagi. “Punya obat diare, nggak?”
Mata Bimo seperempat melek. Dia menunjuk tasnya.
Ami bergegas mencari. “Nggak ada.”
Namun Bimo seperti tidak mendengarnya. Dia kembali tidur. Ami pulang sambil bersungut-sungut.
***
Sepanjang jalan dari tempat kos Bimo ke warteg untuk membeli makan, Ami tak berhenti merutuk. Bolak-balik Ami mencari lowongan pekerjaan, mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, tidak ada satu pun yang keterima. Proposal S2 juga tidak ada yang lolos satu pun. Eva juga brengsek. Janji mau cari kosan bareng di Jakarta, tidak tahunya balik ke Surabaya, kerja jadi penyiar radio setempat.
Huh!
Keluar dari warteg, seseorang menepuk pundak Ami. Chichi, anak angkatan ‘99 yang belum lulus. Ami pernah menjulukinya calon mahasiswi abadi.
“Mi, nggak kerja?”
Ami benci pertanyaan itu. “Nggak,” jawabnya singkat.
“Bagus, deh. Bantuin aku bikin tugas, ya? Sumpah, aku bingung. Bantuin, dong,” Chichi memelas.
Ami berusaha tidak mendengar permintaan Chichi. Siapa suruh rajin bolos? Lagipun, Ami muak dengan yang namanya tugas atau hal-hal lain yang berhubungan dengan perkuliahan. Ami bukan mahasiswa lagi sekarang. Saatnya bagi Ami untuk mencari pekerjaan dan bukan membantu orang-orang mengerjakan tugas kuliah.
Ya Tuhan, kenapa aku masih menganggur seperti ini? Padahal aku sudah satu tahun lulus kuliah dan rajin tahajud sejak beberapa bulan terakhir.
Ami juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kenapa dia masih ngekos di Jatinangor, kota kecil yang tidak memberinya harapan apa-apa? Teman-temannya sudah pada ngacir. Rata-rata mencari kerja di Jakarta, bahkan luar negeri. Ami tidak mau. Dia maunya kerja di Jakarta atau Bandung saja. Supaya dekat dengan kampung halamannya di Padalarang.
Ami bersikeras mendapat pekerjaan di Jakarta. Akan lebih baik kalau dia ngekos di kota metropolitan itu juga. Sialnya, kaki Ami tampaknya terpancang kuat di kota ini. Berkali-kali dia berusaha kabur saat ada teman yang meminta bantuannya mengerjakan tugas kuliah mereka, selalu gagal.
Apa aku ditakdirkan untuk membantu mereka? Apa seharusnya aku menjadi konsultan kuliah saja?
“Bisa, kan, Mi?”
Argh! Ami ingin sekali menjerit, berkata lantang dan tegas pada semua orang bahwa dia tidak mau diganggu lagi.
“Nanti aku traktir mi ayam Mas Joko, deh! Tiap hari juga nggak apa-apa.”
Chichi berusaha membujuk. Namun Ami sudah kebal bujuk rayu.
Kenapa orang suka mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuannya? Mereka pikir aku siapa? Pakai dirayu, dibujuk, diberi iming-iming makan gratis. Aku tidak butuh semua itu. Aku butuh pekerjaan di tempat yang jauh.
Aku ingin lari dari sini.
“Mi?” tanya Chichi.
“Aku sedang banyak kerjaan.”
“Lho, katanya nggak kerja?”
Ami menyadari kekeliruannya.
“Aku… aku menerima jasa menerjemahkan… ng… freelance. Si Adi tuh yang ngasih kerjaan. Duitnya cuma cukup buat makan. Makanya aku malas bilang ini kerjaan.” Ami berdalih, berusaha menutupi ketololannya.
“Kalau begitu, kamu mau, nggak, menerjemahkan data yang kupakai untuk tugasku?”
Ami tertegun. Anak ini pantang menyerah untuk urusan memanfaatkan orang lain. “Kenapa nggak kamu terjemahkan sendiri?”
Chichi nyengir kuda. “Hehehe, takut salah.”
Ami melengos. “Aku dikejar deadline, Chi. Sorry, ya. Aku duluan.”
Ami melangkah buru-buru. Meninggalkan Chichi tanpa melihat lagi wajahnya.
***
Bimo benar-benar tidak bisa diandalkan. Dia cuma menyarankan agar Ami berkata terus terang bahwa dia tidak bisa membantu mereka. Ami akui saran Bimo bagus, tapi Ami ragu melakukannya.
Saat tengah meratapi nasib menjadi orang yang sok baik dan sok sabar, juga merasakan perut yang masih saja sakit, Eva menelepon. Dia sedang berada di Cileunyi dan akan menginap di rumah sepupunya.
“Boleh, nggak, aku ikut nginap di rumah sepupu kamu?”
“Rumah sepupuku kecil, Mi. Aku lupa ada berapa kamar di sana. Kalau kamu disuruh tidur di sofa ruang tamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Aku bisa tidur di mana saja.”
Segera setelah Eva menyetujui permintaannya, Ami lekas-lekas mandi dan berkemas. Tak banyak pakaian yang diabawa. Rencananya, Ami hanya akan menginap malam ini. Besok dia balik lagi ke Jatinangor.
Ami menutup gorden kamar kosnya dengan rapi. Tidak ada celah bagi maling, atau Nita, juga Chichi, untuk mengintip. Seprai masih acak-acakan dengan selimut yang belum dilipat.
Masa bodoh!
Ami mengunci pintu. Dilihatnya jam di hp. Baru pukul satu. Tiga jam lagi Vita akan mendapati kamar kosan Ami sepi. Ami tersenyum geli. Enak juga ngerjain orang. Hahaha…
Tapi… Ami merasakan perutnya sakit lagi. Betul-betul sakit. Gara-gara ketemu Chichi, dia jadi lupa membeli obat di apotek. Terpaksa Ami balik kanan seraya mengeluarkan kunci kamar dari dalam tas. Begitu masuk, Ami menyelot pintu kamar dan membanting ranselnya ke lantai.
Cukup lama Ami jongkok. Menguras isi perutnya. Mungkin kalau sudah habis, perutnya kembali bersih. Namun perut Ami masih saja sakit. Sangat sakit. Badannya lemas. Bahkan untuk berdiri dari kloset jongkok pun Ami harus berpegangan ke pinggir bak mandi.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk. “Teh Ami…”
Nita sudah datang. Padahal sekarang belum pukul empat.
Ami berusaha diam dengan harapan semoga Nita mengira dia pergi. Tapi Ami merasa butuh pertolongan. Dia harus ke dokter. Minimal minum obat anti diare.
Sambil meringis, Ami membuka pintu kamar kosnya.
“Ya ampun! Teh Ami kenapa?” Nita terkejut ketika melihat wajah Ami dan tangannya yang memegang perut dengan erat.
“Aku sakit perut, Nit. Bisa belikan aku obat, nggak?”
“Bisa, Teh. Sebentar, ya. Aku titip tas.”
Dengan cepat Nita berlari menuruni tangga. Dia panik melihat Ami dalam keadaan seperti itu.
Tak lama kemudian, Nita datang membawa obat anti diare. Saat itu, Ami sedang berbaring di kasur sambil tangannya terus memegang perutnya.
“Teh Ami istirahat saja. Aku di sini jagain Teh Ami. Nginap juga nggak apa-apa sambil mengerjakan makalah.”
Hah?
Ami tidak bisa banyak bergerak. Dibiarkannya Nita mengerjakan tugasnya di lantai. Sesekali dia bertanya pada Ami. Ami membantu semampunya.
Obat diare yang diberikan Nita lumayan manjur. Sorenya, Ami tidak sakit perut lagi. Dan tiba-tiba saja dia merasa bersalah karena ingin menghindari Nita.
“Teh Ami sudah sembuh?” tanya Nita polos ketika melihat Ami duduk di tepi kasur.
Ami mengangguk. “Obatnya lumayan juga,” ujarnya sambil membaca kemasan obat yang tadi dia minum.
“Tapi Teh Ami kayaknya masih lemes, deh. Tidur lagi aja, Teh.”
Ami menggeleng. “Sudah selesai makalahnya?”
Nita membaca selembar kertas yang berisi draft makalahnya. “Tinggal kesimpulan.”
Ami diam. Lalu tanyanya, “Ada yang bisa kubantu?”
Sejenak Nita berpikir. “Ng… nggak ada, kayaknya. Mau selesai, kok. Teh Ami mau pergi?”
Ami memandang ranselnya. “Nggak jadi. Takut sakit perut lagi.”
Nita kembali mengerjakan tugas.
Ami tahu harus berbuat apa saat itu juga: mengirim pesan pada Eva untuk memberitahunya bahwa dia tidak jadi ikut menginap di rumah sepupunya.