Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Apa manusia memang harus berpura-pura bahagia agar bisa diterima?"
Alya bertanya begitu lirih, nyaris seperti gumaman, tapi ada getir yang tak bisa disamarkan dari ujung kalimatnya. Seolah kalimat itu telah lama mengendap di dadanya, menunggu waktu yang pas untuk dilahirkan. Ia meneleponku di jam yang seharusnya ia habiskan untuk tidur, bukan merenung tentang kursi kosong di ruang terapi.
Aku sedang menyusun laporan program literasi kesehatan jiwa di kota kecil tempatku bekerja. Layar laptop masih terbuka, penuh dengan data dan grafik yang tak selesai-selesai. Tapi suara Alya langsung menyita perhatian. Ia tak pernah menelepon kecuali untuk dua hal, mengucapkan selamat ulang tahun, atau ketika pikirannya mulai riuh sendiri.
"Rasanya aneh," katanya setelah jeda singkat. Suaranya pelan, nyaris berbisik, seakan takut suaranya memecah keheningan malam yang rapuh. "Sudah tiga bulan aku datang ke ruang terapi itu, duduk di kursi yang sama, berbicara tentang hal yang sama. Tapi tetap merasa kosong."
Aku tak menjawab. Bukan karena tak punya kata, tapi karena aku tahu Alya bukan sedang meminta nasihat, Ia hanya ingin suaranya ada. Dikenali dan didengar. Seperti kursi kosong di sebelahnya yang selalu disediakan di ruang terapi, katanya untuk “inner child”, tapi dalam diam Alya menamai kursi itu sebagai kursi orang yang ia harapkan mengerti.
Kadang ia berharap kursi itu diisi ibunya.
Kadang gurunya.
Kadang aku.
Aku teringat pada Alya yang dulu, vokalis band kampus yang suaranya bisa membuat kita diam sejenak di tengah riuh mahasiswa baru. Ia punya cara membuat lirik sederhana terdengar seperti pengakuan hidup yang dalam, seperti membaca isi hati pendengarnya tanpa perlu tahu nama mereka.
Tapi sejak lulus, Alya tak pernah lagi naik panggung. Ia memilih pekerjaan kantoran yang membuatnya merasa seperti mesin, datang pukul sembilan pulang pukul enam, menyapa tanpa makna, tertawa tanpa suara.
"Kamu masih nulis lagu?" tanyaku akhirnya, mencoba menjangkau sisi Alya yang dulu pernah bersinar.
Dia diam cukup lama hingga aku hampir mengira teleponnya terputus. "Sudah lama enggak," sahutnya akhirnya, dengan nada yang mengandung penyesalan. "Aku takut, nanti malah nulis tentang rasa sakit yang belum selesai. Tentang malam yang terlalu gelap untuk dijelaskan."
Aku ingin menimpali, mengatakan bahwa justru itulah yang membuat lagu-lagunya dulu hidup karena jujur. Tapi aku tahu, nasihat semacam itu tak bisa menyembuhkan apa pun malam ini. Jadi aku memilih untuk mengingatkannya, perlahan, pada sesuatu yang pernah membuat matanya berbinar.
"Alya," ujarku perlahan, mencoba menyentuhnya lewat nada, "Kamu ingat, dulu pernah bilang kalau musik adalah tempat kamu pulang?"
"Ya."
Jawabnya pendek, seperti gumaman anak kecil yang mengiyakan sesuatu dengan setengah hati.
"Kalau begitu kenapa kamu membiarkan rumahmu kosong?"
Ia tertawa pendek, getir. Tawa yang tidak benar-benar tawa. "Karena aku takut pulang dan tidak ada siapa-siapa di sana."
Aku terdiam kali ini. Ada simpul di tenggorokanku yang tak bisa kulepaskan. Alya seperti banyak orang yang sedang terjebak di antara dua dunia: dunia yang memintanya untuk ‘baik-baik saja’, dan dunia batinnya yang diam-diam meronta karena kehilangan makna. Dan kursi kosong di ruang terapi itu, barangkali adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Siapa tahu?
"Kamu tahu, aku pernah nangis cuma karena lihat anak kecil nyanyi di pinggir jalan," katanya kemudian, pelan. Ada ketelanjangan emosi dalam ucapannya, seperti membuka luka di depan jendela yang terbuka. "Suara fals, tapi ekspresinya lepas. Aku iri."
Ada jeda. Aku biarkan dia menarik napas, seperti membiarkannya duduk sebentar dalam rasa itu.
"Aku pengin bisa ngerasa kayak gitu lagi. Tanpa takut dinilai. Tanpa harus kuat terus."
"Berarti kamu masih hidup Alya," ucapku. "Masih bisa merasa. Itu cukup untuk sekarang."
Sambungan hening sejenak. Tapi bukan hening yang membekukan. Ini hening yang hangat. Seperti dua orang yang sedang duduk di bangku taman saat matahari hampir tenggelam. Tak butuh kata, cukup kehadiran.
"Kadang aku iri sama kamu," ujarnya, suaranya nyaris seperti pengakuan rahasia.
"Kenapa?"
"Kamu bisa kerja dengan apa yang kamu cintai. Bisa menolong orang dengan kata-kata."
Aku tertawa. Tapi bukan tawa kemenangan. Tawa yang mengenang lelah. "Tapi aku juga sering merasa kosong Alya. Kadang aku ngobrol sama klien yang bikin aku sadar, aku enggak sekuat yang mereka kira."
"Jadi, kamu juga punya kursi kosong?"
"Tentu."
Ia menghela napas, kali ini lebih panjang. "Kalau gitu, mungkin kita semua cuma manusia-manusia yang sedang duduk, menunggu ada yang mau duduk di sebelah."
"Atau kita belajar duduk bareng diri kita sendiri, dan enggak kabur duluan."
Sambungan telepon masih menyala. Tapi kami diam. Mungkin sama-sama membayangkan kursi itu: kursi kosong yang tak harus diisi siapa pun dulu. Cukup dibiarkan ada. Diterima.
"Aku akan coba nulis lagu lagi," katanya akhirnya. Nada suaranya pelan, tapi kali ini mengandung arah. Mungkin juga harapan.
"Bagus. Kalau bisa, tulis tentang kursi kosong itu."
"Aku akan beri judul: Tempat Aku Tak Lagi Harus Menyamar."
Aku menahan napas. Kalimat itu lebih menyembuhkan dari semua terapi yang pernah kudengar. Dan aku tahu, malam ini Alya akan tidur, mungkin masih dengan gelisah. Tapi setidaknya bukan dalam sepi.
Tiga minggu setelah malam telepon itu, aku mendapat pesan suara dari Alya.
“aku udah nulis lagu. Tapi cuma satu bait. Sisanya nangis.”
Aku senyum kecil di ruang kerja yang sunyi. Saat orang lain mengukur kemajuan dari angka dan pencapaian, Alya justru mengukurnya dari satu bait lirik dan sekotak tisu yang hampir habis. Dan kurasa, itu justru lebih jujur.
Beberapa hari kemudian, ia mengirim rekaman. Suaranya masih seperti dulu lirih tapi dalam, tidak lagi memaksa untuk disukai, tidak dibuat-buat, lagu itu diberi judul yang ia sebut sebelumnya: Tempat Aku Tak Lagi Harus Menyamar.
Dan itu bukan sekadar lagu. Itu pengakuan.
“Masih banyak orang anggap aku lebay karena datang ke psikolog,” katanya saat kami akhirnya bertemu langsung, duduk berdua di kafe kecil dekat stasiun. Dia mengenakan hoodie abu-abu longgar, nyaris tak mengenali kalau itu Alya yang dulu selalu tampil berani di panggung.
“Tapi kamu tetap datang ke sesi terapi?” tanyaku, mencampur rasa penasaran dan harap.
“Iya,” jawabnya sambil mengaduk teh. “Sekarang aku lebih banyak diam. Tapi bukan karena putus asa. Karena aku belajar mendengarkan diriku sendiri.”
Aku hanya mengangguk perlahan. Di mata banyak orang, itu mungkin bukan ‘kemajuan’. Tapi aku tahu, itu lebih dari sekadar sembuh. Itu proses menjadi utuh.
Alya mengeluarkan sebuah buku kecil dari tas kanvas lusuhnya. Isinya penuh coretan tangan, lirik-lirik setengah jadi dan beberapa sketsa kursi-kursi kosong yang ternyata kini muncul dalam banyak bentuk di hidupnya. Ia bahkan menggambarnya sebagai sosok seorang perempuan duduk memeluk lutut, memalingkan muka dari cermin.
“Aku lagi coba gambar rasa” katanya. “Bukan untuk dilihat siapa-siapa. Buatku sendiri aja.”
Aku menyentuh punggung tangannya. “Kamu enggak sendirian, ya.”
Ia tersenyum. Senyum yang tipis tapi utuh. “Aku tahu. Sekarang aku tahu.”
Setelah itu, Alya mulai muncul di beberapa acara komunitas kecil. Ia menyanyikan lagu-lagu barunya dengan suara yang tak lagi ingin menaklukkan ruangan, tapi cukup untuk mengisi hati orang yang datang. Tak ada spotlight terang, tak ada panggung tinggi. Tapi ada kejujuran.
Suatu hari, ia mengunggah video di media sosial. Lagu Tempat Aku Tak Lagi Harus Menyamar dibawakan dengan petikan gitar pelan. Di belakangnya, ada kursi kosong yang disorot lampu kecil.
Caption-nya hanya satu kalimat:
“Buat Kamu yang Belum Bisa Bicara, Aku Duduk di Sini, Menunggu Ceritamu.”
Dan seperti itu, Alya kembali ke panggung. Bukan untuk tampil, tapi untuk hadir. Bukan untuk menghibur, tapi menemani.