Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
All about Dewi
"Menyembunyikan identitas kadang lebih menyamankan daripada menjadi orang terkenal." Dewi Fortuna
Notifikasi ponselku berbunyi. Salam sapa dari penggemar terkesan renyah, mirip gorengan tempe keripik yang jadi lauk sarapanku pagi ini. Aku membalasnya segera. Dia pun langsung membalas pesan. Kali ini, kesan yang tertangkap cukup mesra. Ada kata “sayang” di sana. Aku tersenyum. Baru juga kenal hitungan hari, dia sudah tebar sayang di pesan yang dikirimkan.
Nada pesan masuk kembali berdenting. Suaranya dari ponsel ios. Penggemar lain juga menyapa di pagi yang sejuk ini. Jika Andi tadi menanyakan apakah aku sudah makan, berbeda dengan Hajar yang menanyakan kapan akan ketemuan. Secara domisili tempat tinggalku dengan Hajar berada di satu kota.
Andi dan Hajar memang rajin menyapa tak kenal waktu. Keduanya sama-sama pekerja. Jika Andi bekerja di salah satu perusahaan swasta, Hajar bekerja di perusahaan konveksi sendiri membawahi beberapa karyawan.
Aku sama sekali tak ada hati pada keduanya. Selama ini kami memang mengobrol intens. Namun, aku hanya menghormati mereka, menghargai mereka karena telah berkenan menjadi teman di dunia maya. Jangan sampai dunia yang tidak nyata menjadi sumber perselisihan. Alih-alih mau bersenang-senang menyalurkan hobi menulis, malah dapat pembenci. Jangan sampai itu yang terjadi.
Memang tak mungkin aku memaksa semua orang di dunia yang satu itu untuk menyukaiku. Akan tetapi, aku juga tak mungkin menjadi seseorang seperti yang mereka inginkan. Sebab setiap pribadi punya karakter dan itu semua berasal dari latar belakang yang tidak sama.
Andi dan Hajar juga. Mereka pasti punya sikap masing-masing dengan pengalaman hidup yang mendasari karakternya kini. Aku hanya mencoba menyelam di dua kepala mereka dan kepala-kepala yang lain, dii dunia nyatanya. Tentu saja itu semua kujadikan sebagai bahan. Mungkin, suatu hari akan kupakai dalam cerita di novelku. Meskipun hanya secuil dari kehidupan mereka tanpa menyamakannya.
Sayangnya, kedekatan kami menimbulkan persepsi lain. Andi dan Hajar tampak menaruh hati padaku. Jika sudah begini, aku pusing sendiri. Mengapa dua pria menyukaiku secara bersamaan? Mereka belum kenal dengan aku pun. Salah satunya, Hajar, bahkan telah kuberitahu bahwa aku sudah punya kekasih. Namun, pria itu tetap memaksakan perasaannya. Hajar meminta agar aku mengizinkan membiarkan dia mencintaiku.
“Den! Ayo!”
Mendadak Doni, temanku, memanggil. Dia sudah siap dengan motor balapnya. Pasti dia minta dukungan di event balapan liar. Tak bosan-bosannya aku mengingatkan agar Doni berhenti balapan, tetapi dia tidak menggubris. Doni bilang, balapan adalah jiwanya. Mungkin sama sepertiku, menulis adalah jiwaku.
“Bentar, gue minum dulu,” jawabku lalu menyimpan dua ponsel ke tas kecil di pinggang.
“Dapet berapa cuan lu nulis di sono?” tanya Doni saat aku mengenakan sepatu.
“Mayanlah. Yang penting rajin promo.”
“Gimana para penggemar? Siapa, tuh? Andi, Hajar, Beni, Taufik, Dani, siapa lagi?”
“Aman. Mereka baik semua. Pas gue posting bab baru, mereka selalu rajin kirim koin.”
“Hahah, lu pinter nyamar, Den. Kek mana kalo mereka tau lu yang aslinya? Hahaha!”
“Yah, siapa suruh. Gue cuma pake nama pena Dewi Fortuna. Kagak ada gue centil sama cogan-cogan. Merekanya aja yang—.”
Aku menghentikan bicara karena Doni menyela, dia harus buru-buru menuju lokasi balapan. Doni bilang, semua sudah berkumpul. Aku langsung duduk di boncengan motornya. Dia pun segera memacu motornya cepat sekali.
“Hai, Bro! Buruan!” sapa teman Doni begitu kami sampai di tempat balapan.
Aku turun dan menepi. Beberapa motor balap sudah berjejer rapi di jalan. Ruas jalan itu sepertinya selalu aman ketika dipakai untuk balapan Doni dan teman-temannya.
Para pembalap liar tampak siap beradu kecepatan, memacu adrenalin, dan mendapat kebanggaan jika menang balapan.
Aku mengamati satu per satu para pembalap. Di sekitarnya ada beberapa penonton. Mungkin mereka teman-teman para pembalap itu. Yang perempuan juga ada di sana, seolah-olah siap memberi semangat. Ah, seandainya para penggemarku bisa menyaksikan aku seperti ajang balapan ini, betapa bahagianya. Meskipun ada resiko telak, yaitu kena damprat, bukan dapat sanjungan semata.
Saat mataku terfokus di deretan paling kanan, astaga! Salah satu pembalap di sana adalah Hajar. Aduh! Tenang, Den, Tenang! Aku menenangkan diri sendiri. Hajar kenalnya dengan Dewi Fortuna, nama pena yang kupakai sebagai penulis. Beginilah nasib penyamar. Hahaha. Aku tertawa sendiri.
Foto profil yang kupajang di akun facebook juga bukan foto asli. Untung saja, Kak Keila mau meminjamkan fotonya padaku. Amanlah, karena Kak Keila memakai cadar. Pasti wajah asli kakakku tidak akan mudah dikenali oleh orang-orang yang kepo dengan akunku, akun Dewi Fortuna, the beautiful author.
“Hati-hati, Den. Jangan kasih foto Mbak sembarangan ke temen di sosmed. Mbak ga mau kena pelet,” pesan Kak Keila waktu memberikan fotonya.
Benar juga kata Kak Keila. Seiring berlalunya waktu, seiring ketenaran menyambangiku, banyak penggemar yang mengirim pesan via inbox. Yang rutin dan rajin menyapa saat ini Andi dan Hajar. Aku senang mereka baik padaku. Namun, yang merepotkan keduanya jatuh cinta padaku. Bagaimana cara menjelaskan pada mereka? Tak mungkin aku membuka jati diri. Bisa bahaya jika identitasku terungkap.
Nama Dewi Fortuna yang kupakai sejak empat tahun lalu telah membawa banyak keuntungan. Tak mungkin aku menghancurkan nama diri sendiri yang sudah susah payah ku-branding. Andi dan Hajar belum tentu bisa memahami mengapa hal ini kulakukan. Netizen juga, biasanya hanya pandai berkomentar tanpa mau menelisik, tanpa mau memahami mengapa sebuah keputusan telah diambil.
Seperti halnya dengan diriku, aku juga punya alasan mengapa lebih nyaman berada di balik nama Dewi Fortuna dibandingkan dengan memakai nama sendiri. Hak tiap insanlah, bukan bermaksud membohongi maupun memanipulasi.
“Den! Ayo!”
Suara Doni mengejutkanku. Rupanya balapan sudah selesai. Kulihat, para sang juara sedang bersiap naik ke panggung. Botol minuman bersoda sudah dipegang oleh para sang jawara. Hm, momen terindah bagi para pembalap.
Aku segera bergabung dengan Doni dan para penonton balapan. Kegembiraan nyata terlihat di wajah-wajah mereka, para jawara. Persis dengan kegembiraanku saat salah satu naskah novelku dipinang untuk diadaptasi ke film layar lebar. Hanya Doni, teman karib yang tahu soal ini.
Terlintas kembali dialog antara aku dan Doni saat uang lima puluh juta masuk rekeningku.
“Bukannya, lu makin tenar, Bro? Kalau orang-orang tau novel lu pinang PH?”
“Males, entar banyak drama. Pada numpang pemes. Lu, tau, ‘kan? Ada gula ada semut! Siapa bisa kasih untung, pepet sampe gepeng. Sampe dapet untung. Kalau ga ada apa-apanya, boro-boro komen, react like aja kagak! Dan, lu tau, itu fakta!”
Usai penyerahan medali ala-ala mereka, para penonton memberi selamat pada para pemenang lomba balap motor. Aku ikut serta memberi apresiasi, tos kepalan tangan. Hajar bahkan memeluk layaknya sahabat saat aku memberinya selamat.
Maafin gue, Jar. Ga sengaja bikin lu jatuh cinta sama gue, si Dewi Fortuna, sang penulis novel roman, aku membatin.
Sekian
Jakarta, 23 Januari 2025